Kelembagaan DAS

Simon Elieser

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMASARAN DAN MARGIN TATANIAGA TERNAK DOMBA: STUDY KASUS PADA PENGEMBANGAN TERNAK DOMBA MODEL SUTPA DI KABUPATEN LANGKAT DAN PIR-NAK DOMBA TRANSMIGRASI DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA

(Analyse Institute Of Marketing and Margin Tataniaga Livestock Sheep Study Case at Development of Sheep Livestock Model SUTPA in Langkat District and PIR Nak Domba Transmigration in Tapanuli South District of Provinsi North Sumatra)

SIMON ELIESER
Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Galang Sei Putih, Deli Serdang 20585

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

ABSTRACT
Research aim to know institute of margin and marketing system of sheep livestock have been conducted at development of sheep livestock model SUTPA in Langkat district and PIR Nak Domba Transmigration in South Tapanuli of Province North Sumatra. Method Research with interview directly to responder (farmer, trader/blantik,) Result of research indicate that to enchain marketing of sheep done by blantik/trader if compared to co-operation. Transformation of livestock of life sheep become flesh happened at enchaining marketing in merchant of district flesh/animal slaughtering house and urban. Breeder at is second of location of ujicoba more like to sell its livestock of cage. Fixed price of sheep pursuant to weighing-machine/body weight valuation at the time of sheep not yet been given by feed. Sheep of co-operation marketed to exporter for the purpose of to Malaysia at the price of in Malaysia (7 ringgit = Rp. 19.600/life weight) is much higher compared to local marketing (Rp. 19.000/kg karkas) which represent place marketing of sheep of trader. Result of analysis at each institute of marketing of sheep livestock obtained that margin of marketing system obtained by highest sheep livestock of exporter equal to Rp 168.528/sheep later;then cooperate (advantage/crosscut sheep tail of Rp. 44.000; seed sheep of Rp 25.000 and sheep of qurban Rp. 50.000); merchant of flesh advantage of Rp. 27.700/obtained by smallest and crosscut sheep tail of trader/blantik (advantage/crosscut sheep tail of Rp. 10.900; seed sheep of Rp 20.500 and sheep of qurban Rp. 50.000). Key Words: Marketing, Price, Sheep, Institute, Advantage

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelembagaan pemasaran dan margin tataniaga ternak domba telah dilakukan pada pengembangan ternak domba model SUTPA di Kabupaten Langkat dan PIR Nak Domba Transmigrasi di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utiara. Metode penelitian dengan wawancara secara langsung kepada responden (petani, penggalas/blantik) Hasil penelitian menunjukkan bahwa rantai pemasaran domba yang dilakukan oleh blantik/penggalas lebih luas bila dibandingkan dengan koperasi. Perubahan bentuk ternak dari domba hidup menjadi daging terjadi pada rantai pemasaran di pedagang daging Kecamatan/perkotaan dan rumah potong hewan. Peternak pada ke dua lokasi ujicoba lebih senang menjual ternaknya dikandang. Penentuan harga domba berdasarkan penimbangan/taksiran bobot hidup pada saat domba belum diberi pakan. Domba dari koperasi dipasarkan kepada eksportir untuk tujuan ke Malaysia dengan harga di Malaysia (7 ringgit = Rp. 19.600/kg bobot hidup) jauh lebih tinggi dibanding pasaran lokal (Rp. 19.000/kg karkas) yang merupakan tempat pemasaran domba dari penggalas. Hasil analisis pada masingmasing kelembagaan pemasaran ternak domba diperoleh bahwa margin tataniaga ternak domba paling tinggi diperoleh eksportir sebesar Rp. 168.528/ekor domba potong kemudian koperasi (keuntungan/ekor domba potong Rp. 44.000; domba bibit Rp. 25.000 dan domba kurban Rp. 50.000); pedagang daging keuntungan Rp. 27.700/ekor domba yang dipotong dan paling kecil diperoleh penggalas/blantik (keuntungan/ekor domba potong Rp. 10.900; domba bibit Rp. 20.500 dan domba kurban Rp 50.000).

