Kelembagaan DAS

Priyo Kusumedi

KELEMBAGAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI KHDTK BORISALLO, SULAWESI SELATAN

(Institution of Community Forestry in KHDTK Borisallo, South Sulawesi)

Oleh : Priyo Kusumedi

Abstract

Institution in community forestry development generally representing a farmer group where member have equal environment condition and importance of social goodness, economic, culture and also natural resources and human being resources, beside friendliness existence, compatibility and also own the same will desire to realize of natural resources sustainablity. The aim of the research is to provide the information about intitutional model based to community in order to realizing sustainable forest management. Research used method rapid rural appraisal (RRA) and participatory rural appraisal (PRA). Data were analysed descriptively using qualitative and quantitative methods. Result of research showed that the stipulating intstitutional model based to community require long process of development to arrange the value in order to confes and support by stakeholders. Existence of nearly cultivated land, problems of land with the barber wire and wild shepherding by some of member so that development to arrange the value with becoming an agreement forming of institute (4 group of forest farmer) and some order intern/agreement.

Key word: Institution, community forestry, group of forest farmer

Abstrak

Kelembagaan dalam pengembangan hutan kemasyarakatan pada umumnya merupakan suatu perkumpulan petani yang anggotanya mempunyai kesamaan kepentingan dan kondisi lingkungan baik sosial, ekonomi, budaya maupun sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, disamping adanya keakraban, keserasian, serta memiliki kehendak yang sama untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang model kelembagaan berbasiskan masyarakat dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Metode penelitian yang dipakai adalah PDC (Pemahaman Pedesaan Cepat) dan PDP (Pemahaman Pedesaan Partisipatif). Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan model kelembagaan berbasiskan masyarakat membutuhkan proses yang cukup panjang dengan membangun tata nilai bersama agar bisa diakui dan didukung oleh semua pihak. Adanya kedekatan lahan garapan, permasalahan pemagaran lahan dengan kawat berduri dan pengembalaan liar oleh sebagian anggota sehingga membangun tata nilai bersama menjadi suatu kesepakatan dibentuknya lembaga (4 kelompok tani hutan) dan beberapa aturan interen/kesepakatan bersama.

Kata kunci : kelembagaan, hutan kemasyarakatan, kelompok tani hutan

I. PENDAHULUAN

Kelembagaan adalah suatu perangkat peraturan dan organisasi yang membuat serta mengawasi pelaksanaan peraturan–peraturan tersebut dalam suatu hubungan yang teratur di antara orang-orang yang menentukan hak-haknya mengenai suatu sistem pengorganisasian dan pengawasan terhadap pemakaian sumberdaya (Departemen Kehutanan, 1992). Sistem ini mempunyai batas-batas hukum, hak-hak pemilikan (property rights), dan aturan-aturan perwakilan sehingga kelembagaan dapat  memberikan peluang yang dapat dipilih oleh anggota masyarakat.

Secara umum bentuk kelembagaan hutan kemasyarakatan hampir sama di semua wilayah, baik dalam organisasi, kepemimpinan (leadership), capacity building maupun dalam manajemen konflik serta berbentuk nyata yang mengatur hubungan antar anggotanya. Beberapa contoh kelembagaan misalnya kredit, penyuluhan, koperasi, penelitian dan pengembangan serta tata guna lahan.

Membahas kelembagaan dalam pengembangan hutan kemasyarakatan dapat diartikan sebagai suatu organisasi yang berkaitan dengan semua kegiatan, baik lembaga formal maupun non formal yang berkepentingan di dalamnya. Bentuk kelembagaan di suatu daerah kemungkian besar sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan dalam membicarakan masalah kelembagaan hutan kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan dari institusi keluarga petani, kelompok tani, koperasi ataupun institusi terkait.

Posisi strategis kelembagaan dalam suatu kegiatan memiliki dasar yang kuat, jika kegiatan tersebut dilakukan oleh banyak orang, banyak aktor, berdampak luas terhadap sumberdaya alam, lingkungan sosial apalagi sebuah gerakan sosial yang luas maka diperlukan pengaturan, membangun tata nilai bersama dan alat ukur keberhasilan yang diakui secara bersama-sama oleh semua pihak. Oleh karena itu diperlukan kesamaan persepsi tentang model-model kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik sosial, ekoomi dan budaya setempat.

Kondisi kelembagaan di KHDTK (kawasan hutan dengan tujuan khusus) Borisallo yang berupa kelompok tani tidak berjalan efektif dalam mekanisme pengelolaan sumberdaya alam disekitarnya. Menurut Kadir (2003), kelompok tani di sekitar KHDTK Borisallo pernah terbentuk pada saat adanya program “Inakaraeng” yaitu program pembagian bibit kopi dan tanaman di bawah tegakan yang disiapkan oleh PT Inhutani I Unit III Makassar.

