Kelembagaan DAS

Sugeng Rianto

PERMASALAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM TATA KELOLA KEHUTANAN DI JAWA TENGAH

Oleh: Sugeng Rianto; Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah

Dalam: “Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari :

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa dan Jawa Tengah pada khususnya telah mengalami sejarah panjang sejak jaman penjajah Belanda pada abad 18 dengan berbagai pasang surut pengelolaan dan permasalahannya. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang diterapkan pada hutan negara pada masa setelah kemerdekaan masih berkiblat pada sistem pengelolaan kolonial Belanda yang bersifat sentralistik dan feodal. Penerapan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang sentralistik pada jaman demokratisasi saat ini ternyata tidak sesuai dan kontraproduktif dengan upaya pengelolaan sumberdaya hutan lestari.

Konflik sosial politik pada masa reformasi pada tahun 1997 yang mengusung semangat keterbukaan dan demokratisasi berimbas pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat sekitar hutan yang selama ini selalu menjadi penonton dan berada diluar sistem pengelolaan sumberdaya hutan berontak. Penjarahan dan perusakan hutan pada masa reformasi tidak terkendali. Pemerintah dan pengelola sumberdaya hutan tidak mampu melindungi sumberdaya hutan dari kerusakan akibat penjarahan yang dilakukan secara serempak.

Beberapa kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mendorong perilaku masyarakat untuk melakukan penjarahan atau membiarkan hutan dijarah adalah akibat dari sistem pengelolaan selama ini yang sentralistik dan tidak melibatkan partisipasi serta aspirasi masyarakat sekitar hutan. Masyarakat tidak memiliki akses yang cukup untuk turut serta dalam pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya hutan. Masyarakat sekitar hutan secara konsisten menjadi kelompok masyarakat yang marjinal dan kesulitan mendapatkan akses untuk mendapat manfaat dari kemajuan pembangunan.

Menyadari perubahan kondisi sosial politik maupun ekonomi dalam tata pemerintahan maupun kondisi sosial masyarakat, pengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani juga juga dilakukan perubahan mendasar. Sistem pengelolaan hutan sebelumnya yang memisahkan masyarakat sekitar  hutan dengan hutan itu sendiri diubah menjadi sistem pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat. Masyarakat sekitar hutan memiliki akses yang cukup untuk berinteraksi dengan hutan serta ditempatkan pada posisi sejajar dengan stakeholders lain dalam implementasi pengelolaan sumberdaya hutan.

II. PEMBERDAYAAN SOSIAL

Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Dalam kerangka pembangunan kehutanan, upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sisi : pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah. Ketiga, melindungi/memihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan saling menguntungkan.

Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini perlu diperkuat dan dimasyarakatkan lewat usaha-usaha nyata.

Sejalan dengan teori negara modern, maka negara merupakan wadah kelembagaan pembangunan yang dapat mengarahkan segenap instrumen pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Unsur pelaksananya adalah pemerintahan (birokrasi). Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah menjaga suatu sistem ketertiban sehingga masyarakat bisa menjalankan kehidupan secara wajar. Pemerintahan pada hakikatnya harus berorientasi pada public service.

Pemerintahan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan melayani masyanakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Karena itu, pemerintahan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat, sehingga pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik (the closer the government, the better it services).

Pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan dan pemihakan pada hakikatnya mempunyai prinsip concern, consistent, dan continuous sebagai berikut :

Pertama, concern. Pembangunan harus dipahami sebagai proses perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dengan mengingat sasaran dan prioritas pembangunan, yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia, perubahan struktur ekonomi, penanggulangan kemiskinan, dan stabilitas ekonomi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kebijakan pembangunan harus diarahkan pada upaya menanggulangi kemiskinan dan pemerataan pembangunan melalui pemberdayaan yang lemah. Komitmen ini harus menjadi visi seluruh komponen pembangunan, baik aparat pemerintah/birokrasi, dunia usaha, akademisi, pegiat kelompok swadaya masyarakat/ lembaga nonpemerintah, dan warga masyarakat.

