Kelembagaan DAS

Benny Rachman, dkk.

EKONOMI KELEMBAGAAN SISTEM USAHATANI PADI DI INDONESIA

Oleh: BENNY RACHMAN, SUPRIYATI, DAN SUPENA; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

ABSTRACT

This study was conducted in five regencies/rural which covered both java and outside java. This objective of this study are to get knowledge about the effect of policy government’s incentive and analyze Profitability Of rice farming. This results have important implications for Indonesia’s food policy, namely : (1) fertilizer market seem to be working well, as characterized by higher market competitiveness which increased efficiency, (2) in general, at five case districts gabah – rice market is quite well, as reflected by smaller marketing margin with a range 4 -6 % and restively competitive, (3) the performance at rice production cost showed that in both region have cooperative and competitive advantage to produce rice, for import substitutions. In order to improve the welfare at rice farmers the following factor should be taken into account, i.e. Input use balanced, reducing waste during harvest and postharvest, the improvement of gabah rendement, international improvement of input – output market, to enchance farmers accesibility to land, capital and technology, and diversified the source of household income, especially from off and non – agricultural activities.

Keywords : rural markets, fertilizer, rice, land, competitiveness

PENDAHULUAN

Sebagai komoditas pertanian yang memiliki nilai strategis, baik dari segi ekonomi, lingkungan hidup, sosial maupun politik, komoditas padi telah menjadi perhatian pemerintah, khususnya menyangkut kebijakan perdagangan internasional, distribusi, pemasaran dan harga domestik. Produk pertanian, khususnya padi/beras sesungguhnya tidak didasarkan pada prinsip persaingan dengan tatanan yang sama, dimana banyak negara memberikan dukungan dan perlindungan bagi petani domestiknya (Rachman et.al. 2002). Oleh karenanya, berbagai kalangan menganggap bahwa kebijakan fasilitas dan perlindungan pemerintah bagi petani produsen domestik dinilai masih relevan.

Di sisi lain, perubahan rejim pasar dari pasar terkendali ke pasar bebas menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar, hal ini secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan daya saing sistem usahatani domestik (PSE-DAI, 2001). Sehubungan dengan itu, perkembangan informasi kelembagaan pasar inputoutput dan status keunggulan komparatif dan kompetitif serta faktor yang mempengaruhinya perlu dikaji secara dinamis dalam mengantisipasi pergerakan nilai tukar dan harga komoditas pertanian di pasar internasional. Dengan pertimbangan aspek teknis dan ekonomis serta urgensinya, perumusan kebijakan dinilai sangat penting mengingat peranan strategis komoditas padi dalam ekonomi rumah tangga petani, perekonomian nasional dan kepentingan konsumen.

Basis informasi dalam studi ini diturunkan dari hasil survey ‘usahatani’ di lahan sawah di tujuh kabupaten yang tersebar di lima propinsi, yaitu Indramayu dan Majalengka (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa timur), Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Pemilihan ini didasari pertimbangan adanya perbedaan sistem usahatani menurut teknologi produksi. Dalam hal ini faktor pembeda teknologi adalah derajat pengendalian air yang berbeda menurut ketersediaan dan kehandalan sarana irigasi. Pengumpulan data usahatani di tingkat petani dilakukan pada musim hujan (MH 2001/2002) dan musim kemarau (MK-2002). Sedangkan informasi kualitatif mengenai pasar input-output pertanian di pedesaan dilakukan secara periodik mulai MH 1999/2000 sampai MH 2 2002/2003. Penggalian informasi kunci lainnya dilakukan secara berlapis di tingkat lokal dan pusat diantaranya, tokoh formal dan informal, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer dan usaha penggilingan (RMU).

ASPEK KELEMBAGAAN

A. Pasar Benih

Padi Struktur pasar benih dicirikan oleh: (a) Pangsa pasarnya terkonsentrasi pada dua BUMN, yaitu PT.Sang Hyang Sri (SHS) dan PT. Pertani, (b) terdiferensiasi dari segi kualitas, jenis varietas, dan tingkatan jenis benih Stock Seed (SS) dan Extension Seed (ES), (c) tidak adanya hambatan masuk-keluar pasar, dan (d) informasi harga benih menurut jenis dan kualitas relatif mudah diperoleh. Secara rataan pangsa produksi benih dari PT.SHS, PT.Pertani, dan Penangkar Swasta/Lokal masing-masing 44%, 20%, dan 36% (Rachman dan Sumedi, 2001). Benih berlabel umumnya digunakan petani pada MH, namun pada MK sebagian besar petani menggunakan benih tidak berlabel, yang berasal dari hasil panen sebelumnya, pertukaran antar petani, ataupun membeli dari pasar lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel hanya berjalan efektif pada MH dan sebaliknya kurang efektif pada MK.