Kelompok tani yang ada lama kelamaan mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat setempat, sehingga membuat lembaga tersebut menjadi semakin lemah dan kurang profesional dalam merespon perubahan-perubahan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kondisi ini timbul karena ada beberapa masalah dalam lembaga, antara lain tidak adanya suatu kegiatan yang sifatnya rutin, restrukturisasi kepengurusan, pengembangan kelembagaan dan pengelolaan konflik antar masyarakat maupun dengan pemerintah. Hal tersebut memungkinkan terjadi karena beberapa kesepakatan yang ada cenderung bisa dinegosiasikan dengan pengurus sehingga kurang efektif dalam mengikat dan memberi sanksi kepada anggota yang melanggar.

Kemungkin lain timbul karena lembaga yang ada merupakan sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan kebijakan yang sifatnya top down (dari atas ke bawah) dan bukan berasal dari inisiatif masyarakat sendiri, sehingga lembaga berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut maka diperlukan penelitian tentang model kelembagaan hutan kemasyarakatan dengan tujuan untuk mengetahui proses penetapan model kelembagaan berbasiskan masyarakat dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

II. METODOLOGI

A. Kerangka Pemikiran

Metode penelitian yang dipakai adalah PAR (Participatory Action Research), yang mendorong pihak-pihak berkepentingan menarik pelajaran dan pengalaman melalui observasi, perencanaan, aksi dan refleksi secara bersama dan terus menerus (CIFOR, 2002). Proses antar pihak berkepentingan melalui siklus belajar PAR yang  dijadikan dasar observasi dengan alat bantu observasi adalah dokumentasi proses,  dengan pendekatan RRA (Rapip Rural Appraisal) dan PRA (Participatory Rural Appraisal).

Menurut Yoon (2004) dalam menggunakan metode PAR, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain ;

  1. Identifikasi dan prioritas isu
    Diperlukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan berhubungan dalam isu-isu yang telah ditentukan. Data awal mengenai institusi lokal sampai dengan Provinsi, hubungan antara lembaga, kebijakan pemerintah yang berlak, sosial-ekonomi masyarakat, kondisi hutan dan lain-lain.
  2. Mengembangkan dan mendesain rencana penelitian
    Keahlian teknik penelitian integral dengan pengetahuan dan informasi dari subyek dalam mengembangkan desain rencana penelitian. Mencatat semua proses yang terjadi di masyarakat dan membuat laporan priodik.
  3. Mengesahkan kesesuaian dan kelayakan
    Verifikasi desain penelitian difokuskan pada isu yang diidentifikasi. Menentukan teknik pengumpulan data yang sesuai, agar penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan sosial-budaya secara ilmiah. Proses ini melibatkan institusi lokal dalam pelaksanaan evaluasi dan monitoring penelitian untuk mengetahui progres yang terlihat.
  4. Analisa dan pelaporan
    Melakukan penilaian di akhir penelitian terhadap data awal yang telah di kumpulkan untuk mellihat dan menganalisa dengan menggunakan berbagai alat analisis yang sesuai dengan penelitian.

Penarikan sampel secara purposive pada masyarakat dan instansi terkait (semua stakeholder) yang terlibat dalam pengembangan hutan kemasyarakatan antara lain Dishut Kabupaten Gowa 1 orang, PT. Inhutani I Unit III Makassar 1 orang, lembaga swadaya masyarakat 3 orang dan 83 penggarap lahan. Data yang diperlukan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap pejabat lembaga terkait, rumah tangga atau petani atau lembaga informal yang lain atau semua stakeholder yang berkepentingan dengan sumberdaya yang ada.

B. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis penjelasan untuk data-data kualitatif. Sedangkan analisis deskriptif kuantitatif adalah analisis penjelasan untuk datadata yang bersifat kuantitatif dengan metode tabulasi maupun dengan menggunakan stakeholder analysis. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penggarap lahan diukur melalui variabel tingkat pendapatan petani (usaha tani dan luar usaha tani). Unsur-unsur pendapatan keluarga penggarap lahan berasal dari tanaman semusim baik pertanian maupun perkebunan yang ditanam di sela-sela tanaman pokok (Acacia mangium, Eucalyptus deglupta dan lainnya). Sementara untuk unsur-unsur pendapatan keluarga dari luar usaha tani, antara lain berasal dari berdagang, beternak dan lainnya. Untuk mengetahui pendapatan keluarga penggarap lahan dihitung dengan rumus :

0r1

YUT = Unsur-unsur pendapatan keluarga penggarap lahan dari usaha tani
YLUT = Unsur-unsur pendapatan keluarga penggarap lahan dari luar usaha tani
YRT = Total pendapatan keluarga penggarap lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Petani Pengarap Lahan di KHDTK Borisallo

1. Komposisi Penggarap Lahan menurut Jenis Kelamin

0g1

Gambar 1. Komposisi penggarap lahan menurut jenis kelamin Figure 1. Farmer composition of according to gender

Komposisi penggarap lahan di KHDTK Borisallo sebesar 89% mempunyai jenis kelamin laki-laki dan hanya 11% mempunyai jenis kelamin perempuan. Kondisi tersebut akan kemungkinan besar akan berpengaruh pada tingkat intensitas dan aktivitas penggarapan lahan di KHDTK, karena perbedaan mobilitas dan fisik antara laki-laki dan perempuan (Gambar 1).

