Kelembagaan DAS

Murbani, dkk.

PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DALAM UPAYA PENYELAMATAN DAS DAN PENDUKUNG DAN PENDUKUNG EKONOMI RAKYAT

Narasumber
1. Murbani (Pemda Gunung Kidul )
2. Tino (Departemen Kehutanan )
3. San Afri Awang (Fak. Kehutanan UGM)
4. Supri (Petani Gunung Kidul )
Moderator : Suryo

PROCEEDING WORKSHOP PEKAN RAYA HUTAN DAN MASYARAKAT, Graha Sabha Pramana, Yogyakarta 19-22 September 2006

Suryo : Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, bapak ibu sekalian. Atas nama panitia kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran anda semuanya. Sebelum workshop ini dimulai, mari kita buka bersama dengan berdoa.

Selanjutnya sebelum workshop pada kesempatan kali ini dimulai, terlebih dahulu, di sini perlu saya sampaikan review beberapa hal berkaitan dengan hutan rakyat. Pertama, dalam pembicaraan hutan rakyat, masalah luasan hutan rakyat itu dianggap tidak seksi. Kemudian ketika bicara mengenai pemberdayaan hal itu dianggap tidak memberikan kontribusi. Padahal ketika kita bicara dengan kawan-kawan LSM hutan rakyat itu minim konflik. Artinya, hutan rakyat tidak perlu dipersoalkan lagi.

Namun sebenarnya kalau dikaji lebih jauh, kita akan menemukan beberapa masalah krusial. Biasanya masyarakat di sekitar kawasan hutan rakyat di sana masyarakatnya banyak yang masih miskin. Selain itu ketika kita bicara hutan rakyat disana juga terkait DAS.

Bapak ibu sekalian, dalam workshop ini nanti kita akan bicara lebih khusus mengenai hutan rakyat. Diskusi kita nanti tidak hanya dalam bentuk wacana. Tapi akan didalam lebih lanjut agar masyarakat dan petani bias memaparkan temuan mereka di lapangan. Tujuannya tidak lagi untuk memfasilitasi petani dan berbagai pihak. Terkait dengan itu di sini kita sudah mendatangkan berbagai kalangan mulai dari pengusaha, pemerintah dan swasta.

Selain itu, forum kali ini juga didesain untuk merumuskan beberapa hal yang kiranya bias direvisi. Baik dari pemerintah pusat, pemda dan perguruan tinggi. Tujuan lain agar ada implementasi dalam pengelolaan hutan rakyat.

Sebelum kita melangkah pada sessi wacana dan pemberdayaan. Apakah ada pertanyaan. Kalau kita ada mari kita lanjutkan dengan sessi panel. Dalam sessi ini nanti kita akan meminta 4 orang panelis. Masing-masing bapak TIno dari Departemen kehutanan, kedua bapak Supri dari Dengok, ketiga bapak Murbani dari Pemda Gunung Kidul dan Keempat bapak San Afri Awang dari UGM. Terhadap para panelis ini kita berharap nantinya kita bisa terlibat diskusi secara mendalam. Kepada para nara sumber kita berikan waktu sekitar 15 menit.

Tino (departemen kehutanan) : assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pimpinan siding yang dihormati. Para narasumber dan bapak ibu sekalian peserta lokakarya yang saya hormati. Pertama-tama saya merasa terhormat diundang dalam acara ini. Keberadaan saya di sini sebenarnya mewakili Sekjend Departemen kehutanan untuk berbicara dihadapan bapak ibu sekalian. Meski demikian saya akan berusaha menyampaikan materi sesuai yang diminta oleh panitia.

Bapak ibu sekalian, judul yang diberikan kepada saya adalah insentif dan disintensif tata usaha hutan rakyat. Tema ini akan saya mulai dari substansi pengelolaan hutan rakyat.

Mas Suryo tadi mengatakan bahwa hutan rakyat sebelum tahun 90an belum menjadi sesuatu hal yang diminati. Baru pada akhir-akhir ini ia menjadi diminati. Itu betul. Namun yang perlu disampaikan disini, pengelolaan hutan itu sudah dimulai pemerintah sejak tahun 60an. Meskipun harus diakui perhatian pemerintah belum begitu maksimal. Sehingga kontribusi hutan rakyat masih dipandang sebelah mata.

Bapak ibu sekalian kalau dilihat hasil evaluasi dan catatan departemen kehutanan, kontribusi hutan rakyat itu sangat besar. Nilainya tidak kecil. Jenis-jenisnya juga demikian, terutama yang berkembang di Jawa. PEruntukannya bagaimana, itu juga variatif. Menurut catatan, hutan rakyat yang memberi kontribusi nasional, jumlahnya bias mencapai 7 juta meter kubik. Bandingkan saja, jatah tebang untuk pulau Jawa saja hanya sekitar 6 juta meter kubik pertahun. Jadi tidak kecil.

Terkait dengan itu, pemerint berusaha untuk mengatur melalui keputusan menteri Peraturan no 55. dokumennya melalui SAB, Faktur dan sebagainya. Kalau di luar kawasan hutan rakyat penatausahaan diatur dengan P 151. di sini pemerintah berusaha menyederhanakan system tata usaha kayu. Pada kesempatan ini kami membawa putusan mentri P 151. kalau hal itu dibutuhkan nanti bias kita berikan. Sehingga kalau anda nanti bertanya apa substansinya bias kita belajari bersama.

Dalam peraturan P 151 itu, pengelolaan kayu harus diuji kebenaran asal usulnya. Sehingga unit di desa, kepala Desa memiliki otoritas untuk mengeluarkan SKAU. Dalam konteks sekarang apakah Kepala Desa mampu mengeluarkan SKAU semacam itu. Di Palu masyarakat di sana rebut, mengenai hal itu. Apakah KEpala desa mampu melakukan hal itu.

Kalau kalau dulu, dengan aturan SKSAH, ketika masyarakat melanggar aturan mereka dikenai SKSAH. Dan itu berat sekali. Pada tahun 2006, ini terbit aturan yang mengatur 3 hal. Kelapa, sengon dan karet. Sebelum itu nanti dilegitimasi dengan keputusan mentri. Ini perlu untuk dikaji. Dengan SKAU semua diatur agar tidak menimbulkan high cost.

Mengenai tata niaga, tata usaha di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan itu sangat berbeda. Kalau di luar kawasan hutan tata usahanya sedemikian rupa. Berbeda dengan di dalam kawasan hutan. Itu juga perlu didiskusikan bersama. Selain itu petani juga dihadapkan pada masalah yang juga rumit. Bayar sekolah dan pemenuhan kebutuhan lain. Mereka juga dihadapkan pada system ijon. System ijon ini juga merupakan fenomena yang berjalan di masyarakat. Petani juga menikmati hal itu.

Selain ijon petani juga dihadapkan pada system pengepul. Jalannya terkadang sampai panjang. Dari pengepul desa sampai pengusaha. Jadi gambaran tata niaga itu masih membutuhkan sumbang saran. System yang ideal itu seperti apa.

Di sini, bapak ibu sekalian, yang perlu ditegaskan, kayu-kayu hasil kawasan hutan rakyat perlu memiliki standar shortimen.kadang ada yang panjangnya 6-7 meter. Selain itu dalam mekanisme penjualan, belum dikenal system lelang. System ini yang ada baru di pemerintah. Secara umum pengelolaan hutan rakyat belum mengacu pada pemanfaatan hutan lestari. Ini terjadi karena hutan rakyat dibangun berdasarkan unit manajemen.

