Kelembagaan DAS

Purwanto dan Paimin

TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRANSUNGAI: KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Oleh: Purwanto dan Paimin, Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Solo

Ringkasan

Permasalahan dalam pengeloaan ekosistem DAS timbul karena pemanfaatan sumberdaya dalam DAS melebihi kamampuan daya dukungnya. Hal ini akibat dari pertambahan jumlah penduduk, perubahan taraf hidup (kesejahteraan), tatanan sosial, politik, hukum, dll. Untuk itu Pengelolan Daerah Aliran Sungai (DAS) harus didasarkan pada prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang lestari secara menyeluruh dalam suatu ekosistem DAS.Pendekatan menyeluruh dalam pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang penting koordinasi antar sektor dalam penyusunan kebijakan, rencana makro dan meso serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, pemungutan manfaat, monitoring dan evaluasi pada skala implementasi. Tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) dapat digunakan untuk mengukur kinerja pengelolaan DAS. Namun demikian, pengelolaan DAS di Indonesia masih menghadapi kendala koordinasi kelembagaan, lemahnya penegakan hukum terutama tata ruang, mundurnya pendekatan pemberdayaan masyarakat, belum diukurnya efektifitas dan efisiensi dalam implenetasi kegiatan pengelolaan DAS, pemantauan output untuk akuntabilitas belum dilakukan secara rutin. Untuk itu sistem pembiayaan dalam kegiatan koordinasi perlu dirubah, pegakan hukum dalam implemetasi tata ruang, pemberdayaan masyarakat melalui gerakan sosial perlu digalakkan, efektifitas dan efisiensi perlu mendapat perhatian, dan pemantauan output perlu dilakukan sebagai akuntabilitas kegiatan implementasi pengelolaan DAS.

Kata Kunci: Pengelolaan DAS, good governance.

I. PENDAHULUAN

Sudah sejak lama, kondisi daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia teridentifikasi mengalami degradasi yang menyebabkan terjadinya bahaya erosi, sedimentasi, banjir dan tanah longsor. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada tahun 1976, dimulai upaya penanggulangan bencana tersebut secara intensif pada skala nasional melalui program Inpres/Instruksi Presiden reboisasi dan penghijauan. Namun demikian permasalahan tersebut terus benlanjut, malahan belakangan ini semakin luas sebarannya dan semakin sering frekwensi terjadinya. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pengelolaan DAS belum mampu mengatasi permasalahan dari dampak negatif pembangunan dalam suatu DAS.

Permasalahan dalam pengeloaan ekosistem DAS timbul karena pemanfaatan sumberdaya dalam DAS melebihi kamampuan daya dukungnya. Hal ini akibat dari pertambahan jumlah penduduk, perubahan taraf hidup (kesejahteraan), tatanan sosial, politik, hukum, dll. Untuk itu Pengelolan Daerah Aliran Sungai (DAS) harus didasarkan pada prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dalam suatu ekosistem DAS. Di sisi lain, Pengelolaan ekosistem DAS merupakan bagian dari pembangunan wilayah (Departemen Kehutanan 2001). Pembangunan wilayah menuntut kerterpaduan hulu-hilir, subsistem dengan sub sistem lainnya, sektor, stakeholders atau pihak-pihak yang berkepentingan.

Pendekatan menyeluruh dalam pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang penting koordinasi antar sektor dalam penyusunan kebijakan, rencana makro dan meso serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, pemungutan manfaat, monitoring dan evaluasi pada skala implementasi.

Karenan pengelolaan DAS terkait hulu-hilir, antar sektor, seluruh stake holders dan masyarakat maka dari aspek manajemen pemerintahan, pengelolaan DAS merupakan urusan publik yang harus dilakukan oleh pemerintah. Akibat tuntutan demokrasi, diperlukan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam pengelolaan DAS.

Makalah ini merupakan tinjauan umum tentang pengelolaan DAS yang didasarkan pada prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik. Tujuan makalah ini adalah memberi masukan kepada semua pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS tentang masalah-masalah tatakelola pemerintahan dalam pengelolaan DAS dan memberi saran-saran pemecahan masalah tersebut di atas.

II. KONSEP GOOD GOVERNANCE DAN PENGELOLAAN DAS

A. Good Governance

Difinisi Good Governance yang disampaikan World Bank adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Anonimus, 2007).