Petani cukup respon terhadap benih SS, kendatipun dari segi harga lebih mahal dari benih jenis ES. Benih padi jenis SS memiliki kualitas , daya tumbuh dan kemurnian varietas yang tinggi. Tingginya respon petani terhadap penggunaan benih padi jenis SS dapat dipandang sebagai fenomena positif maupun negatif. Segi positifnya, petani sangat respon terhadap kualitas benih yang ditanamnya, sedangkan segi negatifnya adalah dapat menghambat penyebaran penggunaan benih ES, mengingat hingga saat ini PT.SHS dan PT.Pertani hanya mampu memasok sekitar 64% benih ES, dan sisanya dari pihak swasta. Sementara itu, pihak swasta cenderung tertarik memproduksi benih jenis SS karena respon pasar terhadap permintaan benih jenis ini cukup tinggi.

Secara rataan marjin keuntungan yang diperoleh para pelaku tataniaga benih padi relatif bervariasi. Marjin keuntungan yang diperoleh PT.SHS dan PT.Pertani sebesar RP 70/kg atau sekitar 2,6 persen dari harga pokok produksi. Besarnya marjin keuntungan yang diperoleh distributor, sub distributor dan pengecer berturut-turut 3,1 persen, 3,9 persen, dan 4,6 persen terhadap harga pokok produksi. Marjin keuntungan tingkat pengecer relatif tinggi, namum volume benih yang dijual sangat kecil (PSE, 2001).

B. Pasar Pupuk

Memasuki musim tanam (MT 1997/98), distribusi pupuk mengalami kemelut sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang memberlakukan pola dualisme dalam distribusi dan pemasaran. Distribusi pupuk untuk usahatani tanaman pangan dimonopoli oleh pemerintah dengan harga bersubsidi, sedangkan pupuk untuk usaha perkebunan tanpa subsidi pemerintah, sehingga hal ini berdampak pada mis-alokasi penyaluran pupuk. Kecenderungan mengalirnya pupuk bersubsidi ke usahatani non pangan membawa implikasi berkurangnya ketersediaan pupuk untuk usahatani tanaman pangan, dan kerapkali hal ini dikaitkan dengan isu kelangkaan pupuk (Rachman, 2002).

Dalam upaya menciptakan peningkatan efisiensi dalam tataniaga pupuk, pemerintah menerapkan paket kebijaksanaan Desember 1998 yang meliputi : (a) menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan dan perkebunan, (b) menghapus secara penuh subsidi pupuk, dan (c) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pendatang baru. Setelah itu, harga pupuk tidak lagi diatur oleh pemerintah, tetapi 3 sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan demikian, pupuk Urea yang diperdagangkan di pasar domestik merupakan pasokan dari berbagai industri pupuk dalam negeri atau asal impor.

Kondisi ini memberi dampak positif bagi petani : (a) pupuk tersedia dalam jumlah yang cukup di tingkat petani, dan jarang terjadi kelangkaan pupuk, (b) harga pupuk relatif stabil, dan (c) berkembangnya kios-kios pengecer pupuk dengan harga kompetitif. Sedangkan, dampak negatif dari kebijakan tersebut : (a) dengan mahalnya harga pupuk, membawa konsekuensi munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun diragukan kualitasnya, dan (b) menurunnya penggunaan pupuk SP-36, KCL, dan ZA oleh petani.

Paska kebijakan, mekanisme pasar pupuk berjalan lancar, efisien dan pupuk senantiasa tersedia di tingkat petani. Memasuki MH 00/01 hingga MH 02/03, rata-rata harga Urea di tingkat petani cenderung meningkat dari Rp 1.100/kg menjadi Rp 1.400/kg, sementara harga SP-36, KCL dan ZA relatif stabil. Kenaikan harga Urea tertinggi di tingkat petani terjadi pada MK 2002 dan MH 02/03 dengan kisaran harga Rp 1.350 – Rp 1.400 per kg (Tabel 1). Adanya dugaan praktek penyelundupan ekspor pupuk ke luar negeri tampaknya sulit untuk dipahami mengingat pada periode tersebut (MK-1) harga pupuk di pasar internasional mengalami penurunan, sementara rupiah mengalami apresiasi (logikanya justru terjadi penyelundupan impor pupuk).