Kecuali itu, petani juga belum mengetahui nilai tambah pengelolaan hasil kayu. Intensifikasi pengelolaan hutan rakyat juga masih minim. Karena itu petani perlu diajarkan misalnya cara pengukuran, serta pelatihan manajemen tata usaha kayu. Ini bias dikerjasamakan dengan Perhutani atau departemen kehutanan.

Bapak ibu sekalian, pengelolaan hutan rakyat perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara lebih baik. Jangan sampai hancurnya hutan rakyat seperti di NTT itu akibat perda cendana terjadi di daerah lain.

Sebelum selesai, saya ingin menyampaikan bahwa :
– System intensi perlu didorong.
– Apabila tata usaha kayu tidak bias diwujudkan hal itu bias menjadi disintensif.
Saya kira demikian. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Suryo : Ada beberapa catatan yang bias didiskusikan lebih dalam. Seperti misalnya SKAU. Di sana ada misteri mengenai kelembagaan dimana KEpala Desa memiliki otoritasi. Bagaimana hal itu bias memiliki posisi kuat ketika berhadapan dengan sector lain. Apakah bisa SKAU itu dijadikan surat kekancingan. Juga mengenai jenis. Apakah jenis sengon, kakao dan kelapa perlu diatur melalui hal itu. Baik selanjutnya kita dengarkan dari pak Supri.

Supri : assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya di sini akan menyampaikan hasil pengalaman petani Gunung Kidul. Ada beberapa hal yang berlu ditekankan dalam rancang bangun hutan rakyat di Gunung Kidul. Pertama, masyarakat sebenarnya sudah terbiasa melakukan aktifitas mulai dari penanaman hingga penebangan. Sejak hutan Negara rusak,pada tahun 80-an, masyarakat terbiasa mengelola hutan milik mereka. Pengertian hutan rakyat itu merupakan tanaman yang ada di atas tanah milik sendiri, dikelola sendiri dan diolah sendiri. Itu sudah biasa dilakukan masyarakat sejak dari penanaman sampai pengaturan hasil. Hanya saja masyarakat belum bias melakukan secara maksimal seperti halnya rancang bangun pengelolaan hutan lestari. Jadi dengan penanaman itu masyarakat hanya memindahkan persemaian dari kebun ke tegalan. Mengenai pemeliharaan hanya sebatas tidak dijarah. Mengenai pengelolaan hasil hanya bersifat individu. Bahkan yang terjadi sistemnya tebang utuh. Itu terjadi ketika masyarakat dihadapkan pada kebutuhan sekolah maupun hajatan.

Kemudian, bagaimana proses RBUMR RHLL itu. Pertama adanya sosialisasi. Ketika datang dan masuk ke desa, pemerintah desa melakukan sosialisasi melalui pertemuan RT dan RW di dusun masing-masing. Setelah sosialisasi, akhirnya disepakati workshop di tingkat desa yang menghadirkan semua komponen. Setelah itu disepakati sarat organisasi. Namanya perkumpulan NGudi LEstari.

Adapun beberapa tahapan yang dilakukan menuju rancang bangun itu adalah pemetaan r, inventori dan pengaturan hasil. Selain itu juga dilakukan peningkatan SDM yang sangat rendah. Selain itu ada pula pengelolaan kelembgaan dan pertemuan rutin dalam rangka tukar menukar informasi. Para anggota juga terlibat dalam simpanan wajib. Dari proses itu, lambat laun berkembang.

Proses yang berlangsung ditempat kami, tidak berjalan begitu saja. Dalam kenyataannya, ketika kayu diukur, masyarakat mengira dampaknya hanya untuk menaikan pajak. Kebetulan pajak PBB di Gunung Kidul juga naik. Tapi berkat penjelasan dari bapak pendamping, hal seperti itu bias diatasi. Sehingga salah persepsi seperti itu bias diselesaikan.

Tantangan seperti itu terus terang membangun kesadaran. Bagaimana mungkin, wong menanam di tanahnya sendiri, kok mau dikelola secara kelompok. Namun kami berharap dengan program itu, pemerintah bisa memberikan dukungan dalam rangka mengatasi tebang utuh. Tentunya di sela-sela, acara itu, kebutuhan masyarakat kan selalu ada. Karena itu uluran tangan pemerintah jelas dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Ini sekilas cerita yang ada di desa Ngenok. Sekali lagi, program ini bisa berhasil ketika ada dukungan dari berbagai pihak mulai dari Pemkab sampai Pemdes. Saya kira demikian mas moderator cerita tentang proses rancang bangun di desa Ngenok. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Suryo : TErima kasih pak Supri. Ada beberapa catatan. Menyangkut pengelolaan unit manajemen, ketika tanah dikelola sendiri ada gagasan meengenai unit manajemen. Juga soal kapasitas, dimana petani tidak paham dan mengerti berapa potensi yang ada di lahan mereka. Selain itu tadi juga dipaparkan mengenai beberapa kebijakan mengenai usaha kayu rakyat itu. Seperti KKD. Tapi juga ada persoalan ketika kayu itu umurnya panjang. Bagaimana ketika masyarakat menghadapi desakan kebutuhan sesaat. Baik, selanjutnya kami persilakan kepada pak Murbani.

Murbani : assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, bapak ibu sekalian yang kami hormati, pada kesempatan ini saya memohonkan ijin pak Bupati yang seharusnya memaparkan masalah ini. Namun karena beliau ada tugas lain yang cukup penting akhirnya hal itu didelegasikan kepada saya.
Bapak ibu sekalian, wilayah Gunung Kidul merupakan lahan yang kering dan sering terjadi bencana. Tapi ditengah situasi itu Gunung Kidul menjadi terkenal dan ingin melamarnya.

Bapak ibu sekalian perlu saya sampaikan wilayah Gunung Kidul itu sangat luas. Kira-kira 46 persen dari wilayah Yogyakarta. Secara topografi pengelolaan kebun di Gunung Kidul diarahkan di wilayah Patuk dan Semin serta KArangmojo.

Sementara untuk wilayah selatan yakni pegunungan seribu, yang kondisinya tidak bersungai, penanganan wilayahnya dilakukan dengan pengeboran air permukaan. Termasuk untuk pengairan hutan rakyat di Gunung Kidul. Proses pengembangan hutan itu mencapai 20 ribu ha. Dari usaha itulah Gunung Kidul selama ini banyak diminati industri, terutama dari Klaten dan JEpara.

Hanya saja, seperti diutarakan pak TIno, kenapa SKAUnya hanya tiga jenis. Padahal yang dibutuhkan di sana adalah jati, mahoni dan sonokeling.
Hutan rakyat di Gunung Kidul, selama ini merupakan lahan pendapatan masyarakat yang luar biasa. Dari kayu itu PAD Gunung Kidul cukup tinggi. Dana yang beredar tahun ini saja sudah mendekati 150 M. ini menjadi menarik karena usaha lain seperti pertanian di Gunung Kidul tidak cocok. Selain kering, secara topografi kemiringan daerah Gunung Kidul sangat tajam.

Terkait dengan ancaman tanah longsor, pemerintah berusaha memberikan penyuluhan kepada masyarakat dengan dibagi Perdesa. Dengan demikian dari 66 petugas yang ada, mereka bisa bergerak bersama-sama.

