Kelembagaan DAS

Syahyuti

ANALISA STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM RANCANGAN RPPK 2005-2025.

Oleh: Syahyuti (Peneliti Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,  Bogor)

Abstract

Institutional development is one of the fundamental component in all device of Agriculture, Fishery, and Forestry Revitalization ( RPPK) of 2005-2025. During the time, institutional approach also have come to fundamental component in agricultural and rural development. But that way, have many by mistakes, specially in development in agricultural sector. At RPPK agricultural, hence institutional complexity will reside in center level, local level, and community level. This article is analysis of to device of RPPK, specially with reference to paradigm and institutional strategies to be applied. In consequence, pursuant to new paradigm of development, hence development of institutional must to the make-up of society capacity itself. Result of analysis indicate that institutional development require to by being based on local social capital with local independence principle, reached through autonomous principle and empowerment.

Keyword: institutional, agricultural revitalization, local autonomous, empowerment, local independence.

Abstrak

Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025. Selama ini, pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanina dan pedesaan. Namun demikian, telah banyak kekeliruan dalam pembangunan kelembagaan, khususnya dalam pembangunan di sektor pertanian. Pada RPPK bidang pertanian, maka komplkesitas kelembagaan akan berada pada level pusat, daerah, dan komunitas. Tulisan ini merupakan analisis terhadap rancangan RPPK, khususnya berkenaan dengan paradigma dan strategi kelembagaan yang akan diterapkan. Karena itu, berdasarkan paradigma baru pembangunan, maka pengembangan kelembagaan mestilah untuk peningkatan kapaitas masyarakat itu sendiri. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlu pengembangan kelembagaan dengan berbasis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.

Kata kunci: kelembagaan, revitalisasi pertanian, otonomi daerah, pemberdayaan, kemandirian lokal.

Pendahuluan

Kabinet Indonesia Bersatu meletakkan program pembangunannya di atas tiga tiang utama yang berazaskan kepada pertumbuhan (pro-gowth), penyerapan tenaga kerja (pro-employment) dan dan perhatian kepada kelompok miskin (pro-poor). Operasionalisasi konsep tersebut adalah dengan target peningkatan pertumbuhan ekonomi diatas 6,5 % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Target penurunan kemiskinan dari dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009. Untuk mencapai target tersebut, perlu rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan pada level 3,5 % per tahun.

Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan
(termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Pada tingkatan lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan pengembangan infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa pemberdayaan penyuluh pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian.

Presiden telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-20025 tanggal 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Bagi sektor pertanian, revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan, serta meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.

Dalam rancangan RPPK, khusus untuk pertanian, tidak disebut strategi pengembangan kelembagaan secara khusus. Artinya, tulisan ini lebih sebagai masukan untuk melengkapi rancangan tersebut. Pada beberapa tahun terakhir ini, lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat terciptanya suasana kondusif untukpengembangan agroindustri pedesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada tidak efisiennya sistem pertanian, dan rendahnya keuntungan yang diterima petani.

Tulisan ini menganalisis penerapan konsep dan strategi pengembangan kelembagaan untuk merealisasikan revitalisasi pertanian, dengan mendasarkan kepada berbagai kesalahan pengembangan kelembagaan di  masa lalu. Satu hal yang ingin ditekankan adalah bahwa pengembangan kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena ia merupakan komponen utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan. Jika revitalisasi dimaknai sebagai strategi yang khas, maka pendekatan  kelembagaannya pun mestinya bersifat khusus. Artinya, pengembangan kelembagaan “yang biasa-biasa saja” tidak akan memadai, namun perlu pendekatan kelembagaan yang “tidak biasa”.

Strategi Pengembangan Kelembagaan dalam Rancangan RPPK

Salah satu ciri RPPK adalah pelibatan banyak pihak sekaligus. RPPK melibatkan hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses implementasinya. Karena itulah, koordinasi dan sikronisasi berbagai pihak yang terkait akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik  dalam perumusan RPPK maupun dalam mewujudkannya. Secara teoritis, “koordinasi” dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam ilmu kelembagaan.

