Kelembagaan DAS

Rachman Effendi dan Sylviani

KAJIAN NILAI EKONOMI MANFAAT LOKAL HUTAN LINDUNG DI JAWA BARAT (LANDASAN TEORI)

Oleh : Rachman Effendi dan Sylviani

Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan, Balitbang Kehutanan, Puslit Penelitian Sosial Ekonomi  dan kebijakan Kehutanan Bogor, 13 September 2005

RINGKASAN

Degradasi hutan di propinsi Jawa Barat cukup tinggi akibat penebangan pohon legal maupun illegal secara berlebihan serta konversi menjadi lahan non-hutan. Hal ini telah dirasakan dampak negatifnya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, baik masyarakat di sekitar hutan maupun di hilirnya antara lain kekeringan, banjir dan tanah longsor terutama di Kabupaten Garut, Kuningan, dan Sumedang. Diperkirakan tinggal 10% dari luas wilayah Jawa Barat yang masih berupa hutan tutupan, sedangkan selebihnya berupa tanah kosong yang tidak berfungsi lagi sebagai hutan.

Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan hutan dan lahan untuk memberikan peran optimal bagi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Tulisan ini mengkaji nilai ekonomi manfaat lokal hutan lindung dan kawasan konservasi di Jawa Barat. Kajian lebih difokuskan pada landasan teori nilai ekonomi manfaat lokal dari kawasan, terutama air yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengetahui seberapa besar jasa lingkungan yang dikorbankan dan tidak pernah diketahui besarnya.

Besaran nilai ekonomi manfaat lokal sumber daya hutan (SDH) menunjukkan sejauh mana manfaat SDH, disamping itu bagi masyarakat dan kemungkinan peranannya terhadap sumber pendanaan bagi pengelolan SDH dan nilai tersebut dapat dijadikan dasar penetapan besaran pajak lingkungan yang dapat dikenakan. Pemerintah pusat atau daerah dapat memberlakukan pajak lingkungan (green tax) sebagai salah satu sumber pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung dan konservasi. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya peningkatan harga hasil hutan sehingga mengurangi dampak negatif terhadap eksploitasi besarbesaran terhadap hutan

Kata kunci : degradasi hutan, sosial ekonomi masyarakat, perlindungan hutan, nilai ekonomi, hutan lindung

I. PENDAHULUAN

Potensi sumber daya hutan propinsi Jawa Barat hasil dari pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) meliputi luas 767.547,30 ha (21,59% dari luas daratan Jawa Barat) yang terdiri dari hutan produksi seluas 393.117 ha, hutan lindung seluas 228.727,11 ha, dan hutan konservasi seluas 132.180 ha. Hutan lindung yang ada di Jawa Barat tersebar di beberapa kabupaten/kota sebagai berikut:

0t1

Pengelolaan kawasan hutan di Propinsi Jawa Barat dilakukan oleh Perum Perhutani seluas 675.409,40 ha (85,33%) berupa hutan produksi dan hutan lindung, sisanya berupa hutan konservasi seluas 116.109,93 (14,67%) dikelola oleh UPT Departemen Kehutanan yaitu Balai Taman Nasional dan BKSDA).

Selama ini pemanfaatan hutan sebagai penghasil kayu sudah sangat memprihatinkan. Pelaku pemanfaatan hutan tidak memperhitungkan secara seksama kerusakan ekosistem yang ditimbulkannya, yang kalau dihitung secara ekonomi akan lebih besar kerusakannya dibandingkan dengan nilai kayu yang dimanfaatkan. Degradasi hutan di propinsi Jawa Barat cukup tinggi akibat penebangan pohon legal maupun illegal secara berlebihan maupun konversi menjadi lahan non-hutan dan telah dirasakan dampak negatifnya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, baik masyarakat di sekitar hutan maupun di hilirnya antara lain kekeringan, banjir dan tanah longsor (terutama di Kab. Garut, Kuningan, dan Sumedang). Hal ini ditunjukkan oleh besarnya lahan kritis yang mencapai 170.593,43 (22.21%) ha di dalam kawasan dan 439.831,59 (15,78%) di luar kawasan pada tahun 2002. Diperkirakan hanya tinggal 10% dari luas wilayah Jawa Barat yang masih berupa hutan tutupan, sedangkan selebihnya berupa tanah kosong yang tidak berfungsi lagi sebagai hutan (Baplan Dephut, 2004). Karakteristik kawasan hutan di propinsi Jawa Barat sangat rentan terhadap penggunaan lahan yang salah. Curah hujan yang tinggi secara potensial akan meningkatkan daya erosi yang tinggi, sehingga memerlukan upaya konservasi yang serius. Kekayaan biologi kawasan hutan di Jawa Barat menyimpan potensi genetik yang tinggi yang berada pada kondisi klimatis secara fisik rentan terhadap perubahan penutupan lahan, sehingga kesalahan pemanfaatan ekosistem akan mengakibatkan selain hilangnya potensi biologi hutan yang dikandungnya juga akan menimbulkan dampak negatif di wilayah sekitar dan di hilir.

