Kelembagaan DAS

Hendro Prahasto

PERANAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN DAS

Oleh: Hendro Prahasto, Peneliti Pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor

Dalam: Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

Ringkasan

Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, maka kewenangan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam sangat beragam. Dengan demikian penyelenggaraan pengelolaan DAS pada era otonomi daerah menemui beberapa kendala, khususnya untuk DAS lintas kabupaten/ propinsi, karena hambatan koordinasi dan integrasi program dalam DAS antar kabupaten/kota propinsi. Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dalam pengelolaan DAS hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam penyusunan rencana pengelolaan,dan penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi/kabupaten/kota. Penetapan DAS prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu masih ditangani oleh Pemerintah Pusat. Padahal, pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dan harus dipandang sebagai satu sistem yang utuh dari hulu sampai hilir, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di daerah DAS tersebut. Mengingat hal tersebut, perlu adanya pembagian peran yang tepat dan selaras baik antar wilayah kabupaten/kota dalam propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalam kabupaten/kota (horisontal) secara harmonis. Salah satu pembagian peran tersebut adalah berkaitan dengan kontribusi pembiayaan dari daerah hilir ke hulu untuk merehabilitasi lahan di kawasan lindung dan pemberian insentif sebagai kompensasi agar fungsi kawasan lindung tetap terjaga.

Kata kunci : peran, insentif hulu-hilir, daerah aliran sungai

I. PENDAHULUAN

Keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan yang kemudian direvisi menjadi PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. DAS adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (Departemen Kehutanan, 2001).

Pengelolaan DAS adalah bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan dimana bagian hulu dan bagian hilirnya mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilirnya dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan sediment serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Sejumlah DAS di Jawa saat ini banyak mengalami kerusakan sehingga fungsi DAS sebagai pengatur tata air tidak dapat bekerja secara optimal. Sebanyak 61 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki ancaman bencana ekologis yang tinggi, karena wilayah itu mengalami deforestasi yang sangat besar selama dua tahun terakhir (Suara Pembaruan, 2006). Saat ini, luas kawasan hutan yang terdegradasi di Pulau Jawa sudah mencapai 330.000 hektare dan deforestasi juga terjadi di 76 titik kawasan konservasi dan hutan lindung yang berada di lima provinsi di Pulau Jawa selain DKI Jakarta. Kerugian ekonomi akibat degradasi hutan Pulau Jawa diperkirakan tidak kurang dari Rp 8,37 triliun per tahun, sedangkan akibat kritisnya areal DAS/Sub- DAS seluas 10,7 juta hektare akan menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 37 triliun per tahun (Suara Pembaruan, 2006). Angka kerugian akibat degradasi hutan merupakan nilai kehilangan subsidi langsung ekologis dari kawasan konservasi dan hutan lindung untuk sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Sementara itu angka kerugian akibat kritisnya DAS berasal dari kerugian akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor dan kekeringan.

Salah satu program penyelamatan lingkungan dapat dilakukan antara lain adalah melalui program pengelolaan DAS terpadu, yang melibatkan pemangku kepentingan lintas sector dan lintas wilayah. Pengelolaan DAS merupakan kegiatan yang multi dimensi seperti berdimensi biofisik (pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan kritis, pengelolaan tanaman pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (insentif dan disinsentif, peraturan yang berkaitan dengan tata ruang dan ekonomi); berdimensi social (terkait dengan social budaya masyarakat setempat). Dengan demikian pengelolaan DAS tidak dapat dilakukan secara sektoral karena ada keterkaitan antar sector sehingga perlu dilakukan secara holistic dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Menurut PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan DAS hanya terbatas pada pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. Keterbatasan kewenangan yang sama juga berlaku bagi Pemerintahan Daerah Provinsi. Sementara itu, penetapan DAS prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu masih ditangani oleh Pemerintah Pusat.