Sebagai sebuah program yang besar, RPPK akan menghadapi berbagai kendala. Pada tingkat strategis mislanya, dokumen RPPK belum diperkuat dengan perangkat perundang-undangan yang agak mengikat, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun peraturan presiden. Bahkan, secara hakikat, beberapa substansi dalam dokumen revitalisasi pertanian tidak dicantumkan secara eksplisit dalam Dokumen Politik tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang telah tertuang dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005.

Dari sisi kelembagaan, akan dijumpai kendala yang bersifat fungsional, karena pendekatan strategi revitalisasi pertanian yang terkesan sektoral. Apabila tujuan utama (ends) dari revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, maka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan haruslah dilihat sebagai instrumen saja (means).

Dalam tabel ”Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian” (Badan Litbang Pertanian, 2005), disebutkan ada 11 kebijakan yang dicakup dalam RPPK sektor pertanian. Dalam tabel tersebut terlihat pembedaan antara ”kebijakan pengembangan kelembagaan” (point nomor 5) dengan ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani” (point nomor 7). Tampaknya pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan banyak kalangan, bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam dokumen RPPK, berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan pengembangan kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu produk-produk. Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani” terdapat kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi petani di perdesaan.

Pembedaan seperti ini tampaknya mengikuti pembedaan, bahwa “kelembagaan” adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” apabila ia beda di level petani. Pembedaan ini tampaknya mengikuti pembedaan yang dianut di kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Ini diperkuat oleh Robin (2005), yang berpendapat bahwa “institutions determine social organization”. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup. Dalam konteks RPPK, maka ketahanan pangan adalah organisasi yang hidupnya (salah satunya) tergantung kepada iklim yang diciptakan oleh kinerja kelembagaan keuangan di level masyarakat ataupun di atasnya.

Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pusat, level lokal di pemerintahan daerah, dan level lokal di tingkat petani atau komunitas. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi begitu besar.

Pertama, kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar departemen, lembaga, atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian. Pelaksanaan RPPK melibatkan banyak departemen serta stakeholders secara umum, yang membutuhkan kesamaan persepsi dan komitmen semua pihak untuk pencapaian sasaran RPPK. Untuk mensinergiskan kebijakan antar departemen atau lembaga dan semua stakeholders diperlukan mekanisme koordinasi secara berkelanjutan. Fungsi koordinasi tersebut selayaknya berada pada Kantor Menteri Koordinator bidang Perekonomian.

Dalam dokumen RPPK, khususnya pada bagian ”Strategi Umum dan Kebijakan”, disebutkan bahwa strategi umum untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian di antaranya adalah dengan meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian, dan meningkatkan kapasitas kelembagaan.

Pada tataran pusat ini, salah satu permasalahan lama adalah banyaknya kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan pengembangan ketahanan pangan.

Salah satu kelembagaan yang lebih menjadi wewenang pusat adalah kelembagaan untuk pengembangan ekspor produk pertanian. Strategi yang ditempuh adalah dengan meningkatkan daya saing produksi dalam negeri melalui pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi pengolahan hasi l dan informasi pasar,  menumbuhkembangkan industri pengolahan hasil, serta meningkatkan keragaman produk. Peningkatkan pangsa pasar ekspor ditempuh di antaranya melalui pengembangan informasi pasar dan market intelligence, penguatan diplomasi dan negosiasi dalam membuka pasar, perluasan akses pasar melalui promosi, peningkatan kerjasama internasional, serta peningkatan kemampuan negosiasi dan diplomasi.