0t1

C. Pasar Kredit

Pasar kredit di pedesaan tersegregasi menjadi dua segmen terpisah, yaitu pasar kredit formal dan kredit informal. Lembaga keuangan formal jarang dimanfaatkan petani untuk membiayai usahatani padi, mengingat petani umumnya tidak memiliki jaminan yang memadai, disamping kebutuhan modal usahatani padi relatif tidak besar, sehingga dapat dipenuhi dari modal sendiri. Pasar kredit informal melayani kredit volume mikro dan tanpa persyaratan formal, namun bunganya sangat tinggi.

Petani di wilayah studi membiayai usahataninya dengan modal sendiri berkisar 50-70 persen (MH 00/01), meningkat menjadi 65-90 persen (MH 01/02). Sebaliknya, petani yang memanfaatkan jasa perkreditan mengalami penurunan, yaitu dari kisaran 30-50 persen menjadi sekitar 10-35 persen (Tabel 2). Penurunan ini terjadi pada semua jenis kredit, baik pada jenis kredit program bersubsidi dari pemerintah, formal maupun informal. Dirinci menurut sumber kredit, tercatat kurang dari 5 persen petani di wilayah studi memanfaatkan kredit informal dari pelepas uang (suku bunga 120 persen per tahun), dari RMU/padagang saprodi sekitar 7 persen (suku bunga 40 persen per tahun). Khusus di wilayah Jawa, partisipasi petani memanfaatkan kredit dari lumbung desa sekitar 6 persen (dengan suku bunga 30 persen per musim). Sementara itu, petani yang mendapatkan kredit program bersubsidi (KUT/KKP) sekitar 13 persen dengan suku bunga 10,5-12 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa jangkauan kredit program bersubsidi yang dicanangkan pemerintah sangat terbatas.

0t2

Ketidaksempurnaan dalam pasar kredit di pedesaan tidak berpengaruh nyata terhadap usahatani padi. Hal ini didasari pemikiran bahwa keluarga tani umumnya relatif mampu memenuhi kebutuhan modal kerja usahataninya, disamping nilai modal yang dibutuhkan relatif kecil, sehingga tidak membutuhkan kredit eksternal. Pembiayaan sendiri lebih efisien karena suku bunga tabungan jauh lebih rendah daripada suku bunga kredit pinjaman.

D. Pasar Lahan

Secara umum rata-rata luas pemilikan lahan sawah di pedesaan Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten, Kediri, dan Ngawi) tergolong sempit berkisar 0,37 – 0,45 hektar, sementara rata-rata luas garapan berkisar 0,43 – 0,65 hektar. Sedangkan di luar Jawa (Sidrap dan Agam), rata-rata pemilikan dan penggarapan lahan relatif lebih luas dibanding di pedesaan Jawa, berkisar 0,50 – 0,70 hektar dan 0,92 – 1,10 hektar (Tabel 3). Relatif kecilnya pemilikan lahan menyebabkan pasar jual-beli lahan sawah sangat terbatas, sehingga peningkatan luas usahatani padi melalui pembelian lahan sangat sulit karena penawarannya terbatas dan harganyapun sangat tinggi berkisar Rp 85 juta/ha (tadah hujan) hingga Rp 175 juta/ha (irigasi teknis). Petani dapat menambah atau mengurangi luas lahan usahataninya secara temporer (semusim atau setahun) dengan cara sakap-menyakap (share cropping).

0t3

Indikator lain yang membuktikan bekerjanya mekanisme pasar lahan adalah fleksibilitas harga sewa tunai dan adaptabilitas institusi sakap-menyakap lahan. Harga sewa tunai lahan sawah berubah menurut waktu dan bervariasi menurut jenis kesuburan lahan sesuai dengan perubahan dan perbedaan rente lahan. Sewa lahan berkisar Rp 1,2 juta/ha/musim (tadah hujan) hingga Rp 1,8 juta/ha/musim (irigasi teknis). Sementara itu, institusi sakap-menyakap mengalami pergeseran secara evolutif sesuai dengan perubahan rente lahan, resiko usahatani dan kesempatan kerja di luar usahatani. Namun demikian, karena luas baku sawah terbatas dan cenderung menurun, maka pasar sakap-menyakap lahan tidak dapat mengatasi masalah kecilnya rata-rata skala usahatani. Kecilnya skala usahatani padi bukanlah akibat dari tidak bekerjanya pasar lahan, tetapi merupakan implikasi logis dari terbatasnya ketersediaan sawah dan lapangan kerja di luar usahatani.