Kedua, consistent. Kerangka kebijakan pembangunan yang termanifestasi dalam program-program pembangunan harus diselenggarakan secara terpadu, terarah, tepat sasaran, bermanfaat bagi segenap lapisan masyarakat, transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan berkesinambungan. Prinsip consistent dapat diwujudkan melalui langkah saling memahami masalah masingmasing dan mengatasinya secara bersama-sama sehingga jangkauan pendekatan pemberdayaan menjadi lebih luas.

Ketiga, continuous. Semua warga masyarakat dapat mengambil manfaat pembangunan secara berkelanjutan. Apabila masih ada warga masyarakat yang belum mengambil manfaat pembangunan, maka kebijakan dan programnya harus disempurnakan. Karena itu, inisiatif, dedikasi, dan keterbukaan harus senantiasa menjiwai setiap aspek pikir-ucap-tulis (kognitif), aspek sikap (afektif), dan aspek tindakan-menghasilan (psikomotorik) para pelaku pembangunan dengan niat “berbuat yang terbaik”.

Sasaran kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat adalah pemberdayaan ekonomi, khususnya ekonomi masyarakat berpendapatan rendah di pedesaan, mengingat sebagian besar penduduk miskin tinggal di pedesaan, dan mengurangi kesenjangan antarsektor sebagaimana terlihat pada makin melemahnya kontribusi dan produktivitas sektor pertanian dalam PDB maupun daya serap tenaga kerja di sektor pertanian. Dengan demikian, sasaran pokok kebijakan pemberdayaan masyarakat adalah: (1) meningkatnya pendapatan masyarakat di tingkat bawah dan turunnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, (2) berkembangnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kegiatan sosial ekonomi produktif masyarakat di pedesaan, dan (3) berkembangnya kemampuan masyarakat dan meningkatnya kelembagaan masyarakat baik aparat maupun warga.

III. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI JAWA TENGAH

Proses pembangunan partisipatif merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat sebagai upaya melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Dalam pelaksanaan program pembangunan kehutanan, keterlibatan atau partisipasi masyarakat secara langsung untuk mendapatkan manfaat pembangunan telah dilakukan dengan kadar keterlibatan dan besarnya manfaat yang diperoleh bervariasi. Salah satu program pengelolaan hutan partisipatif yang dikenal luas dan telah lama dipraktikkan dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa adalah Perhutanan Sosial.

Secara umum, Perhutanan Sosial atau social forestry dapat dipahami sebagai ilmu dan seni menumbuhkan pepohonan dan tanaman lain di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk mencapai tujuan ganda meliputi pengelolaan hutan lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Kartasubrata (1995), ada berbagai macam terminologi dalam konsep Perhutanan Sosial, di antaranya adalah “Prosperity approach”, “Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)”, “Hutan Kemasyarakatan (HK)”, “Perhutanan Sosial (PS)” dan “Kehutanan Masyarakat”. Meskipun terkesan mirip, Perhutanan Sosial dan agroforestry mempunyai pengertian yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa agroforestry adalah salah satu bentuk terpenting dari penerapan konsep PS. Agroforestry dapat dipahami sebagai suatu sistem penggunaan lahan dengan tujuan yang spesifik, sementara Perhutanan Sosial harus dipahami sebagai sistem pengelolaan hutan dengan tujuan sosial ekonomi yang spesifik. Melalui agroforestry, peserta PS diberi lahan garapan (andil) untuk ditanami tanaman pertanian di sepanjang lajur di antara tanaman kehutanan. Sebagai timbal balik dari lahan garapan yang diterima, peserta PS wajib ikut berpartisipasi dalam penanaman kembali pohon hutan dan pengamanan hutan.

Tujuan jangka panjang program PS di antaranya adalah memperbaiki kondisi lahan kritis, partisipasi aktif masyarakat lokal di dalam pembangunan hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, menyediakan kebutuhan masyarakat lokal dari dalam hutan, dan konservasi sumber daya alam. Sedangkan tujuan jangka pendek program PS adalah pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH), peningkatan keberhasilan tanaman (kehutanan dan pertanian), dan peningkatan pendapatan anggota KTH. Salah satu harapan penting dari program PS adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan di sekitar hutan. Setiap kebijakan bertujuan sosial, sebagaimana halnya PS, merupakan salah satu bentuk terpenting dari aplikasi konsep ekonomi kesejahteraan (welfare economics). Penduduk miskin adalah target utama program PS karena mereka sering kali diidentikkan sebagai agen perusakan dan penggundulan lahan hutan.