Tumpang-tindih serta inkonsistensi kebijakan pengelolaan sumber daya alam (SDA), khususnya pengelolaan hutan lindung antara Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA), Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Dinas Kelola Lingkungan terus berlanjut. Konflik masyarakat dan pemerintah memperburuk kondisi lingkungan dan sumber daya alam, partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan sangat kurang, pendapat mereka tidak mempengaruhi kebijakan yang ada, sehingga makin memperburuk kondisi lingkungan.

Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sumber daya hutan, kawasan non kehutanan tapi berfungsi sebagai hutan dan kawasan lindung maka sedang dibahas inisiatif penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Sumber Daya Air (PERDA PSDA) tingkat propinsi termasuk di dalamnya wilayah sepadan sungai oleh pemerintah daerah propinsi (PEMPROP) dan beberapa instansi terkait, dimana dalam pembahasannya mengarah pada privatisasi air. Pemerintah Daerah saat ini cenderung memanfaatkan sumber daya alam semata-mata untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa banyak melibatkan masyarakat. Hal ini menimbulkan konflik horizontal baru dan tidak meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber daya dan meningkatkan biaya ekonomi tinggi akibat pungutan dan retribusi, tidak ada partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan, pendapat mereka tidak diakomodasikan dalam kebijakan yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, sumber daya hutan di Jawa Barat perlu upaya perlindungan hutan dan lahan untuk memberikan peran optimal bagi kepentingan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Pembangunan ekonomi tidak akan berjalan dengan baik apabila daya dukung lingkungan di suatu kawasan tidak memadai. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk memanfaatkan dengan gratis (free of charges) air, udara bersih, pemandangan alam yang indah, rindangnya pepohonan yang memberi kenyamanan hidup, dan lain sebagainya. Untuk itu tulisan ini akan mengkaji nilai ekonomi manfaat lokal hutan lindung dan konservasi di Jawa Barat. Kajian lebih difokuskan pada landasan teori nilai ekonomi manfaat lokal dari kawasan terutama air, yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat.

Dalam hal ini nilai ekonomi hutan dapat diartikan sebagai karakteristik (kualitas) dari SDH yang membuat sumberdaya tersebut dapat ditukarkan dengan sumberdaya lain, dengan tujuan utama menentukan nilai secara komprehensif dan holistik dari SDH tersebut. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk perhitungan (1) kerugian dari dampak suatu kegiatan, (2) biaya pencegahan dampak, (3) tarif retribusi, (4) tarif/tiket masuk taman nasional, (5) tarif pajak sumberdaya, (6) kompensasi yang harus dibayar oleh pembuat kerusakan lingkungan, (7) alokasi investasi (asset) untuk tujuan pengelolaan, dan (8) analisis biaya manfaat suatu proyek.

II. MANFAAT HUTAN LINDUNG DAN KONSERVASI

Secara umum manfaat hutan dapat berasal dari penggunaan sumberdaya hutan secara langsung dimana manfaatnya dapat dinilai dengan harga pasar, seperti kayu, rotan dan lain sebagainya. Demikian pula manfaat lainnya seperti penggunaan untuk rekreasi/pariwisata, dapat dinilai, dan besaran nilainya sangat bergantung pada cara penggunaannya. Namun manfaat tidak langsung dari sumber daya hutan seperti mendukung aktifitas ekonomi, pertanian, perikanan, peternakan, transportasi, perhotelan, pengendali tata air, pengaturan iklim, mencegah erosi dan lain-lain sulit dinilai berdasarkan nilai moneter. Manfaat yang besar dari hutan tersebut dianggap sebagai manfaat sosial dan sulit dinilai berdasarkan harga pasar walaupun manfaat ini telah banyak diakui masyarakat. Dengan demikian maka keberadaan hutan lindung dan konservasi dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat di sekitar kawasan pada khususnya seperti digambarkan pada Gambar 1 di bawah ini :

