Kelembagaan DAS

Tri Widodo W. Utomo

ANALISIS MASALAH DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERKOPERASIAN DAN USAHA KECIL MENURUT PENDEKATAN “INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS”

Oleh: Tri Widodo W. Utomo

Pendahuluan

0g1

Keberadaan pengusaha pribumi yang merupakan mayoritas pelaku ekonomi nasional pada level menengah kebawah, perlu mendapat perhatian seraca serius dari pemerintah. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, secara kuantitatif jumlah mereka cukup besar, yang mayoritas melayani secara langsung kebutuhan sehari-hari masyarakat luas. Perkembangan jumlah unit usaha industri kecil ini, sejak tahun 1983 sampai dengan tahun 1991 telah terjadi pertambahan dari 1,55 juta unit menjadi 1,92 unit usaha. Kedua, secara total asset mereka memiliki kontribusi dan potensi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Pada periode 1983-1991, nilai produksi industri kecil ini meningkat dari Rp 6,88 trilyun menjadi Rp 12,90 trilyun (Prawiranegara, 1998 : 4).

Hal ini menunjukkan bahwa para pengusaha di level bawah, tidak dapat diabaikan begitu saja, melainkan harus dikembangkan semaksimal mungkin. Dalam kaitan ini, Naisbitt (1993) bahkan berani memastikan bahwa pada era global mendatang, semakin besar ekonomi dunia justru semakin kuatlah peran para pemain terkecilnya (the bigger the world economy, the more powerful its smallest players). Artinya, dalam era dimana informasi sangat memegang peranan, maka dengan berbekal informasi yang memadai ini tidak dibutuhkan struktur dan manajemen yang besar.

Dengan alasan seperti ini, maka sudah selayaknya apabila para pengusaha kecil dan koperasi dibina, sehingga dapat mengembangkan usahanya. Pengembangan usaha kecil dan koperasi sekaligus diharapkan dapat mengurangi kesenjangan sosial maupun kesenjangan ekonomi (socio economic disparity) antara pengusaha lemah dengan pengusaha kuat.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka tulisan ini mencoba menganalisis kebijakan pembinaan pengusaha kecil dan koperasi dengan menggunakan model analisis kebijakan Daniel Bromley, baik pada policy level, organizational level, maupun terutama pada operational level dengan pattern of interactions-nya. Disamping itu, makalah ini juga mencoba menemukan crucial problem dan alternatif pemecahannya untuk masa yang akan datang.

Kebijakan Pembinaan Pengusaha Kecil & Koperasi Dalam Model Analisis Kebijakan BROMLEY

Analisis terhadap produk suatu kebijakan publik (dalam hal ini mengenai pengembangan usaha kecil dan koperasi) dapat didekati dengan menggunakan konsepsi Bromley yang pada dasarnya membagi tingkatan satu kebijakan kedalam tiga jenang atau tiga level, yakni policy level, organization level, dan operational level.

Dari model proses kebijakan Bromley ini dapat dijelaskan bahwa pada tingkat politis, terdapat lembaga tinggi negara atau badan legislatif yang berwenang mengeluarkan peraturan (kebijakan) dalam skala terluas, misalnya dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya untuk dapat mengimplementasikan UU atau Peraturan tadi, maka pada tingkat organisasional, pemerintah mempunyai agen yang berupa lembaga departemen atau non departemen, sebagai penjabar lebih lanjut dari kebijakan yang lebih tinggi. Artinya, antara tingkat politis dengan tingkat organisasi disini terikat oleh suatu aransemen kelembagaan, yang menjabarkan aturan main bagaimana organisasi-organisasi tadi bekerja atau beroperasi. Aransemen kelembagaan berikutnya terjadi antara tingkat organisasi dengan tingkat operasional yang ditempati oleh individu perorangan, petugas atau pejabat koperasi, pelaku ekonomi kerakyatan, kalangan perbankan, dan sebagainya.

Adapun secara skematis, model analisis kebijakan dalam tiga tingkatan hierarkhi yang dikemukakan Bromley dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

0g1

Dengan pengertian seperti diatas, dapat dikemukakan bahwa policy level yang berkenaan dengan kebijakan pembinaan pengusaha kecil dan koperasi adalah UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha kecil dan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Secara lebih detail dapat dikemukakan bahwa upaya pembinaan koperasi ini diatur dalam pasal 60 – 63 UU No. 25 tahun 1992, yang menugaskan pemerintah untuk menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi ; serta memberikan bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada koperasi.

Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi, pemerintah melakukan pembinaan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut :

  • Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada koperasi ;
  • Meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri ;
  • Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dengan badan usaha lainnya ;
  • Membudayakan Koperasi dalam masyarakat.

Sedangkan dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada koperasi, pemerintah berperan dalam :

  • Membimbing usaha koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggotanya ;
  • Mendorong, mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penelitian perkoperasian ;
  • Memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan koperasi serta mengembangkan lembaga keuangan koperasi ;
  • Membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama yang saling menguntungkan antar koperasi ;
  • Memberikan bantuan konsultansi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengan tetap memperhatikan anggaran dasar dan prinsip koperasi.

Adapun dalam rangka pemberian perlindungan kepada koperasi, pemerintah dapat menempuh kebijakan antara lain :

  • Menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi
  • Menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh koperasi untuk tidak diusahakan ole badan usaha lainnya.

Sementara itu pembinaan dan pengembangan bagi usaha kecil diatur dalam pasal 14 UU No. 9 Tahun 1995, yang menyatakan bahwa “Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil dalam bidang : Produksi dan Pengolahan, Pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi”.

Masing-masing bidang pembinaan dalam lingkup UU No. 9 tahun 1995 ini, memiliki tujuan makin berdayanya (modal, daya saing dan sumber daya manusia) pengusaha kecil dan koperasi melalui pencapaian sasaran-sasaran, dapat dilihat pada table 1 dibawah.

Sebagai wujud kesungguhan pemerintah dalam program pembinaan usaha kecil dan koperasi ini, pemerintah juga telah mengeluarkan produk hukum yang masih berada pada level politis yakni PP No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan.

PP ini mewajibkan bagi usaha besar dan menengah yang melaksanakan kemitraan dengan usaha kecil untuk memberikan informasi mengenai peluang dan perkembangan pelaksanaan kemitraan, menunjukkan penanggungjawab kemitraan, mentaati dan melaksanakan ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian kemitraan, serta pembinaan terhadap mitranya. Sebaliknya, usaha kecil yang bermitra berkewajiban untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usaha secara berkelanjutan.

0t1

Sementara itu pada organizational level terdapat produk kebijakan yang berkaitan dengan pembinaan usaha kecil dan koperasi ini. Diantaranya adalah Inpres No. 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Selanjutnya dalam tataran yang lebih rendah terdapat berupa SK Menteri Koperasi dan PPK No. 961/KEP/M/XI/1995 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, dan No. 63/KEP/M/IV/1994 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil dalam Repelita VI, yang secara garis besar berisi dua aspek kebijakan sebagai berikut :

a. Kebijaksanaan Dasar

Meningkatkan prakarsa, kemampuan, dan peran serta pengusaha kecil melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka mengembangkan dan memantapkan kelembagaan dan usaha untuk menjadilan peran utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

b. Kebijaksanaan Operasional

Untuk menjabarkan lebih lanjut kebijaksanaan dasar tersebut ditetapkan kebijaksanaan operasional yang juga merupakan 5 langkah strategi, yakni :

  • Meningkatkan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar
  • Kemampuan akses terhadap modal dan memperkuat struktur permodalan.
  • Meningkatkan kemampuan organisasi dan manajemen pengusaha kecil.
  • Meningkatkan kemampuan akses dan penguasaan teknologi.
  • Pengembangan Mitra.

Adapun produk kebijakan pada operational level dapat disebutkan misalnya pedoman yang dikeluarkan Bank Indonesia mengenai “Kebijakan dan Upaya Perbankan Dalam Membantu Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi” (1997). Pedoman ini pada dasarnya memuat ketentuan bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan perbankan dalam pelayanan usaha kecil dan koperasi, maka kalangan perbankan (termasuk bank asing dan campuran) diwajibkan untuk memenuhi ketentuan Paket Kebijakan Januari 1990 yang menggariskan bahwa minimal 20 % dari total kredit perbankan harus disalurkan untuk usaha kecil. Kredit ini sering disebut sebagai Kredit Usaha Kecil (KUK). Disamping itu, pedoman BI ini juga menekankan pentingnya perbankan untuk memberikan Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada KUD (KKUD), Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), Kredit Perkebunan Inti Rakyat – Transmigrasi (PIR – Trans), Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), Kredit Kelayakan Usaha (KKU), dan sebagainya. Tidak ketinggalan juga adalah program perbankan untuk membantu pengembangan kelembagaan usaha kecil dan koperasi, serta pemberian bantuan teknis.

