Kelembagaan DAS

K.E.S Manik dan Agus Setiawan

KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN DERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

K.E.S. MANIK, Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unila
AGUS SETIAWAN, Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unila

Disampaikan pada Konferensi dan Seminar BKPSL Indonesia Pekanbaru, Riau, 14 – 16 Mei 2010

Sumber: http://blog.unila.ac.id/kes_manik/das-kelembagaan/

Pendahuluan

Latar belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air).

Pada dekade terakhir ini, kondisi DAS di seluruh Indonesia, termasuk di Lampung semakin menurun. Menurunnya kondisi DAS ditandai dengan terjadinya bencana banjir dan longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Penyebab terjadinya penurunan kualitas DAS adalah faktor iklim (terutama curah hujan), kondisi geomorfologi (geologi, tanah dan topografi), dan aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan DAS, antara lain: penebangan hutan secara ilegal, perambahan hutan, eksploitasi hutan dan lahan berlebihan (HPH, tambang, perkebunan, pertanian, dll), dan penggunaan lahan tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air.

Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat antara lain adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional.

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia. Prinsip dasar dalam pengelolaan DAS yaitu “satu DAS, satu perencanaan, satu pengelolaan”. Dengan prinsip ini pengelolaan DAS dilakukan dengan pendekatan ekosistem dengan asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan. Untuk itu, dalam pelaksanaan mutlak diperlukan koordinasi lintas sektor dan wilayah sehingga pembangunan berwawasan lingkungan dapat diwujudkan.

Menurut Kartodiharjo dkk (2000), terdapat empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kinerja pengelolaan DAS, yaitu sumberdaya alam (naturan capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan (man-made capital), dan pranata kelembagaan (institusi) masyarakat (social capital), baik formal maupun informal. Dengan demikian, kinerja pengelolaan DAS yang dicirikan oleh kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai dapat tercapai apabila peran keempat faktor tersebut dapat dioptimalkan. Akan tetapi, fakta empiris menunjukkan bahwa walaupun upaya optimasi terhadap faktor natural capital, human capital, dan man-made capital telah banyak diakukan, namun kinerja pengelolaan DAS masih belum memuaskan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya optimasi atau penataan kelembagaan masyarakat (social capital), baik formal maun informal, dalam penyelanggaraan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik. Oleh karena itu, masalah kelembagaan pengelolaan DAS perlu mandapat perhatian yang serius.

Tujuan penulisan

Tujuan penulisan adalah untuk menjelaskan pentingnya koordinasi dalam pengelolaan DAS sehingga tujuan pengelolaan DAS dapat diwujudkan.

Stakeholders dalam Pengelolaan DAS

Setiap unsur sumberdaya, baik fisik maupun biotik (termasuk manusia), yang ada di permukaan bumi pasti berada dalam suatu DAS. Berbagai pihak, baik instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat (perorangan atau kelompok), berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS dengan tujuan yang berbeda-beda. Makin luas dan makin beragam sumberdaya yang terdapat dalam suatu DAS, semakin banyak dan beragam pihak yang berkepentingan dalam DAS tersebut.

Instansi pemerintah yang bekepentingan dalam pengelolaan sumberdaya dalam suatu DAS, antara lain: Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Dinas Pertambangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Balai Pengelolaan Sungai, dan Balai Pengelolaan DAS, dan lainlain. Semua kegiatan yang dilakukan oleh instansi tersebut, pasti menimbulkan dampak terhadap kondisi DAS, baik dampak yang positif maupun negatif.

Berbagai perusahaan swasta yang berkepentingan dengan eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya dalam suatu DAS, antara lain: perusahaan perkebunan, perusahaan kehutanan, perusahaan perikanan, perusahaan pertambangan, perusahaan pengolahan air, dan lain-lain. Perusahaan yang memanfaatkan lahan yang relatif luas atau alih fungsi lahan tentu akan memberikan dampak terhadap kualitas DAS. Bagi perusahaan yang dalam proses produksinya tergantung pada ketersediaan air, misalnya produsen air dalam kemasan, perusahaan perikanan, dan industri pengolahan lainnya, umumnya kurang peduli terhadap faktor yang mempengaruhi ketersediaan air tersebut.