Kata Kunci: Pemasaran, Harga, Domba, Keuntungan, Kelembagaan

PENDAHULUAN

Diversifikasi usahatani dengan ternak domba merupakan salah satu upaya alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani. SOEDJANA et al. (1993), melaporkan bahwa lebih dari 90% populasi ternak domba di Indonesia dibudidayakan masyarakat dalam bentuk usaha peternakan rakyat yang merupakan cabang sistem usahatani. Pengusahaan domba masih merupakan usaha sambilan dengan jumlah pemilikan 2–5 ekor dengan tingkat pendapatan kurang dari 30% dari total pendapatan usahatani.

Dilihat dari aspek ekonomi, pemeliharaan ternak domba mempunyai prospek yang cerah untuk memenuhi permintaan dalam maupun luar negeri. Pertumbuhan konsumsi daging domba di Indonesia dalam kurun waktu 1969-1993, meningkat dari rata-rata 5,6% per tahun menjadi 7,5% per tahun (SOEHADJI, 1992). Sementara itu, dari sisi pasokan, secara nasional populasi ternak domba hanya bertumbuh 1,88% per tahun (1989–1994). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa produksi peternakan khususnya ternak ruminansia hanya dapat mencukupi 45% pangsa pasar nasional, selebihnya diimpor dari luar negeri.

Bila dilihat fluktuasi harga produk peternakan dari tahun ke tahun tidak begitu tinggi, bahkan dapat dikatakan mengalami kenaikan terus menerus. Namun kenyataannya dilapangan kenaikan harga produk peternakan tersebut tidak mencerminkan kenaikan tingkat pendapatan peternaknya. Hal ini disebabkan karena ciri pasar pada produk pertanian yang bersifat monopsonistis dimana biasanya peternak hanya sebagai “price taker” bukan “price maker” baik didalam memasok input maupun dalam menyalurkan output (produksinya). Kuasa pasar yang demikian akan menekan harga yang diterima oleh petani dan pada saat yang bersamaan meningkatkan bagian yang diterima lembaga pemasaran sementara konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi. ANWAR (1995) mengatakan suatu aktivitas ekonomi dikatakan secara teknis efisien, apabila sejumlah input tertentu menghasilkan maksimum output, atau tingkat output tertentu dapat dihasilkan dengan biaya sekecil-kecilnya. Sumber inefisiensi dalam pertanian biasanya disebabkan karena:

  1. Jeleknyasarana transportasi dan komunikasi Langka dan mahalnya upaya untuk memperoleh informasi
  2. Terbatasnya jumlah barang input dan output hasil produksi petani menurut ruang, bentuk maupun waktu.

Akibatnya keadaan pasar menjadi tersekatsekat (segmented markets) ke dalam unit-unit kecil yang terbatas pada komunitas lokal . Oleh karena itu kelembagaan tradisional yang sering dikatakan merugikan petani pada kenyataannya merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang dipilih peternak. Kegiatan transaksi ini dinilai lebih efisien oleh petani karena beberapa hal, antara lain discontinuity of production di pedesaan, skala ekonomi (economics of scale) usaha di perdesaan belum efisien untuk melakukan transaksi dalam institusi pasar dan resiko yang ditanggung oleh petani relatif lebih kecil .

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan pada dua lokasi ujicoba pengembangan ternak domba yaitu PIR-nak domba transmigrasi Mareno, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan serta Kecamatan Stabat dan Padang Tualang di Kabupaten Langkat. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden (petani, tokoh masyarakat, penggalas/blantik, petugas lapangan)

Analisis data

Analisis kelembagaan pemasaran ternak dilakukan dengan melihat variabel pola koordinasi antara kelembagaan petani dengan kelembagaan pemasaran yang terlibat dengan metode penelusuran dari produsen (petani), pedagang pengumpul (pedagang perantara) dan pedagang besar, baik yang berada di desa, di luar desa (kota Kecamatan dan Kabupaten serta propinsi)

