Kelembagaan DAS

Hariadi Kartodihardjo

DEBAT KEBIJAKAN DAN KAPASITAS PELAKSANAAN PP NO. 6/2007:Tinjauan Proses Pembentukan dan Masalah Pelaksanaannya

Oleh: Dr. Hariadi Kartodihardjo; Pengajar pada Fakultas Kehutanan IPB dan Program Pascasarjana IPB dan UI, Anggota WG Tenure dan Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional

Artikel ini dimuat di Warta Tenure Edisi 4 bulan Februari 2007. http://www.wg-tenure.org/html/

Kebijakan adalah solusi atas masalah. Kebijakan seringkali tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Kebijakan sebagai obat seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnosa masalah atau penyakitnya keliru. Masalah sebenarnya tidak terkait dengan obyek (hutan), melainkan terkait dengan subyek (pelaku). Masalah, oleh karena itu, terletak pada pelaku-pelaku yang dalam kesehariannya mengambil keputusan sebagai dasar bertindak. Masalah diturunkan dari kerangka pikir dan diikat oleh ketidak- kemampuan. Masalah adalah subyektif (Dunn, 2000).

Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagai pengganti PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, hendak menjawab masalah apa, apa yang diperdebatkan? Mengapa dengan Undang-Undangan (UU) Kehutanan yang sama dapat lahir PP dengan lingkup sama isi berbeda? Adakah syarat-syarat agar PP baru tersebut dapat menjadi kebijakan yang efektif? ]

Naskah ini adalah sebuah tinjauan proses pembentukan dan masalah pelaksanaan PP 6/2007 yang ditujukan untuk mengurai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tidak dimaksudkan mengurai isi PP baru tersebut.

PERDEBATAN ISI PP

Perubahan PP No. 34/2002 di atas digiring untuk mewujudkan tujuan meningkatkan investasi (pro-investment) dan menanggulangi kemiskinan (pro poor). Pada awalnya, tidak dimaksud mengganti PP, melainkan hanya melakukan addendum melalui perubahan beberapa pasal. Dengan anggapan bahwa dua tujuan di atas dapat disederhanakan dan diselesaikan melalui upaya mempercepat hutan tanaman. Oleh karenanya, pada awalnya, diharapkan dalam waktu 3-4 bulan addendum PP No. 34/2002 dapat diselesaikan.

Penyederhanaan masalah peningkatan investasi dan menanggulangi kemiskinan melalui addendum PP di atas tidak jadi terlaksana. Pengamat dan penggiat kehutanan pada umumnya memanfatkan kesempatan perubahan PP No. 34/2002 sebagai wahana mengurai akar masalah kehutanan selama ini, antara lain lemahnya pengelolaan hutan, rendahnya akses masyarakat terhadap hutan negara, tingginya biaya transaksi, rendahnya kepastian usaha, sambil memantau kemungkinan lebih terbukanya hutan bagi perluasan pertambangan melalui perubahan PP tersebut. Disinilah subyektivitas dalam merumuskan masalah tampil ke permukaan.

Melalui proses panjang, pertarungan wacana dan argumen tidak terelakkan, baik di dalam ruang diskusi formal maupun di arena lain yang memungkinkan. Perdebatan secara substansial terhadap revisi PP No. 34/2002 cukup banyak. Dua diantaranya, pertama, antara interpretasi substansi hukum Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan yang telah direvisi dengan UU No 19/2004 dan telah dijabarkan lingkupnya dalam PP No. 34/2002, dengan interpretasi ulang untuk kebutuhan arah revisi PP No. 34/2002 tersebut. Kedua, perbedaan kedalaman pengetahuan lapangan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan oleh pihak-pihak yang melakukan pembahasan, yang menjadi penyebab perbedaan argumentasi.