Aktifitas penggarap  lahan di KHDTK Borisallo sebesar 84,34% berkebun atau berladang, 8,43% mengembala dan berkebun, 4,8% mencari kayu bakar/rencek dan madu liar, dan 2,41% mengembala ternak sapi. Penggembalaan ternak sapi secara liar menjadi salah satu masalah krusial bagi para penggarap lahan di KHDTK karena sangat menganggu tanaman mereka. Dari seluruh penggarap lahan di KHDTK ada sekitar 13 KK yang mempunyai sapi kurang lebih 90 ekor dan digembalakan secara liar di dalam kawasan sehingga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan pemadatan tanah. Kondisi tersebut menyebabkan setiap penggarap lahan membuat pagar kawat berduri atau dari bambu tiap lahan miliknya untuk menghindari pengembalaan liar ternak (sapi).

2. Komposisi Penggarap Lahan Menurut Tingkat Pendidikan

0g2

Gambar 2. Komposisi penggarap lahan menurut tingkat pendidikan Figure 2. Farmer composition of according to education level

Tingkat pendidikan penggarap lahan di KHDTK Borisallo 81% mempunyai tingkat pendidikan rendah, yaitu tidak sekolah sampai tamat SD. Sementara 10% penggarap lahan berpendidikan SLTP, 8% SLTA dan hanya 1% setingkat sarjana (Perguruan Tinggi). Rendahnya tingkat pendidikan ini akan berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan masyarakat dalam menyerap input teknologi, informasi maupun ide baru. Kondisi ini merupakan faktor penghambat dalam proses adaptasi masyarakat, hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih rendah. Kondisi tersebut bisa berakibat pada terhambatnya proses pengembangan hutan kemasyarakatan pada umumnya dan pra kondisi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, kondisi pendidikan pada Gambar 2 di bawah ini.

3. Komposisi Penggarap Lahan Menurut Mata Pencaharian

Di bawah ini bisa dilihat bahwa 96% penggarap lahan mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani, sedangkan sisanya mempunyai mata pencaharian  pokok sebagai PNS dan pedagang. Rata-rata jumlah anggota keluarga penggarap lahan 4 jiwa/KK dengan jumlah tanggungan keluarga 3 jiwa/KK, sehingga termasuk dalam kategori keluarga yang sedang dengan jumlah anggota keluarga dan jumlah tanggungan keluarganya.

Rata-rata penguasaan lahan responden 0,72 ha/KK, sehingga termasuk dalam kategori petani dengan pemilikan lahan yang luas apabila dibandingan dengan ratarata penguasan lahan di Jawa yang hanya 0,20 ha/KK. Distribusi penguasaan lahan di KHDTK bisa dilihat pada Gambar 4. di bawah ini. Dimana 13% penggarap mempunyai luas lahan rata-rata ≤ 0,5 ha/KK, luas rata-rata lebih dari > 5 ha ≤ 1 ha/KK ada 75%, dan luas rata-rata > 1 ha/KK ada 12%.

0g3

Gambar 3. Komposisi penggarap lahan menurut mata pencaharian penduduk Figure 3. Farmer composition of according to people’s livinghood

0g4

Gambar 4. Penguasan lahan di KHDTK Borisallo Figure 4. Landowner in KHDTK Borisallo

Lahan garapan sebagian besar didominasi oleh tanaman inti Eucalyptus deglupta dan Acasia mangium, serta beberapa tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swetenia mahagoni), biti (Vitex sp), jati putih (Gmelina orborea) dan eboni (Diospros celebica Bakh). Sedangkan tanaman perkebunan dan pertanian yang ditanam penduduk antara lain mangga, kopi, coklat, mete dan pisang. Apabila musim hujan tiba maka sebagian besar penduduk menanam jagung atau kacang dan ada sebagian lahan yang ditanami padi gogo.

4. Kondisi Lahan

Kondisi lahan di KHDTK Borisallo sebagian besar merupakan tanaman campuran antara tanaman kehutanan dengan pertanian (agroforestry). Kombinasi antara Acasia mangium atau Eucalyptus deglupta dengan pisang, kopi, coklat dan mete. Sedangkan lahan yang terbuka didominasi dengan tanaman seperti rambutan dan pisang tanpa ada tanaman kehutanan lagi. Kondisi topografinya sangat bervariasi dari datar, landai, bergelombang, berbukit sampai curam, dengan kerapatan tegakan yang bervariasi dari rapat sampai terbuka.

Ada beberapa lahan penduduk yang masih rapat strata tajuknya dari Acasia mangium atau Eucalyptus deglupta kemudian kopi atau pisang, tetapi ada juga lahan yang cuma berisi tanaman perkebunan saja seperti pisang tanpa ada tanaman lainnya. Masalahnya adalah pada beberapa topografi yang curam ( > 45% ) tidak terdapat tanaman kehutanan karena secara sengaja di matikan dengan cara diteres atau dibakar bagian bawahnya, sehingga hanya ada tanaman pisang dan sangat rentan terhadap bahaya erosi maupun tanah longsor.