Kawasan DAS hulu memiliki potensi ekonomi yang cukup besar, namun karena pertimbangan perlindungan kawasan, baik ekosistem di pegunungan maupun pemukiman yang jauh di bawahnya sehingga akhirnya tidak bisa dimanfaatkan. Agar kawasan lindung atau daerah tangkapan air tetap dipertahankan sesuai dengan fungsinya maka perlu adanya kompensasi yang diberikan kepada petani atau pemilik lahan di daerah tersebut. Salah satu sumber dana kompensasi adalah subsidi silang dari penduduk di daerah hilir DAS untuk masyarakat di daerah hulu DAS. Untuk dapat merealisasikan perlindungan kawasan lindung atau daerah tangkapan air perlu ada kerjasama dan saling pengertian antara Pemerintah Daerah-Pemerintah Daerah yang ada di sekitar kawasan tersebut. Dengan adanya pembayaran kompensasi tersebut diharapkan masyarakat di daerah hulu mengkonservasi kawasan lindung atau daerah tangkapan air. Dengan demikian masyarakat di daerah hilir dapat terhindar dari bencana yang sering terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, serta sedimentasi sungai, waduk dan saluran irigasi. Oleh sebab itu dalam pengelolaan kawasan konservasi di DAS hulu tidak terlepas dari peran Pemerintahan Daerah dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan di daerah tersebut.

II. METODA PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil contoh instansi pemerintah di tiga Pemerintah Kabupaten yang masuk wilayah DAS Citarum dan Pemerintah Provinsi dimana DAS Citarum berada. Pemilihan lokasi penelitian (kabupaten) dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan hulu-hilir. Ketiga kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bandung (DAS bagian hulu), Kabupaten Purwakarta (DAS bagian tengah), dan Kabupaten Karawang (DAS bagian hilir).

B. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan di instansi pemerintah yang terkait dengan pembiayaan dan insentif dalam pengelolaan DAS. Jumlah instasi yang disurvei tersebar di Kabupaten Bandung (9 instansi), Kabupaten Purwakarta (10 instansi), Kabupaten Karawang (7 instansi) dan Provinsi Jawa Barat (11 instansi). Instansi pemerintah yang disurvei adalah BAPPEDA, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pengairan, Dinas Pemukiman, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, Perusahaan Air Minum Daerah dan Perum Jasa Tirta II.

Data dikumpulkan secara langsung di instansi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan DAS dengan melakukan wawancara dengan pejabat yang paham akan kegiatan pengelolaan DAS. Dari masingmasing instansi pemerintah ditetapkan sebanyak dua pejabat untuk mewakili instansinya. Data yang dikumpulkan adalah pendapat atau pandangan dari masing-masing instansi pemerintah yang berkaitan dengan pembiayaan dan insentif dalam pengelolaan DAS, dengan cara pemberian nilai skoring atau peringkat dari masing-masing kriteria dan alternatif.

C. Analisis Data

Masalah pembiayaan dan insentif dalam pengelolaan DAS memerlukan solusi yang tepat. Untuk itu perlu diketahui factor-faktor apa yang berpengaruh sehingga Pemerintah Daerah di wilayah DAS hilir bersedia memberikan kontribusi pembiayaan untuk rehabilitasi lingkungan ke Pemerintah Daerah di wilayah DAS hulu. Dengan menggunakan factorfaktor yang berpengaruh tersebut maka berbagai alternative kebijakan pembiayaan pengelolaan DAS dapat diusulkan lebih efektif. Demikian pula dengan mengetahui criteria prioritas lokasi kegiatan insentif rehabilitasi lingkungan di wilayah DAS hulu maka alternative kebijakan insentif rehabilitasi lingkungan di DAS hulu dapat ditetapkan secara tepat.

Untuk menentukan factor dan alternative baik dalam pembiayaan maupun insentif pengelolaan DAS digunakan metoda Analytic Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1980). AHP digunakan untuk memperoleh skala rasio dari beberapa perbandingan berpasangan baik yang bersifat diskrit maupun kontinu. Perbandingan berpasangan tersebut dapat diperoleh melalui pengukuran actual atau pengukuran relative dari derajat kesukaan, atau kepentingan atau perasaan.

Penggunaan AHP diawali dengan membuat struktur hierki atau jaringan dari permasalahan yang akan diteliti. Menurut Teknomo dkk (1999) ada beberapa prosedur yang harus dilakukan, yaitu:

  • Mendefinisikan struktur hierarki masalah yang akan diselesaikan,
  • Melakukan pembobotan elemen-elemen pada setiap tataran dari hierarki,
  • Menghitung prioritas dan konsistensi pembobotan,
  • Menampilkan urutan dari alternative-alternatif yang dipertimbangkan.