Ada dua capaian utama yang hendak dituju program PS dalam rangka meningkatkan taraf hidup penduduk miskin sekitar hutan, yaitu pertama, program PS harus melibatkan penduduk termiskin dari yang miskin sebagai peserta program PS. Kedua, program PS harus dapat meningkatkan pendapatan peserta PS. Proporsi kontribusi income dari program Perhutanan Sosial (PS) terhadap total income peserta PS sangat bervariasi dari tempat yang satu dengan tempat lainnya.

Pendapatan peserta PS dari agroforestry tergantung pada beberapa faktor di antaranya adalah teknik bercocok tanam, kondisi iklim, luas dan kualitas lahan garapan (andil), serta tentu saja ditentukan pula oleh harga dan pasar dari komoditas pertanian yang dihasilkan. Di samping faktor-faktor tersebut, curahan waktu kerja (time expenditure) petani di lahan garapan juga sangat berpengaruh terhadap jumlah kontribusi pendapatan yang diterima peserta PS.

IV. PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM TATA KELOLA HUTAN

Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya pandangan orang lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kebijakan adalah intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Kebijakan adalah upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan yang sudah dirumuskan. Kebijakan bisa juga merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan masalah lama.

Merangkum dari berbagai pengertian tentang kelembagaan, Djogo et al (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksud kelembagaan adalah:  “Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya (Djogo et al, 2003) adalah:

  1. Institusi sebagai landasan untuk membangun tingkah laku social masyarakat
  2. Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas
  3. Peraturan dan penegakan aturan/hukum
  4. Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota
    • Kode etik
    • Kontrak
    • Pasar
    • Hak milik (property rights atau tenureship)
    • Organisasi
  5. Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.

Dari berbagai elemen di atas dapat kita lihat bahwa definisi institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi. Tidak ada manusia atau organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat. Perpaduan antara berbagai pendekatan ini bisa menghasilkan analisis kelembagaan (institutional analysis) yang memadai. Apa implikasi dari pembangunan atau penguatan kelembagaan bagi tata kelola hutan? Kelembagaan (institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan kelembagaan (institutional arrangements) dan mekanisme kelembagaan (institutional mechanism).

V. PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

A. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Melalui PHBM

Kelestarian hutan di Jawa erat kaitannya dengan cara mengelola hutan. Mengelola hutan di Jawa bukan hanya mempraktekkan teknik-teknik kehutanan saja, namun harus juga memperhatikan sosial-ekonomi serta peran serta masyarakat sekitar hutan agar dicapainya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Upaya Pemerintah maupun Perum Perhutani untuk melibatkan masyarakat kawasan sekitar hutan dalam sistem Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berdasar SK Gubernur Jawa Tengah No. 24 tahun 2001 maupun SK Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani selaku Pengurus Perusahaan No: 136/Kpts/Dir/2001 tahun 2001 adalah suatu usaha untuk menyelamatkan sumberdaya hutan dan lingkungan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Sistem Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, menjadi salah satu bentuk pengelolaan hutan yang digunakan selama ini.

Pelaksanaan PHBM sebagaimana keputusan tersebut dilakukan dengan prinsip: keterbukaan, kebersamaan, keadilan, demokratis; pembelajaran bersama dan saling memahami; diselenggarakan dengan cara pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan prosedur yang sederhana; kerjasama dilakukan antar lembaga yaitu antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan dengan Perum Perhutani. Pelaksanaan PHBM berdasarkan Keputusan tersebut sesuai dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Apabila prinsip-prinsip yang terkandung pada PHBM dapat diterapkan sepenuhnya maka akan menimbulkan persepsi positif masyarakat terhadap hutan dan lingkungannya yang pada gilirannya dapat membangkitkan partisipasi masyarakat desa hutan dalam kegiatan PHBM. Suatu pengembangan sistem pengelolaan hutan yang baru dapat diterima dengan baik oleh masyarakat apabila pengelolaan hutan tersebut bisa menunjukkan hasil yang lebih baik dari cara pengelolaan hutan sebelumnya. Masyarakat mempunyai persepsi tertentu terhadap setiap usaha-usaha pengembangan dalam lingkungannya termasuk perubahan sistem pengelolaan hutan di desa pangkuannya. Hal ini dikarenakan perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa hutan.