5. Distribusi Pendapatan Penggarap Lahan di KHDTK Borisallo

Tingkat pendapatan penggarap lahan di KHDTK tergolong sangat rendah apabila dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp. 415.000,-/bulan sehingga masih di bawah tingkat kesejahteraan penduduk minimum menurut BPS. Pendapatan rata-rata penggarap lahan di KHDTK Borisallo hanya berkisar Rp. 2.090.441,-/tahun/KK atau Rp. 174.203.42,-/bulan/KK.

0g5

Gambar 5. Distribusi pendapatan penggarap lahan di KHDTK Borisallo Figure 5. Distribution of farmer income in KHDTK Borisallo

Distribusi pendapatan petani di KHDTK Borisallo sebesar 50% penggarap mempunyai pendapatan rata-rarta ≤ Rp. 250.000,- /tahun/KK, 20% penggarap mempunyai pendapatan rata-rata ≤ 500.000,- /tahun/KK, 16% penggarap mempunyai pendapatan rata-rata ≤1.000.000,-, dan 14% penggarap mempunyai pendapatan rata-rata >1.000.000,- /tahun/KK. Pendapatan penggarap lahan ini berasal dari usaha tani (tanaman pertanian seperti jagung dan tanaman perkebunan seperti rambutan, mangga, coklat, mete dan kopi) dan non usaha tani (dagang, peternakan dan lain-lain). Untuk lebih jelasnya mengenai distribusi pedapatan petani  di KHDTK Borisallo bisa dilihat pada Gambar 5. di bawah ini.

Tingkat ketergantungan penggarap lahan terhadap sumber daya alam yang ada di KHDTK Borisallo rata-rata 43%/KK, jadi kontribusinya cukup rendah terhadap tingkat pendapatan tolal penduduk. Pada Gambar 6. terlihat bahwa tingkat ketergantungan ≤ 50% ada sekitar 62 penggarap lahan (72%), sedangkan sisanya mempunyai tingkat ketergantungan > 50% sampai 100% terhadap sumber daya alam yang ada di KHDTK. Dari kondisi tersebut bisa dibuat beberapa asumsi bahwa motivasi penduduk merambah/okupasi lahan adalah :

0g6

Gambar 6. Distribusi tingkat ketergantungan penggarap lahan terhadap SDA di KHDTK Borisallo Figure 6. Distribution of interpendency level with natural resources in KHDTK Borisallo

1. Memiliki lahan (sertifikasi)

Motivasi ini sangat mendominasi sebagian besar penggarap lahan agar mempunyai lahan yang menjadi hak milik (bersertifikat) sehingga mereka bebas untuk melakukan berbagai hal terhadap lahan tersebut.

2. Warisan

Lahan yang diokupasi/dirambah rencananya akan dijadikan sebagai warisan untuk generasi berikutnya, sehingga dalam merambah lahan biasanya disesuaikan dengan jumlah tanggungan keluarganya (anaknya).

3. Jual-Beli lahan

Lahan yang diokupasi sebagian ada yang telah diperjual belikan di bawah tangan oleh penduduk sekitar, karena posisinya yang sangat strategis dan aksesibilitas yang bagus maka banyak masyarakat yang tertarik untuk membeli/menjualnya.

4. Ganti-Rugi

Motivasi lainnya adalah untuk mendapatkan ganti-rugi apabila lahan yang digarapnya diminta oleh negara, dengan perhitungan berdasarkan pada produktivitas tanaman pertanian, perkebunan dan harga rata-rata tanah per meternya

6. Pemasaran Hasil

Hasil sumber daya alam yang sering di pasarkan oleh penggarap lahan antara lain kayu bakar, kopi, pisang, rambutan, mangga, jagung dan kacang. Ada hasil panen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten) dan ada  yang sudah sifatnya komersial (dijual) untuk menambah pendapatan keluarga. Komposisinya adalah sebesar 7,23% penggarap bersifat subsisten dan sebesar 92,77% penggarap lahan bersifat komersial terhadap hasil sumber daya alam yang
ada di KHDTK.

Semua usaha tani di pasarkan dalam bentuk aslinya tanpa ada pengolahan pasca panen menjadi produk yang mempunyai nilai tambah, karena kurangnya ketrampilan penduduknya. Potensi yang bisa dikembangkan adalah industri rumah tangga keripik pisang karena bahan baku yang tersedia sangat banyak dan melimpah. Pemasaran hasilnya 46,99% langsung dijemput oleh pembeli di kebun maupun di rumahnya, 37,35% dijual dipinggir jalan atau tempat wisata, 8,43% dijual di pasar terdekat, sedangkan sisanya 7, 23% digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Asal pembeli 77,11% berasal dari satu desa dan sisanya dari desa, kecamatan lain yang masih dalam lingkup Kabupaten Gowa.

Bentuk transaksinya 53,01% langsung tunai dibayarkan kepada petani, 37,35% dengan cara bertahap atau dicicil oleh pembeli atau tengkulak, sedangkan sisanya tidak melakukan transaksi karena untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sedangkan status pembeli 88,16% merupakan tengkulak dan 3,61 merupakan  konsumen langsung, sisanya tidak melakukan transaksi apapun.