Di dalam hierarki terdapat tujuan, factor/criteria dan alternatif-alternatif yang akan dibahas. Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS disusun berdasarkan 3 elemen. Ketiga elemen tersebut adalah (i) kesinambungan pasokan air permukaan dan air tanah, (ii) turunnya laju pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi dan (iii) berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor. Sementara itu kerusakan kawasan lindung atau resapan air di DAS wilayah hulu dapat dapat dikelompokan menjadi tiga elemen, yaitu kerusakan kawasan lindung di (i) areal pertanian, (ii) areal pemukiman dan (iii) kawasan hutan. Di ketiga areal tersebut merupakan elemen penting yang perlu untuk dibenahi pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya sehingga tidak menimbulkan dampak negatif di daerah hilirnya,. Untuk itu perlu adanya insentif atau disinsentif yang diberikan kepada pemilik atau penguasa lahan di kawasan lindung agar pemanfaatannya tidak merusak lingkungan. Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS dan insentif pengelolaan DAS dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

0g1
Gambar 1. Struktur hierarki pembiayaan pengelolaan DAS
0g2
Gambar 2. Struktur hierarki insentif dan disinsentif pengelolaan DAS

Garis-garis yang menghubungkan kotak-kotak antar level merupakan hubungan yang perlu diukur dengan perbandingan berpasangan dengan arah ke level yang lebih tinggi. Level 1 merupakan tujuan dari penelitian yaitu mekanisme pembiayaan dan insentif dalam pengelolaan DAS. Sementara itu level 2 dalam mekanisme pembiayaan pengelolaan DAS adalah elemen jasa lingkungan yang diharapkan akan diterima oleh masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir DAS sebagai kompensasi dari keterlibatannya dalam pembiayaan pengelolaan DAS di daerah hulu, sedangkan level 2 dalam mekanisme insentif dalam pengelolaan DAS adalah elemen kawasan lindung yang akan diberi insentif dalam pengelolaan DAS. Level 3 merupakan alternative penyaluran dana hilir-hulu dan alternatif penyaluran atau pemberian insentif untuk merehabilitasi kawasan lindung.

0t1

Penentuan tingkat kepentingan pada setiap level terhadap pendapat pemangku kepentingan dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison). Teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan cara membandingkan antara elemen satu dengan elemen yang lainnya dalam satu level secara berpasangan sehingga diperoleh nilai kepentingan dari masingmasing elemen. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numeric pada setiap elemen yang dibandingkan dengan wawancara langsung  dengan pemangku kepentingan. Untuk mengkuantifikasikan data yang bersifat kualitatif tersebut digunakan skala banding berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty (1980) seperti tercantum dalam Tabel 1.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembiayaan dan Insentif Pengelolaan DAS

Tujuan utama dari hirarki ini adalah menyusun Konsep Mekanisme Pembiayaan dan Insentif dalam Pengelolaan DAS. Beberapa elemen atau kriteria mekanisme pembiayan pengelolaan DAS dikembangkan dengan mempertimbangkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan faktor dominan yang bermanfaat bagi daerah hilir sehingga masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir bersedia memberikan kontribusi terhadap pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung di daerah hulu DAS.

Elemen-elemen yang dimaksud adalah tersedianya kesinambungan pasokan air tanah dan permukaan, menurunnya laju pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi dan berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor. Sementara itu kriteria mekanisme insentif pengelolaan DAS disusun berdasarkan pertimbangan bahwa dana yang telah diperolehnya dari masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir DAS akan digunakan untuk memperbaiki pemanfaatan lahan di kawasan lindung atau daerah tangkapan air di daerah hulu DAS. Perbaikan pemanfaatan lahan di kawasan lindung akan diprioritaskan di areal pertanian, areal pemukiman dan kawasan hutan.

