Kelembagaan DAS

Supratman dan C.Yudilastiantoro

ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS JENEBERANG

(Analysis of Institutional System of Jeneberang Watershed Management)

Oleh: Supratman dan/and C.Yudilastiantoro

ABSTRACT

Application of autonomous era in management of forest resources causes the change of forestry management system from centralistic to decenterlistic systems. The change will have negative and positive implication to management of forest resources, it need the institutional system to create the synergist among regency/town that organize of forest resources, mainly regency or town which is in a Watershed Area system. This research is done in five different places; Manimbahoi, Bulutana, Parigi, Manuju and Borisallo villages; Gowa district; Sungguminasa regency. The research carried out in August – December 2003. In this research, the sample is taken by purposive method. The number of sample was 125 respondents. Kind of data which needed are primary and secondary data and analyzed by quantitative analysis and descriptive analysis. This research aim’s to analysis the integrated institutional system of forest resources management in Jenneberang Watershed. Result of research is obtained the essential institution that must be integrated to manage Jenneberang Watershed is central government, province government, regency/town government, rural government, local community institution and supporting institution, such as NGOs, private sector, and University institution.

Key words: institution, autonomous area, Jeneberang watershed.

ABSTRAK

Penerapan otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya perubahan sistem penyelenggaraan kehutanan dari sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan tersebut berimplikasi kepada adanya kewenangan yang lebih besar kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kehutanan. Pada sisi yang lain, desentralisasi kehutanan dapat berdampak sosial-ekonomi negatif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu pada bulan Agustus sampai Desember 2003. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Gowa dan Kota Makassar. Di Kabupaten Gowa di pilih Kecamatan Tinggi Moncong (mewakili wilayah hulu DAS) dan Kecamatan Parangloe (mewakili wilayah tengah DAS). Pada kedua kecamatan tersebut dipilih lima desa untuk disurvei intensif, yaitu Desa Manimbahoi, Bulutana, Parigi, Manuju, dan Desa Borisallo. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi masyarakat di wilayah DAS Jeneberang. Data sekunder diperoleh melalui survei, wawancara dengan masyarakat setempat dan dinas-dinas yang terkait, serta diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion). analisis data yang digunakan adalah Qualitative – Descriptive Analysis dan Quantitative – Descriptive Analysis serta analisis tabulasi frekwensi dan tabulasi silang

Hasil penelitian adalah perlunya dibangun suatu sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS yang terinterkoneksi antara hulu-hilir. Sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS Jenneberang yang terinterkoneksi mensyaratkan adanya peran yang jelas dan saling terkait antara kelembagaan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa, masyarakat setempat, dan lembaga penyangga seperti swasta, perguruan tinggi, dan LSM.

Kata kunci : Institusi/lembaga, otonomi daerah, DAS Jeneberang.

I. PENDAHULUAN

Penerapan otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya perubahan sistem penyelenggaraan kehutanan dari sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan tersebut berimplikasi kepada adanya kewenangan yang lebih besar kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kehutanan. Pada sisi yang lain, desentralisasi kehutanan dapat berdampak sosial-ekonomi negatif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan antara lain: (1) terjadinya pengecilan skala ekonomi akibat pengelolaan oleh kabupaten/kota (2) adanya kelebihan kegiatan (spillover) pengelolaan hutan oleh kabupaten/kota yang berada di daerah hulu terhadap kabupaten/kota di wilayah hilirnya, (3) terjadinya eksploitasi yang berlebih (over harvesting) untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sumberdaya hutan. Dampak sosial ekonomi negatif tersebut di atas disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat di daerah hulu dengan masyarakat di daerah hilir. Masyarakat di daerah hulu pada umumnya berkepentingan terhadap lahan dan hasil hutan yang bersifat tangible, sedangkan masyarakat hilir pada umumnya berkepentingan terhadap hasil hutan yang bersifat intangibel. Oleh karena itu desentralisasi kehutanan memerlukan sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang terintegrasi antara hulu-hilir. DAS Jeneberang yang wilayahnya mencakup Kabupaten Gowa (wilayah hulu), Kabupaten Takalar (wilayah tengah & hilir), dan Kota Makassar (wilayah hilir), mempunyai peranan penting terhadap aktivitas ekonomi masyarakat pada tiga kabupaten/kota tersebut. Aktivitas ekonomi (pengelolaan sumber daya hutan) di wilayah hulu DAS, selain berdampak insitu (on-site) bagi masyarakat Kabupaten Gowa, juga berdampak eksitu (out-site) bagi masyarakat Kabupaten Takalar dan Kota Makassar. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem kelembagaan pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang diteliti adalah sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan, tanah dan air; yang sinergis antar kabupaten/kota dalam wilayah DAS Jeneberang.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem kelembagaan pengelolaan DAS Jenneberang yang terinterkoneksi antar kabupaten/kota. Sistem kelembagaan yang terinterkoneksi tersebut dicirikan oleh adanya keterkaitan dan kejelasan peran para pihak yang terkait dalam sistem pengelolaan DAS Jeneberang.