7. Persepsi Penggarap lahan

Penerimaan langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya disebut dengan persepsi. Persepsi penggarap lahan di KHDTK Borisallo tentang pengembangan social forestry (terutama pada penelitian kajian model kelambagaan hutan kemasyarakatan) sangat bervariatif. Persepsi penggarap lahan terhadap KHDTK Borisallo sebesar (48,19%) tidak tahu sama sekali tentang fungsi hutan dan orientasi mereka hanya ditanami dengan tanaman pertanian dan perkebunan yang lebih bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan persepsi tentang status kawasan sebagai lahan milik negara sebesar 45,40% responden tidak tahu, sehingga akan berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya hutan khususnya kayu.

Ada sebagian kawasan di KHDTK Borisallo yang telah berubah tata guna lahannya menjadi lahan perkebunan atau pertanian monokultur antara lain kebun pisang, rambutan, mangga, padi, jagung tanpa ada tanaman kehutanannya. Kondisi tersebut sesuai dengan persepsi 21,69% penggarap lahan bahwa lahan tersebut bisa atau boleh dikonversi menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Ada beberapa tanaman kehutanan yang ada di KHDTK secara sengaja dimatikan dengan cara dibakar, diteres dan langsung ditebang sedikit demi sedikit untuk memperluas tanaman pertanian dan perkebunannya. Hanya sedikit penggarap lahan (3,61%) yang mempunyai persepsi bahwa di kawasan KHDTK Borisallo boleh melakukan kegiatan penebangan. Di bawah ini bisa dilihat beberapa cara penggarap lahan untuk mematikan tanaman kehutanan pada lahan garapannya.

0g7

Gambar 7. Cara mematikan tanaman kehutanan pada lahan garapan di KHDTK Borisallo. Figure 7. Killing trees at cultivated land in KHDTK Borisallo

Hasil penebangan kayu dimanfaatkan untuk keperluan sendiri atau memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten) sebesar 40,96% responden yaitu digunakan sebagai kayu bakar, kayu pertukangan maupun kontruksi ringan. Sedangkan 59.04% responden sifatnya sudah komersial untuk menambah pendapatannya. Untuk hasil hutan non kayu sebesar 63,85% responden digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sedangkan 36,15% responden dimanfaatkan untuk menambah penghasilan dengan cara dijual kepada konsumen langsung maupun tengkulak. Persepsi masyarakat tentang pengembalaan ternak secara liar dalam kawasan sebesar 71,08% responden tidak merasa melanggar atau boleh melakukan pengembalaan ternaknya di dalam kawasan. Kondisi ini menyebabkan rusaknya beberapa tanaman kehutanan dan pertanian yang baru ditanam maupun yang sudah besar, misalnya ada sebagian tanaman Gmelina orborea mati karena kulit bagian bawahnya dimakan oleh sapi. Pengembalaan ini menjadi konflik antar penggarap lahan dan menjadi isu penting yang muncul dalam dalam pembentukan lembaga dan diharapkan ada kesepakatan untuk mengatur mekanisme tentang pengembalaan ternak oleh anggotanya. Untuk lebih jelasnya mengenai persepsi penggarap lahan terhadap keadaan kawasan KHDTK Borisallo bisa dilihat pada Tabel 1. di bawah ini.

0t1

Gambar 7. Cara mematikan tanaman kehutanan pada lahan garapan di KHDTK Borisallo. Figure 7. Killing trees at cultivated land in KHDTK Borisallo

B. Proses Pembentukan Kelembagaan

Kelembagaan adat ‘”Abbulo Sibatang” dan Kelompok tani di sekitar KHDTK Borisallo pernah berjalan dan terbentuk pada saat adanya program “Inakaraeng” yaitu program pembagian bibit kopi dan tanaman di bawah tegakan yang disiapkan oleh PT Inhutani I Unit III Makassar, karena mekanisme pembagian bibit tanaman di bawah tegakan harus melalui kelompok tani yang ada. Kelompok tani dan lembaga adat “Abbulo Sibatang” yang ada lama kelamaan mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat setempat, sehingga menjadi semakin lemah dan kurang profesional dalam merespon perubahan-perubahan dalam rangka pengeloaan sumberdaya disekitarnya dan pada akhirnya tidak berlanjut sampai sekarang.

Dalam rangka pengembangan hutan kemasyarakatan di KHDTK Borisallo tahapan awal yang perlu dilakukan adalah dengan penyiapan dan pengembangan prakondisi masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang kuat dengan pengetahuan dan keterampilan teknis dan managerial dalam suatu wadah atau kelompok (lembaga) yang tangguh dan kuat serta memperoleh legitimasi dari pemerintah maupun dari masyarakat sendiri.

