Kelembagaan DAS

Sam’un Jaja Rahardja

KOLABORASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR SUNGAI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF KELEMBAGAAN

Oleh: Drs. H. Sam’un Jaja Rahardja MSi.  (FISIP Universitas Pajajaran)

Disampaikan pada Lokakarya Nasional “Membangun Kelembagaan Pengelolaan irigasi Masa Depan”, Jakarta 12-13 April 2007.
JARINGAN KOMUNIKASI IRIGASI INDONESIA (JKII) JAKARTA 2007

1. Pendahuluan

Sungai merupakan salah satu sumberdaya air yang memiliki sifat, karakteristik ciri khas dan fungsi berbeda dengan sumberdaya alam lainnya. Karena banyak fungsi banyak pula pihak berkepentingan atas keberadaan air sungai, sehingga memunculkan kompetisi dan konflik baik horisontal maupun vertikal. Konflik ini juga diperparah dengan perbedaan pandangan tentang air1 dan perdebatan tentang air sebagai barang privat atau publik seperti dihasilkan oleh Konferensi ICID Oxford 1997?2. Untuk mendudukan hal tersebut, klasifikasi Savas air sungai (river) di bawah ini kiranya dapat memberikan petunjuk tentang posisi sumberdaya air sungai sebagaimana terlihat pada matriks berikut ini;

0g1

Gambar 1 Klasifikasi Barang dan Jasa dalam Empat Jenis Source : Savas, 1987, p. 36

——–

1 Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi DPR pada pembahasan RUU Sumberdaya Air, muncul pendapat bahwa air harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan dan menerapkan asas keseimbangan nilai sosial, ekonomi dan lingkungan, kemanfaatan umum, keterpaduan, keserasian, kelestarian, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas (Anonymous, 2002).
2 Hafied Gany dan N Darismanto, 1999., Peran Kelembagaan Petani dalam Memperoleh Hak Guna Air, dalam Jaminan Air Bagi Petani (Water Use Right) hal 13. Konferensi ICID 1997 mengalami kesulitan dalam menarik garis tegas antara air sebagai barang publik atau privat. Debat khusus “Air adalah barang ekonomi yang hanya dapat diatur pengalokasiannya secara adil dan merata kepada umat manusia melalui pengelolaan berkelanjutan dengan mempergunakan instrumen ekonomi”, tidak mencapai kesepakatan (voting dengan 80 suara setuju dan 82 suara tidak setuju).

Berdasarkan klasifikasi Savas di atas, air sungai merupakan common pool goods. Karakteristik common pool goods, disatu sisi ada kesulitan untuk memperlakukan pengecualian terhadap individu, disisi lain konsumsinya bersifat individual. Karakteristik ini mengakibatkan air sungai dipandang sebagai barang milik bersama, siapa saja bebas mengkonsumi tanpa pengecualian. Tetapi karena sifat konsumsi yang individual, air sungai tidak dapat dikonsumsi secara pararel, mengakibatkan kesempatan setiap pihak menjadi tidak sama. Pihak yang terlebih dahulu cenderung diuntungkan, kesempatan pihak sesudahnya mungkin berkurang atau setidaknya dalam kondisi yang berbeda.

Sehubungan dengan itu, Savas selanjutnya menyatakan bahwa proses alokasi barang bersama (common pool goods) maupun sebagai toll good dibuat dalam organisasi, atau melalui tindakan bersama, tidak bisa melalui meklanisme pasar.3

Tabel 1 Karakteristik Perbandingan antara Barang Privat dan Kolektif 4

0t1

——–
3 Savas, ES, , 1987, Privatization : The Key to Better Government, New Jersey, Catham House Publisher, Inc, p. 45
4 Klasifikasi ini diakui oleh Savas bukan klasifikasi final dan ideal, sehingga perdebatan tentang air sebagai komoditi privat atau kolektif terus berlanjut.

Akan tetapi pengertian sumberdaya air sebagai milik bersama juga seringkali dikelirukan dengan makna “sumberdaya tak bertuan.” Hal ini mengakibatkan pemanfaataan sumberdaya secara bebas tanpa tanggung jawab disatu pihak dan munculnya gagasan “the tragedy of the commons” dipihak lain. Konsep the tragedy of the commons menyatakan bahwa sumberdaya milik bersama dapat dikelola dengan baik jika diserahkan kepada swasta atau dikontrol pemerintah, bukan diserahkan kepada pengelolaan bersama.5