1. Pembiayaan dalam pengelolaan DAS

Dari analisis AHP yang terkait dengan elemen kriteria (level 2) yaitu, prioritas jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat atau Pemerintah Daerah di daerah hilir DAS berdasarkan data yang dikumpulkan dari beberapa instansi pemerintah di tiga Pemerintah Kabupaten (Bandung, Purwakarta dan Karawang) dan satu Pemerintah Provinsi (Jawa Barat) diperoleh hasil sebagai berikut.

0t2

0gr1
Grafik 1. Nilai prioritas jasa lingkungan dari kawasan lindung

Tabel 2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan instansi pemerintah di lokasi penelitian menempatkan jasa lingkungan kesinambungan pasokan air tanah dan permukaan sebagai prioritas utama (48,4%). Sementara itu, jasa lingkungan menurunnya laju pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi menempati peringkat kedua (30,8%), dan berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor menduduki peringkat ketiga (20,7%).

Ini berarti jasa lingkungan kesinambungan pasokan air tanah dan permukaan hampir dua setengah kali lebih penting dari pada jasa lingkungan berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor, dan lebih dari satu setengah kali lebih penting dari pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi.

Namun, bila dilihat dari sisi lokasi penelitian (dari hulu sampai hilir) nampak ada perbedaan dalam menetapkan elemen prioritas. Instansi pemerintah di Kabupaten Bandung menempatan elemen kesinambungan pasokan air tanah & permukaan dan elemen berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor mempunyai prioritas yang sama. Pemberian nilai jasa lingkungan berkurangnya bencana banjir dan tanah longsor yang lebih tinggi dibandingkan dengan instansi pemerintah di Kabupaten Purwakarta dan Karawang serta Provinsi Jawa Barat dapat dimaklumi, mengingat di wilayah Kabupaten Bandung akhirakhir ini sering terjadi bencana banjir yang menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Banjir pada akhir Februari 2005 yang terjadi di kawasan Bandung Selatan, seperti di Cisirung, Dayeuhkolot, dan Majalaya, membuat perusahaan tekstil di Bandung merugi hingga Rp 900 miliar. Sebanyak 45 industri harus mengeluarkan dana tambahan untuk dapat berproduksi kembali. Selain itu, masih banyak lagi (lebih dari 200 unit) usaha kecil menengah dan rumah tangga di Majalaya menjadim korban banjir, sehingga bila seluruhnya dijumlah besaranya kerugian akan lebih besar lagi. Selain itu juga masih ada kerugian lain yaitu berupa pembayaran klaim produksi yang tertunda kepada pembeli di luar negeri mengeluarkan biaya yang jumlahnya tidak sedikit (Kompas, 2005). Sebaliknya, di Kabupaten Purwakarta dan Karawang bencana banjir dan tanah longsor relative jarang terjadi.

Setelah analisis level 2 diselesaikan maka analisis dilanjutkan pada level 3 yaitu prioritas pemilihan alternative skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung atau daerah tangkapan air yang dilakukan oleh masingmasing Pemerintah Daerah baik di daerah hulu maupun di daerah hilir.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung atau daerah tangkapan air di daerah hulu DAS cenderung dilakukan melalui program kolaborasi hulu-hilir (54,6%), bantuan subsidi dari hilir ke hulu (28,6%) dan pengembalian pajak air yang dipungut oleh Pemerintah Daerah di daerah hilir ke Pemerintah Daerah di daerah hulu Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 126 (16,8%). Rincian tingkat prioritas alternative pembiayaan rehabilitasi di kawasan lindung atau daerah tangkapan air dapat diikuti pada Tabel 3.