Pembangunan kelembagaan (institutional buildings) merupakan upaya mendapatkan inovasi melalui perubahan-perubahan dalam norma-norma, dalam polapola prilaku, dalam huhungan-hubungan perorangan dan antar kelompok (Esman, 1962 dalam Haddade, 2004). Kelembagaan dapat diartikan sebagai hukum sosial, kesepakatan, dan interakasi antar bagian dalam komponen masyarakat baik lembaga formal maupun non formal yang berkepentingan dengan pengelolaan sumber daya yang ada disekitarnya. Setiap bentuk kelembagaan adalah hasil dari sebuah evolusi yang salah satunya bertujuan untuk meminimalkan konflik antar masyarakat maupun konflik dengan pemerintah. Perubahan (evolusi) kelembagaan terjadi karena ada perubahan nilai yang mendorong para pelaku untuk menjadi lebih baik dengan memilih alternatif atau memodifikasi kelembagaan yang ada sehingga sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang ada.

Sebagai suatu sistim mengenai penggorganisasian dan pengawasan terhadap pemakaian sumber daya, maka kelembagaan mempunyai batas-batas hukum, hak-hak pemilikan (property rights) dan aturan-aturan perwakilan yang berlaku untuk semua anggotannya. Proses penetapan dan penataan kelembagaan di suatu daerah tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya, karena karakteristiknya berbeda-beda tiap daerah sehingga bersifat spesifik tiap lokasi (site specific/local specific).

Proses penetapan kelembagaan di KHDTK Borisallo berlangsung cukup lama dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan di lapangan. Prosesnya mulai dari suevei lapangan, koordinasi dan sosialiasasi, pertemuan pleno dan diskusi kelompok serta workshop dengan semua stakeholder yang terkait untuk membahas dan mencari jalan keluar bersama-sama. Hasil temuan dari beberapa proses tersebut dibahas bersama para pihak lainnya guna memecahkan berbagai permasalahan multi-sektor, muti-disiplin ilmu, dan multi-pihak. Diantaranya adalah pembahasan hasil PRA, pembahasan pleno kawasan, pembahasan hasil studi stakeholder analysis, pembahasan hasil penyusunan Renstra dan lain-lain. Setiap perkembangan dan permasalahan yang ada di lapangan dan penetapan kebijakan selalu dibahas pada pertemuan tingkat forum para stakeholder seperti Dinas Kehutanan, PT.Inhutani I, LSM/Perguruan Tinggi, Depatemen Kehutanan (BP2KS) dan penggarap lahan di KHDTKBorisallo.

Dari hasil PRA tanggal 2 Agustus 2004, maka dilakukan workshop yang dilaksanakan di Kantor KHDTK Borisallo pada tanggal 28 Agsutus 2004. Dalam workshop pembahasan ini diharapkan adanya persamaan persepsi antar stakeholder, mendapatkan masukan untuk perbaikan, dan mendapatkan dukungan untuk pelaksanaan di lapangan. Dari kedua kelompok diskusi direkap permasalahan, harapan dan kebutuhan yang muncul dan dibahas secara bersama-sama dengan melibatkan semua pihak yang terkait (multi-stakeholder). Beberapa stakeholder yang hadir antara laian Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa, PT.Inhutani I Unit III Makassar, LSM setempat, Depatemen Kehutanan (BP2KS) dan penggarap lahan/petani.

Hanya ada beberapa permasalahan, kebutuhan dan harapan yang bisa diselesaikan dan dicarikan solusinya bersama dalam forum, sedangkan sisanya dibicarakan dan dibahas lebih lanjut oleh intern kelompok dan difasilitasi oleh peneliti maupun LSM pendamping. Di bawah ini beberapa hasil yang dibahas bersama oleh multi stakeholder yang berkepentingan antara lain ;

(1). Permasalahan

Beberapa permasalahan yang ada di KHDTK Borisallo antara lain ; penggembalaan ternak liar ( sapi ), pemagaran areal dengan kawat, kebakaran hutan, tata batas lahan, kekurangan air untuk penyiraman tanaman, penyakit pada tanaman pisang, coklat dan kopi, serangan hama babi, teknik pembibitan, penanaman dan pemeliharaan, kurangnya penyuluhan, belum adanya pondok kerja, produksi tanaman rendah, ketidakcocokan jenis tanah dan tanaman, dan pemasaran sulit dan penjualan hasil  tanaman sangat rendah

(2). Harapan

Beberapa haparan dari penggarap lahan di KHDTK Borisallo antara lain ; hidup lebih sejahtera, perlunya kelompok tani (KTH) berdasarkan kedekatan lahan (areal) dan dibentuk kelompok unit kerja berdasarkan wilayah, program ini dipercepat, penyuluhan diadakan tiap bulan, adanya penjarangan dan penyulaman tanaman (Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta), perlunya mitra kerja, lebih banyak MPTS dan tanaman tumpang sari, serta adanya insentif (biaya tanam).