Satu permasalahan lain di tataran ini yang selalu menjadi kendala adalah permasalahan agraria. Dalam dokumen RPPK, permasalahan agraria dicakup dalam Program Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal ini bertolak dari masalah sempitnya penguasaan lahan pertanian, makin banyaknya petani gurem, cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, dan tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, revitalisasi pertanian berupaya untuk menerapkan mekanisme kompensasi konversi lahan sawah, pembukaan lahan pertanian baru, dan penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga tani. Dari sisi sumberdaya lahan, terbuka peluang besar untuk pembukaan lahan pertanian melalui pemanfaatan lahan terlantar dan pembukaan lahan baru untuk pertanian. Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Namun, berbagai kendala yang menghadang umumnya berada pada konteks hukum, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi.

Selain itu, kelembagaan untuk meningkatkan promosi dan proteksi komoditas pertanian juga menjadi tugas di tataran pusat. Kelembagaan ini diarahkan untuk menyusun kebijakan subsidi tepat sasaran dalam sarana produksi, harga output, dan bunga kredit untuk modal usahatani; peningkatan ekspor dan pengendalian impor; kebijakan penetapan tarif impor dan pengaturan impor; peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha; perbaikan kualitas dan standardisasi produk melalui penerapan teknologi produksi, pengelolaan pascapanen dan pengolahan hasil; serta penguatan sistem pemasaran dan perlindungan usaha.

Kedua, kelembagaan di tingkat pemerintah daerah. Perhatian pemerintah daerah pada pembangunan pertanian umumnya akan meliputi infrastuktur pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi lingkup pertanian, serta menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi daya saing pertanian, serta alokasi APBD yang memadai. Di level ini, akan dirumsukan juga kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian dalam upaya pengembangan lembaga keuangan perdesaan, dan pengembangan sarana pengolahan dan pemasaran.

Salah satu kelemahan selama ini adalah kinerja kelembagaan penyuluhan. Kelembagaan penyuluhan berperan sangat esensial untuk meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna. Dalam dokumen RPPK, kelembagan ini diarahkan untuk mampu merespon permasalahan dan kebutuhan pengguna, mendukung optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian spesifik lokasi, pengembangan produk berdayasaing, penyelarasan dan integrasi dengan penguasaan IPTEK pertanian, dan percepatan proses dan perluasan jaringan diseminasi dan penjaringan umpan balik inovasi pertanian.

Ketiga, kelembagaan di tingkat lokal. Sesuai dengan karakteristik permasalahan dan sumberdaya daerah yang beragam, maka pengembangan kelembagaan untuk ketahanan pangan semestinya berada di tingkat komunitas. Hal ini didasarkan kepada pelajaran selama ini bahwa secara lokalitas masyarakat memiliki cara-cara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan mencapai ketahanan pangan rumah tangganya. Ketahanan pangan membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan). Strategi ketahanan pangan yang berlaku di dalam komunitas petani bersifat sangat lokalitas atau sangat spesifik lokasi (local spesific phenomenon). Bagi pembuat kebijakan pangan, dalam penyusunan perencanaan pembangunan di bidang pangan hendaknya mempertimbangkan sumberdaya lokal yang dikaitkan dengan aspek kelembagaan dan modal sosial setempat.

Hal ini akan dipenuhi dari kemampuan sektor pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan). Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Ketahanan pangan diwujudkan melalui pemanfaatan potensi dan keragaman sumber daya lokal, mendorong pengembangan sistem dan usaha agribisnis pangan yang berdaya saing dan berkelanjutan, mengembangkan perdagangan pangan, memanfaatkan pasar pangan internasional secara bijaksana, dan memberikan jaminan akses yang lebih baik bagi masyarakat miskin atas pangan yang bersifat pokok.