Pola Pembinaan Organisasi Usaha Kecil

Kebijakan pemerintah dalam rangka pembinaan terhadap pengusaha kecil dan koperasi, dilakukan dengan menggunakan pola tertentu, dalam hal ini dengan mengklasifikasikan kedalam kelompok secara berjenjang, yang diharapkan kelompok-kelompok usaha kecil ini akan dapat makin membesar jika pembinaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan konsep dasarnya.

Adapun secara terinci, pola pembinaan pengusaha kecil dan koperasi yang ditempuh adalah sebagai berikut :

a. Pengusaha kecil yang beraneka ragam usaha dan permasalahannya serta jumlahnya yang begitu besar, dalam pembinaannya dibagi menjadi 3 kelompok melalui:

  • Lapisan pengusaha kecil kecil.
  • Lapisan pengusaha kecil menengah.
  • Lapisan pengusaha kecil atas.

b. Lapisan pengusaha kecil kecil termasuk sektor informal dan tradisional dibina melalui pendekatan kelompok, baik dalam bentuk usaha bersama maupun dalam bentuk wadah koperasi. Melalui pendekatan kelompok/ koperasi para pengusaha kecil akan lebih mudah dibina dalam rangka efisien usaha, pengembangan produk, meningkatkan akses terhadap lembaga keuangan, sehingga bargaining position-nya akan lebih kuat.

c. Lapisan pengusaha kecil menengah yang sulit dibina melalui kelompok akan dibina melalui himpunan atau asosiasi-asosiasi usaha yang ada sehingga menjadi pengusaha kecil tangguh dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  • Memiliki kewirausahaan yang mantap.
  • Memiliki perizinan yang lengkap.
  • Memiliki pembukuan yang dapat diaudit.
  • Menerapkan prinsip manajemen modern.
  • Menampung tenaga kerja,
  • Memiliki sarana dan modal kerja yang memadai.
  • Menggunakan teknologi tepat.
  • Mempunyai jaringan usaha yang luas.
  • Mempunyai kinerja yang meningkat.
  • Mematuhi kewajiban membayar pajak.
  • Memiliki kesadaran lingkungan.

d. Lapisan pengusaha kecil atas yang juga kemungkinannya sulit dibina melalui pendekatan kelompok akan dibina melalui asosiasi atau secara individual untuk menjadi pengusaha menengah.

Dengan pola-pola pembinaan seperti inilah, program pemberdayaan usaha kecil dan koperasi diharapkan dapat meningkatkan daya mampu dan daya saingnya, terutama dalam menghadapi era globalisasi perdagangan dan investasi. Selanjutnya, sebelum dipaparkan mengenai permasalahan dalam pembinaan usaha kecil dan koperasi, akan dikemukakan dahulu mengenai profil dan perkembangannya.

Profil dan Perkembangan Usaha Kecil & Koperasi

Salah satu indikasi dari keberhasilan kebijakan pembinaan usaha kecil dan koperasi dapat diperhatikan dengan menilai sejauhmana usaha kecil dan koperasi telah berkembang, baik dilihat secara kuantitas kelembagaan maupun kuantitas permodalannya. Untuk itu, dibawah ini akan sedikit diuraikan mengenai profil atau kriteria usaha kecil, dan sekilas perkembangannya

Di Indonesia saat ini belum ada batasan dan kriteria yang baku mengenai usaha kecil. Berbagai instansi menggunakan batasan dan kriteria menurut fokus permasalahan yang dituju. Ada yang menggunakan nilai asset dan volume usaha sebagai batasan, dan ada yang menggunakan kriteria tenaga kerja.

Untuk lebih jelasnya dapat diberikan contoh sebagai berikut:

  • Bank Indonesia dan Departemen Perindustrian mempunyai batasan yang sama, yaitu memiliki asset maksimal Rp 600 juta, di luar tanah dan bangunan, adalah pengusaha kecil.
  • Biro Pusat Statistik menggunakan batasan jumlah tenaga kerja untuk pengusaha kecil, yaitu 5 sampai 19 orang. Departemen Perdagangan menggunakan batasan modal, yaitu kurang Rp 25 juta adalah pengusaha kecil.
  • Depatemen Keuangan menggunakan batasan asset dan omzet maksimal Rp 300 juta, di luar tanah dan bangunan, adalah pengusaha kecil.
  • Kamar Dagang dan Industri Indonesia menentukan batasan pengusaha kecil dalam 11 (sebelas) jenis kegiatan dengan tolok ukur yang berbeda-beda, seperti nilai mesin dan peralatan, nilai modal dan lain-lain, sebagai berikut:
    1. Pengusaha kecil bidang industri adalah yang memiliki nilai mesin dan peralatan kurang dari Rp 100 juta.
    2. Pengusaha kecil bidang perdagangan eceran adalah yang memiliki nilai persediaan dan tempat usaha kurang dari Rp 25 juta.
    3. Pengusaha kecil bidang peternakan adalah yang memiliki nilai ternak kurang dari Rp 75 juta atau setara dengan 100 ekor sapi perah.
    4. Pengusaha kecil bidang jasa adalah yang memiliki nilai persediaan, mesin, peralatan serta tempat usaha kurang dari Rp 25 juta.
    5. Pengusaha kecil bidang konstruksi adalah yang memiliki kemampuan pemborong kurang dari Rp 100 juta sebagai pemborong tunggal untuk 4 (empat) bulan.

Adapun dilihat dari perkembangannya dapat diuraikan bahwa berdasarkan data dari Departemen Koperasi dan PPK, penyebaran koperasi di tingkat desa dan kecamatan yang berkarakteristik perdesaan (KUD) di seluruh wilayah Indonesia mencapai 97,2 % (data tahun 1997). Disisi lain, berdasarkan laporan BPS tahun 1996, jumlah pengusaha kecil berjumlah 34,2 juta.

Jumlah ini tersebar pada semua sektor perekonomian, yakni : sektor pertanian (21,7 juta atau 63,61 %) ; perdagangan, hotel dan restoran (5,91 juta atau 17,39 %) ; industri pengolahan (2,58 juta atau 7,54 %) ; jasa (1,35 juta atau 3,39 %) ; bangunan (0,87 juta atau 2,53 %) ; keuangan, persewaan dan jasa kemasyarakatan (0,38 juta atau 1,12 %) ; pertambangan dan penggalian (0,09 juta atau 0,26 %) ; serta listrik, gas dan air bersih (0,02 juta atau 0,06 %).

Dilihat dari segi PDB (Produk Domestik Bruto), kontribusi pengusaha kecil juga cukup besar, yaitu 38,85 %, dengan perincian dari sektor pertanian (14,07 %), perdagangan, hotel dan restoran (10,60 %) ; industri pengolahan (3,99 %) ; jasa (2,86 %) ; bangunan (2,47 %) ; keuangan, persewaan dan jasa kemasyarakatan (1,44 %) ; serta listrik, gas dan air bersih (0,07 %).

Permasalahan Pembinaan Usaha Kecil & Koperasi

Harus diakui bahwa berbagai program pembinaan terhadap usaha kecil dan koperasi yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini telah membawa hasil yang cukup menggembirakan, sebagaimana terlihat dari perkembangan yang digambarkan diatas. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa implementasi kebijakan tersebut masih menghadapi beberapa masalah pokok (critical problems) yang cukup serius.

Masalah pokok yang dihadapi disini adalah bahwa para pengusaha kecil dan koperasi belum memiliki daya mampu dan daya saing yang memadai, sehingga pertumbuhannya ( asset maupun kesejahteraan ) juga relatif rendah. Hal ini terlihat dari dan atau disebabkan oleh adanya fenomena-fenomena sebagai berikut :

  1. Kemampuan permodalan rendah
  2. Jenis usaha belum berorientasi pasar
  3. Kemampuan manajemen lemah
  4. Tidak memiliki akses komunikasi dan informasi
  5. Tidak didukung keahlian dan teknologi produksi & pemasaran
  6. Rentan terhadap persaingan (defisit kompetisi)
  7. Lokasi usaha labil
  8. Koordinasi vertikal & horizontal antar instansi pemerintah lemah.

Dari berbagai fenomena diatas, masalah permodalan merupakan salah satu aspek yang paling penting untuk ditingkatkan kinerjanya. Hal ini disebabkan adanya fakta yang menunjukkan bahwa penyebab kegagalan pembinaan bagi usaha kecil dan koperasi, yang sekaligus merupakan hambatan konkrit bagi mereka untuk mengembangkan usahanya bersumber pada masalah permodalan ini. Untuk itulah maka melalui Paket Kebijakan Januari 1990 yang diperkuat lagi oleh Bank Indonesia, pemberian kredit usaha bagi industri kecil dan koperasi akan dikembangkan.