Pihak lainnya yang berkepentingan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan adalah petani. Petani kita umumnya, memiliki dan atau mengolah lahan yang relatif sempit serta belum menerapkan kaidah konservasi tanah dan air dalam usaha taninya. Khusus di Provinsi Lampung, sebagian besar petani merupakan petani lahan kering. Menurut Manik (2007), pertanian lahan kering (tanaman semusim, tanaman tahunan, hortikultura) tanpa tindakan konservasi tanah dan air akan meningkatkan laju aliran permukaan. Aliran permukaan yang tinggi akan meyebabkan terjadinya erosi dan sedimentasi. Dampak erosi dan sedimentasi adalah menurunnya kesuburan tanah, masuknya residu pupuk ke sungai (terjadi eutrofikasi), masuknya residu pestisida (insektisida, fungisida, herbisida) ke sungai, pencemaran  air, serta pendangkalan sungai, waduk, danau, dan atau laut. Dengan jumlah petani lahan kering (termasuk perambah hutan) yang cukup banyak, maka dampak yang ditimbulkannya juga relatif besar.

Banyaknya stakeholders di sebuah DAS menyebabkan pengelolaan DAS menjadi semakin rumit.  Ketidakpahaman atas implementasi prinsip keterkaitan sumberdaya alam dalam suatu DAS dapat menimbulkan konflik antar stakeholders, terutama yang menyangkut alokasi dan distribusi sumberdaya. Semakin terbatas suatu sumberdaya alam dibandingkan dengan permintaan masyarakat, maka kompetisi untuk memperoleh sumberdaya alam tersebut semakin tinggi dan peluang terjadinya konflik makin besar. Hal ini jelas terlihat pada konflik pemanfaatan sumber daya air, hutan, dan lahan.

Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS

Seperti telah diuraikan sebelumnya, pengelolaan DAS melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan diperlukan koordinasi. Untuk itu, diperlukan seperangkat aturan yang diterima dan dilaksanakan oleh seluruh stakeholders.

Kelembagaan atau institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Dengan demikian, kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Menurut Soekanto (1999), fungsi kelembagaan adalah: 1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku, 2) menjaga keutuhan masyarakat, dan 3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Kelembagaan dapat diartikan sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mendefinisikan kesempatankesempatan yang tersedia, bentukbentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000).

Kesempatan yang tersedia dalam lingkungan tergantung pada aturan main yang digunakan. Aturan main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan hubungan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi bentuk interdependensi tersebut mengakibatkan “siapa berbuat apa mendapatkan apa”.

Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Hak bagi seseorang atau kelompok merupakan kewajiban bagi orang atau kelompok yang lain. Hak-hak juga dapat mengatur hubungan antara individu atau kelompok dengan sumberdaya alam. Dengan demikian untuk mendapatkan hak dari sumberdaya alam, seseorang atau kelompok juga memiliki kewajiban terhadap sumberdaya alam tersebut.

Menurut Kartodiharjo dkk (2000) kelembagaan juga dapat diartikan sebagai inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan, aturan representasi atau batas yurisdiksi.

Sebagaimana dikemukakan di atas, kelembagaan merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, respons dan reaksi dari masyarakat yang dikenai ketentuan tersebut merupakan hal yang penting dan merupakan ukuran efektivitas kelembagaan.

  • Apakah masyarakat telah dapat memanfaatkan kesempatan yang tersedia (sesuai denga aturan main)?
  • Apakah masyarakat telah melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan (dan tidak melakukan hal-hal yang tidak  boleh dilakukan)?
  • Apakah masyarakat telah mendapatkan hak-haknya sesuai dengan kewajiban yang telah ditunaikannya?

Respons masyarakat juga ditentukan oleh ukuran kinerja. Ukuran kinerja yang digunakan oleh masyarakat umumnya adalah keuntungan finansial jangka pendek, termasuk kemudahankemudahan yang diperoleh. Jika melanggar suatu aturan justru akan mendapatkan keuntungan, maka seseorang akan melanggar aturan tersebut.

Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS

Selama ini, kelembagaan  pemerintah dianggap mempunyai  peran sentral karena merupakan  agen pembangunan yang  menentukan secara formal  perubahan yang diinginkan.  Walaupun demikian, kinerja  instansi pemerintah sangat  tergantung pada kapasitas dan  kapabilitas yang dimilikinya.  Sebagaimana telah dijelaskan,  kelembagaan adalah seperangkat  aturan. Aturan tersebut tertuang  dalam bentuk peraturan  perundang-undangan serta  kebijakan-kebijakan dan atau  kesepakatan antar stakeholders.  Landasan hukum pengelolaan DAS  secara substansi terkandung dalam  Undang-Undang Dasar 1945 dan  beberapa Undang-undang serta  Peraturan Pemerintah (Kaban, 2008).

Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia tahun 1945  pasal 33 ayat (3) menyebutkan  bahwa bumi dan air dan kekayaan  alam yang terkandung di dalamnya  dikuasai oleh negara dan  dipergunakan untuk sebesar-besar  kemakmuran rakyat. Dalam kaitan  ini, pengelolaan DAS sebagai suatu  satuan ekosistem pada hakikatnya  ditujukan untuk memperoleh  manfaat dari sumberdaya alam  terutama hutan, lahan, dan air  untuk kesejahteraan rakyat  sekaligus menjaga kelestarian DAS itu sendiri.

Secara jelas dalam Undangundang  No 41 tahun 1999 tentang  Kehutanan, dinyatakan bahwa  tujuan penyelenggaraan kehutanan  adalah untuk meningkatkan daya  dukung DAS dan seluas 30 % dari  total luas DAS berupa kawasan  hutan. Sementara, pemanfaatan  kawasan pada hutan lindung, hutan  konservasi, dan hutan produksi  harus dilakukan dengan kehatihatian.  Demikian juga pemanfaatan  hasil hutan dan jasa lingkungan  pada semua fungsi kawasan hutan  lindung harus dilakukan secara  lestari (berkelanjutan) tanpa  mengganggu kelestarian fungsi  ekosistem hutan sehingga hutan  sebagai bagian dari DAS ikut meningkatkan daya dukung DAS.

Dalam UU No 7 tahun 2004  tentang Sumber Daya Air dan  peraturan turunannya seperti PP  No 42 tahun 2008 tentang  Pengelolaan Sumberdaya Air dan  Perpres No 12 tahun 2008 tentang  Dewan Sumberdaya Air, DAS  didefinisikan secara rinci dan DAS  menjadi bagian dari Wilyah Sungai  (WS) yaitu kesatuan wilayah  pengelolaan sumberdaya air dalam  satu atau lebih DAS dan/atau  pulau-pulau kecil yang luasnya  kurang dari atau sama dengan  2.000 km2. Undang-undang sumber  daya air tersebut dan peraturan  turunannya lebih banyak mengatur  tentang konservasi, pembangunan,  pendayagunaan/ pemanfaatan,  distribusi dan pengendalian daya  rusak air serta kelembagaan  sumber daya air. Pusat  perhatiannya adalah pada  pengaturan air di sungai dan badan  air (instream & water bodies)  termasuk tindakan konservasi air di  sekitar sumber-sumber air, tetapi  kurang mengatur komponen DAS  lainnya seperti perilaku dan  aktivitas orang dan makhluk hidup  lain yang saling berinteraksi di  dalam DAS atau dinamika  penggunaan lahan. Demikian juga  untuk aspek kelembagaan,  penekanan hanya pada organisasi  pengelola sumberdaya air  walaupun sifatnya koordinatif dari  nasional hingga kabupaten/kota dan antar sektor.

Dalam UU No 26 tahun 2007  tentang Penataan Ruang,  disebutkan bahwa perencanaan  penggunaan ruang/wilayah  berdasarkan fungsi lindung &  budidaya, daya dukung dan daya  tampung kawasan, keterpaduan,  keterkaitan, keseimbangan, dan  keserasian antar sektor.  Perencanaan tata ruang wilayah  (RTRW) dilakukan dalam batasbatas  wilayah administrasi  nasional, provinsi, kabupaten/kota  sampai kecamatan, tetapi  pertimbangan DAS sebagai  kesatuan ekosistem lintas wilayah  administrasi masih sangat kurang  diperhatikan walaupun definisi DAS  (PP No 26 tahun 2008 tentang Tata  Ruang Wilayah Nasional)  sepenuhnya merujuk UU No  7/2004 dan PP 42/2008 tentang sumberdaya air.