Mengenai hutan Negara yang luasnya 13.221 itu, posisinya hanya seperti orang bancakan. Satu tumpeng dikelilingi orang banyak. Itu menunjukan bahwa hutan Negara tegakannya bergantung manusia. Sehingga wajar jika hutan negara itu habis pada tahun 1989an. Dengan kondisi semacam itu, bapak bupati beserta perangkatnya ingin memulihkan kondisi yang sangat membahayakan itu melalui GErhan Melalui itu kita berharap pada tahun 2010 keberadaannya menjadi lebih baik.

Menyangkut upaya rehabilitasi, pemerintah mendorong upaya swadaya masyarakat lewat palakromo jati. Harapannya pada tahun 2010 penyelesaian masalah lahan kritis tidak lagi ditemukan. Guna melancarkan hal itu pemerintah mendorong peraturan tingkat desa. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan partipasi warga. Selain itu pemerintah bersama-sama dengan LSM melakukan rancang bangun tata usaha hutan rakyat khususnya di desa Ndengok. Harapannya pada 2007 nanti ada sekitar 57 desa yang siap bersertifikasi. Ini terkesan seperti mimpi. Tapi dengan cara itu kita berusaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui hutan.

Selain sertifikasi, pemerintah juga mendorong pendirian koperasi, namanya Wana Manunggal Lestari.
Selanjut, pemerintah Gunung Kidul juga meningkatan pengelolaan hutan bersama dengan perguruan tinggi dengan cara membuat laboratorium lapangan. Kita juga mengembangkan industri kebun dan hutan. Berdasarkan catatan pemerintah, nanti akan ada beberapa pengusaha kayu yang akan dilibatkan dalam mendukung pembangunan hutan rakyat agar tercipta kondisi masyarakat yang sejahtera. Untuk mewujudkan itu, kita melibatkan POlri dan TNI untuk memberikan dorongan kepada masyarakat untuk meningkatkan konservasi dan SDA.

Langkah pendekatan itu dilakukan dengan mengatur pembagian hasil dan lewat pendekatan vegetasi dan tanaman teknis. Selain itu kita juga mengupayakan agar air hujan tidak langsung turun ke laut. Caranya dengan membentuk embung dan kelola lahan. Ini sudah kita rintis bersama beberapa lembaga swadaya di Gunung Kidul. Dalam konteks ini pak Awang menjadi salah satu sponsornya. Dengan demikian pemerintah Gunung Kidul tidak sendiri dalam mewujudkan cita-cita tersebut.

Suryo : Selanjut saya persilakan kepada pak Awang.

San Afri Awang : assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, pertama-tama saya minta maaf, bahan saya sudah selesai sejak kemarin sore tapi karena proses foto copy belum selesai makalah saya tidak sampai dihadapan anda semua. Program rancang bangun Unit Manajemen Hutan Lestari itu diinisiasi oleh fakultas Kehutanan UGM. Dasar pertimbangan dan prinsip yang kita adalah bahwa hutan itu milik tuhan. Dalam konteks itu ketika hutan itu memiliki fungsi jasa public serta jasa kepemilikan individual, maka hutan wajib melayani public dan rakyat wajib memberikan sumbangan kepada khalayak. Karena itu mereka tidak bisa sewenang-wenang kepada tetangganya. Program rancang bangun ini untuk memastikan kepada rakyat yang memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik itu adalah sebagai berikut, (Selanjutnya San Afri Awang membacakan makalahnya)

Ketika pasokan potensi hutan itu menurun kami hadir untuk membangun unit usaha hutan rakyat. Mengapa, ketika hutan rakyat tidak diorganize, maka masyarakat akan menyandang beberapa indentifikasi social yang bermacam-macam.

Mengenai proses pengembangan program itu, sejak awal kita melakukan grand assessment di 6 desa. Awalnya dimulai dari 3 bahan pemikiran. Penguatan lembaga, penataan kawasan dan upstreaming kebijakan di pemda. Kebetulan kita sedang mengerjakan hal itu untuk level propinsi. Yang terpenting dalam prose situ adalah pendampingan lanjutan pada berbagai hal, mulai dari Iltek, SDM. Pemetaan partisipatif. Kebetulan yang menjadi pelaksananya adalah pak Supri. Apa toh yang disebut hutan rakyat menurut mereka. Di situ warga berembug. Ada yang menyebut alas, wono, tegal dsb. Sementara kita hanya menfasilitasi.

Berdasarkan pemetaan partisipatif, kita bisa mendapatkan jumlah luasan hutan rakyat dengan beberapa tipe dan namanya. Misalnya, alas itu sekitar 46,3 Ha, tegal sekitar 17,72 Ha. Hasil dari pemetaan itu tadi akhirnya kita bikin petanya. Ternyata masyarakat bisa melakukan itu dalam kurun tidak lebih dari satu minggu. Dan masyarakat bisa hapal titik letaknya.

Dari hasil inventori masyarakat bisa menghitung potensi ekonomi di masing-masing daerah. Siapa yang melakukan inventori, ya rakyat sendiri. Tanamannya ada jati, mahoni, akasia dan campuran. Yang jadi masalah SKAU tidak masuk, Di Gunung Kidul nyaris tidak ada kelapa. Karet juga tidak ada. Dari pemetaan potensi ekonomi tersebut, masyarakat kemudian melakukan diskusi mengenai formulasi unit manajemen. Ini adalah tantangan bagi para akademisi. Dalam konteks ini tim memulai dengan melibatkan beberapa LSM untuk membangun formulasi unit manajemen. Tahapnya kita melakukan rujukan, rujukan pertama dimulai dari Perhutani. Biasanya di Perhutani upaya yang dilakukan adalah menanam. Menanam itu tidak mudah. Kalau menebang memang semua orang bisa. Jadi menanam saja membutuhkan pengetahuan.

Menurut beberapa ahli kemampuan menanam setiap KK itu sekitar 0,8 Ha. Ketemunya, kemampuan itu sekitar 1,2 Ha setiap KK dalam jangka waktu sekitar 1 bulan untuk lahan kering.

Bapak ibu sekalian, kalau hutan rakyat itu mau dijadikan unit manajemen, maka sarat utamanya harus mau berkelompok. Di sini ada contoh kasus, (Selanjutnya narasumber menunjukan makalahnya melalui LCD)

Bapak ibu sekalian kalau ada program pemerintah, maka semua itu bisa dialokasikan di situ. Sebab Gerhan itu biasanya kalau ada bibit tapi pemeliharaannya lemah. Saya kira itu. Dan tadi pak Tino sudah merumuskan beberapa masalah. Dan masalah-masalah yang dirumuskan pak Tino sudah dijawab semua di situ. Kalau itu dideplot saya kira bisa menyelesaikan masalah secara keseluruhan.

Suryo : Terima kasih. Untuk termin pertama kami persilakan kepada 6 orang.

Bu Wahyu Handayani (UGM) : assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya Wahyu dari Fakultas KEhutanan UGM. Mengenai SKAU tadi, saya ingin menanyakan pada saat departemen membuat tiga komiditi SKAU itu dasarnya apa. Terus, kalau ada komoditi yang layak dan bisa masuk ke SKAU itu ukurannya apa. Apakah tidak baik, SKAU itu sifatnya general saja. Sebab tata usaha yang dimasyarakat tidak banyak hambatan.

