Kelembagaan DAS

Rachmat Hendayana dan Frits Wally

ANALISIS KELEMBAGAAN PASAR INPUT DAN OUTPUT USAHA TERNAK RAKYAT

Kasus pada Usaha Ternak Rakyat di Nabire, Papua

Oleh: RACHMAT HENDAYANA1) DAN FRITS WALLY2)

1) Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar 10, Bogor
2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,Jl Yahim Sentani, Jayapura-Papua

Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, di Balitnak Ciawi Bogor, Agustus 2004

ABSTRACT

This study aims to investigate the characteristic of input and output market institutions for smallholder livestock and also identify factors influencing the market institution performance in smallholder livestock. Data are collected through unstructured interview using Participatory Rural Appraisal (PRA) with focus group discussion at Nabire in FY 2003 covering 30 selected livestock farmers and some traders as interviewed respondent. Data analysis conducted using qualitative and quantitative description, and research result reveals that: (a) input – output market institutions have important role as determinant factors in smallholder livestock especially the correlation of livestock farmer earnings, (b) Bargaining position of farmer very weak in marketing of livestock output, because the market structure of tending to oligopoly, (c) Performance of livestock market not only influenced by internal factor, however is also determined factor of external, (d) Motivation for form of mutual profiting partner between livestock farmer and other party is needed to improve performance of input-output marketing of livestock. .

Key Words: Smallholder Livestock, Input-Output Market, Institutions, Nabire

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kelembagaan pasar input dan output usaha ternak serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kelembagaan tersebut dalam usaha ternak. Penelitian dilakukan di Kabupaten Nabire Provinsi Papua tahun 2003 melibatkan 30 orang peternak yang dipilih secara acak dan beberapa pedagang sebagai responden yang diwawancara. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan: (a) Kelembagaan pasar input dan pasar output mempunyai peran penting sebagai faktor determinan dalam usaha ternak terutama kaitannya dengan pendapatan peternak; (b) Di dalam pemasaran hasil ternak, posisi tawar (bargaining position) peternak sangat lemah karena struktur pasarnya cenderung oligopsony, (c) Kinerja kelembagaan pasar dalam usaha ternak tidak hanya dipengaruhi faktor internal, akan tetapi juga ditentukan faktor eksternal; (d) Untuk meningkatkan kinerja pemasaran input dan output usaha ternak diperlukan dorongan untuk terwujudnya kemitraan yang saling menguntungkan antara pihak peternak dengan pihak lain yang menyediakan input dan yang akan memanfaatkan hasil ternak.

Kata Kunci: Usaha Ternak Rakyat, Kelembagaan, Pasar Input, Pasar Output, Nabire.

PENDAHULUAN

Keberhasilan usaha ternak tidak hanya ditentukan ketersediaan aspek teknologi peternakan, akan tetapi juga dipengaruhi aspek sosial ekonomi antara lain pasar. Pasar  komoditi mempunyai fungsi sebagai jembatan untuk mempertemukan antara kepentingan produsen (peternak) dengan konsumen. Di dalam proses pemasaran komoditi terdapat tiga fungsi utama yaitu fungsi transaksi (jual-beli), fungsi fisik (pengangkutan, pengolahan, penyimpanan), dan fungsi pelancar (standarisasi dan grading, penanggulangan risiko, pembiayaan dan informasi pasar).

Berjalan tidaknya fungsi-fungsi tersebut tergantung pada kelembagaan yang melekat dalam fungsi itu. Jika dalam pemasaran terdapat kelembagaan yang kurang berfungsi akan menyebabkan tidak tercapai pemasaran yang efisien yang dicirikan antara lain biaya pemasaran yang tinggi dan distribusi marjin yang tidak merata. Tidak tercapainya pemasaran yang efisien dapat dipandang sebagai indikator adanya permasalahan dalam kelembagaan pemasaran.

Kelembagaan pasar input dan output memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan usaha ternak rakyat. Keberadaan kelembagaan pasar input dan output dalam usaha ternak itu akan dapat memecahkan masalah dalam usaha ternak. Hal ini sejalan dengan Gunawan (1989) yang mengemukakan bahwa kelembagaan itu muncul sebagai upaya untuk memecahkan masalah.

Menurut Taryoto (1995) kelembagaan merupakan phenomena sosial ekonomi yang berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi. Oleh Pakpahan (1989) dijelaskan bahwa kelembagaan dicirikan oleh adanya batas yurisdiksi, property right dan aturan representasi.

Secara empiris, kelembagaan pasar input dan output dalam usaha ternak di lapangan kondisinya beragam, demikian halnya dengan usaha ternak rakyat itu sendiri yang bervariasi antar petani ternak di setiap lokasi. Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya profil kelembagaan pasar input dan output dalam usaha ternak rakyat? sejauhmanakah peran kelembagaan pemasaran input dan output dalam mendukung keberhasilan usaha ternak? serta faktor-faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja kelembagaan pemasaran tersebut.