Partisipasi mempunyai arti keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap fase kegiatan mulai dari perencanaan dan pengambilan keputusan, implementasi, evaluasi dan pemanfaatan, atas inisiatif sendiri, berdasarkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada masyarakat untuk menyelesaikan hal-hal yang dianggap sebagai hambatan dan merupakan bentuk inovatif dalam melihat peluang atas kebutuhankebutuhannya. Dalam implementasinya, partisipasi masyarakat yang dikehendaki tidak hanya pada tahap pelaksanaan saja, akan tetapi justru pada penetapan atau perencanaan kegiatan dan pelaksanaan hasil. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, khususnya dalam penetapan atau perencanaan kegiatan, kemungkinan besar akan terjadi berbagai hambatan pada tahap berikutnya. Dengan ikut aktifnya dalam perencanaan suatu kegiatan, warga akan merasa turut bertanggung jawab terhadap konsekuensi-konsekuensi dari kegiatan tersebut.

Dalam melakukan pengembangan terhadap partisipasi masyarakat perlu diadakan perbedaan antara bentuk partisipasi semu atau ritual dengan partisipasi yang memiliki kekuasaan nyata. Partisipasi masyarakat harus masuk pada wilayah perumusan kebijakan pemerintah, tidak hanya sebatas pada tataran implementasi kebijakan. Pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuasaan yang nyata untuk ikut menentukan kebijakan pemerintah, yang disebut sebagai tingkat kontrol masyarakat yaitu kekuasaan untuk mengarahkan (the power of directing). Oleh karena itu pemerintah harus membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan (get behind the scene).

Berkaitan dengan upaya mengembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan sumberdaya hutan lestari dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, maka partisipasi yang diharapkan adalah partisipasi interaktif dan mandiri, yang terdiri dari :

  1. Partisipasi interaktif (Interactive participation), yaitu masyarakat berperan-serta dalam menganalisa permasalahan dan mengembangkan rencana tindakan, serta penguatan institusi lokal. Keikutsertaan masyarakat tidak hanya untuk mencapai tujuan kegiatan saja, tetapi juga melalui proses pembelajaran yang sistematis.
  2. Mandiri (Self mobilization) yaitu peranserta masyarakat dengan mengambil prakarsa sendiri untuk mengubah sistem yang ada. Mereka mengembangkan hubungan dengan institusi eksternal terhadap sumberdaya yang ada dan minta nasihat teknis yang mereka inginkan, namun kontrol bagaimana menggunakan sumberdaya tetap ada pada mereka.

Dengan demikian persepsi masyarakat desa hutan terhadap PHBM harus dikembangkan menjadi makin positif serta tingkat partisipasi mereka terhadap kegiatan tersebut selama ini perlu ditingkatkankan ke tangga yang lebih tinggi melalui perencanaan, yang dalam hal ini perencanaan yang tepat adalah perencanaan yang bersifat partisipatif.

Dengan teori perencanaan partisipatif ini, secara teoritis sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dapat menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Prinsip tersebut mengisyaratkan bahwa sifat arogansi dan ketertutupan yang dilakukan oleh Institusi Pengelola Kawasan dalam mengelola hutannya harus telah mulai dihilangkan. Konflik yang terjadi akibat kedua hal tersebut dalam PHBM diharapkan dapat terhapus. Masyarakat sekitar hutan dapat merasakan manfaat hutan bagi kehidupannya, bebas dari rasa ketakutan dan kecemburuan sosial. Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka persepsi masyarakat sekitar hutan pada hutannya dan kepada Pemerintah maupun Institusi Pengelola Kawasan Hutan menjadi lebih positip, sehingga tumbuh rasa tanggungjawab dan rasa melu handarbeni terhadap kelestarian sumberdaya hutan di desa pangkuannya.

Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat adalah model pengelolaan hutan yang menjanjikan dalam menyelesaikan masalah masalah dalam pengelolaan hutan, karena mampu menjawab permasalah ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat desa hutan yang mempunyai dampak terhadap kelestarian lingkungan.