Selain itu, dulu itu ka nada KUK. Apakah hal itu masih diluncurkan lagi. GErhan sekarang itu kan 40 persen di hutan Negara. Kenapa hal itu tidak didesain untuk memberdayakan hutan rakyat itu sendiri. Terkait dengan tata usaha kayu di pasaran, biasanya pelaku pasar itu sudah memotong kayu kayu bulat sesuai permintaan.

Mengenai system ijon dan pengepul menurut saya, tata niaganya perlu dibetulkan. Sebagai end user saya kita tidak semuanya industri. Mengenai insentif dan disintensif yang dimaksudkan siapa.

Asikin : assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya iin dari KPSK Bogor. Bicara mengenai hutan rakyat kita akan berusaha mendekotonomikan antara pemilik hutan. Rakyat punya hutan, penguasa punya hutan dan pihak lain punya hutan. Sebenarnya hutan itu milik siapa. Saya kira hutan itu tidak memiliki pemilik. Dalam kenyataannya hutan itu milik rakyat dan harus dilindungi oleh negara. Ini yang perlu ditegaskan. Apakah kita mau mengatur hutan rakyat yang tidak ada status politiknya atau kita mau mengatur hutan Negara untuk diberikan kepada rakyat. Pembahasan masalah ini tadi kan sangat jawa centris. Ini akan sangat sulit ketika masalah ini diurusi oleh departemen kehutanan yang hanya mengadopsi inisiasi-inisiasi PT.

Ketiga, ketika bicara mengenai tata usaha, lagi-lagi kita terjebak ekonomi pasar. Apakah kita mau mendukung ekonomi pak Supri di Gunung Kidul sana, atau mau menjadikan petani di sana untuk menyiapkan kebutuhan masyarakat lain seperti di Eropa atau yang lain. Sebulan lalu saya ke Gunung Kidul, terus terang saya sangat apresiatif. Bagaimana tidak, batu di sana ditanami tanaman. Tapi sekali lagi, ketika itu dibicarakan dalam konteks ekonomi, seolah-olah rakyat selalu dieksploitasi. Yang perlu ditegaskan di sini, sebenarnya kita tidak pernah memiliki manajemen konservasi. Yang saya tangkap dalam pembicaraan ini tadi, tanaman itu ditanam untuk dijual. Padahal, hutan itu tidak semata-mata untuk ekonomi. Ada factor lain yang penting di sekitar hutan, mulai dari budaya, politik dan hal lain. Mas Afri sendiri saya kira paham mengenai hal itu. Seharusnya pemerintah memberikan otorisasi politik atas hal itu. Saya kira itu.

Bambang Aji : Saya Bambang Aji dari Pacitan. Apa yang disampaikan tadi cukup menarik. Hanya saja, saya memiliki kesan. Pertama, departemen kehutanan belum menjelaskan kebijakan mendasar yang dilakukan pada masa sekarang. Event besar yang ada sekarang menunjukan betapa masyarakat menginginkan akses yang besar dalam pengelolaan hutan. Saya tidak tahu apakah itu kesalahan panitia dalam memberikan topic bahasan, atau karena departemen sendiri yang tidak paham mengenai hal itu. Menurut saya semua potensi di masyarakat tidak akan mungkin berjalan dengan baik kalau departemen kehutanan tidak memberikan peluang agar tercipta sinergi.

Kedua, dari komposisi para narasumber, saya kira cukup merepresentasikan para pihak yang nantinya bisa bersinegeri dan berkolaborasi dan pengelolaan hutan rakyat. Hanya saja yang saya kira kurang di sini adalah unsure industri.

Sebagaimana diketahui dalam pengelolaan hutan di Indonesia selama ini kita selalu berbicara UUD, ujung-ujungnya duit. Dan itu terkait dengan usaha dan perusahaan. Karena itu unsure industri perlu dilibatkan di sini.

Mengenai masalah pendanaan, saya kira biaya akan dapat ditekan. Kalau dana dari pemerintah sifatnya bisa berbentuk stimulant. Di Pacitan dan Trenggalek, pola yang kita kembangkan di sana adalah bagi hasil. Bagi hasil itu dilakukan dengan pola pendampingan.

Kemudian berkait dengan pengelolaan hutan lestari, jika perencanaan sudah dilakukan dengan bagus, maka Pemda hanya tidak menyusun apa yang dilakukan saat ini. Terkait dengan itu maka SKAU menjadi tidak penting. SKAU itu, bagaimana mungkin akan bisa dilaksanakan kalau hanya mengandalkan kepala desa. Demikian pula dengan sertifikasi. Sertifikasi itu menurut saya justru rumit. Di sini saya hanya menyarakan, apa yang akan dilakukan di sini harus dilakukan secara kolaborasi. Sebab dengan cara itu kita bisa bersingergi satu sama lain.

Suhaidi : Terima kasih. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya dari dinas Kehutanan LOmbok Barat. Pertemuan ini sangat menarik. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan masalah kepada pak TIno, mengenai SKAU, tadi disebutkan bahwa SKAU itu bisa dilakukan oleh pejabat setingkat desa. Ini pelaksanaanya bagaimana.

Dalam konteks lain, masyarakat itu mengolah lahan kritis saja tidak mampu. Dan mereka butuh pengetahuan mengenai hal itu. Sejauh ini hal itu kan tidak pernah diberikan.

Mengenai HKm, kondisi riil yang dihadapi, saat ini masyarakat sebelum ada undang-undang yang mengatur atas hal itu, sudah ada di sana sejak dulu kala. Kalau kemudian itu mau kita manaje, lalu bagaimana dengan hak mereka. Ini terkait dengan UU no 41. di Lombok perda mengenai hal itu sudah dibentuk. Tapi kita tidak berani berbuat, mengingat wilayah Lombok terlalu kecil sementara air hanya ada dikaki Rinjani.

Masalah lainnya, kemarin kita menyinggung Gerhan. Seperti yang dikonsepkan pak Tino dalam makalah tadi, masyarakat juga tidak ingin hal itu dikontrakan. Kalau bibit itu mau dikirim ke masyarakat, ya harus diawasi dan dikontrol. Bibit yang dikirim selama ini kenyataannya kan setengah pingsan. Saat ditanya, ya kami kan hanya melaksanakan. Hal seperti itu tentunya jangan sampai terjadi.

Khusus untuk bapak yang dari Gunung Kidul, yang disertifikat itu tanah siapa. Apakah tanah pemerintah, rakyat atau tanah HKm yang akan digunakan rakyat. Bentuknya sertifikat itu apakah hak milik atau hak guna usaha.

Suryo : Sebelum ke ibu yang dipojok, saat ini sudah disediakan coffe break. Kalau bapak-ibu punya keinginan untuk coffe break, mungkin bisa langsung ke luar dan bawa ke sini.

Winastuti : TErima kasih, saya dari fakultas kehutanan UGM, apa yang saya sampaikan saya tujukan kepada bapak dari departemen kehutanan. Selama bertahun-tahun UGM sudah mendampingi masyarakat untuk membuat persemaian di tepi pantai. Seperti di pantai Srini, Sundak, dan lainnya. Di sana sudah ada beberapa bibit yang diproduksi. Tapi ketika kami mengecek di lapangan, kami merasa prihatin, kenapa yang ditebang jauh lebih banyak dari yang disemai. Akhirnya kita berinisiatif membuat KKN tematik. Tapi setelah ditinggalkan dan masyarakat tidak ada yang mendampingi, program seperti itu mangkrak lagi. Setelah itu UGM kembali lagi ke sana. Begitu melihat tanah-tanah yang gundul, kita meminta kepada pemerintah setempat untuk meminta ijin bagaimana kalau tanah yang gundul itu kita bikin board UGM. Dan itu sudah terjadi.