0g1

Gambar 1. Keterkaitan Hutan Lindung dan Konservasi Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Cara penggolongan lain manfaat hutan lindung dan konservasi adalah : (1) Rekreasi/wisata, (2) Perlindungan terhadap DAS (watersheed) seperti pengendalian erosi, mengurangi kemungkinan terjadinya banjir, pengaturan aliran sungai, (3) Mengatur proses-proses ekologi, seperti menentukan sirkulasi nutrisi, mengatur formasi tanah, mengatur sirkulasi dan pembersihan udara dan air, memelihara kehidupan global, (4) Melindungi keanekaragaman hayati (biodiversity) seperti sumber plasma nutfah, perlindungan terhadap flora dan fauna, menjaga keragaman ekosistem, menjalankan proses evolusi, (5) Pendidikan dan penelitian, (6) Manfaat yang tidak untuk dikonsumsi seperti estetika, spiritual, budaya/sejarah, keberadaan saat ini tidak diketahui manfaatnya (existance value), (7) Nilainya dimasa yang akan datang (future value) seperti option value yaitu manfaat yang baru akan dapat digunakan pada masa yang akan datang. Yang perlu ditekankan dalam menilai manfaat dan fungsi hutan adalah bahwa fungsi dan manfaat hutan bukanlah generik, melainkan interpretatif. Fungsi dan manfaat hutan sangat tergantung pada individu atau kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap hutan tersebut.

Kelangkaan dapat digunakan sebagai konsep menentukan strategi untuk memperbaharui suatu kondisi, situasi, ataupun kinerja. Kelangkaan yang dimaksud bukan hanya ditentukan oleh sedikitnya jumlah suatu barang dan jasa tersebut, melainkan juga ditentukan oleh institusi pemilikan (property right) atas barang dan jasa, serta pengetahuan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dimaksud.

Cara menilai manfaat hutan dapat dilakukan dengan (1) Menggunakan harga pasar (market price), (2) Menggunakan surrogate market price, yaitu harga dari barang yang sangat erat kaitannya dengan barang yang sedang dinilai manfaatnya, (3) Melalui survei menanyakan harga manfaat hutan kepada sejumlah orang (survey based approach), (4) Berdasarkan pendekatan biaya (cost based approach) yaitu menghitung biaya seandainya manfaat hutan, misal air, dapat diproduksi oleh pabrik tertentu. Namun demikian, penilaian apapun yang digunakan sangat bergantung pada (1) Presepsi masyarakat terhadap hutan, (2) Hak-hak pemilikan atas sumberdaya hutan, dan (3) Pengetahuan masyarakat atas manfaat hutan tersebut.

III. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MANFAAT HUTAN

Identifikasi manfaat hutan lindung dan konservasi diklasifikasikan atas nilai guna langsung dan tidak langsung (use value), nilai harapan masa akan datang (option value) dan nilai keberadaan. Nilai ini merupakan presepsi individu atau masyarakat terhadap satu atau beberapa atau keseluruhan unsur ekosistem hutan. Berdasarkan pertimbangan lokasi individu atau masyarakat tersebut, maka nilai manfaat hutan ada yang bersifat lokal, regional/nasional maupun internasional/global. Pada kajian ini pengelompokan hanya dilakukan terhadap nilai-nilai manfaat lokal. Nilai-nilai manfaat lokal tersebut bersumber dari beberapa sumber manfaat atau nilai yaitu :

  1. Fungsi hidrologi yang memberi manfaat berupa air untuk a) kepentingan rumah tangga, b) kepentingan produksi, c) perlindungan terhadap aset produktif di daerah aliran sungai yang ada.
  2. Keanekaragaman hayati dengan status dilindungi maupun tidak dilindungi, yang memberi manfaat pelestarian ataupun harapan penggunaan di masa yang akan datang.
  3. Kondisi ekosistem hutan yang memiliki keindahan, kenyamanan yang memberi manfaat rekreasi alam.