Dalam kaitan ini, berdasarkan laporan Bank Indonesia (1997) dapat disimak bahwa perkembangan Kredit Usaha Kecil (KUK) pada akhir Desember 1996 mencapai Rp. 49,3 triliun, atau meningkat sebesar 20,4 %, lebih sedikit rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan KUK selama 3 tahun sebelumnya sebesar 21,9 %. Dengan pertumbuhan tersebut, rasio KUK pada akhir Desember 1996 adalah sebesar 23,1 %, yang berarti merupakan rasio terendah apabila dibandingkan rasio KUK pada bulan yang sama (Desember) selama 3 tahun sebelumnya.

Disamping itu, penggunaan dana KUK secara sektoral menunjukkan bahwa sektor perdagangan dan sektor lain-lain masih mendominasi pemberian KUK oleh perbankan, yakni sebesar 68,4 %. Jika dibandingkan dengan akhir Desember 1992, terlihat bahwa sektor lain-lain yang sebagian besar untuk perumahan telah berhasil menggeser dominasi sektor perdagangan. Disini sektor perindustrian juga mengalami penurunan pangsa.

Apabila data perkembangan KUK ini diamati lebih jauh, nampak bahwa sesungguhnya masih banyak pengusaha kecil yang belum memanfaatkannya. Hal ini antara lain disebabkan karena pengusaha kecil belum mampu mengungkapkan kelayakan usahanya, adanya keterbatasan aspek pemasaran, teknik produksi yang relatif masih sederhana, manajemen dan organisasi yang belum profesional, serta belum mampunya memenuhi persyaratan teknis bank seperti jaminan dan perijinan.

Sementara itu, dari sisi perbankan yang menjadi masalah antara lain adalah bahwa sistem perbankan belum ditunjang oleh jaringan kantor cabang yang berwenang memberikan KUK, serta kurangnya pengalaman perbankan dalam membiayai usaha kecil dan koperasi. Disamping itu, salah satu masalah yang sangat krusial adalah masih terdapatnya indikasi mengenai dunia perbankan yang enggan memberikan atau menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil dan koperasi dengan berbagai alasan, khususnya menyangkut kelayakan usaha tersebut dan kemungkinan macetnya pembayaran kredit.

Dengan mengamati fenomena seperti diatas, maka arah pembinaan sesungguhnya tidak semata-mata ditujukan kepada para pengusaha kecil dan koperasi saja, tetapi juga pembinaan kepada perbankan, dalam pengertian 12perlu dilakukan pengawasan secara ketat oleh otoritas perbankan (Bank Indonesia) mengenai pelaksanaan Paket Kebijakan Januari 1990 dan Pedoman yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Secara detail, perkembangan KUK yang disalurkan kepada pengusaha kecil dan koperasi, secara sektoral dapat dilihat pada tabel 2 dan 3 dibawah ini.

0t2

Sementara untuk data mengenai perkembangan penyaluran kredit bagi koperasi, Didik J. Rachbini mencatat sebagai berikut :

0t3

Dari berbagai uraian mengenai kebijakan pembinaan usaha kecil dan koperasi – khususnya dalam aspek permodalan atau kredit – diatas, dapat diketahui bahwa usaha yang dilakukan pemerintah semakin menggembirakan, meskipun hasil konkrit berupa peningkatan daya mampu dan daya saing masih belum terlihat. Untuk itu, maka masih diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak (suatu pola interaksi atau pattern of interaction) yang semuanya diarahkan kepada upaya bagaimana memberdayakan usaha kecil dan koperasi. Adapun jenis-jenis pola interaksi antar institusi yang memungkinkan dikembangkan, diuraikan pada bagian dibawah ini.

Jenis-Jenis Pola Interaksi yang Dapat Dikembangkan

Dalam program pemberdayaan usaha kecil dan koperasi, diperlukan optimalisasi peran dari berbagai pihak yang terkait, baik dari pihak pemerintah (Pusat dan Daerah), kalangan perbankan, pengusaha besar dan menengah, serta masyarakat. Beberapa bentuk interaksi lintas sektoral yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan pengusaha kecil dan koperasi ini dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini, yang sebagian diantaranya disarikan dari Pokok-Pokok Penjelasan Menko Ekku Wasbang dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 22 April 1997.