0t3
0gr2
Grafik 2. Skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung

Untuk prioritas skema pembiayaan rehabilitasi di kawasan lindung atau daerah tangkapan air di daerah hulu DAS, semua instansi pemerintah di kabupaten (Bandung, Purwakarta dan Karawang) dan provinsi Jawa Barat sepakat memilih elemen program kolaborasi rehabilitasi sebagai prioritas utama (54,6%). Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua atau lebih pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan yang berbeda menghadapi masalah yang sama, dan secara konstruktif mencari format kerjasama dalam perbedaan yang ada untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Program kolaborasi dilaksanakan antara Pemerintah Daerah di daerah hilir dengan Pemerintah Daerah di daerah hulu DAS. Walaupun sampai saat ini antar Pemerintah Daerah di daerah hulu dan hilir belum ada nota kesepahaman, namun apabila antar Pemerintah Daerah telah ada kesamaan visi dan misi dalam memandang pelestarian lingkungan bersama, maka program kolaborasi rehabilitasi di kawasan lindung atau daerah tangkapan air tidak banyak hambatan untuk direalisasikan. Hasil uji sidik ragam yang dilakukan terhadap tiga alternatif skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung, menunjukkan hasil yang singnifikan. Ini berati ke tiga alternatif skema pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung tersebut mempunyai bobot yang berbeda.

Sementara itu alternative pembiayaan pengelolaan DAS melalui bantuan subsidi dari Pemerintah Daerah di daerah hilir ke Pemerintah Daerah daerah hulu menempati peringkat kedua (28,6%), sedangkan alternative pembiayaan melalui pengembalian pajak air yang telah dipungut oleh Pemerintah Daerah di daerah hilir ke Pemerintah Daerah di daerah hulu menempati peringkat terakhir. Alternatif pembiayaan pengelolaan DAS melalui skema ini merupakan pilihan terakhir dari seluruh Pemerintah Daerah di wilayah hulu-hilir. Dipilihnya skema ini sebagai pilihan terakhir oleh semua Pemerintah Daerah, mungkin dikarenakan sampai saat ini belum tersedia mekanisme transfer pajak dari daerah satu ke daerah lain. Disamping itu juga besarnya pajak air yang dipungut nilainya relative kecil sehingga nilainya tidak seimbang dengan kebutuhan biaya yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi kawasan lindung atau daerah tengkapan air di daerah hulu DAS.

2. Insentif dalam pengelolaan DAS

Hasil analisis pada elemen level 2 (criteria) menunjukkan bahwa elemen kawasan hutan (hutan produksi dan hutan lindung) menduduki peringkat pertama dalam memperoleh insentif pembiayaan rehabilitasi di kawasan lindung. Sementara itu prioritas kedua dan ketiga insentif pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung berturut-turut diberikan kepada elemen areal pertanian dan areal pemukiman. Nilai prioritas insentif pembiayaan rehabilitasi menurut fungsi pemanfaatannya sangat signifikan antara satu dengan yang lain. Nilai prioritas insentif kawasan hutan adalah di atas 4 kali lebih penting dibandingkan dengan areal pemukiman, dan hampir 2,5 kali lebih penting dibandingkan dengan areal pertanian. Rincian nilai prioritas pemberian insentif pembiayaan kawasan lindung  atau daerah tangkapan air di daerah hulu DAS menurut lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

0t4
0gr3
Grafik 3. Nilai prioritas insentif pembiayaan di kawasan lindung

Dari Tabel di atas juga dapat dilihat bahwa persepsi instansi pemerintah dalam menetapkan peringkat dalam pemberian insentif di tiga pemerintah kabupaten dan satu pemerintah provinsi menunjukkan hasil yang cenderung sama. Ini menunjukkan bahwa semua instansi pemerintah di lokasi penelitian sepakat bahwa kawasan hutan merupakan kawasan yang harus segera direhabilitasi agar tidak menimbulkan dampak negative yang lebih buruk lagi, baik bagi masyarakat yang tinggal di daerah hulu maupun hilir DAS.