Berdasarkan kebutuhan dan  historis pelaksanaan kegiatan   pengelolaan DAS di Indonesia,  telah disusun Pedoman  Penyelenggaraan Pengelolaan  DAS dan ditetapkan dengan Surat  Keputusan Menteri Kehutanan No  52 tahun 2001 dan No 326 tahun  2005 tentang Kriteria Penetapan  Prioritas DAS. Selanjutnya, PP No  38 tahun 2007 tentang Pembagian  Urusan Pemerintahan antara  Pemerintah, Pemerintah Daerah  Provinsi dan Pemerintah Daerah  Kabupaten/Kota, menyebutkan  bahwa Pemerintah mempunyai  kewenangan menetapkan pola  umum, kriteria, prosedur dan  standar pengelolaan DAS  penyusunan rencana DAS Terpadu  dan penetapan urutan DAS prioritas.

Pemerintah Provinsi berwenang  menyelenggarakan pengelolaan  DAS lintas kabupaten/kota dan  Pemerintah Kabupaten/kota  menyelenggarakan pengelolaan  DAS skala kabupaten/kota.  Berdasarkan PP No 38 tahun 2007,  pada tahun 2007/2008 Departemen  Kehutanan telah menyusun Pola  Umum, Kriteria dan Standar  Pengelolaan DAS Terpadu.  Diharapkan, penguatan dan taat  asas implementasi peraturan  perundang-undangan yang terkait  dengan pengelolaan DAS oleh  semua pihak akan memperkuat implementasi Pola Umum tersebut.

Sehubungan dengan semakin  meningkatnnya permasalahan DAS  yang harus diselesaikan secara  terpadu dengan melibatkan  berbagai sektor dan wilayah  pemerintahan administrasi serta  permintaan dari berbagai pihak  terkait, maka Departemen  Kehutanan telah berprakarsa  menyusun Rancangan Undang-  Undang (RUU) tentang Konservasi  Tanah. Hal ini sangat dibutuhkan  karena sampai saat ini banyak  pengunaaan tanah yang tidak  menerapkan kaidah-kaidah  konservasi tanah dan air sehingga  menyebabkan kerusakan DAS.  Sejak tahun 2006 Departemen  Kehutanan menyusun Rancangan  Peraturan Pemerintah (RPP)  tentang Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam RPP tersebut dinyatakan  secara jelas, rinci, serta holistik dan  komprehensif tentang pengelolaan  DAS sebagai satu unit analisis  dalam kesatuan wilayah ekologis  dari hulu sampai hilir. Dalam hal  ini  segala aspek biogeofisik, sosial  ekonomi, dan kelembagaan,  bahkan aspek pembiayaan sangat  dipertimbangkan dan diperhitungkan.

Walaupun telah demikian banyak  aturan dibuat dan diberlakukan  akan tetapi fakta menunjukkan  bahwa kerusakan DAS semakin  meluas. Ini menunjukkan bahwa  seperangkat aturan tersebut belum efektif.

Alternatif Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS

Dalam menentukan dan  mengembangkan bentuk  kelembagaan pengelolaan DAS,  ada beberapa pertimbangan yang  perlu diperhatikan. Pertimbangan  tersebut didasarkan pada kekuatan  dan kelemahan yang ada pada  setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo, 2004).

Secara umum ada tiga bentuk
kelembagaan yaitu (Yudono, 2008):

a. Bentuk kelembagaan Polycentric

Bentuk kelembagaan polycentric, yaitu kelembagaan  yang menganggap individu  sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang  itulah yang diartikulasikan  kedalam tindakan. Tidak ada  supremasi otoritas, otoritas  tergantung pada bagaimana  mempertemukan kepentingan  dalam suatu struktur  pengambilan keputusan antar  pihak (Kartodihardja, 2004).  Kelebihan dari sebuah sistem  polycentric yaitu masing-masing  wilayah dan masing-masing  sektor berkedudukan setara,  salah satu ciri polycentric adalah  mampu untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem  biofisik yang dinamik. Kelemahan  dari sistem polycentric adalah  belum adanya saling percaya  baik secara hierarki, maupun  scara horizontal, lemahnya asas  timbal balik, kurangnya arahan  sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks.

b. Bentuk kelembagaan Monocentric;

Dalam kelembagaan ini otoritas terpusat  di satu titik, hubungan antar  anggota tidak setara, tetapi  dibawah komando dari pusat.  Kelebihan sistem ini adalah  bersifat sentralistik sehingga  memungkinkan dilaksanakannya  konsep one river, one plan and  multi management. Ada arahan  yang jelas dari pusat. Kelemahan  kelembagaan Monocentric,  antara lain pengelolaan DAS  hanya sampai pada tataran  formal, kurang implementatif dan  mengurangi kewenangan wilayah  administrasi, padahal yang  diinginkan adalah kerjasama dari mereka.

c. Bentuk kelembagaan  gabungan Polycentric dan Monocentric;

Kelembagaan ini merupakan kombinasi antara  bentuk lembaga Polycentric  dengan Monocentric, artinya  masing-masing pihak  mempunyai kedudukan yang  setara, tetapi masih ada  beberapa arahan dari pusat,  misalnya dalam hal kebijakan,  penyususnan pola perencanaan  dan pedoman monitoring dan evaluasi.