B. Kelembagaan Masyarakat dalam Implementasi Sistem PHBM

Mereview kembali pembahasan di depan bahwa kelembagaan memiliki makna yang lebih luas dari sekedar organisasi. Kelembagaan mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan masyarakat yang dikembangkan dalam tata kelola hutan di Jawa Tengah diwujudkan melalui implementasi sistem PHBM. Sistem PHBM telah membuka cakrawala baru pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa Tengah, dimana pola pengelolaan yang sentralistik dan konvensional yang telah lama dianut diubah menjadi pengelolaan yang berbasis masyarakat. Masyarakat sekitar hutan sebagai bagian penting dari unsur kelestarian sumberdaya hutan mendapatkan tempat yang semestinya dalam kedudukan yang sejajar dengan stakeholders lainnya.

Masyarakat sekitar hutan yang dimaksudkan memiliki kedudukan penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan diwujudkan dalam bentuk kelembagaan masyarakat desa hutan. Pengembangan kelembagaan masyarakat desa hutan yang menjadi bagian penting tata kelola sumberdaya hutan dimulai dari pembentukan wadah organisasi. Wadah atau organisasi yang merepresentasikan masyarakat desa hutan adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan atau lebih dikenal dengan singkatan LMDH.

Faktor-faktor lain yang mendukung kemajuan dan kemapanan kelembagaan masyarakat desa hutan di Jawa Tengah dalam kerangka pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan berkelanjutan meliputi :

  1. Kearifan lokal yang berkembang dalam kehidupan sosisal budaya masyarakat desa hutan dalam mengelola hutan menjadi norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat. Interaksi masyarakat sekitar hutan dengan hutan memberikan pembelajaran bagi masyarakat bagaimana memperlakukan hutan sebagai bagian kehidupan. Pemahaman masyarakat desa hutan yang muncul adalah bahwa kerusakan sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya akan menyebabkan kerusakan kehidupan tatanan hidup masyarakat sekitar hutan itu sendiri.
  2. Pembuatan perjanjian/kontrak kerja sama pengelolaan sumberdaya hutan antara Perum Perhutani dengan LMDH dalam jangka waktu satu daur dan selanjutnya bisa diperpanjang lagi memberikan pengaruh yang sangat baik, yaitu kepastian bagi masyarakat desa hutan untuk terlibat secara profesional dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kepastian jangka waktu pengelolaan, hak dan kewajiban, serta mekanisme lain yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari mendorong semua pihak yang terlibat untuk konsisten menjalankan perannya masing-masing sesuai fungsi dan kedudukannya.
  3. Aturan main organisasi LMDH dalam menjalankan aktifitas kelembagaan dan anggotanya dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Lembaga Masyarakat Desa Hutan. AD/ART tersebut menjadi pemandu bagi organisasi maupun anggotanya untuk menjalankan tugas dan fungsi dalam rangka mencapai tujuan.
  4. Pengelolaan sumberdaya hutan dengan sistem PHBM merupakan upaya untuk mengoptimalkan manfaat sumberdaya hutan dari sisi ekonomi, ekologi maupun sosial budaya bagi masyarakat desa hutan maupun masyarakat pada umumnya. Implementasi PHBM memberikan akses yang cukup bagi masyarakat desa hutan (LMDH) untuk mengambil manfaat secara langsung dari keberadaan sumberdaya hutan di wilayah hutan pangkuannya. Pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan secara kolaboratif antara Perum Perhutani dan LMDH memungkinkan masyarakat desa hutan menapatkan bagi hasil dari produksi/panen hasil hutan pokok yang diusahakan.

VI. PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI PHBM DI JAWA TENGAH

A. Perkembangan PHBM

Desa model PHBM dibentuk dengan tujuan sebagai pilot project implementasi PHBM di Jawa Tengah. Hal ini diharapkan dapat menjadi acuan implementasi PHBM di desa-desa hutan yang lain dengan tidak mengesampingkan potensi-potensi lokal yang ada di masing-masing desa hutan sehingga akan terbentuk desa PHBM dengan spesifikasi yang berbeda di setiap lokasi. Pada tahun 2002 s/d tahun 2003 Dinas Kehutanan memfasilitasi pembentukan desa model PHBM di 6 (enam) desa yaitu :

  • Desa Jegong, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora.
  • Desa Kalongan, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang.
  • Desa Penyarang, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap.
  • Desa Kertasari, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes.
  • Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas
  • Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo.