Pola sewa tunai cenderung semakin dominan dengan menggeser pola bagi hasil tradisional (maro). Pada pola bagi hasil (maro), ongkos tenaga kerja ditanggung penyakap, biaya sarana produksi ditanggung bersama penyakap dan pemilik lahan. Sistem ‘bagi hasil’ umumya dilakukan pada lahan sawah irigasi sederhana dan tadah hujan, sementara pola sewa tunai lebih banyak terjadi pada lahan irigasi teknis dan ½ teknis. Pola ‘maro’ merupakan pola yang paling menguntungkan penyakap diantara pola bagi hasil lainnya, yaitu pola ‘merempat’ dan ‘mertelu’ yang keberadaannya semakin memudar.

E. Pasar Gabah/Beras

Struktur pasar gabah/beras cukup kompetitif yang diindikasikan oleh banyaknya jumlah pembeli, sistem pembayaran secara tunai, dan tidak adanya ikatan permodalan yang menjadi sumber distorsi pasar. Sistem pemasaran juga dinilai efisien yang diindikasikan oleh bagian harga yang diterima petani mencapai 81,8 persen dari harga eceran di pasar kabupaten. Biaya pengolahan dan transportasi mencapai 11,5 persen dan keuntungan pelaku tataniaga 6,7 persen (PSE-DAI,2001). Marjin pemasaran dan pedagang yang moderat, dan tidak adanya hambatan masuk-keluar dalam usaha pemasaran, maka pemasaran gabah-beras di wilayah studi cenderung kompetitif.

DAYA SAING DAN KEBIJAKAN INSENTIF

Penerimaan untuk manajemen usahatani padi di Jawa secara finansial berkisar 13,7% – 23,5% dan di luar Jawa berkisar 25,9% – 37,3% (Tabel 4). Penerimaan untuk manajemen usahatani padi secara ekonomi (tanpa adanya distorsi pasar) menguntungkan dengan tingkat profitabilitas 2,6% – 15,6% (di Jawa) dan di luar Jawa berkisar 6,5% – 33,6%. Pada kondisi tidak adanya distorsi pasar, rataan profitabilitas ekonomi yang diterima petani tergolong rendah bila dibandingkan dengan adanya kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dipahami bila dikaitkan dengan adanya berbagai bentuk perlindungan dari pemerintah, khususnya menyangkut tarif impor dan subsidi benih padi. Harga beras ditetapkan lebih tinggi dari harga paritas impor, sehingga melalui kebijakan tarif impor beras sebesar Rp 430/kg menyebabkan harga beras domestik setara dengan beras di pasar internasional.

0t4

Usahatani padi domestik masih memiliki daya saing, sebagaimana tercermin dari koefisien DRCR dan PCR masing-masing berkisar 0,81 – 0,97, dan 0,78 – 0,83 (untuk wilayah Jawa), sementara untuk luar Jawa berkisar 0,63 – 0,93 dan 0,60 – 0,71. Temuan ini menunjukkan bahwa, di Jawa maupun di luar Jawa yang secara tradisional merupakan daerah sentra produksi padi masih mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif untuk menghasilkan padi (Tabel 5).

0t5

Selanjutnya, analisis dekomposisi input produksi menunjukkan bahwa pada MH harga Urea, SP-36 dan ZA yang dibayar petani lebih mahal dari harga sosialnya dengan tingkat proteksi nominal negatif masing-masing 4%, 15%, dan 21%. Sedangkan untuk MK petani cenderung membeli harga Urea, SP-36 dan ZA lebih murah masing-masing 15%, 3% dan 2% dari harga sosialnya (Tabel 6).

0t6

Secara umum petani menikmati proteksi harga output dari pemerintah, sebagaimana tercermin dari nilai koefisien proteksi nominal terhadap output (NPCO) yang lebih besar dari satu, dengan kisaran 1,06 – 1,28. Ini berarti bahwa produsen padi domestik menerima harga lebih tinggi sekitar 6-38 % dibanding harga paritas impor atau dengan transfer output positif berkisar Rp 238 ribu – Rp 1,03 juta. Meskipun pada MH petani membayar tradable input 8 lebih tinggi dari harga paritas pasar dunia, namun di lain pihak petani juga menerima proteksi harga output yang memadai, sehingga efek kumulatif dari kebijakan pemerintah bagi sistem usahatani padi dinilai cukup efektif di tingkat petani. Dengan demikian, secara keseluruhan, petani memperoleh proteksi efektif (EPC) dari pemerintah dengan kisaran 7-32 persen dengan net transfer berkisar Rp 262 ribu – Rp 975 ribu (Tabel 7).