Menurut Ekawati (2008),  berdasarkan hasil kajian terhadap  Sub DAS Cicatih, salah satu  alternatif bentuk kelembagaan  dalam pengelolaan DAS adalah  kelembagaan bersama  (colaborative), baik dengan  membentuk lembaga baru atau  memanfaatkan kelembagaan yang  sudah ada. Bentuk kelembagaan  bersama (dalam bentuk  forum/badan koordinasi)  merupakan salah satu alternatif  yang paling memungkinkan dalam  pembentukan kelembagaan  pengelolaan DAS saat ini. Hal ini  didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:

  1. Sesuai dengan perundanganundangan  yang ada, yaitu UU No  7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air.
  2. Kegiatan pengelolaan DAS  melibatkan banyak stakeholders,  lintas sektoral, multidisiplin dan  lintas wilayah, oleh karena itu  kelembagaan yang disusun  hendaknya kelembagaan yang  bersifat independen dan mewakili banyak pihak.
  3. Permasalahan yang paling  menonjol dalam pengelolaan  DAS saat ini adalah koordinasi  sehingga diperlukan suatu  wadah untuk mengikat,  menyatukan dan menselaraskan  semua sektor dan wilayah agar  dapat mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Hubungan kelembagaan bersama  tersebut dengan stakeholder  lainnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Sesuai dengan ketentuan  perundang-perundangan yang ada,  nama kelembagaan pengelolaan  DAS adalah PPTPA (Panitia  Pelaksana Tata Pengaturan Air).  PPTPA diharapkan menjadi wadah  yang terstruktur dan independen  dari perwakilan para pihak yang  terlibat dalam pengelolaan DAS  untuk saling berkomunikasi,  berkonsultasi dan berkoordinasi  dalam kegiatan pengelolaan DAS.  Kedudukan PPTPA adalah sebagai  fasilitator antar para pihak yang  terlibat dalam pengelolaan DAS.  Hubungan PPTPA dengan  stakeholders lain pada dasarnya  bersifat konsultatif dan koordinatif.  Penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator.

Keanggotaan PPTPA juga harus  terwakili oleh pihak-pihak di atas.  Tugas pokok dari PPTPA adalah  menyusun kebijakan, rencana,  koordinasi pelaksanaan, serta  memonitor dan mengevaluasi  kegiatan pengelolaan DAS. Hasil  kerja PPTPA diserahkan kepada  pihak regulator (Presiden,  Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai  bahan pertimbangan dalam  pembuatan keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS.

Fungsi PPTPA adalah:

  1. Menyusun rencana dan program  pengelolaan DAS secara kolaboratif
  2. Mengkaji permasalahanpermasalahan  yang timbul akibat  kegiatan pengelolaan DAS,  misalnya bencana alam dan sebagainya.
  3. Memberi saran/pertimbangan  kepada regulator dalam kegiatan  yang terkait dalam kegiatan  pengelolaan DAS, misalnya  pemberian ijin penambangan  galian dalam DAS,  pengembangan dan  pemanfaatan sumberdaya air,  pengendalian bencana alam (longsor, banjir dan sebagainya).
  4. Memfasilitasi kegiatan koordinasi  dalam bentuk rapat-rapat seluruh stakeholders.
  5. Melakukan pengawasan dalam  bentuk monitoring dan evaluasi  kegiatan pengelolaan DAS oleh seluruh stakeholders.