Analisis selanjutnya adalah untuk mengetahui skema pemberian insentif yang banyak dipilih oleh instansi pemerintah untuk merehabilitasi kawasan lindung atau daerah tangkapan air. Ada tiga skema pemberian insentif untuk merehabilitasi kawasan lindung, yaitu (i) pemberian keringan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada petani atau pemilik lahan yang telah memanfaatkan lahannya sesuai dengan peruntukannya; (ii) pemberian subsidi kepada petani atau pemilik lahan tidur atau lahan tidak produktif dengan bibit tanaman produktif yang ramah lingkungan atau pemberian subsidi untuk mereboisasi kawasan hutan yang gundul dan (iii) pemberian insentif untuk merubah pemanfaatan lahan di kawasan lindung, seperti perubahan pola tanam di areal pertanian, yaitu dari tanaman semusim ke tanaman tahunan yang produktif; pemberian insentif untuk merelokasi atau memindahkan areal pemukiman dari kawasan lindung ke luar kawasan lindung atau pembuatan sumur-sumur resapan atau situ di areal pemukiman; dan atau pemberian insentif merubah fungsi hutan dari fungsi produksi menjadi fungsi lindung. Hasil analisis pada level 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (51,3%) instansi pemerintah di lokasi penelitian memilih alternative kedua, yaitu pemberian subsidi kepada petani atau pemilik lahan tidur atau lahan tidak produktif dengan bibit tanaman produktif yang ramah lingkungan dan atau pemberian subsidi untuk merehabilitasi kawasan hutan yang rusak atau gundul. Sementera itu peringkat kedua (38,6%) diduduki oleh pemberian insentif kepada petani atau pemilik lahan sebagai kompensasi akibat perubahan pemanfaatan lahan di kawasan lindung. Peringkat ketiga atau terendah (10,1%) adalah keringan pembayaran PBB bagi petani atau pemilik lahan yang telah memanfaatkan lahannya sesuai dengan peruntukannya. Dibandingkan dengan alternative yang lain, alternative ini tidak populer karena nilai kompensasinya dianggap terlalu kecil sehingga kurang menarik bagi petani atau pemilik lahan untuk merubah pemanfaatan lahannya. Proporsi alternative pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung tidak banyak berbeda di ketiga Pemerintah Kabupaten dan satu Pemerintah Provinsi sebagaimana dimuat dalam Tabel 5.

0t5
0gr4
Grafik 4. Skema pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung

Tabel di atas menggambarkan bahwa insentif rehabilitasi lahan tidak produktif (lahan hutan dan lahan milik) memiliki prioritas 5 kali lebih penting dibandingkan dengan insentif keringanan pembayaran PBB. Sementara itu, insentif perubahan pemanfaatan lahan (pertanian, pemukiman dan hutan) memiliki prioritas hamper 4 kali lebih penting dibandingkan dengan insentif keringanan pembayaran PBB. Hasil uji sidik ragam yang dilakukan terhadap tiga alternatif skema pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung, menunjukkan hasil yang singnifikan. Ini berati ke tiga alternatif skema pemberian insentif rehabilitasi kawasan lindung tersebut mempunyai bobot yang berbeda.

B. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan DAS

1. Pengelolaan DAS Lintas Provinsi

Dari hasil analisis diperoleh simpulan bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas provinsi di tingkat pusat hanya terbatas pada pemangku kepentingan pemerintah, sedangkan pemangku kepentingan yang berasal dari dunia usaha, organisasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat (Ornop/LSM) dan masyarakat tidak/belum terlibat dalam pengambilan keputusan.

0t6

Pemangku kepentingan pemerintah yang terlibat dalam pengambilan keputusan di tingat pusat adalah Badan Perencanaan Nasional (Bapenas), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Departemen Kehutanan (Dephut), Departemen Pekerjaan Umum (Dep PU), Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DepESDM). Dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Namun demikian, keterlibatan instansi pemerintah di tingkat pusat hanya terbatas pada kegiatan perencanaan, sedangkan kegiatan pelaksanaan dan monitoring & evaluasi (monev) dilakukan oleh instansi yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Tabel 6)

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS lintas provinsi hanya terbatas pada pemangku kepentingan dari pemerintah yang terdiri dari Bapenas, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan Departemen Dalam Negeri. Seluruh pemangku kepentingani pemerintah tersebut memiliki kewenangan yang besar dan power yang kuat dalam menyusun perencanaan DAS lintas provinsi, walaupun rencana yang disusun tersebut seringkali masih bersifat umum dan sektoral. Rencana sektoral yang telah disusun di tingkat pusat tersebut selanjutnya diharapkan dapat menjadi panduan bagi instansi teknis yang ada di provinsi/kabupaten. Rencana yang disusun pada tataran pusat secara sektoral tersebut dapat berakibat fatal karena pada obyek yang sama seringkali memiliki perencanaan sektoral yang tidak sinkron antar sektor, sehingga untuk mengoperasionalkan pelaksanaan kegiatan di lapang banyak mengalami kesulitan.

2. Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten relatif banyak, baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun dari dunia usaha (Badan Usaha Milik Negara/BUMN, Badan Usaha Milik Daerah/BUMD, Badan Usaha Milik Swasta/BUMS), Ornop/LSM, dan Perguruan Tinggi.

0t7

Keterlibatan antar pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan DAS cukup bervariasi. Namun pada umumnya keterlibatan pemangku kepentingan dari Instansi Pemerintah di tataran provinsi hanya pada kegiatan perencanaan dan monev, sedangkan pemangku kepentingan pemerintah dan pemangku kepentingan BUMN di tataran kabupaten pada umumnya terlibat pada seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev) DAS. Sementara itu kegiatan pemangku kepentingan BUMD dan BUMS pada umumnya hanya di kegiatan pelaksanaan, sedangkan Ornop/LSM dan Perguruan Tinggi pada umumnya di kegiatan perencanaan dan monev. Rincian keterlibatan pemangku kepentingan pada kegiatan pengelolaan DAS lintas kabupaten disajikan pada Tabel 7.

a. Perencanaan

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan DAS lintas kabupaten masih didominasi oleh pemangku kepentingan pemerintah, yaitu Bappeda Prov/Kab, Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup, BPDAS, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Dinas Pertambangan Prov. Selain pemangku kepentingan pemerintah, hanya stateholder yang berasal dari BUMN (Perum Perhutani dan Perum Jasa Tirta) yang terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS. Pada umumnya pemangku kepentingan pemerintah memiliki kewenangan yang besar dan power yang kuat, kecuali  Bapedalda. Sementara itu Perum Perhutani dan Perum Jasa Tirta walaupun memiliki power yang kuat namun tidak memiliki kewenangan yang besar dalam menyusun rencana pengelolaan DAS lintas kabupaten.

b. Pelaksanaan
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan DAS lintas kabupaten didominasi oleh pemangku kepentingan dari pemerintah kabupaten yang umumnya juga terlibat dalam kegiatan perencanaan DAS lintas kabupaten. Selain pemangku kepentingan pemerintah juga terlibat pemangku kepentingan yang berasal dari BUMN (Perum Perhutani dan Perum Jasa Tirta), BUMD (Perusahaan Air Minum Daerah) dan BUMS (swasta). Dilihat dari sisi perannya dalam pengelolaan DAS, para pemangku kepentingan dari pemerintah memiliki kewenangan yang besar dan power yang sangat kuat. Sebaliknya, pemangku kepentingan yang berasal sari BUMN, BUMD dan BUMS memiliki kewenangan yang kecil namun memiliki power yang tinggi.

c. Monitoring dan Evaluasi

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam monev pengelolaan das cukup banyak dan didominasi oleh pemangku kepentingan dari pemerintah, yang umumnya terlibat dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan DAS. Selain pemangku kepentingan pemerintah monev pengelolaan DAS juga dilakukan oleh Ornop/LSM dan Perguruan Tinggi. Namun, sistem monev yang dilakukan baik oleh pemangku kepentingan pemerintah maupun Ornop/LSM dan Perguruan tinggi dalam pengelolaan DAS masih bersifat sektoral. Dengan sistem monev yang masih bersifat sektoral maka hasil monev yang dilakukan oleh masingmasing pemangku kepentingan belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam baik dalam melakukan evaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan maupun untuk menyusun perbaikan yang akan dilakukan secara terpadu lintas sektoral dan lintaswilayah.

3. Pengelolaan DAS Lokal (Satu Kabupaten)

Hampir seluruh pemangku kepentingan pemerintah di tataran ini (Dinas PSDA/ Pengairan Kab, Dinas Kehutanan Kab, Dinas Pertanian Kab, dan Dinas Pertambangan Kab) terlibat dalam seluruh kegiatan pengelolaan DAS (perencanaan, pelaksanaan dan monev).