——-

5 Lihat Savas, ibid, p. 46 tanah atau barang bersama lainnya yang dimiliki “publik” cenderung diperlakukan sebagai common pool goods terjadi overgrazed dan destroyed, sehingga muncul the tragedy of the commons, sehingga barang tersebut harus ditranrformasikan menjadi barang privat dan dimiliki atau dikelola oleh satu institusi, yang memungkinkan pengelolaan secara efisien. Padangan Hardin ini menuai banyak kritik. Lihat Iskandar, The Challenge of Hardin’s Idea on The Tragedy of Commons, Jurnal Sosiohumaniora, Vol 8, No.1, Maret 2006, hal 1-19. Pandangan Hardin banyak dikritik karena kenyataan di lapangan menunjukan hal bertentangan. Sumberdaya milik bersama tidak selamanya mengalami degradasi jika dikelola masyarakat dan tidak selamanya efektif jika dikelola swasta dan dikontrol pemerintah.

Dalam kondisi dilematis seperti dikemukakan di atas, perlu dicari suatu mekanisme atau model kerjasama dalam pengelolaan yang sesuai dengan sifat, karakter, ciri khas dan fungsi aliran sungai sebagai sumberdaya milik bersama.

Pada tataran praktek kebijakan, konsep pengelolaan air sungai menunjukkan konsep hirarkis dan koordinasi. Konsep hirarkis termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Undang-Undang ini mengatur pengelolaan sungai yang melintasi lebih dari dua wilayah administratif secara berjenjang (hirarkis). Sebagai misal apabila ada sungai melinatasi dua kabupaten/kota dalam satu propinsi, maka pengelolaan berada dalam pemerintah propinsi dan seterusnya. Dalam konsep hirarki hubungan antar organisasi bersifat tergantung (dependen) terhadap organisasi atau pemerintahan yang lebih tinggi. Kendati secara legal formal konsep hirarki bisa saja diterima dalam kerangka negara kesatuan, namun secara manajerial justru sangat diragukan kemampuan organisasi pemerintahan yang lebih atas untuk mengelola sumberdaya yang kompleks dan memerlukan penangangan on the spot dan on the right time.

Dalam konsep koordinasi, kendati di dalamnya terdapat kerjasama, namun lebih cenderung dalam pelaksanaannya sangat mengandalkan kesukarelaan antar organisasi. Hal ini karena masing-masing organisasi bersifat otonom (mandiri) da hubungan antar organisasi bersifat saling bebas satu sama lain (independen). Dalam konsep koordinasi masih memungkinkan munculkan ego sektoral, bahkan konflik fungsi dan kepentingan antar organisasi. Hal ini dapat dibuktikan pada praktek di lapangan dimana sering muncul keluhan-lemahnya koordinasi maupun hasil-hasil penelitian ilmiah, konsep koordinasi tidak berjalan efektif. Berangkat dari paparan di atas, secara teoritis kedua konsep tersebut tidak lagi memadai untuk digunakan sebagai alat resolusi konflik maupun alat kerjasama dalam pengelolaan daerah aliran sungai.

Konsep alternatif yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah konsep kolaborasi Untuk mendudukan konsep kolaborasi sebagai alternatif teoritis akan dimulai dengan memaparkan pemecahan konflik dari perspektif organisasi dan konsep kerjasama antarstakeholder. Titik temu (intersection) antara keduanya bermuara pada konsep : kolaborasi

2. Kolaborasi Sebagai Mekanisme Resolusi Konflik

Secara teoritis, konflik lahir dari interaksi antar individu maupun kelompok dalam aktivitas sosial, ekonomi, politik dan budaya.6 Tiga pilar utama konflik adalah watak psikologis, fenomena politik dan fenomena ekonomi.7 Fenomena ekonomi bersumber pada perebutan sumber-sumber ekonomi dan persoalan distribusinya. Masalah distribusi sumberdaya (ekonomi, sosial dan politik baik yang dirasakan maupun yang dipersepsikan) merupakan elemen terkuat dalam konflik.8 Bagaimana memecahkan konflik? Konflik merupakan masalah organisasional yang bersifat instrumental maupun struktural yang berkaitan dengan berbagai kepentingan dimana jalur penyelesaiannya melalui proses organisasi dan kelembagaan.9

——–

6 Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, hal 73
7 ibid, hal 80
8 Soderbergh : Pendahuluan, dalam Harris dan Reilly, 2000., Demokrasi dan Konflik Yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator (alih bahasa Tim LP4M-IDEA Internasional), hal v
9 Masternbroek, Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi, hal 195

0g2

Gambar 2 Beberapa Bentuk Penanganan Konflik. Sumber: Marshal, 1995.,Transforming the Way We Work: The Power of Collaborative Workplace, p.40

Dalam perspektif organisasi, masalah konflik dapat dipecahkan dengan 5 (lima) pendekatan: avoiding, assertivines-kompetitif, cooperativeness-akomodatif, commpromising dan collaborating sebagaimana ditunjukan Gambar 2.