Secara umum berdasarkan identifikasi manfaat lokal dari hutan lindung dan konservasi di Jawa Barat terdapat 3 (tiga) manfaat utama yaitu (1) air (hidrologi) terdiri dari air untuk keperluan rumah tangga dan produksi (pertanian); (2) sumberdaya hayati terdiri dari flora dan fauna; dan (3) Jasa wisata.

Analisis dilakukan untuk menilai manfaat ekonomi didasarkan pada presepsi masyarakat lokal, dimana dalam kajian ini lebih difokuskan pada manfaat air (hidrologis). Indikator nilai fungsi hidrologis adalah adanya pemanfaatan air yang bersumber dari atau berada di hutan lindung dan konservasi, antara lain untuk keperluan rumah tangga seperti air minum, air memasak, dan mandi, cuci, kakus (MCK), keperluan produksi (pertanian).

Indikator nilai fungsi sumberdaya hayati adalah adanya pemanfaatan penggunaan flora dan fauna antara lain untuk bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan, kayu bakar, hiasan dan lain sebagainya, nilai harapan masa datang (option value), dan nilai keberadaan (existence value) flora dan fauna. Pada umumnya pemanfaatan flora dan fauna oleh masyarakat lokal tidak disertai dengan pemahaman yang baik terhadap hubungan antara status hutan sebagai kawasan lindung dan konservasi dengan maksud pengelolaannya yang menekankan pada perlindungan dan pengawetan, dalam bentuk berbagai larangan pemanfaatan.

Indikator nilai fungsi jasa wisata adalah adanya pemanfaatan hutan sebagai objek wisata antara lain ditunjukkan dengan adanya wisatawan yang berkunjung ke lokasi hutan lindung dan konservasi dengan maksud piknik, berkemah atau rekreasi biasa.

IV. PRAKIRAAN NILAI EKONOMI MANFAAT LOKAL

Dengan mengetahui nilai masing-masing manfaat lokal dalam satuan Rp per unit yang berkenaan (berdasarkan presepsi masyarakat), maka nilai ekonomi manfaat lokal (NEML) dapat dihitung dengan dua pendekatan yaitu (1) konsumen (demand side) dan (2) produsen (supply side) dengan rumusan sebagai berikut :

  1. Pendekatan konsumen :
    Prakiraan NEML = Nilai per unit  X  konsumsi per KK  X  Jumlah KK pengguna
  2. Pendekatan produsen :
    Prakiraan NEML = Nilai per unit  X  potensi SDH di wilayah studi

Untuk menduga NEML air (hidrologi) dengan pendekatan produsen perlu diketahui debet air per satuan waktu (detik, menit, jam, hari, bulan atau tahun) yang dihasilkan dari hutan-hutan di wilayah yang akan dinilai manfaatnya. Sedangkan untuk menghitung nilai per unit air dilakukan pendekatan dengan menghitung biaya konservasi air di hutan lindung dan konservasi. Biaya konservasi air merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan kawasan hutan si suatu sub Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA) selama selama jangka waktu pemanfaatan sehingga dapat menjamin konservasi air di sub DAS atau DTA tersebut. Hal ini sesuai dengan PP No 22 tahun 1982 tentang pengaturan air dimana disebutkan bahwa setiap pembayaran atas penggunaan air dan atau sumber air bukan merupakan harga air itu sendiri tetapi sebagai ganti jasa pengelolaan dan pendayagunaan air dan atau sumber air dengan maksud agar dapat berfungsi secara lestari dan tidak ditujukan untuk mencari keuntungan (penjelasan pasal 41).

Pada kondisi yang memungkinkan pembayaran atas penggunaan air dapat diperhitungkan untuk mendapatkan nilai tambah (keuntungan) bagi perusahaan atau masyarakat.

Adapun biaya yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan hutan bagi sub DAS atau DTA meliputi (Perum Perhutani Unit III Jabar, 2003) : (a) biaya pembinaan hutan, (b) biaya perlindungan hutan, (c) biaya pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH), (d) Biaya beban PBB/retribusi, (e) biaya sarana prasarana pendukung lainnya.