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Prinsip-prinsip good governance adalah sebagai berikut: 1). Memiliki visi strategis, 2). Tegaknya supremasi hukum, 3). Adanya partisipasi masyarakat, 4). Didukung oleh seluruh stakeholders, 5). Berorientasi pada konsensus, 6). Kesetaraan, 7). Efektifitas dan Efisiensi, 8). Transparansi dan 9). Memiliki akuntabilitas (Anonimus, 2007). Prinsip yang dianut Bappenas lebih banyak lagi yaitu ditambah: 1). Tanggung gugat, 2. Demokrasi, 3. Profesionalisme dan kompetensi, 4. Daya tanggap, 5. kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat, 6. komitmen pada pengurangan kesenjangan, 7. komitmen pada lingkungan hidup dan 8. komitmen pada pasar yang fair (Bappenas, 2003).

B. Pengelolaan DAS

1. Definisi DAS

Ada beberpa definisi DAS yang satu dengan lainnya saling melengkapi, antara lain: 1). Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004, BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 ayat 11), 2). Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau, 3). Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”, 4). Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests, dan 4). Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan ((Departemen Kehutanan 2001).

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentukpengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan yang sampai ke permukaan tanah akan terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran (Efendi, 2007).

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Efendi, 2007). Keteraduan biofisik tersebut menyebabkan daerah aliran sungai harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh menyeluruh yang terdiri dari sumber-sumber air, badan air, sungai, danau dan waduk yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan (Departemen Kehutanan 2001).

2. Definisi DAS Berdasarkan Fungsi

Efendi (2007) menyatakan bahwa dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.

3. Konsepsi Pengelolaan DAS Terpadu

Efendi (2007) menyatakan bahwa pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu DAS dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor, kekeringan dan lainlain. Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam menganalisa kinerja suatu DAS, kita tidak hanya melihat kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada di dalam DAS, misalnya mengukur produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksi hasil hutan kayu saja. Kita harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yang bersifat positif (produksi) maupun dampak negatif. Adanya keterkaitan antara suatu sektor/kegiatan pembangunan dengan kegiatan pembangunan lain, sehingga apa yang dilakukan pada satu sektor/komponen akan mempengaruhi kinerja sektor lain.

III. IMPLEMENTASI GOOD GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN DAS

A. Visi Strategis Pengelolaan DAS

Kebijakan nasional tentang pengelolaan DAS yaitu pemanfaatan sumberdaya alam DAS secara lestari, berkesinambungan, dan tetap mempertahankan kesinambungan lingkungan global, keadilan bagi masyarakat (hulu-hilir), mendorong pertumbuhan ekonomi, ketahanan nasional dan stabilitas politik. Prinsip dasar pengelolaan DAS adalah(Departemen Kehutanan 2001) :

  1. Pengelolaan DAS berupa pemanfaatan, pemberdayaan,pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumberdaya dalam DAS.
  2. Pengelolaan DAS berlandaskan pada asas keterpaduan, kelestarian, kemanfaatan, keadilan, kemandirian (kelayaan usaha), serta akuntabilitas.
  3. Pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
  4. Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip satu sungai, satu rencana, satu pengelolaan dengan memperhatikan sistem pemerintahan yang desentralisasi sesuai jiwa otonomi yang luas.

B. Supremasi Hukum Dalam Pengelolaan DAS

Permasalahan hukum yang dihadapi dalam pengelolaan DAS terutama adalah penggunaan lahan tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah baik Kota/Kabupaten maupun RUTR Propinsi. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang telah menjadi dilema. Banyak lahan yang seharusnya untuk kawasan lindung digunakan untuk perumahan dan atau lahan pertanian intensif, bantaran sungai digunakan untuk perumahan, pertokoan; kawasan rawan longsor digunakan untuk perumahan, kawasan produktif untuk lahan sawah diubah menjadi pemukiman; dll.

Banyak pemerintah daerah yang melakukan penggusuran tetapi menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Tindakan preventif untuk melarang penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tampaknya lebih penting untuk mengatasi masalah ini.

C. Dukungan Stakeholders

Stakeholders dalam pengelolaan DAS terdiri dari berbagai sektor dan antar Kabupaten/Kota maupun Propinsi. Stakeholders tersebut terdiri dari instansi pemerintah, swasta dan masyarakat serta sebagai kontrolnya adalah LSM dan pers. Koordinasi antar lembaga perlu diintensifkan. Sudah menjadi pendapat umum bahwa koordinasi mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan namun belum ada kajian yang dapat menjawab mengapa hal itu terjadi. Kajian kelembagaan PHBM di tiga Kabupaten (Boyolali, Kebumen dan Blora) menunjukkan bahwa ada beberapa hambatan dalam koordinasi antara lain: 1). Seseorang yang mewakili lembaganya hanya mau aktif dalam kegiatan yang direncanakan apa bila mendapatkan keuntungan finansial baik untuk lembaganya maupun dirinya. Solusi yang disarankan dari masalah ini adalah disediakannya pos pendanaan untuk sektor lain yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS yang besarnya disesuaikan dengan volume pekerjaan namun jumlah maksimumnya dibatasi 2). Terjadi informasi yang simpang siur (rush informastion) karena setiap sektor melakukan koordinasi sendiri-sendiri. Pada masalah ini disarankan agar koordinasi dilakukan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah baik Kota/Kabupaten, Propinsi, 3. Setiap sektor memiliki program masingmasing. Untuk itu peran Bappeda perlu diperkuat untuk merencanakan pembangunan keseluruhan sedangkan pengelolaan DAS hanya bagian  kecil darinya.