Kajian terhadap pola koordinasi dalam pemasaran ternak dianalisis juga melalui keuntunguan pemasaran antar setiap lembaga pemasaran dengan mengamati variabel margin pemasaran dan variabel biaya pemasaran serta biaya transaksi pada setiap kelembagaan pemasaran. Untuk menghitung margin pemasaran digunakan formula sebagai berikut (AZZAINO, 1981):

Mi = Pri – Pf i -1

dimana:

Mi = Margin pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran.
Pri = Harga yang diterima oleh lembaga pemasaran yang lebih akhir.
Pfi-1= Harga yang diterima oleh lembaga sebelumnya.

Dengan demikian untuk menghitung keuntungan pada setiap kelembagaan pemasaran digunakan formula sebagai berikut:

KLP = Mi – Bp – Bt

dimana:

KLP = Keuntungan pada setiap kelembagaan pemasaran
Mi = Margin pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran
Bp = Biaya pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran
Bt = Biaya transaksi (biaya negosiasi dan lainnya)pada setiap kelembagaan pemasaran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rantai pemasaran ternak domba

Pada model pengembangan ternak domba ini, ada 2 (dua) tipologi kelembagaan pemasaran yang dikembangkan. Pada PIR-nak domba transmigrasi selama masih dalam binaan peserta diharuskan memasarkan hasil ternaknya melalui kelompok tani dan seterusnya kelompok tani menyerahkannya kepada koperasi dan koperasi meyerahkannya kepada mitra PT Transindo Bakti Pertiwi untuk dipasarkan. Pada pengembangan ternak domba di Kabupaten Langkat peserta diberi kebebasan untuk memasarkan hasil ternaknya. Pemasaran hasil ternak peserta dapat dilakukan melalui koperasi sesuai dengan mekanisme pada PIRnak domba transmigrasi atau petani langsung menyerahkannya ke koperasi, bisa juga peserta memasarkan langsung kepada konsumen atau penggalas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rantai pemasaran domba yang dilakukan oleh blantik/penggalas lebih luas bila dibandingkan dengan koperasi. Pemasaran domba dari blantik/penggalas bisa dilakukan kepada pedagang daging di Kecamatan/ perkotaan, rumah potong hewan, rumah makan/restoran dan koperasi. Sementara itu, koperasi memasarkan dombanya hanya melalui pedagang antar wilayah atau eksportir, tidak sampai kepada pedagang daging.

Biasanya koperasi membeli domba dari penggalas untuk mencukupi kekurangan jumlah domba sesuai permintaan eksportir. Pembelian domba oleh koperasi biasanya dalam jumlah besar sedangkan kemampuan penggalas membeli ternak dari petani relatif kecil berkisar 4–10 setiap harinya. Demikian juga jual beli domba diantara sesama peternak biasanya dalam jumlah sedikit berkisar 1 sampai 4 ekor dalam bentuk domba untuk bibit yang bertujuan untuk menambah/ meningkatkan kualitas bibit domba yang dipelihara. Masyarakat di pedesaan terutama disekitar lokasi pengembangan membeli domba pada saat-saat tertentu seperti untuk keperluan kenduri/pesta dan hari raya kurban. Perubahan bentuk ternak dari domba hidup menjadi daging terjadi pada rantai pemasaran di pedagang daging Kecamatan/ perkotaan dan rumah potong hewan yang mendapat pasokan domba dari penggalas Kecamatan. Rantai pemasaran ternak domba yang berkembang baik melalui koperasi atau kelembagaan tradisional (penggalas/blantik) tertera pada Gambar 1.