Untuk memudahkan perhitungan biaya konservasi air dihitung selama jangka waktu 1 (satu) tahun atau rataan pengelolaan kawasan hutan per tahun. Untuk elemen yang dapat dinilai tergantung penyesuaian kondisi kawasan hutan setempat. Biaya konservasi untuk hutan lindung dan konservasi dengan kondisi vegetasi normal mempunyai fluktuasi debet air yang relatif normal sehingga biaya konservasi yang diperlukan relatif lebih rendah mengingat kegiatan rehabilitasi dan reboisasi hutan yang diperlukan lebih terbatas kecuali untuk kegiatan perlindungan hutan. Secara matematis perhitungan nilai air setiap liter atau m3 air dihitung dengan rumus :

NA = BK : VT

dimana :
NA = Nilai Air (Rp/m3)
BK = Biaya Konservasi Air selama 1 tahun (Rp/tahun)
VT = Volume Total air yang dihasilkan pada suatu sub DAS atau DTA selama 1 tahun (liter atau m3)

V. REKOMENDASI

  1. Hasil penilaian ekonomi manfaat lokal hutan lindung dan konservasi dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar jasa lingkungan yang dikorbankan dan tidak pernah diketahui besarnya, sehingga :
    (a) Ada anggapan bahwa jasa lingkungan dari hutan lindung dan konservasi tidak ada harganya, akibatnya pengorbanan atas kerusakan yang terjadi tidak pernah dimasukkan dalam kalkulasi biaya bagi masyarakat yang melakukan pemanfaatan SDH tersebut
    (b) Harga hasil hutan sebagai manfaat langsung menjadi cukup rendah (underprice), sehingga berakibat  meningkatkan konsumsi dan permintaannya, dan pada gilirannya meningkatkan pemanfaatan hasil hutan  tersebut
    (c) Pengelola SDH tidak mendapat sumber pendanaan untuk melakukan rehabilitasi kerusakan dan pengelolaan hutan lindung dan konservasi.
    Untuk itu dapat saja pemerintah pusat atau daerah memberlakukan pajak lingkungan (green tax) sebagai salah satu sumber pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung dan konservasi.
  2. Besaran nilai ekonomi manfaat lokal SDH menunjukkan sejauh mana manfaat SDH tersebut bagi masyarakat dan kemungkinan peranannya terhadap sumber pendanaan bagi pengelolan SDH dan nilai tersebut dapat dijadikan dasar penetapan besaran pajak lingkungan yang dapat dikenakan.
  3. Sebagai implikasi penerapan pajak lingkungan tersebut adalah kemungkinan terjadinya peningkatan harga hasil hutan dan untuk mengurangi dampak negatif terhadap eksploitasi besar-besaran terhadap hasil hutan akibat tingginya nilai jual maka diperlukan penataan kelembagaan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan lindung dan konservasi berupa penguatan hak masyarakat terhadap SDH

DAFTAR PUSTAKA

Balai Konservasi Sunberdaya Alam III Bogor, Dirjen PHPA Dephut. 1999. Suaka Alam dan Hutan Wisata di Wilayah Kerja Balai Konservasi Sunberdaya Alam III Bogor.

Dinas Kehutanan Prop. Jawa Barat. 2005. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2004. Bandung.

Dirjen PHPA, 1994. Laporan Inventarisasi dan identifikasi Flora dan Fauna TN Gunung Halimun (Cicenet – Cikaniki – Gunung Kendeng)

Santoso, J.T. 2001. Laporan P3H Leuweung Sancang – Papandayan KPH Ciamis, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.

JICA, PHPA dan LIPI. 1999. Gunung Halimun National Park Mesh Map – Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia (Mesh Map).

Nasendi, B.D. 1994. Socio economics of commodity and non commodity resource in forest management practices (Laporan).

Nugroho, Bramasto. 2000. Paparan Teoritis : Menghitung Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan. Majalah “SURILI” 20/2000.

Proyek-proyek Konservasi dan Pembangunan Terpadu di Jawa dan Sumatera, 1997. Laporan Lokakarya Keliling (A Travelling Workshop Report)

Perum Perhutani Unit III. 2003 Petunjuk Pelaksanaan Usaha Pemanfaatan SDH Perum Perhutani. Bandung jabar.

Perum Perhutani. 1999 Pedoman Pengelolaan Kawasan Lindung di Kawasan Hutan Perum Perhutani. Jakarta.

The Brazilian Atlantic Forest. 1997. The Economics of Biodiversity Conservation (A Ecomomia da Conservacao Na Mata Atlantica Brasiliera)

1 Comment »

  1. the good artikel

    Comment by ludiana — September 28, 2010 @ 8:16 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.