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai referensi bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan sistem kelembagaan pengelolaan DAS Jeneberang yang sinergis antar kabupaten/kota.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu pada bulan Agustus sampai Desember 2003. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Gowa dan Kota Makassar. Di Kabupaten Gowa di pilih Kecamatan Tinggi Moncong (mewakili wilayah hulu DAS) dan Kecamatan Parangloe (mewakili wilayah tengah DAS) sebagai lokasi penelitian. Pada kedua kecamatan tersebut dipilih lima desa untuk disurvei intensif, yaitu Desa Manimbahoi, Bulutana, Parigi, Manuju, dan Desa Borisallo. Desa-desa tersebut dipilih karena pertimbangan-pertimbangan umum sebagai berikut:

  1. Masyarakat di masing-masing lokasi mempunyai hubungan historis yang panjang dengan hutan serta berkepentingan lansung terhadap kawasan hutan.
  2. Lokasi-lokasi tersebut direncanakan akan dihijaukan oleh pengelola Bendungan Bili-Bili untuk mendukung keberlanjutan fungsi bendungan Bili-Bili.

B. Metode Analisis

1. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi masyarakat di wilayah DAS Jeneberang Kabupaten Gowa. Data ini diperoleh melalui survei, wawancara dengan masyarakat setempat dan dinas-dinas yang terkait, serta diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion).

Data sekunder terdiri atas data kondisi umum wilayah DAS Jeneberang Kabupaten Gowa, dan aspek-aspek sosial ekonomi DAS Jeneberang terhadap masyarakat Kota Makassar. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yaitu: Pemerintah Kabupaten Gowa dan Pemerintah Kota Makassar, serta laporan-laporan penelitian yang terkait.

2. Pengolahan dan Analisis Data

Sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan dalam kajian ini, maka metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah Qualitative – Descriptive Analysis dan Quantitative – Descriptive Analysis serta analisis tabulasi frekwensi dan tabulasi silang.

III. HASIL PENELITIAN

A. Analisis Kecenderungan DAS Jeneberang

1. Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 1986/1987, tahun 1995/1996, dan hasil interpretasi citra landsat tahun 2000/2001, diketahui bahwa telah terjadi penyusutan luas kawasan berhutan pada DAS Jeneberang selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1986/1987 luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan adalah seluas 17.450 ha, sedangkan pada tahun 2003 seluas 13.648 ha, yang berarti telah terjadi penurunan luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan sebesar 21,79% atau rata-rata sebesar 1,5% per tahun (Tabel 1).

0t1

Hasil interpretasi citra landsat terbaru (tahun 2002) oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering mendominasi wilayah DAS Jeneberang yakni sebesar 69,4%, sedangkan luas penutupan hutan relatif kecil yakni sebesar 4,4 %. Perubahan penutupan lahan tersebut disebabkan oleh terjadinya konversi kawasan hutan menjadi permukiman dan kebun campuran, serta penebangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar
masyarakat.

2. Hidrologi

Debit rata-rata harian hasil analisis data selama 20 tahun yang dilakukan oleh CTI Engineering Co., LTD (1999) adalah sebesar 36,2 m3/detik, debit maksimum sebesar 103,2 m3/detik, debit minimum sebesar 3,8 m3/detik, dengan ratio antara debit minimum dan debit maksimum sebesar 1 : 27. Hal ini menunjukkan kondisi DAS Jeneberang relatif masih baik, seperti disajikan pada Tabel 2.

0t2

Data debit DAS Jeneberang selama 5 tahun terakhir (1999 – 2003) menunjukkan ratio debit minimum dan debit maksimum yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

3. Erosi dan Sedimentasi

Hasil pengukuran angkutan sedimen pada alur sungai Jeneberang yang pernah dilakukan selama rentang waktu 15 tahun, yaitu tahun 1986 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan kecenderungan peningkatan sedimen rata-rata sebesar 40 ton/km2/tahun dengan laju rata-rata sebesar 2,67%/tahun (Tabel 3).