Gambar 1. Koordinasi  Stakeholders dalam  Pengelolaan DAS  (Dimodifikasi dari Sulistya Ekawaty, 2008

Supratman (2008) mendeskripsikan  peran masing-masing stakeholders dalam suatu DAS sebagai berikut:

1. Pemerintah Pusat

a. Pemerintah pusat, dalam hal  ini diwakili oleh Unit Pelaksana  Teknis Balai Pengelolaan DAS  membuat Rencana Makro  Pengelolaan (rehabilitasi,  pemeliharaan, pembinaan,  perlindungan, dan pengamanan),  yang mencakup kawasan hutan dan kawasan bukan hutan.
b. Melakukan pembinaan,   monitoring, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan DAS.

2. Pemerintah Provinsi

a. Mengkoordinasikan  keterkaitan antar kabupaten/ kota  dalam lingkup wilayah DAS  melalui suatu sistem kelembagaan pengelolaan DAS.
b. Membuat pedoman-pedoman  dan aturan-aturan sistem  perencanaan dan pengelolaan  DAS, serta aturan-aturan  hubungan antar kabupaten/kota dalam mengelola DAS.
c. Menfasilitasi dan  mengkoordinasikan anggaran  pengelolaan DAS, yang  mencakup sumber-sumber  anggaran dan alokasi anggaran pada setiap kabupaten/kota.
d. Menfasilitasi penguatan  kelembagaan/organisasi  pengelolaan DAS sehingga  pedoman-pedoman dan aturanaturan  sistem perencanaan dan  pengelolaan DAS yang dibuat  pemerintah provinsi dipatuhi oleh pemerintah kabupaten/kota.
e. Menfasilitasi pelaksanaan  pembinaan, monitoring,  pengawasan, dan pengendalian  kerjasama lintas kabupaten/kota dalam wilayah DAS.

3. Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Menjabarkan Rencana Makro  DAS yang dibuat oleh  pemerintah pusat, kedalam perencanaan kabupaten/kota.
b. Melakukan pengelolaan secara  umum (rehabilitasi,  pemeliharaan, pembinaan, perlindungan, pengamanan).
c. Menfasilitasi pemerintah desa  menjabarkan perencanaan  pengelolaan DAS  kabupaten/kota ke dalam perencanaan mikro desa.
d. Mengawasi dan  mengkoordinasikan pengelolaan  unit-unit lahan (building block)  yang dilakukan oleh kelembagaan desa.
e. Mengkoordinasikan anggaran  rehabilitasi, pemeliharaan,  pembinaan, perlindungan, dan  pengamanan DAS ke desa-desa dalam lingkup wilayahnya.
f. Membuat petunjuk teknis dan  aturan-aturan sistem  perencanaan dan pengelolaan  DAS, serta aturan-aturan  hubungan antar desa di wilayah  kabupaten/kota dalam mengelola DAS.
g. Menjabarkan anggaran  rehabilitasi, pemeliharaan,  pembinaan, perlindungan, dan  pengamanan DAS kedalam anggaran desa.
h. Mengembangkan sistem  kelembagaan kehutanan pada tingkat desa.
i. Melakukan pembinaan,  monitoring, pengawasan, dan  pengendalian pelaku usaha di dalam catchment area DAS.

4. Pemerintah Desa

a. Menjabarkan perencanaan  kabupaten/kota dalam bentuk  perencanaan mikro desa, yang  difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota.
b. Melaksanakan kegiatan  pengelolaan pada unit-unit lahan  (building block) yang ada di desanya.
c. Pemerintah desa membuat  aturan-aturan agar kegiatan  rehabilitasi, pemeliharaan,  pembinaan, perlindungan, dan  pengamanan DAS dalam wilayah  desanya dapat berjalan dengan  baik, antara lain penentuan hak  dan kewajiban pelaku usaha  yang ada di dalam catchment area DAS.

5. LSM

a. Mengembangkan kapasitas  masyarakat mengelola sumberdaya hutan
b. Membangun dan atau  memperkuat kelembagaan lokal masyarakat
c. Menfasilitasi terjalinnya  komunikasi yang intensif dan  produktif antara masyarakat  dengan pihak-pihak yang terkait  seperti pemerintah, swasta, dan  perguruan tinggi/kelembagaan  riset yang terkait, dalam rangka  pemberdayaan masyarakat.
d. Melakukan advokasi dan  sosialiasi kebijakan kepada  masyarakat untuk meningkatkan  partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

6. Perguruan Tinggi

Melakukan kajian-kajian teknisilmiah,  memberikan input pemikiran  konseptual serta pertimbangan  teknis-ilmiah terhadap pelaksanaan pengelolaan DAS.