0t7

STRUKTUR PENDAPATAN

Sektor pertanian masih merupakan tumpuan pendapatan bagi rumah tangga petani. Hal ini dicirikan dari : (a) Rataan kontribusi sektor pertanian di Jawa dan luar Jawa terhadap total pendapatan rumah tangga masing-masing 61% dan 64%, sedangkan non-pertanian hanya menyumbang sebesar 39% (Jawa) dan 36% (luar Jawa), (b) Usahatani padi menyumbang 25 % (Jawa) dan 30% (luar Jawa) terhadap total pendapatan rumah tangga (Tabel 8).

0t8

Dominannya sektor pertanian bagi pendapatan rumah tangga petani tercirikan pula dari curahan kerja anggota keluarga yang tergolong tinggi. Rataan curahan kerja pertanian di Jawa mencapai 66% dan 71% untuk luar Jawa (Rachman dan Sudaryanto. 2001). Semakin tinggi curahan kerja di aktivitas berburuh tani seiring dengan semakin sempitnya lahan garapan, dan sebaliknya. Fakta ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja non-pertanian di pedesaan sangatlah terbatas, sebagaimana terefleksi dari rendahnya curahan kerja anggota keluarga di non-pertanian, yaitu 34% dan 29% masing-masing untuk Jawa dan luar Jawa.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

  1. Daya saing usahatani padi domestik sangat sensitif terhadap tingkat produktivitas, tingkat harga di pasar dunia, dan perubahan nilai tukar rupiah. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah perbaikan efisiensi usahatani melalui : (a) penerapan teknologi spesifik lokasi, (b) rasionalisasi penggunaan sarana produksi, dan (c) perbaikan manajemen usahatani.
  2. Dengan terbatasnya ruang peningkatan efisiensi sistem pemasaran gabah/beras, maka upaya yang perlu dilakukan adalah : (a) pemantapan pelaksanaan program stabilisasi harga gabah/beras; (b) perbaikan rendemen gabah ke beras pada industri pengolahan (RMU); (c) reorientasi pengolahan dan pemasaran beras dengan sasaran beras berkualitas.
  3. Kombinasi kebijakan land-base dan non-land-base agriculture dalam ‘crops livestock system’ (CLS) merupakan salah satu alternatif yang dipandang relevan dan perlu dikembangkan dalam menunjang kesejahteraan keluarga serta mengatasi sempitnya pemilikan lahan usaha.

Implikasi Kebijakan

  1. Posisi tawar petani melalui penguatan infrastruktur pasar (fisik dan kelembagaan) perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan secara efektif kebijakan harga. Kerjasama dengan investor (RMU, PT.SHS, PT.Pertani, dan lain-lain), petani perlu didorong untuk 10 memproduksi beras berkualitas yang memiliki prospek pasar yang baik dengan tingkat harga yang stabil.
  2. Peningkatan kinerja industri benih perlu diupayakan melalui: (a) perbaikan pelaksanaan sertifikasi, (b) program restrukturisasi industri benih melalui peningkatan peran penangkaran swasta, (c) ketersediaan dana dan fasilitas yang memadai guna menunjang terobosan teknologi benih dalam upaya mengatasi gejala stagnasi inovasi teknologi lembaga penelitian, dan (d) adanya kejelasan ‘hak patent’ bagi para breeder dalam menemukan suatu varietas baru.
  3. Guna mendukung mekanisme pasar pupuk bekerja baik perlu difasilitasi dengan beberapa instrument : (a) perbaikan sistem sertifikasi sehingga petani terhindar dari pemanfaatan pupuk palsu, (b) peningkatan efisiensi dan daya saing industri pupuk dalam negeri perlu terus diupayakan agar mampu berkompetisi dengan pupuk impor, dan (c) monitoring harga dan pasar pupuk secara periodik oleh pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pupuk di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

PSE-DAI (2001). Policy Adjustment on Rice Farming in Indonesia. Bappenas – USAID.

PSE, 2001. Kajian Subsidi Benih Padi. Badan Litbang Pertanian.

Rachman, Benny.dan Sumedi 2001. Kelembagaan Pasar Benih Padi. Puslitbang Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Rachman, Benny dan Tahlim Sudaryanto 2001. Kemampuan Daya Saing Padi di Indonesia Jurnal Sosio-Ekonomika. Universitas Lampung.

Rachman, Benny. 2002. Evaluasi Kebijakan Distribusi dan Harga Pupuk di Tingkat Puslitbang Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Rachman, Benny, Rusastra, Saptana, HP.Salim, Supriyati. 2002. Profil Usaha Pertanian di Indonesia. Bappenas.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.