Kelima bentuk pemecahan konflik tersebut dapat dijelaskan secara ringkas sebagai
berikut;10

  • Pengabaian, tindakan untuk “menghindari” dalam arti mengacuhkan konflik dengan anggapan pihak lawan tidak mempunyai kekuatan yang signifikan.
  • Kompetisi, tindakan untuk memuaskan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pihak lain, karena pihak lain dianggap akan melakukan hal yang sama.
  • Akomodasi, yaitu suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara mendahulukan kepentingan pihak lain.
  • Kompromi, tindakan bersama yang bersifat jalan tengah, tanpa memuaskan semua pihak, karena masing-masing pihak berkorban untuk memenuhi kepuasan pihak lain. .
  • Kompromi, tindakan bersama yang bersifat jalan tengah, tanpa memuaskan semua pihak, karena masing-masing pihak berkorban untuk memenuhi kepuasan pihak lain. .
  • Kolaborasi, yaitu tindakan yang diambil para pihak yang berkonfllik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak sebagai tindakan “menang-menang”

——-

10 Tadjudin, Manajemen Kolaborasi, hal 61

3. Kolaborasi sebagai Konsep Kerjasama

Konsep kerjasama antar organisasi selama ini sering menggunakan konsep generik : koordinasi dan kooperasi, sedangkan penggunaan konsep kolaborasi jarang ditemukan. Ketiga konsep tersebut memang memiliki persamaan unsur pokok di dalamnya : tujuan bersama, tetapi dilihat dari faktor lainnya memiliki perbedaan yang signifikan. Koordinasi dan kooperasi bersifat statis, tujuannya mencapai harmoni dan efisiensi, saling ketergantungan antar organisasi rendah sampai sedang. Sedangkan kolaborasi bersifat dinamis, komplementar, tingkat kesalingtergantungan antar organisasi tinggi serta perlunya perubahan mindset.11

Dalam kaitan dengan konsep kolaborasi sebagai kerjasama antar organisasi, Hickman dan Silva 12 mengemukakan delapan dimensi organisasi masa depan sebagai respons terhadap dunia yang selalu berubah yaitu; (1) managing global markets, (2) building new kind of alliance between the public and private sector, (3) balancing competition with collaboration, (4) drawing investors into corporate environment, (5) accepting corporate responsibility, (6) designing new form of organizations, (7) integrating sub cultures, (8) tuning every employee into the new millenium. Satu dari delapan dimensi tersebut adalah mendesain bentuk baru organisasi yang; (1) bergerak dari bentuk independen ke strategi kolaborari, (2) dari organisasi hirarkis ke organisasi networks, (3) dari model partisipasi ke budaya kolaboratif.

——–

11 http://wikipedia.org/wiki/collaboration, diakses tanggal 23 Desember 2006
12 Limerick and Cunnington, 1993, Managing the New Organization: A Blueprint for Networks and Strategic Alliances, p.6

Isu penting yang dapat menjadi pengungkit menuju organisasi baru yaitu interorganizational relationship building dalam bentuk; (1) mengembangkan kapasitas networks dengan memanfaatkan setiap sumberdaya menjadi bagian dari networks (2) mengembangkan kompetensi mitra sehingga terjadi kesesuaian optimal dan saling kompatibel, (3) mengembangkan kompetensi manajemen yaitu mindset dan skill para mitra sebagai fondasi networks. Limerick and Cunnington kemudian memberi istilah bentuk baru organisasi tersebut sebagai networks organization dan di dalam organisasi networks tersebut terletak inti yang disebutnya kolaborasi.

Memperkuat paparan di atas, Emery dan Trist menyebutkan bahwa organisasi apapun saat ini menghadapi tantangan turbulen yang mengakibatkan setiap organisasi menjadi interdependen satu sama lain. Antidote (penangkal) terhadap kondisi tersebut dengan membangun kapasitas kolektif melalui upaya kolaborasi stakeholder. 13 Pergeseran dari sifat independen ke kolaborasi menurut Limerick dan Cunnington mengakibatkan implikasi penting pada; (1) kebebasan dan otonomi berkaitan mitra yang masuk dalam kolaboasi sebelumnya bersifat indepenen; (2) Unit otonom dalam organisasi yang bekerja bersama menuju tujuan kolektif; (3) Interdependensi antar mitra; (4) Kombinasi kekuatan (yang saling menguatkan satu sama lain) dan menutupi kelemahan setiap unit yang berkolaborasi.