Atas dasar permasalahan tersebut, makalah bertujuan untuk mengetahui karakteristik kelembagaan pemasaran input dan output usaha ternak serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kelembagaan pemasaran tersebut pada usaha ternak, kasus pada usaha ternak rakyat di Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Hasil pengkajian akan bermanfaat sebagai masukan bagi pemerintah daerah setempat dalam mengembangkan peternakan melalui pembenahan kelembagaan pemasaran input dan output.

METODE PENELITIAN

Data dan Sumber Data

Makalah dikembangkan dari hasil penelitian Analisis Kelembagaan Pemasaran Input dan Output pada Usaha Ternak di Papua Tahun 2003. Penelitian dilakukan di Nabire, Papua mencakup 7 desa dalam satu kecamatan, mewawancarai 30 orang peternak yang dipilih secara acak sederhana serta beberapa pedagang yang dipilih sengaja.

Pengumpulan data primer selain dilakukan melalui pemahaman pedesaan secara partisipatif juga dilakukan wawancara mendalam (in depth study) terhadap beberapa orang key informan yang penetapannya menggunakan metode snow balling. Selain bersumber dari data primer pembahasan diperkaya dengan data sekunder yang dikumpulkan dari Dinas Peternakan Kabupaten Nabire.

Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif menggunakan parameter persentase, nilai maksimum, nilai minimum, nilai rataan dll.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah dan Penguasaan Ternak

Kabupaten Nabire berada di bagian barat Ibu Kota Provinsi Papua (Jayapura) yang jaraknya sekitar 470 mil laut. Wilayah ini di bagian utara dan selatan berbatasan dengan Teluk Cenderawasih dan Kabupaten Puncak Jawa sedangkan di bagian barat dan timur berbatasan dengan Kabupaten Paniai dan Manokwari. Luas seluruh kabupaten mencapai sekitar 10247 km2 atau 2,43 % dari luas wilayah Provinsi Papua, dihuni oleh sekitar 114,9 ribu penduduk dengan sex ratio 1,05 yang seluruhnya terhimpun dalam 23,4 ribu rumah tangga. Sebagian besar lahannya merupakan lahan kering yang potensial untuk pengembangan usaha ternak (Irian Jaya Dalam Angka, 2000).

Jenis ternak yang berkembang di wilayah Nabire tidak jauh beda dengan wilayah lain di Indonesia yaitu meliputi ternak ruminansia (sapi, kambing, domba dan babi) dan non ruminansia (ayam buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur dan aneka ternak). Dilihat dari proporsinya, populasi ternak ruminansia paling tinggi adalah ternak babi, diikuti kambing sedangkan pada unggas populasi paling tinggi adalah ayam buras, kemudian diikuti ayam ras pedaging (Tabel 1).

0t1

Menurut produksinya terutama daging ternak, lebih dari 50 % produksi daging di wilayah kabupaten ini dihasilkan dari ternak babi. Proporsi produksi daging terbesar ke dua adalah daging ayam buras. Produksi ternak lainnya yang dihasilkan adalah telur dari ayam dan itik. Produksi telur paling tinggi dihasilkan ayam buras, diikuti telur itik dan telur dari ayam ras petelur. Secara terinci produksi ternak dari Kabupaten Nabire disajikan dalam Tabel 2.

0t2

Penguasaan ternak oleh penduduk menunjukkan keragaan yang bervariasi. Penguasaan jenis ternak ruminansia berkisar antara 1 ekor hingga 9 ekor sedangkan penguasaan unggas bervariasi antara 1 – 77 ekor. Rata-rata penguasaan ternak ruminansia paling rendah terjadi pada penguasaan sapi sedangkan paling tinggi penguasan babi. Sementara itu pada penguasaan unggas, paling tinggi adalah ayam buras dan paling rendah ayam ras pedaging (Tabel 3).

Relatif tingginya rata-rata penguasaan babi di wilayah ini ada hubungannya dengan status babi dalam kehidupan sosial masyarakat Nabire. Selain menjadi ternak budaya, ternak babi juga dianggap sebagai symbol status sosial sehingga penduduk berusaha memelihara lebih banyak.

0t3

Kondisi Pasar Input dan Output Ternak

Pemasaran selain mencerminkan aliran barang dari produsen kepada konsumen juga menunjukkan distribusinya (Kohl dan Uhl, 1990; Tjiptono, 1998). Komoditi peternakan yang diperjual belikan di Nabire tidak terbatas pada transaksi ternak hidup, akan tetapi juga mencakup hasil ternak dan sarana produksi peternakan (Sapronak). Adapun ternak hidup yang diperjual belikan selain dimaksudkan untuk bahan konsumsi (dipotong) juga bertujuan untuk di kembangkan yaitu dalam bentuk bibit ternak.