Salah satu yang penting pada level ini adalah pengembangan kelembagaan untuk pembiayaan pertanian. Kenapa permasalahan modal lebih tepat ditempatkan di tingkat lokal? Modal, baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan telah berperan penting dalam perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia. Ketersediaan modal untuk pertanian khususnya kredit lunak saat ini menjadi sangat terbatas setelah berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Kebijaksanaan tersebut mengisyaratkan pembiayaan pertanian tidak lagi dapat sepenuhnya bergantung pada KLBI, akan tetapi lebih banyak mengandalkan ketersediaan modal yang dimiliki oleh lembaga keuangan perbankan dan non perbankan di dalam negeri maupun luar negeri, dengan pola penyaluran yang mengarah pada sistem pembiayaan komersial.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pembiayaan pertanian dalam konteks kelembagaan selama ini adalah : sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan sehingga sulit menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya. Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas karena lembaga keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5-C (Character, Collateral, Capacity, Capital, dan Condition) dalam menilai usaha pertanian yang tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani. Selain itu, secara umum usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi, sedangkan skim kredit masih terbatas untuk usaha produksi, belum menyentuh kegiatan pra dan pasca produksi. Selain itu, lembaga penjaminan belum berkembang, dan belum adanya lembaga keuangan khusus untuk sektor pertanian.

Strategi yang ditempuh dalam RPPK untuk mengembangkan pembiayaan pertanian adalah dengan menyempurnakan kebijaksanaan pembiayaan yang ada sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber pembiayaan. Caranya adalah dengan mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan terjangkau oleh petani kecil di pedesaan, mengembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi UMKM agribisnis, mengembangkan pembiayaan pola bagi hasil/syariah, mengembangkan lembaga keuangan khusus, memperluas skim kredit, serta meningkatkan partisipasi dan mobilisasi dana masyarakat untuk pengembangan agribisnis.

Berbagai Kekeliruan dalam Pengembangan Kelembagaan Selama

Ini Dari begitu banyakn literatur tentang kelembagaan, maka pada pokoknya kelembagaan akan sampai kepada tiga hal, yaitu siapa pihak yang telibat (baik individual ataupun social group), bagaimana tata hubungan di antara mereka (aspek struktur), dan bagaimana aturan main di antara mereka (aspek kultur). Aspek kultural dan struktural merupakan dua komponen utama dalam setiap kelembagaan (Syahyuti, 2003).

Kelembagaan telah menjadi strategi penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan selama ini. Namun demikian, pengembangan kelembagaan belum pernah mencapai hasil yang optimal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama karena pemahaman dan strategi yang kurang tepat. Setidaknya terdapa sembilan bentuk kekeliruan yang selama ini dijumpai dalam pengembangan kelembagaan, yaitu (Syahyuti, 2003):

Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, namun lemah dalam ikatan vertikal. Kekeliruan ini kemudian diperbaiki dengan mengembangkan konsep kelembagaan agribisnis, yang lebih dipentingkan adalah ikatan- ikatan vertikal.

  1. Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara mendasar. Tidak mengherankan jika sebuah kelembagaan akan bubar sesaat setelah ditinggalkan pelaksananya.
  2. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, yang bias kepada bentuk kelembagaan usahatani padi sawah sawah irigasi teknis di Pantura Jawa. Hal ini merupakan generalisasi yang terburu-buru dan sembrono, serta analogi yang tergesa-gesa dan tidak relevan (Mundiri, 1999).
  3. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual terbatas kepada pengurus dan tokoh-tokoh dengan prinsip ”trickle down effct”, bukan social learning approach.
  4. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Sruktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti perkembangan aspek kulturalnya (visi, motivasi, semangat, manajemen, dan lain-lain).
  5. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan perubahan yang materialistik.
  6. Introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal yang ada sebelumnya, termasuk merusakkan hubungan-hubungan horizontal yang telah ada.
  7. Jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya, pengembangan kelembagaan masih lebih merupakan jargon politik daripada kenyataan yang riel di lapangan.
  8. Kelembagaan pendukung untuk usaha pertanian tidak dikembangkan dengan baik, karena struktur pembangunan yang sektoral.