Berdasakan paparan di atas ada dua hal yang dapat dikemukakan yaitu bahwa (1) pengelolaan hubungan antar organisasi di masa depan membutuhkan bentuk baru yang interdepeden dalam bentuk networks; (2) dalam networks terdapat mekanisme inti yang dikenal dengan konsep kolaborasi

Memperkuat paparan di atas, Riley menyatakan collaboration merupakan bentuk relasi yang lebih kompleks, yang dicirikan adanya sifat interdependensi (kesalingtergantungan)14 dimana para mitra terlibat dalam penentuan kebijakan dalam alokasi sumberdaya maupun dalam fokus dan isi program. Kolaborasi juga memiliki perbedaan yang signifikan dengan bentuk kooperasi dan koordinasi. Ko-operasi dan koordinasi keduanya merupakan “static patterns of interorganizational relations, “ sementara ” collaboration is a far more dynamic phenomenon, an emergent process.”15 Selanjutnya Gray mendeskripsikan collaboration sebagai berikut;

a process through which parties who see different aspects of a problem can constructivelly explore their differences and search for solution that go beyond their own limited vision what is possible…. by entering the collaboration, each stakeholder is agreeing to share some of the decision -making power in order to come a solution that is jointly satisfactory.

————-

13 Taket and White, 2000., Partnership and Participation : Decision Making in the Multiagency Setting, p 13-14
14 Riley mengemukakan mengemukakan bahwa kolaborasi pada dasarnya suatu model shared power, dimana kapabilitas dan kapasitas setiap mitra merupakan “bahan” dalam memecahkan masalah bersama. Setiap mitra dalam kolaborasi dianggap memiliki kapasitas yang kemudian dirangkaikan dengan kapasitas mitra lain untuk menanggung beban bersama atas situasi masalah yang sedang dihadapi. Gray dan Wood menyatakan hal penting dalam kolaborasi adalah setiap stakeholder melihat solusi atas masalah tertentu sebagai masalah fundamental bagi kepentingannya (kendati secara khusus bukan masalah dirinya) Sedangkan Logsdon memandang interdependensi dengan kelompok lain sebagai sesuatu penting dan diperlukan. Tanpa kedua hal ini tak akan ada rangsangan bagi suatu organisasi untuk mengeluarkan energi dan biaya kolaborasi.
15 Gray, Barbara, 1989, Collaborating : Finding Common Ground for Multiparty Problem, in Riley, ibid, p. 101

Setiap mitra (stakeholder) dalam relasi kolaborasi memiliki kapasitas dan kapasitas tersebut digabungkan dengan kapasitas pihak lain untuk menanggung beban atas situasi yang dihadapi. Semua stakeholder melihat solusi atas masalah tertentu sebagai masalah mereka sendiri. Logsdon menambahkan dalam setiap mitra harus tertanam persepsi bahwa interdependensi dengan kelompok lain sebagai suatu keniscayaan untuk menghadapi masalah secara efektif.16

4. Proses Kolaborasi Antar Organisasi

Huxham dan Siv Vangen mengemukakan ada enam hal dalam proses kolaborasi antar organisasi yaitu; (a) Managing aims, (b) Compromise, (c) Communication, (d) Democracy and equality, (e) Power and Trust, dan (f) Determination commitment and stamina17

a. Managing aims

Aims, goals atau objective merupakan alasan utama suatu kolaborasi terjadi (why the collaboration exists dan why they are part of it). Ada tiga level tujuan yang diusulkan oleh Huxham dan Vangen, yaitu (1) “meta goals” pada top level, suatu pernyataan eksplisit tentang tujuan yang ingin dicapai; (2) Penjabaran kepentingan yang ingin dicapai tiap organisasi yang terlibat. (3) Penjabaran tujuan individu dari masing-masing organisasi.

b. Compromise

Kompromi dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan cara kerja, kultur, gaya kerja individu, norma dan nilai organisasi. Kompromi dilakukan dengan cara menciptakan jalan tengah yang mengakomodasikan pihak lain dan menghilangkan persepsi stereotype terhadap pihak lain.

c. Communication

Bahasa merupakan isu utama komunikasi dalam kolaborasi yang harus disesuaikan dengan sesuai konteks, profesi, etnik dan bahasa resmi. Komunikasi yang efektif dapat menghindari makna ganda atas satu kosa kata yang sama

d. Democracy and equality

Dalam kolaborasi ada tiga aspek demokrasi yang harus diperhatikan; Pertama, siapa yang harus dilibatkan dalam kolaborasi. Kedua, proses kolaborasi yaitu kesejajaran dan penghargaan atas setiap orang. Ketiga, akuntabilitas dan keterwakilan dalam bentuk pertanggungjawaban terhadap organisasi dan konstituen.