0g1

Gambar 1. Rantai pemasaran ternak domba di kedua lokasi ujicoba pengembangan

Ternak domba

Penjualan domba melalui koperasi dilakukan petani pada PIR-nak domba transmigrasi pada saat awal kegiatan baru dimulai (tahun I). Peserta masih mengikuti prosedur yang ada dan pihak mitra (PT Transindo Bakti Pertiwi) membutuhkan ternak domba untuk proyek transmigrasi yang baru di daerah Aceh. Selebihnya, peserta menjual ternak dombanya melalui penggalas/blantik di desa dan kepada sesama peserta. Hasil wawancara terhadap 24 peserta pada PIR-nak domba transmigrasi menunjukkan bahwa semua peserta yang diwawancarai enggan menjual ternaknya kepada koperasi. Alasan petani tidak menjual ternaknya kepada koperasi dikarenakan harga pembelian koperasi lebih murah dibanding harga jual dipasaran setempat. Disamping itu, dana yang diterima bila menjual ternaknya melalui koperasi relatif lebih lambat bila dibandingkan dengan melalui penggalas/petani peternak dana bisa langsung diterima setelah transaksi dilakukan.

Dari hasil wawancara juga diperoleh gambaran bahwa pada umumnya peserta pada ke dua lokasi ujicoba lebih senang menjual ternaknya dikandang, untuk menghindari risiko biaya angkut ke pasar dan biaya angkut kembali jika ternak dombanya tidak terjual. Posisi tawar akan lebih kuat bila pedagang yang datang ke kandang. Hal tersebut dimungkinkan karena peternak tidak mengalami kerugian apapun jika transaksi tidak tercapai. Lokasi PIR-nak domba transmigrasi yang relatif terisolir dari pusat kegiatan ekonomi dengan sarana dan prasarana transportasi yang belum memadai menyebabkan penggalas atau petani peternak dari luar sulit untuk masuk ke lokasi tersebut. Hal ini mengakibatkan peserta pada PIR-nak domba transmigrasi hampir seluruhnya menjual dombanya kepada penggalas desa. Keadaan ini menyebabkan peserta mempunyai posisi tawar yang lemah di dalam menentukan harga.

Keadaan sebaliknya dijumpai pada lokasi ujicoba di Kabupaten Langkat yang relatif dekat dengan ibukota propinsi (Medan) dengan sarana dan prasaran transportasi cukup baik menyebabkan peserta mempunyai banyak alternatif tempat penjualan ternaknya. Peserta ujicoba di Kabupaten Langkat menjual dombanya melalui kooperasi, penggalas/ blantik dan langsung kepada peternak yang berasal disekitar lokasi maupun diluar lokasi.

Selama hampir 3 tahun kegiatan ujicoba pola kemitraan berjalan, koperasi pada lokasi pengembangan di Kabupaten Langkat telah melakukan pembelian domba dari peternak sebanyak 3 kali dengan total jumlah domba 240 ekor untuk ekspor ke negara Malaysia. Ekspor ternak domba ke Malaysia melalui CV Tri Pratama Mitra Jaya, PT Marhama dan PT Mopoli Raya.

Marjin tataniaga ternak domba

Marjin tataniaga terdiri atas biaya tataniaga dan keuntungan lembaga tataniaga yang terlibat dalam transaksi. Setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran ternak domba memperoleh keuntungan (margin) yang berbeda disebabkan karena perbedaan harga beli, harga jual dan biaya tataniaga. Margin tataniaga yang dianalisis dalam penelitian ini dibedakan menurut dua jenis kelembagaan tataniaga yaitu tradisional (blantik/penggalas Kecamatan) dan koperasi. Analisis margin tataniaga pada kelembagaan kelompok tani dan penggalas desa tidak dilakukan karena dianggap kedua kelembagaan tersebut merupakan perpanjangan tangan dari koperasi/penggalas Kecamatan dan tidak mempengaruhi marjin serta biaya tataniaga. Demikian juga analisis margin tataniaga pada rumah potong hewan tidak dilakukan karena kelembagaan ini berfungsi sebagai penyedia prasarana pemotongan ternak dan pemeriksaan kesehatan ternak saja, tidak terlibat dalam pemasaran ternak domba. Dalam analisis, yang termasuk kedalam biaya tataniaga meliputi seluruh biaya yang menyangkut perpindahan tempat dan perubahan dari domba hidup menjadi daging.