Untuk yang pertama, pandangan lama terhadap interpretasi UU Kehutanan sebagaimana sudah tertuang dalam PP No. 34/2002. Pandangan ini semula secara kokoh mempertahankan lingkup PP No. 34/2002, yangmana pengelolaan hutan sebagai ”rumah” pelaksanaan tata hutan, penyusunan rencana, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan tidak dapat dinyatakan dalam pasal secara eksplisit. Pandangan ini pula yang telah mengkonstruksikan pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan dan konservasi menjadi PP-PP tersendiri. Sebagaimana telah lahir PP No 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP No 45/2004 tentang Perlindungan Hutan. Sedangkan PP mengenai rehabilitasi hutan, terbentur oleh pelaksanaan reklamasi yang tidak disepakati oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, sehingga tidak terbit hingga saat ini.

Dari perdebatan mengenai substansi tersebut, ada indikasi kuat bahwa pandangan tersebut lahir akibat pengaruh struktur organisasi tingkat Eselon I di Departemen Kehutanan, yang memang memisahkan unsur-unsur pengelolaan hutan. Hal lain akibat berpegang pada ”kata” yang secara eksplisit tertulis dalam UU Kehutanan dan bukan ”makna pasal-pasal” yang tersusun dari kata-kata dalam UU tersebut.

Pandangan lainnya lebih melihat kebutuhan untuk melakukan interpretasi ulang isi UU Kehutanan, terutama untuk memastikan adanya ”rumah” yang bernama pengelolaan hutan. Pandangan ini pernah mengajukan judul baru, bukan lagi PP mengenai tata hutan, perencanaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, melainkan PP mengenai Pengelolaan Hutan. Dengan alasan, pengelolaan hutan rumah bagi kegiatan tata hutan, perencanaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Secara substansial, sebenarnya pandangan ini di dukung oleh banyak kalangan. Seluruh pihak pada dasarnya faham bahwa pembangunan kehutanan selama ini lebih berorientasi pada pemanfaatan dan ijin, sebaliknya tidak memperkuat aspek kepastian kawasan dan pengelolaan hutan. Namun di tengah-tengah proses ini kembali pada makna kata dalam UU Kehutanan, yangmana tidak ada mandat untuk membentuk PP mengenai Pengelolaan Hutan.

Dari perdebatan di atas dapat ditunjukkan bahwa adanya ide revisi PP 34/2002 di awalnya belum dilandasi oleh pengetahuan yang cukup, apa sebenarnya masalah yang hendak dipecahkan oleh PP baru yang akan dilahirkan dan apa masalah-masalah kehutanan ke depan yang perlu diantisipasi dan dipecahkan oleh PP baru tersebut. Masalah lainnya adalah sempitnya inovasi pengaturan yang sebenarnya dapat dilakukan, akibat keterbatasan menginterpretasikan pasal-pasal dalam UU Kehutanan yang menjadi rujukan utama.

PP NO. 34/2002 DAN PP NO. 6/2007 DALAM SATU PAYUNG

”Demokrasi mahal harganya”, demikian kalimat yang sering terdengar. Meskipun sebenarnya tergantung manfaat apa yang diperoleh. Perdebatan dalam pembuatan PP di atas jelas memerlukan waktu dan sumberdaya lebih, namun manfaat secara sosial terbukti menutupinya. Setidaknya apabila dibandingkan dengan reaksi beberapa pihak ketika PP No. 34/2002 lahir, termasuk judicial review yang dilayangkan ke Mahkamah Agung.

Pelajaran lain yang sungguh sangat penting bukan hanya manfaat sosial, melainkan adanya inovasi atas interpretasi suatu UU. Mengapa UU Kehutanan yang sama dapat melahirkan PP No. 34/2002 dan dapat pula melahirkan PP No. 6/2007?

Kenyataan tersebut dapat diambil pelajaran setidaknya terhadap dua hal. Pertama, bahwa pasal-pasal dalam UU apabila diangkat menjadi pengertian-pengertian dalam implementasinya, hanyalah berupa koridor yang memiliki ruang. Pembuat kebijakan masih mendapat keleluasan untuk berinovasi di dalam koridor tersebut. Inovasi hanya dapat dilakukan apabila terdapat informasi, pengetahuan, maupun kreativitas berdasarkan analogi-analogi dan pengalaman-pengalaman di lapangan. Dalam hal ini keragaman pendapat sangat diperlukan, perdebatan yang konstruktif, argumen yang valid, menjadi dasar-dasar pembaharuan kebijakan. Oleh karena itu, keterbukaan pembuatan kebijakan bukanlah trend dan tuntutan pihak lain, melainkan dibutuhkan demi terwujudnya inovasi kebijakan itu sendiri.