e. Power dan Trust

Power dan trust digunakan untuk mengatasi perasaan “rendah diri” komunitas lokal dan sekaligus menekan perasaan “tinggi hati” lembaga pemerintah dan institusi global. Power dan trust digambarkan dengan ilustrasi “sebuah organisasi pemerintah menjadi penyandang dana dan tenaga ahli dalam kolaborasi, kelompok kecil suatu komunitas menyumbangkan keahlian penting dalam bentuk pengetahuan lokal.”

f. Determination, commitment and stamina

Dalam berkolaborasi sering terjadi collaborative inertia, yaitu suatu situasi kolaborasi yang tak seimbang (satu pihak berpengalaman, pihak lain kurang berpengalaman), sehingga tujuan kolaborasi menjadi sulit dicapai. Situasi ini diatasi dengan “komitmen yang tergantung kepada seberapa “dekat” agenda mereka “matching” dalam program kolaborasi, determination (manfaat keberlanjutan kerjasama) dan keteguhan hati (stamina) untuk berkolaborasi.

———–

16 Rilley, p. 104
17 Huxham, Chris and Siv Vangen, Working together : Key themes in the management of relationship between public and non profit organizations, The International Journal of Public Sector Management (IJPSM), Vol. 9, No. 7, 1996, p 5 – 17

5. Model-Model Kolaborasi

Model adalah abstraksi dunia nyata dalam bentuk peta, diagram organisasi, matriks,persamaan matematika dan lain-lain, yang digunakan sebagai alat bantu saat berhadapan dengan fenomena nyata yang begitu kompleks. 18 Model dapat diklasifikasikan (1) model eksplisit ekpsplanatoris- prediktif yang mendeskripsikan gambaran suatu dunia nyata (2) model implisit yang bersifat mental.

———-

18 Quade , E.S., 1989., Analysis for Public Decision, p.138-139

Model-model teoritis yang dikemukakan disini merupakan suatu citra mental yangmencoba menyederhanakan kompleksitas relasi dan interaksi antar organisasi dengan mengidentifikasi sejumlah dimensi yang membentuk relasi dan interaksi tersebut. Dalam tulisan ini, akan dikemukakan dua model kolaborasi.

a. Model Agranoff – Mc Guire

Model kolaborasi Agranoff-Mc Guire mendasarkan pada dua dimensi yaitu aktivitas dan strategi, yang menghasilkan enam kombinasi model kolaborasi yaitu; jurisdiction based management, abstinence, top down, donor recipient, reactive management dan contended management, seperti pada gambar berikut ini

0g3

Gambar 3 Sumber : Agranoff dan Mc Guire, 2003, p. 45

Jurisdiction-Based Model

Model ini dicirikan dengan aktivitas kolaborasi yang aktif (dimensi vertikal) dan strategi kolaborasi yang bersifat opportunistik (dimensi horisontal). Dimensi vertikal merupakan interaksi aktivitas-perilaku para aktor mengikuti pola dari luar. Tawar menawar dan negosiasi merupakan instrumen penting pada model ini, yang menghasilkan konsesi yang unilateral dan muttually beneficial solution. Dimensi horisontal menjelaskan proses pembuatan kebijakan dan pengaturan (governance) dimana dalam aransemen tersebut tidak seorangpun memiliki power untuk menentukan strategi aktor lain. Masing-masing aktor (baik publik maupun individual) memilki kebijakan strategi dan operasional sendiri-sendiri.

Abstinence Model

Model ini merupakan ekstrim dari jurisdiction-based model berupa ketidakmauan (abstain) untuk melakukan kolaborasi dan memilih tidak terlibat dalam berbagai program dengan alasan (1) menolak “rembesan” campurtangan dari luar (2) kurangnya kapabilitas dalam memainkan peran dalam game (3) memilih going it alone. Ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya model kolaborasi abstinence;

  • Beberapa jurisdiksi berkeberatan adanya keterlibatan pemerintahan level atas dalam wilayah dan ruang politik mereka karena berbagai alasan : tantangan oposisi internal, tambahan beban kerja, keuangan dan peraturan lainnya.
  • Berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya baik (waktu maupun kemampuan personalia)
  • Beberapa jurisdiksi tidak mau berkolaborasi secara vertikal maupun horisontal karena memang tidak mau terlibat

Top-Down Model

Model ini menekankan kontrol pemerintah pusat secara vertikal terhadap pemerintahan regional dan lokal. Kendati demikian, model ini memunculkan dilema bagaimana mewujudkan program pemerintah nasional melalui pemerintahan lokal yang secara hukum bersifat independen. Oleh karena itu salah satu aspek penting dan menentukan model ini adalah ketaatan sukarela pemerintah lokal dalam melaksanakan program pemerintah pusat.