Pada kesempatan ini saya ingin kepada pihak-pihak terkait agar a upaya yang dilakulkan oleh mahasiswa UGM. Kalau masyarakat tidak diberdayakan secara berkelanjutan, jelas program tidak akan berjalan.

Suradal : Saya dari kelompok tani Gunung Kidul. MEngenai SKAU tadi, setelah SKAU itu diberlakukan apakah dinas akan memberi rekomendasi ke petani. Kemudian mengenai permohonan ijin tebang itu apakah masih mengunakan KKB.

Suryo : Ada banyak klarifikasi dan pertanyaan yang disampaikan. Misalnya bagaimana tindak lanjut Pemda ketika ada proyek berjalan di suatu wilayah. Untuk lebih singkatnya langsung saja kami persilakan kepada narasumber untuk menjawabnya.

San Afri Awang : Untuk mas ASikin, Saya paham betul model pengelolaan hutan di luar Jawa. Di sana mereka memang sangat happy dengan konsep social budaya. Yang perlu ditegaskan di sini, pengelolaan tadi memang khusus untuk hutan rakyat di Jawa. Perlu diketahui saya juga mengelola hutan rakyat di Jambi. Indonesia ini ragam ka sangat luar biaya. Seperti saya katakan tadi, manajemen pengelolaan hutan masyarakat itu sangat beragam. Di tiga desa saja itu berbeda-beda, apalagi di kawasan yang lebih luas. Masalahnya untuk mengatur hal itu aturan yang dikeluarkan pemerintah sifatnya sangat rigid. Padahal tidak harus seperti itu. Caranya, tidak lain dengan membukukan temuan yang ada di lapangan. KEmarin pak Hidayat Nur Wahid sudah mengatakan, jangan sampai ada tikus mati di lumbung padi. Itu harus dipegang.

Terus terang, saya merupakan orang yang tidak setuju kalau hutan di sini hanya untuk kepentingan eksploitasi. Justru rancang bangun ini didesain untuk mengantisipasi terjadinya eksploitasi ekonomi. Itu kita kampanyekan terus. Hanya saja selama ini kan masyaraka membutuhkan ekonomi. Kalau mereka dilarang untuk menebang, mereka bisa kelahi. Terkait dengan itu kita mendesain hal itu. Misalnya, Gunung Kidul itu kaya dengan ubi kayu. Bagaimana masyarakat bisa menanam hal itu di sela-sela tanaman hutan.

KEpada pak Bupati saya selalu menekankan, pak jangan sampai tanaman di Gunung Kidul itu habis ditebang pemiliknya. Kita perlu memikirkan public good. Itu untuk menjaga agar lahan di Gunung Kidul tidak menjadi tereksploitasi. Kami tidak ingin pedagang Jepara mengeksploitasi di sana. Benar bahwa masyarakat butuh tanaman yang mereka tanam. Tapi yang perlu ditegaskan, jangan lantas karena alas an kebutuhan mereka dengan seenaknya menebang tanaman mereka. Sekarang ini dengan asmindo kita membuat aturan yang boleh ditebang itu hanya yang berdiameter 19 meter.

Dalam terminology UUD hutan rakyat itu memang tidak ada. Itu kan pinter-pinternya orang kampus saja. Yang ada di masyarakat ya hanya alas, wono atau tegalan. Untuk masyarakat di luar Jawa, jelas terminologinya tidak akan mengekor masyarakat di Jawa. Dalam konteks ini hutan-hutan itu perlu ditreatmen.

Bapak ibu sekalian, saya merupakan salah seorang yang memperhatikan UU no 41. mengapa UU itu tidak berpihak pada rakyat. Itu karena di sana tidak ada klausul masyarakat. Saya ketika UU mau diundangkan, sudah berusaha debat mati-matian dengan tiga partai. Ketika itu Golkar mati-matian tidak mau memasukan unsure rakyat dalam UU itu. Sekarang ada HKm dan sebagainya. Itu adalah sumber hukumnya. Sekarang itu pemerintah sulit mendapatkan pengakuan karena mereka tidak memasukan unsure partisipatif.

Hanya saja memang dalam konteks sekarang Mentri sangat intens dengan kegiatan kemasyarakatan. Mudah-mudahan hal seperti ini akan bisa berlanjut. Sehingga pengelolaan hutan itu tidak menjadi perdebatan public.

Mengenai tata ruang, saya setuju sekali. Hutan rakyat itu kapanpun bisa diubah. Kalau ada pihak yang mengubahnya menjadi kebun salak tdak ada satupun pihak yang bisa menghalang-halangi. Ini masalah. Karena itu kita ingin mendorong unit manajemen itu. Di Wonosobo hal seperti itu sudah terjadi. Dan itu secara tidak langsung akan mengakibatkan perubahan ekologi di daerah bersangkutan. Saya kira itu, terima kasih.

Suryo : Ada satu penekanan, apa yang dipaparkan tadi merupakan kasuistik. Dan itu bukan persoalan hitung-hitungan. Dalam kasus 6 desa tadi, ada enam formula yang bisa muncul. Dan semuanya bisa menjadi metoda formulasi.

Supri : Terima kasih. Setelah ada otonomi daerah dan terbitnya peraturan pemerintah yang mengatur SKAU, usaha yang harus dipersiapkan adalah komite kayu Desa (KKD). Fungsinya untuk mengatur lacak kayu. Ketika ada proses lacak balak, hal itu harus dimulai dari RT dukuh dan desa. Berikutnya nanti akan ada perdes yang mengatur paska penerbitan SKAU tersebut.

Suryo : Silakan dilanjut ke pak Murbani

Murbani : Dengan adanya KKD, kayu luar yang mau ditebang, prosesnya sudah dipegang. Dengan KKD itu diharapkan penebangan akan terkontrol. MEngenai sertifikat, sekarang ini Gunung Kidul menginisiasi lahirnya tiga desa yang hutan rakyatnya bersertifikasi. Dan ke depan ini akan kita upayakan agar bisa meningkat. Dari tiga desa bisa menjadi 59 desa. Ini memang dikaitkan dengan kemampuan anggaran daerah. Dan bupati memang sangat bersemangat mengenai hal itu.

Untuk bu Winastuti saya kira yang disampaikan itu merupakan pergeseran. Perhatian PT itu kan sudah ada sejak dulu. Dan terkait dengan hal itu bupati sudah mengalokasikan anggaran untuk penghijauan di sepanjang pantai. Harapannya, dalam waktu dekat wilayah pantai selatan akan tertutup dengan hutan. Masalahnya kemarin kita terkena gempa. Selain PT, beberapa teman juga memiliki laboratorium cendana. Sementara yang berkait dengan industri, pemda juga mendorong agar pengelolaan industri disinergikan dengan pengelolaan perkayuan.

