Kelembagaan DAS

Warsana

Pemantapan Kelembagaan Pada Gapoktan

Oleh : Warsana SP MSi, Penyuluh Pertanian Muda pada BPTP Jawa Tengah

Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 8 April 2009

Gabungan Kelompok Tani atau GAPOKTAN adalah gabungan dari beberapa kelompoktani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya.

Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar Kelompoktani-nelayan (WKAK) yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani nelayan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama.

Dalam Kepmentan 2007, dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan. Dalam batasan ini, asosiasi adalah kumpulan petani-nelayan yang sudah mengusahakan satu atau kombinasi beberapa komoditas pertanian secara komersial.

Untuk meningkatkan skala usaha dan peningkatan usaha ke arah komersial, kelompok tani dapat dikembangkan melalui kerjasama antar kelompok dengan membentuk Gapoktan. Pada prinsipnya, baik WKAK ataupun Asisiasi kelompok tani, apabila sudah memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu mengelola usaha tani secara komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum untuk mengembangkan usahanya, maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan berbadan hukum, sesuai dengan kesepakatan para petani anggotanya. Di sini terlihat, bahwa pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani. Dengan kata lain, adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah yang secara nyata kelompokkelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini sesuai dengan pola pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan diposisikan sebagai institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di bawahnya yaitu para kelompok tani.

Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks pemantapan kelembagaan. Untuk dapat berkembang sistem dan usaha agribisnis memerlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha dengan pemerintah berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kelembagaan pertanian tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP), kelompok tani, Gapoktan, Koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA dan lain-lain.

Selama ini, kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk menjalankan sebuah program. Namun demikian, penggunaan strategi pemantapan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan. Berikut diuraikan berbagai permasalahan dalam pemantapan kelembagaan khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution), agar dapat dihindari:

  1. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka dapat meningkat, Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang-orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, di mana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.
  2. Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim, setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompokkelompok yang sudah ada.
  3. Menerapkan pola generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi teknis di Pantura Jawa. Hal ini karena pengaruh keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan kelembagaan kurang mempedulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas, norma, kebutuhan dan lainlain yang sering kali tidak sesuai dengan program yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat.
  4. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual. yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya karena tidak ada social learning approach.
  5. Pemantapan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pamantapan aspek strukturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pemantapan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.
  6. Pemantapan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material cukup. Sebagai contoh pengembangan Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air dan lain-lain, bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik.

Untuk pemantapan Gapoktan berbagai strategi yang semestinya ditempuh adalah: Pertama. kelembagaan adalah sebuah opsi bukan keharusan. Apapun kelembagaan yang akan diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih dahulu merumuskan apa kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah yang dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu tentukan wadahnya.

Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian perdesaan tidak akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi pertanian. Kedua, sediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan kelembagaan. Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani yang akan dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada superstrukturnya, padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada pada pelaksana. Satu hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering diingatkan adalah, agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun tidak akan cukup untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.

Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang desa sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja dalam satu unit desa, namun perlu dibangun jejaring sosial (social network) dengan Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhis administratif, namun lebih ke fungsional ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan lembaga formal. Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung menerapkan suasana non formal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling menguntungkan dan keadilan.

Keempat, Gapoktan lebih banyak berperan di luar aktivitas produksi atau usahatani, karena kegiatan tersebut telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani serta petani secara individual. Untuk terlihat dalam mekanisme pasar, maka Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan beberapa karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efesien, kalkulatif, dan menciptakan relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha. Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen dalam pemantapan kelembagaan masyarakat perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak di bidang pertanian. Dengan demikian, pemantapan Gapoktan haruslah berada dalam kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka pembentukan dan pemantapan Gapoktan haruslah berada dalam konteks semangat ekonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan kemandirian lokal.

Gapoktan hanyalah alat dan merupakan salah satu opsi kelembagaan yang dapat dipilih. Penggunaan kelembagaan yang hanya semata-mata untuk mensukseskan kegiatan lain dan bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri, maka hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu.

Warsana SP MSi
Penulis adalah Penyuluh Pertanian Muda pada BPTP Jawa Tengah
Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 8 April 2009

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.