Donor-Recipient Model

Model ini merupakan model moderat didasarkan atas gagasan bahwa sejumlah aktor menguasai informasi, keahlian dan skill untuk mengontrol kebijakan yang konsisten dengan kepentingan sosial yang banyak tersebut. Model ini melibatkan grantors dan grante, karena aktor-aktor dalam sistem kolaborasi tergantung satu sama lain. Ciri utama model ini adalah kolaborasi vertikal dengan kolaborasi horisontal minimal.

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam model ini yaitu kompromi, partisipasi pemecahan masalah, dan kerjasama dengan pihak ketiga. Kelemahan model ini program menjadi bertumpuk-tumpuk, complicated dan sangat mahal

Reactive Model

Model ini dicirikan dengan tidak adanya orientasi yang dominan dalam strategi maupun aktivitas kolaborasi dan pendekatan yang digunakan adalah “maybe, maybe not”. Ada beberapa alasan yang bersifat stratejik mengapa tidak mau terlibat dalam kolaborasi :

  • Prinsip otonomi dan integritas jurisdiksi sebagai suatu entitas dengan batas yang jelas, sehingga setiap keputusan harus didasarkan atas preferensi warga dan bukan atas mandat atau dikte dari pemerintah yang lebih atas (federal). Setiap rangsangan dari luar dilihat sebagai ancaman terhadap integritas organisasi.
  • Justifikasi atas dikhotomi politik administrasi, sehingga setiap aktivitas antar pemerintahan tidak diinginkan
  • Aktivitas dalam kolaborasi bukan “mission driven” atau pelayanan dasar yang harus diselenggarakan oleh pemerintahan lokal dan karenanya tidak harus dijadikan pertimbangan untuk diikuti.
  • Organisasi pemerintah lokal telah menyelenggarakan kegiatan yang sama dengan kegiatan yang diselenggarakan dalam kolaborasi, sehingga terjadi tumpang tindih.

Contented Model

Model ini lebih menekankan pada strategi kolaborasi ketimbang pada aktivitas kolaborasi itu sendiri. Model ini lebih bersifat oportunistik dan berupaya mengeskploitasi lingkungan sesuai dengan preferensi pemerintahan lokal atau organisasi itu sendiri.

b. Model Weber

Weber et.al mengemukakan bahwa kolaborasi yang berhasil menekankan pada integrasi berbagai fungsi birokrasi, lintas arena kebijakan dan level pemerintahan dan mengikutsertakan warga, masyarakat dan organisasi non-pemerintah dalam pemecahan masalah dan proses implementasi. 19

Ada tiga dimensi yang dikemukakannya : dimensi vertikal, dimensi horisontal dan dimensi partnership linkage. Dimensi vertikal mencerminkan relasi antar lembaga pemerintah dengan lembaga, warga negara dan organisasi non pemerintah lainnya dalam hubungan atas-bawah. Dimensi horisiontal mencerminkan relasi antar organisasi yang setara. Sedangkan partnership linkage digambarkan sebagai blending (ramuan) relasi vertikal-horisontal, sehingga menghasilkan suatu pengaturan yang efektif.

——-
19 Weber, EP et.al, 2005., Collaboratio Enforcement and Endangered Species : A Framework for Assessing
Collaborative Problem-Solving Capacity, Journal Society and Natural Resources, 18 : 677-698

6. Faktor Pendukung dan Penghambat Kolaborasi

Kolaborasi tidak didasarkan atas paradima otoritas legal, karena tidak ada ikatan hukum. Pertanyaannya adalah mengapa mereka datang, duduk satu meja, bekerja sama, mencapai kesepakatan dan melaksanakan kolaborasi?

Agranoff dan Mc Guire menyatakan bahwa penguat ikatan (kohesifitas) dalam kolaborasi adalah; (1) trust, tujuan bersama dan saling ketergantungan (ketergantungan sumber, ketergantungan lingkungan dan pertukaran sumberdaya), menjadikan satu sama lain interdependen. (2) shared belief and common purpose, sebagai pegangan kolaborasi, (3) mind set dan komitmen yang menggantikan metode tradisional yang tidak berjalan, (4) kepemimpinan dan kemampuan memandu menggantikan cara komando dan kontrol.