0t4

Dalam bentuk model, interaksi tadi dapat digambarkan sebagai berikut:

0g1

Rekomendasi Kebijakan

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh usaha kecil dan koperasi sebagaimana disebutkan diatas, serta memperhatikan berbagai kebijakan pembinaan yang sedang dan akan dilakukan pemerintah, maka dapat diajukan beberapa saran kebijakan (policy advice) dalam upaya pengembangan daya mampu dan daya saing bagi usaha kecil dan koperasi sebagai berikut :

  1. Kebijakan usaha kecil dan koperasi, secara makro perlu diarahkan kepada pengembangan dan penguatan sektor primer (pertanian, perkebunan) maupun sektor sekunder dalam skala kecil (industri rumah tangga), sehingga secara komprehensif akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembinaan perekonomian nasional. Secara mikro, kebijakan pembinaan ini perlu diprioritaskan bagi usaha-usaha yang berbasis agroindustri maupun agrobisnis, karena memang jumlah penduduk di Indonesia lebih banyak tersebar di wilayah perdesaan.
  2. Kebijakan pendanaan atau pemberian modal bagi usaha kecil dan koperasi perlu dipertegas hanya bagi jenis usaha yang produktif dan memiliki kelayakan usaha.
  3. Pada saat yang bersamaan, kebijakan pendayagunaan permodalan usaha kecil dan koperasi perlu dibarengi dengan pelatihan-pelatihan manajerial, misalnya cara menyusun studi kelayakan usaha, teknik pembukuan dan pelaporan usaha, metode distribusi dan marketing, teknologi terapan dalam produksi, dan sebagainya.
  4. Untuk mempertegas upaya perlindungan bagi usaha kecil dan koperasi, pemerintah perlu menciptakan atau menyediakan kawasan-kawasan khusus yang diperuntukkan bagi pengembangan dan atau pemasaran hasil usaha kecil dan koperasi.
  5. Program kemitraan usaha antara pengusaha kecil dan koperasi dengan pengusaha besar dan menengah perlu ditindaklanjuti, dengan disertai pengawasan dan evaluasi secara ketat oleh pemerintah.

Penutup

Keberhasilan pembangunan nasional tidak saja ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan ekonominya, tetapi juga ditentukan oleh sejauh mana hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati secara merata dan berkeadilan oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika aspek pertumbuhan dan pemerataan ini dapat dicapai secara seimbang, maka stabilitas sosial ekonomi – bahkan stabilitas politik – akan dapat tercapai pula. Oleh karena itu, salah satu kunci meraih keberhasilan pembangunan secara menyeluruh adalah dirumuskan dan atau ditetapkannya kebijakan publik yang adil dan kondusif bagi perkembangan usaha kecil dan koperasi.

Dalam kaitan inilah maka kesungguhan pemerintah untuk membina, membantu dan memberdayakan usaha kecil dan koperasi sangat dinantikan. Termasuk dalam hal ini adalah kesungguhan untuk membuka akses terhadap sumber-sumber permodalan / kredit yang memang sangat terbatas. Namun harus diperhatikan pula bahwa program pengembangan permodalan bagi usaha kecil dan koperasi ini harus dilakukan secara komprehensif, dalam pengertian harus diiringi dengan pembinaan bidang lainnya, baik manajemen, teknologi dan pengembangan kewirausahaannya. * * *

DAFTAR PUSTAKA

Buku / Jurnal

Naisbitt, John, Global Paradox, New York : Avon Books, 1993

Prawiranegara, A. Sidik, “Kebijaksanaan Pembinaan Pengusaha Kecil Khususnya Tentang Organisasi Usaha di Indonesia”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Pengusaha Kecil : Penting dan Kompleksitas Masalahnya, Jakarta : PAU-IS-UI, November 1994

Rachbini, Didik J., “Pembinaan Pengusaha Kecil : Akses Terhadap Modal dan Perkreditan”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Pengusaha Kecil : Penting dan Kompleksitas Masalahnya, Jakarta : PAU-IS-UI, November 1994

Dokumen :

Republik Indonesia, UU Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.

_______________ , UU Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

_______________ , PP Nomor 44 tahun 1997 tentang Kemitraan.

Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

Keputusan Menteri Koperasi dan PPK Nomor 63/KEP/M/IV/1994 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil dalam Repelita VI.

_______________ , Nomor 961/KEP/M/XI/1995 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

Kantor Menko Ekku Wasbang, Pokok-Pokok Penjelasan Menko Ekku Wasbang dalam Sidang Kabinet Terbatas, Jakarta, 22 April 1997

Bank Indonesia, Kebijakan dan Upaya Perbankan Dalam Membantu Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi, Jakarta , April 1997 20

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.