Data sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sampel dari lokasi ujicoba di Kabupaten Langkat kerena pada PIR-nak domba transmigrasi koperasinya telah bubar. Perhitungan marjin tataniaga ternak domba pada setiap kelembagaan yang terlibat didasarkan pada bobot/ekor ternak sesuai dengan rataan bobot penjualan ternak yang dilakukan oleh petani yaitu untuk ternak potong bobotnya 22 kg/ekor, bibit 18-22 kg/ekor dan untuk kurban 30 kg/ekor.

Penentuan harga domba pada kelembagaan tradisional dan koperasi berdasarkan penimbangan/taksiran bobot hidup pada saat domba belum diberi pakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keuntungan lembaga tataniaga yang terlibat dalam memasarkan ternak domba sebagai  akibat fungsi yang dijalankannya. Secara umum, pada kelembagaan koperasi harga pembelian per ekor domba untuk potong pada tingkat petani adalah Rp. 154.000/ekor. Harga penjualan domba potong (Rp. 198.000/ekor) lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelembagaan tradisional (penggalas Kecamatan) yang masing-masing Rp. 130.900/ ekor dan Rp. 146.300/ekor. Hal ini disebabkan karena perbedaan tempat pemasaran domba pada kedua kelembagaan tersebut. Domba dari koperasi dipasarkan kepada eksportir untuk tujuan ke Malaysia dimana harga domba untuk potong di Malaysia (7 ringgit = Rp. 19.600/kg
bobot hidup) jauh lebih tinggi dibanding pasaran lokal (Rp. 19.000/kg karkas) yang merupakan tempat pemasaran domba dari penggalas. Kondisi ini menyebabkan eksportir berani membeli domba lebih tinggi kepada koperasi demikian seterusnya koperasi berani membeli domba lebih tinggi dari petani dibandingkan dengan pembelian domba oleh penggalas. Margin tataniaga pada kelembagaan tradisional dan koperasi tertera pada Tabel 1.

0t1

Data tersebut menunjukkan bahwa keuntungan yang tertinggi diperoleh lembaga tataniaga eksportir sebesar Rp. 168.520 untuk setiap ekor domba potong. Keuntungan tertinggi berikutnya berturut-turut diperoleh oleh koperasi sebesar Rp. 44.000/ekor. Pedagang daging yang melakukan perubahan bentuk ternak yang dipasarkan dari domba hidup/ekor untuk potong menjadi karkas dan bagian-bagian lainnya memperoleh keuntungan yaitu sebesar Rp. 27.700/ekor dan keuntungan yang paling kecil diperoleh pada kelembagaan penggalas yaitu sebesar Rp. 10.900/ekor. Perbedaan keuntungan diantara kelembagaan yang terlibat diakibat oleh informasi yang asimetris.

Nilai keuntungan yang tertinggi pada kelembagaan tataniaga eksportir disebabkan oleh karena informasi harga/kg bobot domba hidup dan mekanisme pengiriman domba ke Malaysia hanya diketahui oleh eksportir.

Situasi ini menyebabkan eksportir dapat menentukan harga pembelian per ekor domba kepada koperasi sesuai dengan besar keuntungan yang diinginkannya. Demikian juga halnya yang terjadi pada koperasi. Informasi harga pembelian per ekor domba dari eksportir hanya diketahui oleh koperasi. Hal ini menyebabkan koperasi juga dapat menentukan harga pembelian per ekor domba kepada petani sesuai dengan keuntungan yang diinginkannya. Sebaliknya, pada kelembagaan penggalas Kecamatan dan pedagang daging informasi harga dikuasai baik oleh petani, penggalas Kecamatan dan pedagang daging karena dombanya dipasarkan lokal. Adanya informasi yang simetrik atau sempurna menyebabkan masing-masing pihak yang terlibat memperoleh kepuasan yang hampir sama karena harga domba mendekati harga yang wajar antara pihak petani, pihak penggalas Kecamatan dan pedagang daging (Rp. 17.000/kg karkas pada tingkat petani; pada tingkat penggalas Kecamatan Rp. 19.000/kg karkas dan pada tingkat pedagang daging Rp. 20.000/kg karkas).