Sedangkan faktor penghambat dan rintangan kolaborasi antara lain; (1) Keengganan untuk berbagi dengan orang lain yang tidak dikenal; (2) Keengganan menerima cara pemecahan masalah yang diberikan pihak lain (3) Keengganan berbagi pengetahuan, karena pengetahuan merupakan sumber kekuasaan; (4) Solusi bukan produk kelompok sendiri, tetapi datang dari luar. Limerick dan Cunnington mengemukakan kesukaran dan masalah yang ditemukan dalam strategi kolaborasi, sebagai berikut;

  • Tujuan yang ambigu, ketika lingkup dan batas-batas tujuan bersama sulit didefinisikan. Dalam kolaborasi diantara organsasi yang berdaulat tujuan yang berbeda harus direkonsiliasi ke tujuan bersama, dan ketika ini tidak tercapai, tujuan bersama justru menjadi sumber konflik.
  • Kedaulatan setiap unit organisasi yang independen yang relatif sulit untuk dikelola
  • Kondisi dari setiap mitra yang a-simetris, sehingga input, konstribusi maupun output setiap mitra tidak sama. Keadaan ini dapat mendorong terjadi eksploitasi oleh mitra yang kuat, sehingga trust menjadi hancur.
  • Terbentuknya pesaing potensial berupa alih teknologi yang diserap oleh mitra dimana dalam jangka panjang mitra yang telah menyerap alih teknologi akan menjelma menjadi pesaing potensial
  • Fokus jangka pendek, khususnya keuntungan finansial, menimbulkan kesulitan dalam membangun kepercayaan dan mengancam pengembangan norma, kepercayaan dan nilainilai bersama
  • Kebutuhan komunikasi intensif, cepat dan canggih antar mitra yang relatif sulit dipenuhi karena kondisi setiap mitra yang a-simeteris
  • Perbedaan kultur yang menimbulkan kesulitan mengelola networks

7. Efektivitas Kolaborasi : Pendekatan Stakeholder

Pendekatan stakeholder, sesuai dengan namanya terdiri dari sejumlah indikator kepuasan sejumlah pihak yang ada dalam suatu kelompok , sesuai dengan kriteria masingmasing yang berbeda. Friedlander dan Pickle mengemukakan ada 7 (tujuh) kriteria efekktivitas berdasarkan persepsi stakeholder;

00
Sumber : Diolah dari Daft, 1992, p. 53-54

Kendati kriteria efektivitas yang dikemukakan oleh Daft mengacu kepada kriteria stakeholder, namun terlalu umum jika diterapkan dalam konsep kolaborasi, sehingga perlu pendekatan yang lebih sesuai untuk dijadikan alat ukur efektivitas. Dengan mengacu kepada konsep kolaborasi merupakan inti dari networks, maka kriteria yang cocok digunakan adalah pendekatan stakeholder – kriteria networks

Kickert, Klijn and Koppenjan mengemukakan tujuh kriteria efektivitas networks dimana pengelolalan networks dianggap “baik”20

  • Tercapainya situasi menang-menang yang dicirikan adanya dorongan (stimulus) bagi para partisipan tertarik dan mau berpartisipasi dalam networks
  • Aktifnya para aktor yang dicirikan kemauan untuk “menginvestasikan” sumberdaya mereka dalam proses bersama
  • Bekal komitmen sebagai sarana untuk menghindari kejadian “berlarinya” para aktor meninggalkan yang lain menanggung risiko sendirian
  • Politik administrasi yang terkelola, dikaitkan dengan terbinanya hubungan dengan lembagalembaga eksternal yang berpengaruh terhadap networks.
  • Interaksi yang berkualitas dan transparan dalam networks yang ditandai dengan adanya keluaran yang memberi manfaat bagi setiap mitra dan segala permasalahan yang timbul dari interaksi dibahas secara terbuka apa manfaat dan akibatnya bagi setiap partisipan
  • Tidak adanya intervensi atau tekanan dari aktor yang lebih kuat, yang dapat menghancurkan “modal sosial” dalam networks

———-

20 Kickert, Klinjnn and Koppenjan, 1999., Managing Networks in the Public Sector : Finding and Reflections, in Kickert and Koppenjan (ed) Managing Complex Network : Strategies for Public Sector.