Kedua, diyakini bahwa PP No. 6/2007 meskipun telah melalui perdebatan panjang, belum memenuhi seluruh harapan tujuan awalnya, misalnya upaya untuk menurunkan biaya transaksi dan kepastian usaha. Upaya ini masih mendapat hambatan antara lain akibat peraturan perundangan lain yang mengatur kewenangan pusat dan daerah, serta lemahnya kelembagaan kepemerintahan kehutanan (forestry governance) secara keseluruhan. Meskipun begitu, dengan menggunakan pelajaran sebelumnya, PP No. 6/2007 dan peraturan perundangan lainnya apabila diangkat menjadi pengertian-pengertian dalam implementasinya, juga berupa koridor. Oleh karena itu, penjabaran PP No. 6/2007 juga memerlukan inovasi, sehingga keterbukaan dalam pembuatan kebijakan turunannya juga menjadi keniscayaan. Pembentukan berbagai Kelompok Kerja (working group/WG) dapat bermanfaat untuk tujuan ini.

INOVASI DAN PENGORGANISASIAN PROGRAM

Untuk menjadikan PP No. 6/2007 sebagai kebijakan yang efektif, perlu ditunjang oleh program yang sesuai. Departemen Kehutanan telah mencanangkan 18 fokus program pembangunan kehutanan<1>. Dari hasil analisis terhadap program-program tersebut dapat ditunjukkan masih terdapat persoalan.

Pertama, secara keseluruhan orientasi program tertuju pada pengembangan pembangunan kehutanan dan kurang terfokus pada penyediaan prasyarat dan infrastrukturnya. Program yang berkaitan dengan penyelesaian prasyarat pengelolaan hutan seperti pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan dan pembangunan wilayah pengelolaan kawasan hutan serta pengembangan informasi sumberdaya hutan perlu sumberdaya lebih karena menjadi prasyarat bagi program lainnya. Sementara itu 15 program lainnya berciri sebagai program pengembangan (Gambar 1).

pp6_2007

Kelemahan tersebut tidak akan terjadi seandainya persoalan pengelolaan hutan di lapangan tidak lagi memerlukan prasyarat pengukuhan dan pembangunan wilayah pengelolaan kawasan hutan, meskipun program pengembangan informasi senantiasa diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Kedua, program pembangunan kehutanan belum disertai strategi dan pengorganisasian dalam implementasinya. Setiap unit kerja di Departemen Kehutanan melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuannya masing-masing, sedangkan diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan kehutanan di lapangan memerlukan koherensi implementasi setiap kegiatan dari berbagai unit kerja di Departemen Kehutanan.

Ketiga, masih diperlukan sinkronisasi antara berbagai usulan kebijakan yang telah dihasilkan oleh beberapa WG dengan fokus program yang telah dicanangkan Departemen Kehutanan. Hal demikian ini diperlukan agar usulan-usulan dari WG dapat menjadi pertimbangan dan sejauh mungkin dapat menjadi agenda Departemen Kehutanan. Bentuk sinkronisasi tersebut dapat dipetakan pada Gambar 2. Apabila fokus program pembangunan kehutanan oleh Departemen Kehutanan digunakan sebagai acuan, maka strategi implementasi program tersebut perlu ditetapkan sebagai pengikat antar fokus program, sebagai berikut:

Strategi pengembangan kelembagaan. Bentuk-bentuk perijinan pemanfaatan kayu berupa pengelolaan kawasan tidak dibebani hak (4), rehabilitasi hutan dan lahan (11), hutan kemasyarakatan (13), hutan tanaman rakyat (14b), maupun pemanfaatan hasil hutan non kayu (15), dalam pelaksanaannya memerlukan strategi pengembangan kelembagaan. Kepastian hak diperlukan melalui pengukuhan kawasan hutan (16) maupun pembangunan wilayah pengelolaan hutan (18). Dalam kaitan ini peran WG Tenurial dan WG Pemberdayaan Masyarakat sangat diperlukan;