(3). Kebutuhan

Beberapa kebutuhan penggarap lahan di KHDTK Borisallo antara lain ; tanaman ( obat– obatan, sukun, kemiri,vanili, petai, merica, kakao, mangga, padi, kacang, pepaya dan jambu mete), saprodi, pelatihan pembuatan kripik, pagar hidup, cek dam, kolam ikan dan bibit ikan, pompa racun, pipa untuk mengalirkan air, pompa air, racun babi (asosso`), pelatihan teknis penanaman, pengadaan pondok kerja, racun rumput. Untuk kesepakatan mengenai pembentukan kelompok tani “Bontoparang” pada tanggal 2 Agustus 2004, maka pada pembahasan ini berubah dengan pertimbangan areal yang harus dikelola terlalu luas untuk 1 kelompok tani. Kondisi tersebut dilakukan agar kelompok yang ada nanti efektif dalam pengelolaan administrasinya dan teknis di lapangannya. Kelompok tani yang sudah terbentuk sebelumnya di pecah menjadi 4 kelompok di dalam areal KHDTK Borisallo yang masing-masing anggotanya diambil menurut kedekatan lahan garapannya. Adapun ke empat kelompok tani hutan tersebut adalah :

  1. KTH Bontoparang
  2. KTH Batu Sompa
  3. KTH Bonto Ala
  4. KTH Pu` Rumbo

Dalam pertemuan atau workshop pembahasan hasil sebelumnya juga dicapai kesepakatan bersama di antara petani mengenai tujuan kelompok tani hutan secara umum. Tujuan dari kelompok tani hutan di KHDTK adalah ;

a) Dilandasi keinginan untuk bekerjasama dan memajukan usaha-usaha yang erat hubungannya dengan usaha tani.
b) Bisa berkebun di lahan negara (KHDTK) secara syah (legal formal).
c) Mudah diakomodasi untuk mendapatkan bimbingan dalam berbagai macam keterampilan dan kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
d) Agar tercapai hidup yang lebih sejahtera

Disamping itu tercapai juga kesepakatan kelompok tani mengenai beberapa permasalahan yang bisa cepat diselesaikan di kawasan KHDTK antara lain ;

a) Perlu pemasangan kawat/pagar di jalan utama menuju KHDTK untuk menghindari masuknya ternak.
b) Sapi atau ternak tidak boleh digembalakan secara liar di dalam kawasan
c) Perlu pemagaran kawat tiap kelompok agar batas tiap kelompok tani lebih jelas
d) Tiga bulan tidak efektif bekerja di kelompok terutama mengolah kebun atau lahan, maka akan diberikan sangsi yaitu dicabut hak kelolanya oleh KTH
e) Perlu ilaran/ sekat api untuk daerah-daerah yang rawan kebakaran.
f) Apabila terjadi kebakaran yang disebabkan oleh seseorang anggota maka diberikan sangsi pemecatan di kelompok tani dan di cabut izin pengelolaannya
g) Tidak boleh melakukan kegiatan membakar tanpa sepengetahuan pengurus kelompok tani

Sementara beberapa kesepakatan yang tidak tertulis dan harus di hormati oleh semua penggarap lahan antara lain :

a) Tidak boleh ada penebangan tegakan di kawasan KHDTK walaupun tegakan tersebut telah mati
b) Akan memberikan sangsi berat apabila ada anggota KTH di KHDTK yang melanggar dengan mengadili melalui forum massa.

Pada saat pembahasan hasil diskusi sebelumnya masyarkat sudah aktif untuk menyalurkan aspirasinya dan keinginan (potensi) tiap masyarakat bisa dikeluarkan dalam pembentukan kelompok tani dan pengurus kelompok, sehingga semua keputusan dan kesepakatan sudah berjalan lebih demokratis karena semua yang hadir sudah berani dan mempunyai hak yang sama dalam pengambilan suatu kesepakatan dalam pengelolaan KHDTK Borisallo yang lebih baik.

Dari Gambar 8 di bawah ini. menunjukkan bahwa KHDTK dikelola oleh kelompok tani, dengan ketentuan bahwa KTH sebagai pengelola harus berdasar pada rambu-rambu pengembangan hutan kemasyarakatan dari Balai Litbang Kehutanan Sulawesi, didukung oleh Pemerintahan Desa dan sebagai mitra atau pendamping adalah LSM Yasintu. Apabila ada suatu konflik antar KTH atau antar penggarap lahan maka akan diselesaikan intern oleh KTH sendiri, sedangkan apabila ada konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh KTH maka akan diserahkan pada Forum Massa untuk menyelesaikannya. Untuk mengawasi kinerja dari lembaga tersebut maka ada sebuah lembaga yang beranggotakan tokoh masyarakat melalui mekanisme Forum Massa. Setiap elemen yang ada dalam lingkup pengelolaan KHDTK harus saling berkoordinasi satu sama lain agar tidak terjadi beberapa hal yang bertentangan dengan program pengembangan social forestry yang akan dikembangkan di KHDTK Borisallo. Secara definitif KHDTK dikelola oleh 4 (empat) KTH dengan luasan sesuai dengan jumlah anggota dan luas lahan garapan masing-masing.

0g8

Gambar 8. Kelembagaan Pengelolaan KHDTK Borisallo Figure 8. Intitutional management in KHDTK Borisallo

Lain halnya model pengelolaan hutan dengan melibatkan semua pihak (multi stakeholder management), baik dari pemerintah pusat, daerah, desa, lembaga pengelola hutan desa, dan LSM. Setiap stakeholder mempunyai peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam pengelolaan KHDTK Borisallo.