Sejalan dengan pendapat Kickert et.al, Marshal mengemukakan efektivitas kolaborasi didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut;21

  • Keterlibatan semua pihak (stakeholder) mulai dari tahap stratejik sampai implementasi
  • Kolaborasi merupakan suatu lingkaran yang mencerminkan kesejajaran, tujuan dan pandangan bersama tentang apa yang penting.
  • Organisasi dilihat sebagai suatu unit yang berubah dengan komitmen pada transformasi seluruh aspek organisasi (budaya, hubungan kerja, strategi, proses, struktur dan sistem)
  • Perubahan perilaku dan kultur menjadi perilaku dan kultur kolaboratif
  • Tindakan berdasarkan “result driven” atau berorientasi pada hasil
  • Real work done real time, dimaksudkan bahwa proses perubahan dilakukan seiring bersamaan dengan bekerjanya perubahan tersebut

21 Marshal, The Power of Collaborative Workplace, p. 134-138

Asdak mengemukakan beberapa prinsip yang efektif dalam pengelolaan daerah aliran sungai; 22 (1) Tujuan dan sasaran utama pengelolaan DAS terumus secara jelas, menyeluruh, berorientasi jangka panjang dan kesejahteraan yang berkelanjutan; (2) Mekanisme administrasi yang efisien dengan fokus perhatian pada kerjasama yang harmonis diantara lembaga-lembaga  (pemerintah dan non-pemerintah yang terlibat) dalam pengelolaan DAS; (3) Pengelolaan DAS diarahkan pada penyelesaian konflik yang muncul diantara stakholder dengan menciptakan kompromi, menghormati dan melaksanakannya dengan konsisten.

——–

22 Asdak, Chay, 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, UGM Press, hal 563

Berdasarkan paparan Kickert et.al., Marshal dan Asdak tersebut di atas, penulis merumuskan efektivitas kolaborasi sebagai berikut;

  • Pertama, tujuan dan sasaran terumus dengan jelas dan disepakati bersama dan dalam prosesnya melibatkan instansi atau organisasi terkait mulai dari tahap stratejik sampai dengan tahap implementasi
  • Kedua, komitmen seluruh stakeholder untuk melakukan transformasi menyeluruh aspek organisasi dan “menjaga” stamina untuk tidak meninggalkan kolaborasi
  • Ketiga, kemauan untuk berpartisipasi yang dicirikan kesediaan untuk menginvestasikan sumberdaya baik fisik, finansial, waktu maupun sumberdaya lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Agranoff, Robert and Michael Mc Guire, Collaborative Public Decision Management : New Strategies for Local Government, Washington, Georgetown University Press, 2003

Affandi, Hakimul Ikhwan, 2004., Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Asdak, Chay, 2002., Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Yogyakarta, UGM Press Daft, Richard L., 1993., Organizational Theory and Design, Singapore, Acces Info

Gani A. Hafied dan N Darismanto, 1999., Peran Kelembagaan Petani dalam Memperoleh Hak Guna Air, dalam Jaminan Air Bagi Petani (Water Use Right), Bandung, Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran

Huxham, Chris and Siv Vangen, 1996., Working together : Key themes in the management of relationships between public and non profit organizations, The International Journal of Public Sector Management, Public and voluntary organizations Vo. 9 No. 7, p. 5 -17

Iskandar, Johan, 2006., The Challenge of Hardin’s Idea on The Tragedy of Commons, Jurnal Sosiohumaniora, Vol 8, No.1, Maret 2006, hal 1-19

Kasim, Azhar, 1989., Pengukuran Efektivitas dalam Organisasi, Jakarta, PAU-Ilmu Sosial-Universitas Indonesia

Kickert, WJM, EH Klijn and JFM Koppenjan, 1999., Introduction : A ManagementPerspective on Policy Network, in Walter JM Kickert et.al. (eds) Managing Complex Network : Strategies for the Public Sector, London, Sage Publication

Mastenbroek, WFG., 1996. Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi (judulasli Conflicthantering en organisatie-ontwikkeling, a.b.: Pandam Guritno), Jakarta, UI Press

Prefontaine, Lise, et.al, 2000, New Models of Collaboration for Public Service Delivery: Worldwide Trends, Working paper Pivot Research Group

Rilley, John M., 2002., Stakeholder in Rural Development : Critical Collaboration in State-NGO Partnership, London, Sage Publication

Savas, ES, 1987, Privatization : The Key to Better Government, New Jersey, Catham House Publisher.

Shui Yan Tang, 1992., Institutions and Collective Action : Self Governance in Irrigation, San Francisco, ICS Press

Tadjudin, Djuhendi, 2000., Manajemen Kolaborasi, Penerbit Latin, Bogor

Taket, Ann and Leroy White, 2000., Partnership & Participation : Decision-making in the Multiagency Setting, London, John Willey

Weber, Edward P., Nicholas P. Lovrich and Michael Gaffney, 2005., Collaboration,

Enforcement and Endangered Species : A Framework for Assessing Collaborative Problem Solving Capacity, Journal Society and Natural Resources 18: 677-698

SUMBERLAIN

Anonymous, 2002a. AIR : Media Informasi SDA, Edisi Khusus Desember, Puslitbang Air, Bandung

Anonymous, 2002b. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air, Ditjen Sumberdaya Air-Kimpraswil

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.