Kekeliruan ini datang dari pola pikir bahwa kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai karena itu harus diganti, menganggap bahwa pertanian gurem adalah permasalahan individual bukan permasalahan kelembagaan, dan menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka bukan pada superstrukturnya. Selain itu, kesatuan administrasi pemerintahan dipandang sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi pula, dan kelembagaan hanya berorientasi kepada produksi sehingga yang dibangun adalah kelembagaan-kelembagaan yang ada pada kegiatan produksi saja

Implementasi RPPK nantinya diharapkan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut di atas. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang “analisis kelembagaan”. Dalam World Bank (2005), institutional analysis adalah “… helps to identify the constraints within an organization that can undermine policy implementation. These constraints may exist at the level of internal processes, concern relationships among organizations (e.g., between ministries), or be a product of the way that the system is organized (reporting hierarchies) or operates (the financial year is not followed in practice and accounts are not closed)”. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan diberbagai tingkatan.

Berbagai Prinsip Pengembangan Kelembagaan dalam Revitalisasi Pertanian

Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengembangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang semakin menguat. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan kelembagaan, yaitu konteks otonomi daerah, pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal.

Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang ruang yang tercipta. Jadi, antara otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal; merupakan tiga hal yang saling mengait secara fungsional.

A. Pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah

RPPK diharapkan jangan sampai terjebak kembali pada kekeliruan masa lalu, yang memecahkan masalah pembangunan melalui penyusunan suatu perencanaan yang bersifat umum dan diterapkan secara menyeluruh (grand scenario) di seluruh wilayah. Mensosialisasikan rancangan atau skenario yang bersifat umum selalu sulit dilaksanakan dan lebih banyak bersifat mekanistik, atau lepas dan kondisi lokal yang sangat spesifik sehingga mematikan inisiatif masyarakat setempat yang akibat akhirnya justru bersifat kontraproduktif. Skenario yang bersifat umum itu, yang pada umumnya disusun dan dipikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat, merupakan pendekatan blue print yang banyak mengandung kelemahan (Uphoff, 1986).

Pedesaan di Indonesia, di samping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula. Hal ini perlu dicermati dalam memilih prinsip dasar pengembangan dan pembangunan pedesaan di Indonesia secara integral. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai aktor dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya.

Pembangunan masyarakat pedesaan untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas ekonomi, serta aktivitas sosial budaya dan politik haruslah berbasis pada beberapa prinsip dasar yang dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah, dan kemajemukan etnis, sosial, budaya, dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya di setiap desa. Elemen-elemen tatanan, baik yang berupa “elemen lunak” (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa “elemen keras” (hard element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan entitas yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang.

Dalam bagian “Menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005). Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu.

Dalam literatur luar, konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah “local government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), Local Government Administration (LGA) adalah: “…. the government’s ability to have an independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Jadi, disini ditekanankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi “governance”, dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make and carry through collective choices for a geographically defined group of people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat.

Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur-unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komunitas (Chapman, 1999).

Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance, cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya, terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assitance, pemerintah menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada cooperation, peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif. Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: untuk memaksimumkan nilai, sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah, dan sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi efisiensi dapat dicapai. Karena beragamnya persoalan antar wilayah maka tak ada pendekatan yang “one solution fits all” dalam pengembangan kelembagaan. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances antara pemerintah dengan warganya.

B. Pengembangan kelembagaan sebagai bentuk pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata dasar “empower” bermakna sebagai “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “… taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing self-reliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individual, kelompok sosial, maupun terhadap komunitas.

Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne (1997), pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan mengupayakan bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah tercapainya “kemandirian”.

Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional (World Bank, 2005).

Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Pemahaman tentang pemberdayaan telah melewati antar waktu dan antar kultur. Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia.

Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal. Bidang apa yang dapat digarap dalam pekerjaan pemberdayaan? Setidaknya ada lima bidang yang dapat digarap, yaitu penyediaan pelayanan dasar, peningkatan kapasitas pemerintahan lokal, peningkatan kapasitas pemerintahan nasional, pengembangan pasar yang pro kemiskinan, dan pengembangan akses untuk bantuan keadilan dan hukum.

Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut. Berkaitan dengan prinsip tersebut, maka kebijaksanaan yang perlu ditempuh oleh pemerintah pada setiap tingkatan, mulai dari nasional sampai kabupaten/kota adalah penataan kelembagaan pemerintah, dalam arti menghilangkan struktur birokrasi yang menghambat terciptanya peluang yang dimaksud, termasuk peraturan perundang-undangan, dan atau sebaliknya: membangun struktur birokrasi yang dititikberatkan pada pemberian pelayanan pada masyarakat dan peraturan perundangan yang memudahkan dan atau meningkatkan aksesibilitas masyarakat di segala aspek kehidupan. Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang lama.

C. Pengembangan kelembagaan dalam upaya mewujudkan kemandirian lokal

Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), ada tujuh alasan kenapa inisiatif lokal diperlukan. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.

Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara tendesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan yang ada, dan cenderung akan mengabaikan kanakteristik tatanan. Sebaliknya upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.

Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia, atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma pembangunan Indonesia. Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa. Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.

Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat.

Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembagunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya makanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa oraganisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

Kesimpulan

Sebagaimana pendekatan pembangunan pedesaan dan pertanian pada umumnya, pendekatan kelembagaan masih menjadi salah satu strategi penting dalam RPPK 2005-20025, sebagaimana terbaca dalam dokumennya. Permasalahan kelembagaan dalam RPPK relatif lebih kompleks, karena melibatkan banyak instansi, lembaga, dan stakeholders mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Karena itulah, kemampuan mengenali permasalahan kelembagaan, dan selanjutnya mampu menyusun strategi kelembagaan yang sesuai, merupakan satu permasalahan yang esensial dalam RPPK tersebut. Artinya, seluruh pihak ang terlibat dalam RPPK, terutama di sektor pertanian, perlu menyadari permasalahan ini, sehingga faktor kelembagaan tidak menjadi  salah satu kendala dalam implementasi program nantinya.

Dari berbagai level permasalahan kelembagaan yang dapat dijumpai, maka pengembangan kelembagaan di tingkat lokal atau di tingkat komunitas perlu mendapat perhatian yang lebih. Hal ini bertolak dari kecenderungan pemikiran akhir-akhir ini yang meniscayakan perlunya perhatian kepada penguatan kepada kemandirian komunitas lokal. Untuk itu, pengembangan kelembagaan dalam RPPK mesti dijiwai oleh setidaknya tiga prinsip yang satu sama lain saling tekait erat, yaitu pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah, pemberdayaan, dan penguatan kemandirian lokal.

Daftar Pustaka

Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.

Basri, Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya, Malang. (http://128.8.56.108/iris- data/PEG/Bahasa/malang/Malang_tantangan. pdf., 22 Maret 2005).

Boyne, George A. 1996. “Competition and Local Government: A Public Choice. Perspective,” Urban Studies 33, 4-5: 703-721.

Chapman, Jeffrey I. 1999. “Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of California”. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper (http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).

Kirlin, John J. 1996. “The Big Questions of Public Administration in a Democracy,” Public Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320.

Mundiri, H. 1999. 60 Jenis Sesat Pikir. Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.

North, Douglass C. 2005.  Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.

Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press Ltd., London. Hal. 266.

Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/ bromley.htm, 25 Oktober 2005.

Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.

Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful Analytic Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27.

World Bank. 2005. Institutional Analysis. Dalam: http://lnweb18.worldbank.org/ESSD/ sdvext.nsf/81ByDocName/ToolsandMethodsInstitutionalanalysis, September 2005.

World bank. 2005. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development. (http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936 &EID=482, 11 Mei 2005).

1 Comment »

  1. kapan tulisan ini diposted? terimakasi saya dapat mendapat informasi yang bagus untuk bahan tulisan saya.

    Comment by tanti — June 28, 2010 @ 1:02 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.