0t3

Zubair (2001) membuat simulasi pendugaan laju sedimen pada DAS Jeneberang berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada saat ini, yaitu laju sedimenasi akan meningkat sebesar 24,2% pada tahun 2005, dan sebesar 122,8% pada tahun 2010, lebih tinggi dari pada laju yang diperkenankan masuk ke Dead Storage Capacity (DSC) bendungan Bili-Bili jika tidak dilakukan upaya pengendalian sedimen. Hal ini akan berdampak kepada berkurangnya umur bendungan dari 50 tahun menjadi 16 tahun.

B. Sosial Ekonomi Masyarakat

Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang pada tahun 2001 adalah sebanyak 79.314 jiwa, jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 16.214 KK, kepadatan penduduk sebesar 160 orang/km2, dengan laju pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar 1,2 %/tahun. Struktur penduduk desa-desa di wilayah DAS Jeneberang didominasi oleh penduduk umur produktif, dengan tingkat pendidikan umumnya rendah (SD; 85,6%). Mata pencaharian penduduk umumnya adalah petani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain mengelola lahan di luar kawasan hutan rata-rata seluas 0,4 – 4,0 ha/KK, masyarakat juga mengelola lahan di dalam kawasan hutan dengan luas rata-rata sebesar seluas 0,075 – 0,1 ha/KK. Pendapatan rata-rata masyarakat dari aktifitas usahatani di luar kawasan hutan adalah sebesar Rp. 2.741.038,-/tahun, sedangkan dari dalam kawasan hutan rata-rata sebesar Rp. 1.531.100,-/tahun. Aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan antara lain kebun campuran, dan pemanfaatan hasil hutan seperti kayu bakar, kayu pertukangan,  rempah-rempah, obat-obatan, buah-buahan, madu, dan gula merah.

Masyarakat di sekitar catchment area DAS Jeneberang menyadari perlunya hutan di wilayahnya tetap dilestarikan, agar produksi air untuk usahatani mereka dan untuk masyarakat Kabupaten Gowa dan kabupaten lain dapat berkelanjutan. Namun demikian, mereka tetap berharap kawasan hutan tersebut dapat memberikan penghasilan tambahan kepada masyarakat setempat.

Hasil diskusi dengan responden diketahui masalah utama pengelolaan catchment area DAS Jeneberang yaitu, perambahan dan pencurian kayu oleh oknum tertentu, dan masalah tata batas yang pada kasus-kasus tertentu tidak diterima oleh masyarakat. Solusi yang diharapkan masyarakat kepada pemerintah apabila mereka dilarang beraktivitas di dalam kawasan hutan adalah, pembangunan fasilitas yang dapat mengoptimalkan usahatani di luar kawasan hutan seperti fasilitas jalan dan irigasi, peningkatan kapasitas petani berusahatani, penyediaan lapangan kerja baru, transmigrasi lokal dan pemberian modal usaha.

Pada dasarnya, masyarakat di daerah hulu menyadari dampak aktivitas usahatani mereka terhadap daerah hilir, dan mempunyai persepsi perlunya fungsi ekologi hutan di daerah hulu dijaga untuk mencegah ancaman banjir, tanah longsor, dan erosi. Namun demikian, tuntutan ekonomi rumah tangga dan tidak tersedianya alternatif pekerjaan yang lain, menyebabkan sulitnya untuk menghindari interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya.

C. Keterkaitan Ekonomi Hulu-Hilir DAS Jenneberang

Sumberdaya hutan di wilayah catchment area DAS Jenneberang memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat di sekitarnya terutama masyarakat di wilayah hulu yang berupa hasil hutan kayu dan bukan kayu seperti obat-obatan, rempah-rempahan, getah, rotan, bambu, buah, madu, bibit, aren, hewan buruan seperti babi, air, dan tempat rekreasi. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa (2003), produksi hasil hutan pada tahun 2002 terdiri atas, produksi kayu IPKTM sebesar 468,98 m3, kayu bakar sebesar 4.995 truk, getah pinus sebesar 251,776 ton, rotan sebesar 69,93 ton, dan bambu sebesar 58.224 batang. Produksi hasil hutan dari masyarakat di wilayah hulu memberikan PAD bagi Kabupaten Gowa sebesar Rp. 134.248.736,- pada tahun 2002.

Masyarakat di wilayah hilir memanfaatkan hasil hutan/jasa DAS Jenneberang dalam bentuk pengaturan tata air untuk suplay permintaan air minum dan air irigasi. Suplay air minum DAS Jenneberang untuk masyarakat Kota Makassar, saat ini sebesar 1.250 liter/detik atau sebesar 54,6% dari total debit air yang dikelola oleh PDAM Makassar.