Tino : Ada banyak pertanyaan yang ditujukan kepada saya. Pertama ibu Wahyu, mengenai SKAU, PP 34 tahun 2002 itu sudah menyebutkan kayu-kayu rakyat dokumennya mengunakan SKAU. Tapi pokok pikirannya tidak mudah. Beberapa teman masih berdebat, kalau itu dilepas apakah itu tidak berbahaya terhadap kawasan hutan. SKAU itu bisa menjadi bungkus untuk mengeksploitasi hutan. Kalau SKAU mau dikatakan sebagai eksperimentasi, itu juga bisa. Jadi aturannya memang baru seperti itu. Belum general. Misalnya di suatu tempat, di Bangka Belitung misalnya, kasusnya juga seperti itu. Mereka menginginkan kayunya itu jati. Tapi memang faktanya baru seperti itu. Kemudian mengenai kawasan hutan rakyat itu didasarkan pada PP 35. kecuali jika ada revisi pada PP tersebut. Kami belum bisa menyampaikan pada forum ini, apakah PP itu akan memberikan jaminan yang lebih luas atau tidak. Menurut saya di Gunung Kidul itu merupakan contoh yang bagus.

Mengenai tata usaha, sertelah ada masukan itu, tentunya akan kita perbaharui. Hutan rakyat itu dibangun untuk siapa. Siapa yang terlibat. Saya kira semuanya turut terlibat, pemerintah ikut terlibat masyarakat juga terlibat.

Khusus untuk pak ASikin, kenapa sering kali pak San Afri Awang menyebut JEpara, sebagai industri yang melahap kayu. Kalau dirunut pada sejarah, sejak dulu, perdagangan kayu jati itu sudah berlaku sejak dulu. Sultan Agung itu memang mengutus delegasi khusus untuk melakukan perdagangan kayu jati ke Batavia. Dan heritage atas hal itu berlangsung sampai sekarang. Masyarakat Jepara sampai sekarang sudah menjadi ekstablish.

Kemudian pak Bambang Aji, topic yang disampaikan sekarang, terus terang memang sebagian bukan merupakan kewenangan saya. Anda tadi menekankan sinergisitas. Dan dalam kurun sekarang pemerintah juga mengembangkan hal itu. Apalagi dengan pembangunan hutan rakyat itu, perhatian yang diberikan pemerintah cukup besar. Karena itu siapapun harus terlibat dalam hal itu.

KEpada pak Suhaidi, siapapun memang ada kekhawatiran. Di masing-masing daerah sekarang ini adapihak yang memiliki wewenang untuk menerbitkan aturan penjelasan terkait SKAU. Saya kira dengan kepercayaan yang diberikan itu, daerah harus memberikan diri untuk menyiapkan segala sesuatu terkait hal itu. Menurut saya, KEpala Desa bersama dengan perangkatnya bisa melakukan hal itu. Tugas dari Kabupaten hanya menfasilitasi. Sekarang ini sudah seharusnya kita memberikan kewenangan kepada kepala desa. Saya sendiri terkadang juga sangsi. Tapi saya kira seiring dengan proses mereka akan bisa.

Mengenai HKm, memang semuanya belum nyantol. Penjelasan selama ini masih minim. Karena itu memang perlu ada solusi. Bahkan pelaksanaan di Kalimantan justru menimbulkan konflik. Untuk mengatasi hal itu sekarang ini sudah dirancang PP tetang pemberdayaan masyarakat. Melalui PP itu diharapkan persoalan seperti itu bisa diselesaikan.

Menambahi Gerhan, gerhan itu kan bagian dari gerakan atau movement. Gerhan itu ibaratnya kan seperti KB. Ketika saya di LPPS, prose situ diwjudkan dalam bentuk 60 persen partisipasi dan 40 persennya proyek. Seiring dengan perkembangannya, prosentasi itu harus dikurangi sampai pada akhirnya menjadi gerakan murni. Itu pokok pikirannnya. Saya kira, semuanya sudah terjawab. Terima kasih waktu saya kembalikan kepada mas Suryo.

Suryo : Saya kira penjelasan dari 4 narasumber sangat gambling. Ada dua hal yang perlu direspon, tadi ada keinginan mendengarkan suara pengusaha. Selain itu kawan-kawan dari luar jawa juga bisa share pengelolaan hutan di luar Jawa. Ada yang mau berkontribusi, silakan. Mas Gunawan dari KTI atau Asmindo.

Zaenal Arifin : Terima kasih saya dari Jember, setelah kumpul di sini, saya merupakan orang terasing. Kawan-kawan merupakan bagian dari hutan rakyat sementara saya hutan taman nasional. Keadaan kami di sini sebenarnya untuk mendapatkan ilmu menyangkut tanam pola, setelah tanaman pokok itu tidak ada. Tata usaha seperti apa. Kelanjutnya bagaimana dan pemasarannya di mana.
Taman nasional Ngabutiri di Jember, setelah tanaman pokoknya tidak ada, oleh masyarakat ditanami kluwak, gembili, pete dan sebagainya. Setelah panen kami bingung pemasarannya bagaimana. Mohon dijelaskan. Sehingga penghasilan petani bisa meningkat.

Suryo : KEbetulan di PEkan Raya ini kita juga memiliki media temu petani sehingga mereka bisa belajar sejak dari rencana kelola sampai pentrasi pasar. Dan besok kita akan ada sessi tersendiri mengenai hal itu. Selanjutnya apakah masih ada tambahan. Kalau tidak ada. Di sini ada beberapa catatan di unit manajemen, yakni .
– potensi wilayah
– pelembagaan petani yang awalnya berbasis keluarga menjadi kolektif
– kebutuhan untuk supporting system

Menyangkut tata usaha kayu, SKAU banyak direspon banyak orang khususnya mengenai 3 komoditas, karet, kelapa dan sengon. Tentunya perlu ada pengawalan untuk mengajukan jenis-jenis lain yang bisa masuk dalam SKAU.

Terkait dengan persoalan rantai pasar, pemain utama adalah petani. Tetapi selama ini petani belum mampu mendrive pasar. Untuk ke sana, diperlukan lembaga khusus yang tidak mengatur kelestarian tanaman tapi juga pasar. Mengenai pentrasi industri, sebaiknya industri kayu itu ada disekitar lokasi hutan.
Saya kira itu, selanjut nanti kita akan kumpul lagi di sini sekitar jam 13.00 WIB untuk membicarakan masalah ini secara lebih lanjut. Sebelum ditutup kita berikan aplaus kepada 4 narasumber. (break)

Session II

Suryo : bapak ibu sekalian mari diskusi pada siang hari ini kita mulai. Dalam kesempatan ini kita akan membicarakan lebih lanjut dari apa yang tadi sudah disampaikan para narasumber. Tapi sebelum membahas secara keseluruhan, apa yang terjadi secara detail di Gunung Kidul tadi tidak akan mungkin ditarik secara nasional. Tawaran saya, dari beberapa catatan penting yang tadi sudah disampaikan, apakah ada tanggapan, silakan.

Bambang Aji : Saya masih konsisten dengan yang disampaikan tadi. Pointnya adalah bagaimana hutan rakyat itu bisa lestari. Sehingga kalau kita mau menentukan aturan, maka aturan itu harus menjurus kea rah itu. Terserah apakah aturan itu nanti seragam atau tidak. Yang jelas dalam konteks yang lebih luas perlu ada paying hokum. Sebab hutan rakyat sekarang ini menjadi primadona. Sedangkan hutan Negara saat ini carut marut tidak karuan. Dalam pembicaraan itu yang perlu ditegaskan adalah kolaborasi. Tanpa kolaborasi semua tidak mungkin berjalan. Di Pacitan, pengusaha itu sudah siap memberikan bibit kepada masyarakat. Pemerintah hanya diminta fasilitasi.