Dari Tabel 4 diketahui terdapat 4 jenis ternak yang ditawarkan mencakup sapi, kambing, babi, dan unggas. Sementara itu dari hasil ternak yang ditawarkan ada dua jenis yaitu daging dan telur, sedangkan sapronak umumnya hanya berupa pakan. Ternak yang ditawarkan merupakan ternak dari petani ternak sedangkan sapronak bersumber dari Charoen Pokphand dan Comfeed yang ditawarkan melalui kios-kios sapronak. Harga sapronak yang dibeli dari pabrik sekitar Rp 130000 – Rp 150000 per zak, dijual di kios dengan harga lebih tinggi sekitar Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per zak.

0t4

Transaksi ternak tidak hanya berlangsung di pasar wilayah dalam kabupaten Nabire sendiri, akan tetapi juga berlangsung dengan wilayah di luar Nabire. Dalam transaksi itu Nabire lebih banyak berperan sebagai pembeli dari pada penjual. Dari Tabel 5 diketahui bahwa komoditas yang didatangkan adalah bibit ayam dan bibit babi, hasil ternak berupa daging sapi, daging ayam, dan telur ayam dan sapronak berupa pakan untuk broiler dan pakan layer. Sedangkan yang dikeluarkan atau dijual hanya dua komoditas yakni telur ayam dan kulit sapi dengan volume masing-masing sekitar 1,4 juta butir dan 142 lembar kulit sapi per tahun.

0t5

Pembentukan Harga.

Keberhasilan usaha ternak utamanya ditinjau dari peningkatan pendapatan peternak sangat tergantung pada pembentukan harga yakni proses negosiasi antara peternak dengan calon pembeli. Pembentukan harga dalam transaksi ternak ditentukan oleh mekanisme pasar atau kekuatan permintaan dan penawaran, karena sifat dari pasar ternak yang bebas.

Di dalam prakteknya pembentukan harga tidak terlepas dari keterlibatan perantara, baik perorangan maupun lembaga pemasaran atau pelaku pemasaran lainya. Menurut Stanton, dkk (1990) perantara adalah orang atau badan yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran, menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen serta mempunyai hubungan organisasi satu dengan lainnya.

Secara empiris, peran perantara dalam pemasaran ternak dicerminkan pedagang pengumpul. Keberadaan pedagang pengumpul ini mempengaruhi pembentukan harga karena dalam melakukan pembelian ternak kepada peternak berpatokan pada standar harga yang ditetapkan pedagang besar. Pedagang pengumpul selalu berusaha menekan harga dari peternak agar mendapatkan marjin keuntungan yang besar.

Oleh karena itu meskipun di dalam prakteknya pembentukan harga antara pedagang pengumpul dengan peternak dilakukan melalui negosiasi, peternak tetap saja sebagai penerima harga (“price taker”) yang menerima harga jual lebih rendah dari pada taksiran harga, sehingga nilai tambah yang diperoleh tetap kecil.

Kondisi demikian tidak terlepas dari dua hal yakni (a) pasar ternak cenderung bersifat oligopoly sehingga pihak pedagang berperan dominan dalam penentuan harga dan (b) adanya kebiasaan petani menjual dalam kondisi terdesak kebutuhan uang tunai, sehingga berapapun yang ditawarkan pembeli disetujui. Adanya dominasi pedagang disatu sisi dan kabutuhan peternak yang mendesak, memperkuat domain pedagang dan memperlemah petani peternak yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak dari usaha ternaknya.

Keterlibatan lembaga pemasaran dalam pergerakan produk dari produsen kepada konsumen juga mempengaruhi proses pembentukan harga, karena masing-masing lembaga pemasaran berupaya mendapatkan keuntungan sebagai marjin usaha. Marjin terjadi karena biaya-biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan lainlain) dan keuntungan lembaga pemasaran (Tomek dan Robinson, 1987; Dahl dan Hamond, 1977; Cramer dan Jensen, 1979).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Kelembagaan Pasar

Tidak tercapainya pemasaran yang efisien yang salah satunya ditunjukkan oleh rendahnya margin keuntungan yang diterima peternak dapat dipandang sebagai indikator adanya permasalahan dalam kelembagaan pemasaran baik menyangkut pasar input maupun pasar output. Kadar permasalahan kelembagaan pasar tersebut dampaknya bagi peternak sangat dipengaruhi oleh jenis ternak yang dipelihara.