Dari Gambar 9. di bawah ini, hubungan antar stakeholder pengelola KHDTK adalah membangun kerjasama yang saling menguntungkan, yang di koordinasikan dengan pihak-pihak yang terkait. Para stakeholder tersebut akan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menegaskan peran dan tanggung jawab dan hak-haknya dalam pengelolaan suatu kawasan sumber daya hutan. Kesepakatan-kesepakatan itu di desain berdasarkan persoalan spesifik (karakteristik) lokal, yang sangat berbeda antara wilayah satu dengan yang lainnya. Dimana masing-masing stakeholder mempunyai  peran dan tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan porsinya, dan hal ini kemungkinan besar akan dilaksanakan pada penelitian selanjutnya yaitu mengenai pola kemitraan (perjanjian kerjasama) sehingga masing-masing stakeholder sebagai pengelola KHDTK Borisallo mendapatkan kejelasan hukum (legal formal) yang saling menguntungkan.

0g9

Gambar 9. Pengelolaan KHDTK Borisallo oleh semua pihak yang berkepentingan dengan pembagian peran dan keuntungan. Figure 9. Management KHDTK Borisallo to interested multi-stakeholder with shearing authority and benefit

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

  1. Penetapan model kelembagaan berbasiskan masyarakat membutuhkan proses yang cukup panjang dan harus mengetahui permasalahan, harapan, tingkat kebutuhan, membangun persamaan persepsi dan tata nilai bersama agar bisa diakui dan didukung oleh semua pihak.
  2. Tingkat ketergantungan penggarap lahan yang rendah (rata-rata 43%), ditunjukkan dengan kontribusi pendapatan usaha tani yang berasal dari sumber daya yang ada di KHDTK Borisallo.
  3. Persepsi penggarap lahan terhadap fungsi, manfaat hutan, status kawasan, konversi lahan, penebangan liar dan tentang lingkungan KHDTK sebagai sebuah lembaga secara umum masih sangat rendah sehingga diperlukan pendampingan maupun pelatihan melalui lembaga yang terbentuk dalam rangka penguatan kelembagaan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia sehingga hutan tetap lestari.
  4. Adanya kedekatan areal lahan garapan, permasalahan pemagaran areal dengan kawat berduri dan pengembalaan liar ternak sapi oleh sebagian anggota sehingga membangun tata nilai bersama menjadi suatu kesepakatan dibentuknya lembaga (4 Kelompok Tani Hutan) dan beberapa aturan interen/kesepakatan bersama.
  5. Hambatan dalam pengembangan hutan kemasyarakatan kedepan adalah kelola kelembagaan dengan rendahnya SDM petani, KTH baru terbentuk dan belum adanya pengembangan kapasitas lembaga, belum adanya aturan intern tiap kelompok, belum adanya MOU antara petani dengan pemerintah (Daerah/Pusat) mengenai status kelola oleh kelompok.

B. SARAN

Dalam upaya pengembangan kelembagaan, perlu adanya pendampingan dan bimbingan yang intensif dan berkelanjutan baik dari pemerintah maupun dari LSM atau mitra lainnya. Selain itu diperlukan usaha peningkatan manajemen usaha tani dan permodalan dari pemerintah, serta perlunya dibuat suatu perjanjian kemitraan antara pemerintah dan penggarap lahan agar dalam pengelolaan kawasan sudah bisa bersifat legal formal (status hukumnya jelas), sehingga bisa mendukung usaha  social forestry di KHDTK Borisallo.

DAFTAR PUSTAKA

Center for International Forestry Research, 2002. Konsep, Penelitian Partisipatoris danPraktis. Langkah, Warta Penelitian Aksi Bersama ACM CIFOR Bungo – Jambi. Edisi 1. Maret 2002.

Badan Pusat Statistik, 2003. Kecamatan Parangloe Dalam Angka. Kabupaten Gowa. Provinsi Sulawesi Selatan.

Departemen Kehutanan, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta

Donie, 1996. Kajian Aspek Kelembagaan Pengusahaan Hutan Rakyat. Proyek Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Solo. BTP DAS. Surakarta.

Haddade, 2004. Pemberdayaan Masyarakat Melalui bantuan langsung Sebagai Salah Satu Luaran Perencanaan Pembangunan Pertanian. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kadir, dkk., 2003. Studi Diagnostik Pengembangan Social Forestry di SPUC Borisallo. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Tidak diterbitkan.

Pemerintahan Kelurahan Bontoparang, 2003. Potensi Desa Bontoparang. Kecamatan Parangloe. Kabupaten Gowa. Provinsi Sulawesi Selatan.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, 2000. Pedoman Survei Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). Badan Litbang Kehutanan dan Perkebuanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Republik Indonesia. Bogor.

Yoon, C., 2004. Participatory Action Research. Hasil Download Internet cyyoon1@swarthmore.edu. Selasa, 12 Februari 2004 jam 12.30 WITA.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.