D. Sistem Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan DAS Jenneberang Yang Sinergis Antar Kabupaten/Kota

Hasil analisis terhadap kecenderungan-kecenderungan yang terjadi pada DAS Jeneberang, aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah hulu, serta keterkaitan ekonomi hulu-hilir sepeti yang telah diuraikan di atas mengindikasikan perlunya suatu sistem kelembagaan yang terinterkoneksi antara hulu-hilir. Hasil diskusi stakeholder pada saat FGD disimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan catchment area DAS Jeneberang memerlukan suatu sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan yang sinergis antara lembaga-lembaga yang terkait. Peran masing-masing lembaga harus jelas dan saling terkait antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Lembaga dan peran masing-masing lembaga yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah Pusat

a. Pemerintah pusat, dalam hal ini diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Pengelolaan DAS Jeneberang-Walanae membuat Rencana Makro Pengelolaan (rehabilitasi, pemeliharaan, pembinaan, perlindungan, dan pengamanan) DAS Jeneberang, yang mencakup kawasan hutan dan kawasan bukan hutan.
b. Melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan DAS Jeneberang.

2. Pemerintah Provinsi

a. Mengkoordinasikan keterkaitan antar kabupaten/kota dalam lingkup wilayah DAS melalui suatu sistem kelembagaan pengelolaan DAS Jenneberang.
b. Membuat pedoman-pedoman dan aturan-aturan sistem perencanaan dan pengelolaan DAS, serta aturan-aturan hubungan antar kabupaten/kota dalam mengelola DAS.
c. Menfasilitasi dan mengkoordinasikan anggaran pengelolaan DAS, yang mencakup sumber-sumber anggaran dan alokasi anggaran pada setiap kabupaten/kota.
d. Menfasilitasi penguatan kelembagaan/organisasi pengelolaan DAS sehingga pedoman-pedoman dan aturan-aturan sistem perencanaan dan pengelolaan DAS yang dibuat pemerintah provinsi dipatuhi oleh pemerintah kabupaten/kota.
e. Menfasilitasi pelaksanaan pembinaan, monitoring, pengawasan, dan pengendalian kerjasama lintas kabupaten/kota dalam wilayah DAS Jenneberang.

3. Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Menjabarkan Rencana Makro DAS yang dibuat oleh pemerintah pusat, kedalam perencanaan kabupaten/kota.
b. Melakukan pengelolaan secara umum (rehabilitasi, pemeliharaan, pembinaan, perlindungan, pengamanan).
c. Menfasilitasi pemerintah desa menjabarkan perencanaan pengelolaan DAS kabupaten/kota ke dalam perencanaan mikro desa.
d. Mengawasi dan mengkoordinasikan pengelolaan unit-unit lahan (building block) yang dilakukan oleh lembaga desa.
e. Mengkoordinasikan anggaran rehabilitasi, pemeliharaan, pembinaan, perlindungan, dan pengamanan DAS ke desa-desa dalam lingkup wilayahnya.
f. Membuat petunjuk teknis dan aturan-aturan sistem perencanaan dan pengelolaan DAS, serta aturan-aturan hubungan antar desa di wilayah kabupaten/kota dalam mengelola DAS.
g. Menjabarkan anggaran rehabilitasi, pemeliharaan, pembinaan, perlindungan, dan pengamanan DAS kedalam anggaran desa.
h. Mengembangkan sistem kelembagaan kehutanan pada tingkat desa
i. Melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan, dan pengendalian pelaku usaha di dalam catchment area DAS Jeneberang.

4. Pemerintah Desa

a. Menjabarkan perencanaan kabupaten/kota dalam bentuk perencanaan mikro desa, yang difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota.
b. Melaksanakan kegiatan pengelolaan pada unit-unit lahan (building block) yang ada di desanya.
c. Pemerintah desa membuat aturan-aturan agar kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan, pembinaan, perlindungan, dan pengamanan DAS dalam wilayah desanya dapat berjalan dengan baik, antara lain penentuan hak dan kewajiban pelaku usaha yang ada di dalam catchment area DAS.

5. LSM

a. Mengembangkan kapasitas masyarakat mengelola sumberdaya hutan
b. Membangun dan atau memperkuat kelembagaan lokal masyarakat
c. Menfasilitasi terjalinnya komunikasi yang intensif dan produktif antara masyarakat dengan pihak-pihak yang terkait seperti pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi/lembaga riset yang terkait, dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
d.Melakukan advokasi dan sosialiasi kebijakan kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

6. Perguruan Tinggi

Melakukan kajian-kajian teknis-ilmiah, memberikan input-input pemikiran konseptual serta pertimbangan teknis-ilmiah terhadap pelaksanaan pengelolaan DAS.