0t8

Pemangku kepentingan seperti Bappeda Kab dan Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup Kab lebih berkonsentrasi pada kegiatan perencanaan dan monev, sedangkan Ornop/LSM dan Perguruan Tinggi hanya terlibat dalam kegiatan perencanaan dan monev. Rincian keterlibatan masing-masing pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan DAS lokal dapat dilihat pada Tabel 8.

a. Perencanaan

Perencanaan DAS lokal seluruhnya ditangani oleh pemangku kepentingan pemerintah, seperti Bappeda kabupaten, Bapedalda/Dinas Lingkungan Kabupaten, Dinas kehutanan Kabupaten, Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten, Dinas Pertambangan Kebupaten. Umumnya instansi tersebut memiliki kewenangan yang besar dan power yang kuat kecuali Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup. Walaupun Dinas Lingkungan Hidup ini memiliki kewenangan yang cukup besar dalam perencanaan DAS lokal namun tidak memiliki power yang kuat untuk dibandingkan dengan instansi teknis lainnya di daerah.

b. Pelaksanaan

Seperti halnya dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten, peran pemangku kepentingan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan DAS lokal sangat besar. Staheholder pemerintah tersebut memiliki kewenangan yang besar dan power yang kuat, sedangkan pemangku kepentingan dari BUMN, BUMD dan BUMS umumnya memiliki kewenangan yang kecil namun memiliki power yng besar dalm pengelolaan DAS.

c. Monitoring dan Evaluasi

Sepertihalnya sistem Monev DAS lintas kabupaten, pemangku kepentingan yang terlibat didominasi oleh instansi teknis pemerintah yang ada di daerah tersebut. Sistem monev yang ada di DAS lokal juga masih dilakukan secara sektoral, walaupun pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya berada dalam satu payung institusi pemerintah kabupaten.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

  1. Pembiayaan rehabilitasi kawasan lindung:
    a. Nilai prioritas jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kesinambungan pasokan air tanah (48,4%), menurunnya laju pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi (30,8%) dan berkurangnya bencana banjir (20,7%)
    b. Skema pembiayaan untuk rehabilitasi kawasan lindung adalah melalui program kolaborasi rehabilitasi (54,6%), bantuan subsidi rehabilitasi (28,6%) dan pengembalian pajak air yang telah dipungut oleh daerah hilir (16,8%).
  2. Insentif rehabilitasi kawasan lindung
    a. Prioritas insentif ditujukan untuk kawasan hutan lindung (60,5%), areal pertanian (25,4%) dan areal pemukiman (14,1%).
    b. Pemanfaatan insentif digunakan untuk merehabilitasi lahan (kawasan hutan, areal pertanian dan pemukiman) yang tidak produktif, perubahan pola pemanfaatan lahan (38,6%) dan insentif pembayaran PBB bagi lahan yang telah sesuai pemanfaatannya (10,1%).
  3. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas provinsi di tingkat pusat hanya terbatas pada pemangku kepentingan dari instansi pemerintah, sedangkan pemangku kepentingan yang berasal dari dunia usaha, organisasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat (Ornop/LSM) dan masyarakat tidak/belum terlibat dalam pengambilan keputusan.
  4. Keterlibatan pemangku kepentingan dari Instansi Pemerintah di tataran provinsi hanya pada kegiatan perencanaan dan monev, sedangkan pemangku kepentingan pemerintah dan pemangku kepentingan BUMN di tataran kabupaten pada umumnya terlibat pada seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev) DAS.

B. Saran

Agar pelaksanaan rehabilitasi areal DAS melalui mekanisme pembiayaan dan insentif dapat terlaksana, maka perlu adanya payung kerjasama antar pemerintahan daerah hulu dan pemerintahan daerah hilir DAS.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52/Kpts-II/2001 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
  5. Saaty, Tomas. 1980. The Analytic Hierarchy Process. McGraw-Hill, New York.
  6. Suara Pembaruan, 2003. Konservasi DAS Rp 1,2 Triliun
  7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
  8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
  9. Teknomo, Kardi, Hendro Siswanto, Sebastianus Ari Yudhanto, 1999. Penggunaan Motode Analytic Hierarchy Process Dalam Menganalisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Moda Ke Kampus. Dimensi Teknik Sipil Volume 1, Nomor 1, Maret 1999.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.