Koordinasi juga harus dilakukan antara pemerintah hulu dan hilir yaitu antara propinsi hulu dan propinsi hilir untuk DAS antar propinsi, antara kabupaten hulu dan kabupaten hilir untuk DAS antar kabupaten dan antara kecamatan hulu dan kecamatan hilir untuk DAS dalam satu Kabupaten. Pembagian peran dalam kegiatan pengelolaan DAS antar daerah administratif harus jelas. Paimin dkk. (2006) mengembangkan daerah administrsi dominan untuk penentuan daerah prioritas dalam penanganan permasalahan DAS. Prinsip ini seperti yang dikembangan Richardson (1977) dalam unit implementasi kebijakan pembangunan ekonomi regional.

Kompensasi hulu hilir untuk sharing pembiayaan dalam pengelolaan DAS kebnyakan masih merupakan wacana namun beberapa DAS sudah melakukannya seperti DAS Asahan, Cidanau, bebrapa DAS yang pengelolaan airnya oleh PT. Jasa Tirta (Brantas, Bengawan Solo, Citanduy, dll) dan di beberapa lokasi untuk sumber air minum PDAM Solo, PDAM Wonogiri, pemanfaatan sumber air di wilayah Perum Perhutani oleh masyarakat Bandung Utara. Untuk DAS yang kompensasi hulu-hilirnya belum dapat dilakukan dapat dilakukan fiscal policy . Pembagian dana alokaasi khsusus dari pemerintah pusat seperti GERHAN sebaiknya didasarkan pada besarnya masalah yang harus ditangani oleh daerah tersebut. Hal ini harus dibuktikan dengan data luas lahan kritis pada masing-masing daerah Kabupaten dan dipaparkan secra transparan kepada seluruh stakeholders.

Peranan LSM dan Pers sebagai middle class adalah sebagai institusi kontrol terhadap kegiatan pengelolaan DAS dan pembangunan pada umumnya. Kemandirian LSM dan Pers mutlak diperlukan agar mekanisme kontrol berjalan sebagaimana mestinya. Dalam kegiatan GERHAN misalnya, secara adminstratif LSM sebagai lembaga kontrol dan pendamping masyarakat tetapi mendapatkan pembiayaan dari kegiatan GERHAN itu sendiri sehingga mekanisme kontrol tersebut menjadi diragukan.

D. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan pengelolaan DAS dalam tataran implementasi. Kegiatan pengelolaan DAS tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. GERHAN misalnya, diharapkan merupakan gerakan sosial dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Insentif dalam kegiatan GERHAN dimaksudkan untuk mendorong masyarakat untuk merehabilitasi lahan di sekitar tempat tinggalnya. Penangan Model DAS Mikro (MDM) atau implementation basin hanya merupakan pilot project yang diharapkan dapat ditiru oleh masyarakat sekitarnya.

Permasalahan yang teramati dalam kegiatan GERHAN masih merupakan kegiatan proyek pada umumnya. Masyarakat diberi bibit yang pengadaannya dilakukan melalui tender. Hal ini bertentangan dengan jiwa gerakan sosial. Kondisi ini harus dikembalikan pada model INPRES PENGHIJAUAN tahun 1970-an, yang mengutamakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan penghijauan. Dalam INPRES PENGHIJAUAN, secara partisipasi masyarakat melalui kelompok tani diminta untuk menyusun Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Tahap berikutnya adalah menseleksi kebutuhan mana yang dapat dipenuhi oleh masyarakat secara swadana dan kebutuhan mana yang harus mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dari kedua sumberdaya tersebut kegiatan penghijauan dilaksanakan. Dengan mekanisme ini keswadayaan masyarakat akan timbul. Pembuatan kebun bibit desa (KBD) untuk kegiatan penghijauan merupakan keswadayaan yang sampai sekarang masih diingat oleh para pelaku INPRES PENGHIJAUAN tahun 1970-an.

Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi, partisipasi masyarakat diperlukan untuk memantau keberhasilan dan permasalahan yang timbul pada setiap tahapan yang mereka lakukan. Peranan pendamping seperti penyuluh dan LSM adalah mengarahkan dan mengembangkan potensi dan peluang yang belum dapat dilihat dan dikembangkan oleh kelompok tani, misalnya potensi pasar dan pengembangan hasil ikutan dari kegiatan penghijauan, dll. Pengalaman melakukan pendampingan di Bojonegoro dan Juwangi menunjukkan bahwa masyarakat tidak tahu persis potensi besar yang mereka miliki dan proses pemahaman tentang kegiatan yang dilakukan terjadi pasang surut dalam kurun waktu pembinaan.

Dalam membangun partisipasi masyarakat konsensus, kesetaraan, dan tranparansi harus dilakukan untuk menanamkan kepercayaan inisiator kegiatan kepada masyarakat. Disamping itu ketekunan dan keikutsertaan dalam pertemuan rutin masyarakat seperti pertemuan kelompok tani yang dilakukan bulanan atau slapanan (35 hari) merupakan media yang paling baik untuk mendukung keberhasilan program. Hal yang tidak kalah penting adalah membangun hubungan personal kepada tokoh-tokoh masyarakat merupakan invisible hand yang mendorong keberhasilan gerakan sosial tersebut.

E. Efektivitas dan Efisiensi

Penilaian efektifitas dan efisiensi belum banyak dilakukan pada kegiatan pengelolaan DAS. Pemantauan terhadap efektifitas kegiatan yang dipilih seperti banguan sipil teknis jarang dilakukan. Efektifitas bangun sipil teknis tersebut baru ketahuan setelah jangka waktu yang lama. Misalnya pembangunan dam-dam pengendali sedimen baru ketahuan kalau dam tersebut hampir penuh. Hal ini seharusnya dipantau berapa pengurangan sedimen yang diakibatkan pembangaunan dam tersebut. Untuk kegiatan konservasi vetgetatif pemantauan pertumbuhan tanaman relatif dilakukan secara rutin. Sedangkan kegiatan efisiensi kegiatan pengelolaan DAS yang dilakukan oleh pemerintah kurang mendapat perhatian karena sudah dipatron oleh kegiatan keproyekan.

F. Akuntabilitas

Akuntabilitas pengelolaan DAS dapat diukur dari produktifitas lahan dan dampak yang diakibatkan oleh kegiatan pengelolaan DAS seperti besarnya erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan, dan longsor. Indikator ini dapat diapkai untuk mengukur keberhasilan pengelolaan DAS yang dilakuikan langsung secara on side maupun off side. Indikator pada on side untuk mengukur keberhasilan implementasi skala mikro dalam kegiatan pengelolaan DAS sedangkan indikator yang diukur di off side dapat digunakan untuk menilai kegetian pengelolaan DAS oleh unit pemerintahan daerah yang ada di bagian lebih hulu.

IV. PENUTUP

Pendekatan menyeluruh dalam pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang penting koordinasi antar sektor dalam penyusunan kebijakan, rencana makro dan meso serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, pemungutan manfaat, monitoring dan evaluasi pada skala implementasi.

Tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) dapat digunakan untuk mengukur kinerja pengelolaan DAS. Namun demikian, pengelolaan DAS di Indonesia masih menghadapi kendala koordinasi kelembagaan, lemahnya penegakan hukum terutama tata ruang, mundurnya pendekatan pemberdayaan masyarakat, belum diukurnya efektifitas dan efisiensi dalam implenetasi kegiatan pengelolaan DAS, pemantauan output untuk akuntabilitas belum dilakukan secara rutin. Untuk itu sistem pembiayaan dalam kegiatan koordinasi perlu dirubah, pegakan hukum dalam implemetasi tata ruang, pemberdayaan masyarakat melalui gerakan sosial perlu digalakkan, efektifitas dan efisiensi perlu mendapat perhatian, dan pemantauan output perlu dilakukan sebagai akuntabilitas kegiatan implementasi pengelolaan DAS.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2007. Good Governnace. http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatgood governance&id=5.

Anonimus. 2007. Prinsip-prinsip Good Governance. http://www.transparansi. or.id/?pilih= lihatgoodgovernance&id=3

Asdak, C. 1999. Daerah Aliran Sungai Sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air Sebagai Indikator Sentral. Seminar Sehari PERSAKI: DAS Sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. Jakarta, 21 Desember 1999.

Bappenas. 2003. Prinsip-prinsip Good Governance. http://www.Goodgovernancebappenas. go.id/frame_1/frame_index_2.htm.

Linsey, K. 1980. Applied Hydrology. McGraw Hill Publication, Co. New Delhi.

Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutnaan Sosial. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Jakarta.

Efendi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. http://www.Bappenas.go.id/

Paimin, Purwanto, dan Sukresno. 2004. Sidik Cepat Degrasi Sub Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Richardson, H.W. 1977. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Terjemahan: Paul Sihotang. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.