Suryo : Hal prinsipil apa yang menurut pak bambang bisa diajukan secara nasional.

Bambang aji :

1. Perlu ada system pengaturan kelestarian.
2. Ada kolaborasi. Yakni bagaimana memberdayakan hal itu secara bersama-sama.
3. melakukan inventori secara partisipatif. Pemerintah tidak mungkin melakukan inventori sendiri. Masyarakat harus mendapatkan pengetahuan untuk menginventori dirinya.
4. Dalam konteks ini perlu ada lembaga yang mengorganisasi.
5. perlu ada lembaga yang menilai dan meregulasi. Semuanya harus saling mengontrol satu sama lain.
6. fungsi berikutnya yang tidak kalah penting adalah sertifikasi.

Suryo : Ada yang lain ?

Sukamto : Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya petani dari Boyolali. Perlu sedikit saya gambarkan bahwa kegiatan workshop ini telah banyak kami tangkap. Terutama mengenai hutan rakyat. Hutan apa saja, menurut saya, semuanya perlu dilestarikan. Hanya saja, sesuai paparan tadi, perlu ada system yang dibangun. Kami berharap, skupnya jangan terbatas yang di Gunung Kidul. Tapi harus lebih luas. Sehingga pada akhir pertemuan nanti kita bisa memberikan resolusi dan rekomendasi. Sehingga efek dari pertemuan ini bisa menjadi lebih luas. Oleh karena itu dalam pembicaraan ini saya berharap bisa melakukan sharing dengan semuanya pihak.

Menyangkut hutan rakyat, selama ini resiko kerusakannya sangat kecil. Berbeda dengan hutan Negara. Tapi yang masalah bagaimana dengan SKAU tadi. Ibu dari UGM tadi sudah memberikan penjelasan mengenai hal itu. Kenapa SKAU hanya terdiri dari sengon, kelapa dan karet. Menurut saya, kayu jati juga merupakan komoditi yang menarik. Dan proses penebangan itu masihbelum masuk dalam SKAUdengan ijin yang agak rumit itu justru menambah kecil peluang masyarakat untuk mendapatkan keuntungan.

Suryo : Dalam pengelolaan hutan rakyat, keberlangsungannya sangat aman. Hanya saja pak Kamto menilai jangan-jangan SKAU yang membatasi tiga jenis tanaman itu justru bisa merugikan bagi petani. Seharusnya jenis-jenis lain bisa masuk berdasarkan usulan dari propinsi. Artinya, daerah-daerah yang hutan rakyatnya tidak diakomodasi dalam SKAU perlu mengajukan permohonan agar tanamannya bisa diSKAUkan.

Bambang Eko : Saya dari Gunung Kidul, mengenai SKAU. Menurut saya SKAU itu peganti dari SKSAH. Dalam pelaksanaannya saya lihat itu ada banyak kendala. Kemudian SKAU itu dalam implementasinya tidak lebih dari ijin tebang. Meski sudah ada formnya, prakteknya ya hanya asal tebang saja. Yang penting sudah ada tanda tangan. Itu yang perlu dikhawatirkan. Menurut saya dalam pelaksanaannya SKAU itu harus diawasi sungguh-sungguh.jangan sampai itu nanti justru memberatkan bagi petani dan menjadi komoditas pelayanan bagi pemerintah desa.

Kedua, yang ada hubungannya dengan pelaksanaan manajemen hutan rakyat, perlu untuk dikembangkan terus. Tapi kalau dicermati seksama, hutan rakyat itu bukan wacana yang terkonsentrasi. Tapi terpisah. Nah, Karena pisah-pisah, di masyarakat bawah sebenarnya masih ada tumbukan antara warga yang sudah ingin menanam hutanya, masyarakat yang ingin mempertahankan dan masyarakat yang ingin menjadikan hutan tersebut sebagai sarana pendukung. Itu perlu ada regulasi.

Mengenai jumlah lahan yang di kelola menjadi hutan rakyat, 1,6 Perhutani keluarga, validasinya sangat kurang. Sebab di desa Ndengok itu jarang ada yangmemiliki luas lahan seperti itu. Selanjut, meski sudah ada motivasi semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat.

Suryo : baik, kebolehan menebang atau tidak menebang tadi apakah berasal dari luar atau justru datang dari masyarakat sekitar itu. Ada yang bisa cerita.

Badirudin : Saya petani dari Gunung Kidul. Mengenai SKAU yang dibicarakan lengkap tadi, menurut saya itu bagian dari unit kelestarian hutan. Nanti desa bisa memonitoring dan mengevaluasi jumlah tegakan dan tebangan yang ada. Terkait dengan itu kan sudah ada aturan yang mendukung COC. Dengan SKAU itu nantinya bisa memudahkan masyarakat untuk memonitoring penebangan.

Dalam pengelolaan hutan rakyat, di Gunung Kidul unit kelestarian itu berada di desa. Unit bisnis berda di tingkat kabupaten. Dengan satu pintu koperasi akan sangat mudah menentukan kayu. Asal-usulnya dari mana. Ini yang bisa saya gambarkan mengenai unit manajemen. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Suryo : Kita tidak akn masuk dalam isu sertifikasi. Hanya saja, kita mau melihat hal-hal yang prinsipil dalam pengelolaan hutan lestari.hanya saja dalam monitoring ada perbedaan antara mas badarudin dengan mas Bambang.

Sunardi : Saya Lampung tengah. Basic saya dulu perkebunan dan tahun 1999 saya masuk kehutanan. Melihat kondisi di lampung, tanaman sengon di sana banyak. Kalau kita bicara pada hutan rakyat, maka larinya ke perut. Pada tahun 1999 kita mendiskusikan bersama kawan-kawan bagaimana mengupayakan hak ulayat bagi warga masyarakat. Pertama yang dilakukan adalah membuat prioritas. Misalnya tanaman yang kali pertama ditanam kakao. Berikutnya pisang dan sebagainya. Di sini kelanjutan hutan rakyat selain tebang adalah mengisi kebutuhan petani sambil menunggu kayu itu tebang. Kalau kakao di sana, satu hectare itu isinya sekitar satu ton. Selain itu juga ada limbahnya. Kalau ekonomi masyarakat itu sudah kuat maka tebang pilihnya menjadi teratur. Intinya untuk membangun hutan rakyat, fariasi tanaman di dalam hutan perlu dikembangkan.

Bapak ibu sekalian, dalam membuat produk, petani itu tidak kesulitan untuk menanam produk. Yang jadi masalah adalah bagaimana memasarkan produk itu. Kalau dijual memang laku. Tapi bagaimana meningkatkan nilai produksi tanaman yang dihasilkan petani. Saya kira itu yang terjadi di lampung. Kalau ada yang kurang pas, mohon maaf.

Asikin : Menurut saya, bicara unit manajemen pengelolaan hutan, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan. Kawasannya mana. Kalau Gunung Kidul yang perlu ditegaskan, kawasannya mana yang mau dikelola langsung oleh rakyat. Semuanya harus jelas. Sebab kalau tidak demikian ada masalah. Bisa saja kan orang di luar kawasan itu bisa mengakses. Padahal yang paling penting adalah masyarakat di sekitar kawasan itu. Dan orang dari luar tidak boleh serta merta masuk untuk meminta hak kelola.