Permasalahan dalam kelembagaan pasar input sangat dirasakan dampaknya oleh peternak yang memelihara ayam ras, tetapi tidak bagi peternak ruminansia. Monopoli pengadaan pakan ternak (terutama untuk ayam) oleh beberapa perusahaan atau pabrik pakan sangat mempengaruhi kesinambungan usaha ternak. Sementara itu bagi peternak ruminansia, kelembagaan pasar input itu tidak terlalu besar pengaruhnya karena sifat peternak kecil masih banyak mengandalkan kondisi alam sebagai penyedia pakan, terkecuali untuk obat-obatan ternak.

Dampak yang paling dirasakan peternak ruminansia di lokasi penelitian adalah pada kelembagaan pasar output yang sering menyebabkan rendahnya nilai jual ternak. Permasalahana tersebut bisa disebabkan kurang berjalannya fungsi pemasaran baik fungsi transaksi, fungsi fisik dan fungsi pelancar.

Hasil pengamatan di lapangan telah teridentifikasi beberapa faktor yang diduga mempengaruhi kinerja kelembagaan pemasaran dalam usaha ternak yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam dua kelompok yakni faktor internal dan faktor eksternal. Aspek internal yang diduga mempengaruhi kinerja kelembagaan pasar input dan output di lokasi penelitian antara lain: (a) kurangnya akses kepada permodalan, (b) rendahnya penguasaan asset, (c) aksesibilias wilayah, pengalaman anggota, penguasaan pasar, akses informasi pasar. Kondisi internal yang melekat pada petani ternak ini pada akhirnya sering menjadikan ternak sebagai satu-satunya asset yang dipertaruhkan untuk menambah modal atau bahkan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ditinjau dari lingkungan ekternal, faktor yang mempengaruhi kinerja kelembagaan antar lain adanya dukungan kebijaksanaan pemerintah setempat terhadap pengembangan usaha ternak yang kondusif dan kondisi konsumen cukup baik. Kebijakan pemerintah bisa berdampak positip dalam arti menciptakan pasar yang kondusif, akan tetapi bisa juga berdampak negatif terutama ditinjau dari posisi peternak seperti misalnya yang menyangkut harga input dan output.

Sementara itu kondisi konsumen sebagai pihak yang akan memanfaatkan hasil ternak juga cukup penting keberadaannya. Preferensi konsumen yang tinggi terhadap hasil ternak karena kesadaran perlunya perbaikan gizi, dapat mendorong tingginya permintaan dan sebaliknya.

Disamping masalah eksternal seperti yang telah dikemukakan, masalah eksternal lainnya yang berpengaruh terhadap kinerja kelembagaan pasar input dan output adalah kondisi sosial politik dan keamanan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

  1. Kelembagaan pasar input dan pasar output mempunyai peran penting sebagai faktor determinan dalam usaha ternak terutama kaitannya dengan pendapatan peternak
  2. Di dalam pemasaran hasil ternak, posisi tawar (bargaining position) peternak sangat lemah karena struktur pasarnya cenderung oligopsony,
  3. Kinerja kelembagaan pasar dalam usaha ternak tidak hanya dipengaruhi faktor internal, akan tetapi juga ditentukan faktor eksternal;

Saran

Untuk meningkatkan kinerja pemasaran input dan output usaha ternak diperlukan dorongan untuk terwujudnya kemitraan yang saling menguntungkan antara pihak peternak dengan pihak lain yang menyediakan input dan yang akan memanfaatkan hasil ternak.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2000. Irian Jaya Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Irian Jaya Bekerjasama dengan Bappeda Provinsi Irian Jaya.

Cramer Gail L. and Clarence W. Jansen. 1979. Agricultural Economics & Agribusiness: An Introduction, John Willey & Sons, Inc.

Dahl, D. and J.W.Hamond. 1977. Market and Price Analysis.The Agricultural Industries. Mc Graww Hill. Book Company. USA.

Dinas Peternakan Nabire. 2003. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Nabire. Pemerintah Kabupaten Nabire.

Gunawan, M., Agus Pakpahan, dan Effendi Pasandaran. 1989. Perubahan Kelembagaan Pertanian Pada Pasca Adopsi Padi Unggul. Prosiding Patanas. Evolusi Kelembagaan Pedesaan Di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Kohls, R.L. and Joseph N. Uhl. 1990. Marketing of Agricultural Products. Seventh Edition. MacMillan Publishing Company. New York.

Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas. Evolusi Kelembagaan Pedesaan Di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Taryoto, A H. 1995. Analisis Kelembagaan Dalam Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. Penyunting Andin H Taryoto, dkk. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.

Tjiptono, F. 1998. Strategi Pemasaran. Penerbit Andi Yogyakarta.

Stanson, W.J., M.J. Etzel and B.J. Walker. 1994. Fundamentals of Marketing. 10th ed. New York. McGraww-Hill, Inc.

Tomek, W.G. and Kenneth L. Robinson. 1981. Agricultural Product Prices. Second Edition Cornell University Press. Ithaca and London.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.