7. Swasta

Kelembagaan swasta diharapkan  selain mengolah dan memasarkan  hasil hutan juga dapat menjadi  sumber dana alternatif rehabilitasi  hutan, serta membina masyarakat  mengelola unit usaha kehutanan.  Dalam hal ini diperlukan kemitraan  antara kelembagaan swasta  dengan kelembagaan lainnya mengelola catchment area DAS.

8. Masyarakat Setempat

a. Rumah tangga petani (house  hold) mengelola secara mandiri  kawasan hutan secara individu  atau berkelompok dengan luasan yang sesuai dengan
kemampuannya.
b. Status kepemilikan kawasan  hutan yang dikelola oleh rumah  tangga petani adalah bersifat  kolektif (collective owner) oleh  kelembagaan desa, sedangkan  rumah tangga petani hanya  diberi hak untuk memanfaatkan kawasan hutan (use right).
c. Rumah tangga petani berhak memindahtangankan  pengelolaan kawasan hutan  yang dia kelola kepada pihak lain  (pemerintah, swasta, sesama  petani) sesuai aturan-aturan  yang telah disepakati, tanpa  mengubah status hak terhadap kawasan hutan.

Penutup

Pemanfaatan dan pengelolaan  DAS dilakukan oleh banyak pihak  (stakeholders) dengan kepentingan  yang berbeda-beda. Berbagai  stakeholders dalam sebuah DAS  dapat menimbulkan permasalahan  yang bersumber dari konflik  kepentingan terhadap sumberdaya  yang tersedia. Ketentuan  perundang-undangan yang sudah  ada tampaknya belum mampu  mencegah atau menekan  kerusakan DAS. Dari tahun ke  tahun luas DAS yang rusak  semakin bertambah sehingga  bencana banjir dan longsor banyak terjadi di berbagai wilayah.

Untuk meningkatkan kualitas DAS  diperlukan kelembagaan (aturan  main) yang mengatur hubungan  antar stakeholders dan antara  stakeholders dengan sumberdaya  alam. Aturan tersebut harus  bersifat mengikat, memaksa, dan  mengarahkan setiap stakeholders  sehingga dalam pemanfaatan  sumberdaya tidak menimbulkan  kerusakan DAS. Kelembagaan  harus dilengkapi seperangkat  insentif atau reward yang  mendorong orang untuk berperilaku  positif dan punishment yang  memberikan efek jera bagi yang  menimbulkan kerusakan. Sebagai  pemangku kebijakan publik,  terbangun dan terealisasinya   kelembagaan dalam pengelolaan   DAS sangat tergantung kepada Pemerintah.

Daftar Pustaka

Ekawati, S. 2008. Kelembagaan  Pengelolaan DAS Lokal  (Sebagai Wacana dalam Pengelolaan Sub DAS Cicatih).

Hakim, I. 2008. Penguatan  Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS Solo.

Kaban, H.M.S. 2008. Kerangka  Kerja Pengelolaan Daerah  Aliran Sungai di Indonesia:  Amanah Instruksi Presiden No.  5 Tahun 2008 Tentang Fokus  Program Ekonomi Tahun 2008-  2009. Departemen Kehutanan,  Gedung Manggala Wanabhakti  Jalan Gatot Subroto – Jakarta Pusat.

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono,  H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian  Institusi Pengelolaan DAS dan  Konservasi Tanah. K3SB Bogor.

Manik, K.E.S. 2008. Kondisi Aktual  dan Pengelolaan DAS di  Provinsi Lampung. Prosiding  Lokakarya Pembangunan  Daerah Berbasis Pengelolaan  Daerah Aliran Sungai (DAS). Forum DAS Provinsi Lampung.

Sinukaban, N. 2008.  Pembangunan Daerah Berbasis  Strategi Pengelolaan DAS.  Prosiding Lokakarya  Pembangunan Daerah Berbasis  Pengelolaan Daerah Aliran  Sungai (DAS). Forum DAS Provinsi Lampung.

Supratman dan Yudilastiantoro, C.  2008. Analisis Sistem  Kelembagaan Pengelolaan DAS Jeneberang.

Yudono, H. dan Iwanuddin. 2008.  Kelembagaan dan Nilai Air  DAS: Mulai dari yang Kecil,  Mulai dari Diri Sendiri dan Mulai  Saat Ini (Pengalaman dari Sub  DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja).

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.