Pada desa model PHBM ini kemudian dibentuk kelembagaan yang akan melakukan perjanjian kerjasama pengelolaan hutan dengan Perum Perhutani KPH serta disusun rencana kerja tahunan maupun lima tahunan. Tahap pelaksanaan fasilitasi pengembangan PHBM oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah :

B. Pembentukan LMDH

Melalui proses pembelajaran di lapangan pada akhirnya ditemukan bentuk kelembagaan yang cocok bagi masyarakat desa hutan untuk berperan dalam pengelolaan hutan. Kelembagaan tersebut kemudian dikenal dengan nama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang merupakan sebuah lembaga yang terpisah dari pemerintahan desa. Lembaga ini adalah wadah bagi masyarakat desa hutan yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian hutan dan memiliki komitmen untuk bersama-sama mengelola hutan.

Dalam pembentukannya sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat desa hutan menyangkut kepengurusan, AD/ ART maupun nama yang dipilih untuk LMDH. Lembaga ini kemudian dinotariatkan agar memperoleh kekuatan dimata hukum. Lembaga ini pula yang nantinya akan mewakili masyarakat desa hutan untuk melakukan perjanjian kerjasama pengelolaan hutan dengan Perhutani setempat.

1. Pelatihan Pengelolaan Hutan

Pelatihan bagi, masyarakat desa hutan dilakukan untuk memberikan bekal kemampuan dalam mengelola hutan sehingga masyarakat desa hutan dapat mengoptimalkan peranannya dalam mengelola hutan. Disamping peningkatan kemampuan dalam mengelola hutan, masyarakat desa hutan dibekali juga dengan pengetahuan kewirausahaan, koperasi dan penguatan kelembagaan.

2. Perjanjian Kerjasama

Perjanjian kerjasama pengelolaan hutan dilakukan antara Perhutani setempat dengan LMDH sebagai wakil dari masyarakat desa hutan atau antara Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak lain yang berkepentingan. Perjanjian kerjasama ini juga dinotariatkan sebagaimana pembentukan LMDH.

Dalam perjanjian kerjasama dimaksud memuat aturan-aturan pengelolaan hutan, jangka waktu pengelolaan, obyek perjanjian, aturan bagi hasil serta hak dan kewajiban masyarakat desa hutan dan Perhutani dan pihak lain yang berkepentingan. Jangka waktu perjanjian adalah selama daur dan setiap tahun dapat dievaluasi.

Ketentuan kemitraan dalam pelaksanaan sistem PHBM adalah ”Kemitraan Sejajar” yang masing-masing pihak mempunyai peran, tanggung jawab dan hak secara proporsional. Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem PHBM meliputi :

  • Perum Perhutani
  • Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
  • Pihak lain yang terkait : Pemerintah, LSM, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, Lembaga Donor, dll.

3. Penyusunan Rencana Strategi

Rencana Strategis disusun dengan jangka waktu 1 (satu) dan 5 (lima) tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan arahan pengelolaan hutan secara bersama-sama dan dapat dilakukan evaluasi pelaksanaan pengelolaan setia tahunnya. Rencana tersebut memuat berbagai kegiatan yang akan dilakukan oleh LMDH maupun Perhutani menyangkut kegiatan silviluktur maupun berbagai kegiatan lain yang berupa usaha produktif.

Berawal dari pembentukan 6 desa model PHBM yang dibentuk pada tahun 2002 dan tahun 2003, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah mengembangkannya menjadi setiap RPH membentuk 1 (satu) desa model PHBM. Dalam perkembangan pelaksanaan PHBM di Jawa Tengah, sampai dengan akhir tahun 2006 tercatat telah terdapat lebih dari 1600 desa hutan di Jawa Tengah yang telah mengimplementasikan sistem PHBM di desanya dan akan terus berkembang sampai seluruh di seluruh desa hutan yang ada di Jawa Tengah yang berjumlah 2.018 desa. Hal ini tak lepas dari hubungan yang baik antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah sebagai pengelola kawasan hutan di Jawa Tengah, untuk terus berkomitmen melibatkan masyarakat desa sekitar hutan dalam mengelola hutan.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.