7. Swasta

Kelembagaan swasta diharapkan selain mengolah dan memasarkan hasil hutan juga diharapkan dapat menjadi sumber dana alternatif rehabilitasi hutan, serta membina masyarakat mengelola unit usaha kehutanan. Dalam hal ini diperlukan kemitraan antara kelembagaan swasta dengan kelembagaan lainnya mengelola catchment area DAS Jeneberang.

8. Masyarakat Setempat

a. Rumah tangga petani (house hold) mengelola secara mandiri kawasan hutan secara individu atau berkelompok dengan luasan yang sesuai dengan kemampuannya
b. Status kepemilikan kawasan hutan yang dikelola oleh rumah tangga petani adalah bersifat kolektif (collective owner) oleh lembaga desa, sedangkan rumah tangga petani hanya diberi hak untuk memanfaatkan kawasan hutan (use right)
c. Rumah tangga petani berhak memindahtangankan pengelolaan kawasan hutan yang dia kelola kepada pihak lain (pemerintah, swasta, sesama petani) sesuai aturan-aturan yang telah disepakati, tanpa merubah status hak terhadap kawasan hutan.
d. Rumah tangga petani diberi kesempatan menanam jenis-jenis pohon yang mereka inginkan dan memanennya sesuai keinginan mereka, dengan pola-pola yang tidak bertentangan dengan tujuan pengelolaan catchment area DAS.
e. Point (a) sampai (d) seyogyanya dituangkan dalam bentuk PERDES dan diusahakan menjadi PERDA Kabupaten.

Agar fungsi konservasi tanah dan air pada setiap unit-unit lahan (building block) yang dikelola oleh masyarakat berjalan dengan baik, maka sistem monitoring dan evaluasi dilaksanakan pada setiap unit-unit lahan (building block) tersebut. Monitoring dan evaluasi dialaksanakan secara bersama-sama oleh semua lembaga yang terkait. Dana pengelolaan catchment area DAS Jeneberang dapat bersumber dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi (seperti DAK/DR), pemerintah kabupaten/kota di wilayah hilir (antara lain dari dana kompensasi PDAM Makassar), pemerintah kabupaten Gowa (APBD), dan lembaga donor. Dana-dana pengelolaan catchment area DAS Jeneberang tersebut dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten Gowa ke dalam sistem anggaran desa, yang selanjutnya dikelola oleh lembaga desa yang akan melaksanakan pengelolaan hutan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

  1. Kecenderungan-kecenderungan yang terjadi pada DAS Jeneberang, aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah hulu DAS Jeneberang, serta keterkaitan ekonomi hulu-hilir menyebabkan perlunya dibangun suatu sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS yang terinterkoneksi antara hulu-hilir.
  2. Sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS Jenneberang yang terinterkoneksi mensyaratkan adanya peran yang jelas dan saling terkait antara kelembagaan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa, masyarakat setempat, dan lembaga penyangga seperti swasta, perguruan tinggi, dan LSM.

B. Saran

  1. Pemerintah provinsi perlu menetapkan kebijakan tentang pembentukan kelembagaan sistem perencanaan dan pengelolaan DAS Jeneberang lintas kabupaten/kota.
  2. Pemerintah kabupaten/kota perlu membuat petunjuk teknis dan aturan-aturan sistem perencanaan dan pengelolaan DAS, serta aturan-aturan hubungan antar desa di wilayah kabupaten/kota dalam mengelola DAS, yang mengacu kepada kebijakan yang dibuat pemerintah daerah provinsi.
  3. Pemerintah Kabupaten Gowa perlu membuat perda yang mengatur tentang tata guna lahan desa serta hak dan kewajiban setiap pengguna lahan di desa dalam wilayah DAS Jeneberang hulu.
  4. Pemerintah desa perlu membangun sistem kelembagaan lokal yang memberikan akses kepada masyarakat mengelola sumberdaya hutan untuk mendukung pengelolaan DAS Jeneberang.

DAFTAR PUSTAKA

CTI Engineering Co., LTD. 1987. Bili-Bili Multipurpose DAM Project, Definitive Plan Report. Jakarta.

CTI Engineering Co., LTD. 2001. Design note Soil Conservation and Revegetation Works Stage II. Jakarta.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin, 2000. Pengelolaan Terpadu DAS Jeneberang Tahap I. Makassar.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin, 2001. Study on Integrated Management of Jeneberang Watershad Phase II. Makassar.

PDAM Makassar, 2003. Company Profile PDAM Kota Makassar. Makassar.

Zubair. Hazairin (2001). Model Pengendalian Sedimen untuk Melestarikan Fungsi Waduk Bili-Bili di DAS Jeneberang Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian UnivesrsitasHasanuddin. Makassar.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.