Harga pembelian domba untuk bibit dan untuk domba kurban yang dilakukan oleh kelembagaan tradisional dan koperasi pada tingkat petani adalah sama. Demikian juga harga penjualan yang dilakukan oleh kedua kelembagaan pada konsumen masih tetap sama. Hal ini menunjukkan bahwa petani dan koperasi/penggalas mempunyai informasi yang sama terhadap pasaran ternak tersebut mengakibatkan pihak yang terlibat tidak dapat mempermainkan harga.

KESIMPULAN

  1. Pada umunya peserta pada ke dua lokasi ujicoba menjual ternaknya dalam bentuk domba hidup. Pada PIR-nak domba transmigrasi pemasaran ternak hanya dilakukan melalui penggalas desa sedangkan di Kabupaten Langkat pemasaran ternak domba dapat dilakukan melalui penggalas desa, penggalas Kecamatan maupun koperasi.
  2. Bila dikaji dari keuntungan (margin) yang diperoleh diantara kedua kelembagaan tampaknya pada kelembagaan penggalas keuntungan tataniaga ternak domba telah terdistribusikan secara merata pada masing-masing kelembagaan yang terlibat. Sebaliknya pada koperasi keuntungan belum terdistribusikan secara merata.

DAFTAR PUSTAKA

ANWAR, AFFENDI. 1995. Pengkajian Kelembagaan Dalam Sistem Agribisnis, Bahan Ceramah “Kelembagaan dalam Sistem Agribisnis.

HIDUP PUSAT STATISTIK. Laporan Hasil Sensus Pertanian 1993 Pendaftaran Rumah Tangga, Jakarta; BPS, 1994.

BATUBARA LEO, STEL KARO-KARO dan SIMON ELIESER 1995. Pengembangan Peternakan (domba) Pola Tranmigrasi Peternakan. Dipresentasikan Pada Dep. Transmigrasi dan Perambah Hutan Maret, 1995. Laporan Pertanggung Jawaban Kegiatan (unpublish)

JUNIAR SIRAIT dan M. DOLOKSARIBU 1998. Laporan Akhir Kemajuan Kegiatan Penelitian SUP Domba di Kab. Langkat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gedong Johor Medan (unpublish).

ETHRIDGE, DON. 1995. Research Methodology in Applied. Economics and ConductingEconomics Research. IOWA State University Press, Ames.

GITTINGER, J. PRICE. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press-Johns Hopkins. Seri Edisi Dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta.

MULJADI, N. AGUS, SORI BASYA, SOEPENO, P. SITORUS dan SRI RACHMAWATI. 1995. Penelitian Kebijaksanaan Pengembangan Berbagai Skala Usaha Peternakan. Identifikasi Intervensi Pemerintah dan Peran Kelembagaan dalam Pengembangan Peternakan pada Berbagai Tipologi Usaha Teridentifikasi di Propinsi Sumatera Utara, Aceh dan Riau. Buku II. PSE, Departemen Pertanian.

SOEDJANA, TJEPPY, 1993. Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil dalam TOMASZEWKA dan MANIKA WODZICKA. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press.

SUBANDRIYO dan OLOAN BUTAR-BUTAR, 1995. Penelitian Kebijaksanaan Pengembangan Skala Usaha Peternakan. Buku III. Analisis Resiko Usaha Peternakan pada Tipologi Usaha Teridentifikasi. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

SOEHADJI. 1992. Pembangunan Jangka Panjang
Tahap I, Upaya Pemantapan KerangkaLandasan, Pokok Pemikiran Pembangunan Jangka Panjang Tahap II dan Konsepsi REPELITA VI Pembangunan Peternakan.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.