Strategi Ekonomi dan Transaksi. Berbagai bentuk kebijakan ekonomi dan transaksi antar pihak diperlukan sebagai strategi pelaksanaan program- program peredaran hasil hutan (2), restrukturisasi industri (3), pengendalian kebakaran hutan (7), pelestarian keanekaragaman-hayati (9), pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam (10), pengelolaan DAS (12), dan pengembangan hutan rakyat (14). Dalam kaitan ini peran WG Restrukturisasi Industri dan WG Pemberdayaan Masyarakat sangat diperlukan;

Strategi Penyelesaian Konflik. Terhadap pelaksanaan perijinan hasil hutan kayu dari hutan alam (5) dan tanaman (6) serta pengelolaan kawasan konservasi (8) yang masih banyak mengalami konflik hak atas sumberdaya hutan perlu perhatian khusus dalam upaya untuk penyelesaian konflik. Kepastian hak diperlukan melalui pengukuhan kawasan hutan (16) maupun pembangunan wilayah pengelolaan hutan (18), serta pengamanan kawasan hutan (1). Dalam hal ini peran WG Tenurial dan WG Pemberdayaan Masyarakat sangat diperlukan;

Strategi Pengembangan Manajemen dan Teknologi. Terhadap pelaksanaan perijinan hasil hutan kayu dari hutan alam (5) dan tanaman (6) serta pengelolaan kawasan konservasi (8) yang relatif terbebas dari konflik hak atas sumberdaya hutan perlu perhatian dalam pengembangan manajemen dan teknologi. Meskipun program pengamanan kawasan hutan (1) masih diperlukan, upaya pengembangan sistem silvikultur, jenis unggul maupun mekanisme pemanfaatan jasa lingkungan dapat dikembangkan di kawasan ini. Dalam kaitan ini peran WG Restrukturisasi Industri sangat diperlukan;

Terhadap seluruh pelaksanaan strategi implementasi program di atas, diperlukan program penyediaan informasi (17), penelitian dan pengembangan (19), pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (20), serta peningkatan kapasitas lembaga kehutanan daerah (21) sebagai program baru. Dalam jangka pendek, program penyediaan informasi, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perlu difokuskan untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas lembaga kehutanan daerah, yangmana saat ini program peningkatan kapasitas lembaga kehutanan daerah tersebut justru belum ada yang menanganinya. ***

______________

Foot-note

Delapan belas program pembangunan kehutanan yaitu:
Pengamanan Kawasan Hutan
Penertiban Peredaran Hasil Hutan
Restruk-turisasi Industri Primer Kehutanan
Pengelolaan Kawasan yang tidak Dibebani Hak
Pengelolaan Pemanfaatan Hutan Tanaman
Pengelolaan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam
Pengendalian Kebakaran
Pengelolaan Kawasan Konservasi
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dan tata niaga satwa langka (TSL)
Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Optimalisasi Pengelolaan DAS
Pengembangan hutan kemasyarakatan
Pengembangan Hutan Rakyat
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan
Pengembangan Informasi Sumberdaya Hutan
Pembangunan Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan

1 Comment »

  1. permasalahan kepentingan dibalik penyusunan kebijakan sangat dominan, sehingga ruang yg terbangun adalah keleluasaan bermaindalam setiap penterjemahan turunan2 kebijakan. Uraian ilmiah diatas sangat ingin menggambarkan kompleksitas kepentingan multipihak, tetapi perlu disampaikan dengan bahasa yang lebih populer dan bantuan gambar kerangka pikir kelembagaan yang sederhana….
    salam dan terimakasih pencerahannya, walau kini sdh 4 tahun tapi substansinya msh relevan …

    Comment by hanni adiati — April 19, 2011 @ 10:04 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.