Kedua, bagaimana modelnya. Menurut saya tidak fair kalau masalah model itu diambilkan dari model luar yang tidak ada kaitannya dengan orang-orang di kawasan itu. Jadi kita perlu memberikan catatan agar sistem itu dibangun di dalam kawasan itu. Sebab bagaimanapun juga yang namanya LSM, PT dan Departemen Kehutanan itu memiliki banyak kepentingan. Jadi menurut saya begitu.

Ketiga, mendorong workshop ini untuk memberikan rekomendasi yang tegas dan meminta pengakuan yang tegas dari pemerintah tentang pengakuan tata ruang kota. Jadi jangan hanya surat keputusan A dan surat keputusan B. jangan biarkan hanya dalam bentuk wacana. Kalau Gunung Kidul itu diakui, ini bisa berimplikasi kemana-mana. Sehingga dari Gunung Kidul itu bisa dibawa ke wilayah Indonesia lain. Dalam konteks ini Yogyakarta bisa memberikan rekomendasi liar sehingga bisa membawa perubahan baru dalam tata kelola hutan.

Suryo : Sistem hutan rakyat itu harus dibangun dari kelompok. Kedua, bertolak dari pilihan strategi, apa konsekuensinya ketika sudah ditetapkan. Jangan-jangan ketika ditetapkan pemerintah harus memberikan insentif yang menyatakan bahwa wilayah itu merupakan milik publik. Ada klarifikasi.

Asikin : Kalau kita berani, apakah nanti ada dampak insentifnya atau tidak, yang jelas workshop ini bisa menghasilkan keputusan politis yang kuat.

Suryo : Saya mengingatkan kalau ada itu, konsekuensinya harus ada catatannya.

Awang : Saya kira ini wacana baru. Harapan saya ini perlu dimasukan dalam tata ruang. Hutan itu kan ada kaitannya dengan DAS. Mengapa DAS itu tidak pernah berhasil di Indonesia. Banjir terus, padahal proyeknya sangat gencar. Memang belum ada rekognisi. DAS itu masuk dalam peta RTRW tidak. Mungkin, yang disampaikan tadi justru menjadikan masukan bagus, jadi yang namanya DAS itu harus masuk dalam RTRW. Saya setuju usul itu perlu dirumuskan. Perkara dampaknya biar orang lain yang memikirkan. Biar nanti diskusinya berkembang terus. Kalau nanti berubah fungsi, daerah DAS kan luas. Dan itu nanti bisa dicover.

Suryo : Salah satu keluaran dari Pekan Raya ini adalah mendorong masukan terutama hutan rakyat itu sebagai bagian yang terintegrasi dalam DAS. Ada lagi ?

Misbawati : Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya dari dinas kehutanan Sulsel. Dalam pengembangan hutan kami bekerja sama dengan dinas kehutanan daerah. Untuk memotivasi pengembangan hutan di sana kami mencari model kemitraan. Jadi bagaimana pengusaha dan pemilik lahan bekerja sama yang diikat dengan surat perjanjian kerja sama. Di sana ada sharing antara pengusaha dan masyarakat. Masyarakat sebagai pemilik tanah sementara pengusaha sebagai penyedia jasa modal. Sedangkan system pengelolaan dilakukan dengan model tumpang sari. Dan metoda ini sistemnya partisipatif. Pemerintah terlibat, masyarakat juga terlibat.
Selain model partisipatif semacam itu, kami juga ada masukan, bahwa pemerintah Sulsel telah menyusun perda khususnya dalam peredaran kayu tertentu. Di sana ada pembagian zona antara hutan rakyat yang berfungsi sebagai lindung dan hutan rakyat yang berfungsi sebagai ekonomi, maka pemerintah perlu memberikan kompensasi kepada masyarakat yang lahannya dijadikan sarana hutan lindung. Kalau tidak ada kompensasi, sementara masyarakat melakukan penebangan, proses pelarangan itu menjadi sangat sulit. Saya kira untuk sementara itu.

Suryo : ini pengalaman dari Sulsel. Ada klarifikasi dari kawan-kawan. Penetapan hutan rakyat produksi dan hutan rakyat lindung itu siapa yang menentukan.

Misbawati : pemerintah.

Suryo : Itu menarik, ada cerita dari peserta lain.

Bojeruk : Nampaknya, kasus di Sulsel itu merupakan langkah ke depan yang harus dihormati. Itu adalah aktualisasi dari PErmen no 26. di satu sisi kita menghormati hak atas lahan sebagai sesuatu hal yang tertinggi. Mengenai hutan rakyat yang lindung dan hutan rakyat yang produktif, di P 26 juga sudah diatur. Hanya besarnya saja yang belum diatur. Itu sudah berlaku setahun yang lalu.

Suryo : ITu tadi penegasan dari kasus di Sulsel. Sekali lagi kita tidak ingin terjebak dalam satu kasus regulasi yang dibuat pusat. Yang terpenting, ide itu harus ada dan muncul dari kelompok, didukung dengan inventori dan didukung dengan tool sertifikasi. Itu sebenarnya yang bisa dipakai. Untuk hal-hal prinsipil masih ada yang mau menambahkan. Silakan. Apakah semua ini bisa disepakati. Kalau sudah dilanjutkan pada recognize hutan rakyat.

Dalam konteks itu kita bisa memainkan peran dan posisi hutan rakyat dan pembagunan daerah. Salah satunya melalui RTRW. Si sini ada tanggapan.

Rumbogo : Saya dari Bogor. Mengenai SKAU, ada dua yang perlu ditegaskn, pertama ada ketidakpercayaan untuk mendelegasikan kepercayaan kepada pemerintah. Kalau alasannya khawatir hutannya menjadi rusak, hal seperti itu sama dengan kebijakan Belanda pada tempo dulu dengan membuat tataniaga cengkeh. Jadi perlu ada trust.

Kedua, menyangkut rencana tataruang, menurut saya itu secara fisik saja. Padahal sebenarnya ada ruang yang harus diiisi. Misalnya ruang ekonomi yang harus disediakan. Apa pendukungnya. Juga ada ruang politik, misalnya kebijakan apa yang mendukung atas program hutan rakyat itu. Kalau rakyat sudah semangat mengembangkan hutan rakyat sementara ruang-ruang itu tidak ada, sementara masyarakat tidak memiliki sumber lain, mereka bisa lari kehutan lain. Indikasinya, lahan kuburan saja sekarang sudah ditanami jagung. Jadi menurut saya harus ada konsistensi dalam pengaturan hokum. Kemudian juga perlu ada system insensif yang jelas dalam proses pengembangan itu tadi.

ISmatul Hakim : Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya hanya ingin menyampaikan istilah hutan rakyat dan kayu rakyat. Suasana hukumnya perlu ada pejelasan hukum yang jelas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jawa Barat mulai dari pandeglang, LEbak, Ciamis dan SUkabumi, rata-rata produktifitas kayu rakyat itu sampai 800 meter kubik sebulan. Dan kayu-kayu mereka sudah mulai meramaikan pasar industri. Tampaknya itu tidak ada yang memperhatikan. Yang ada, melalui peraturan SKSAH mengeluarkan saker0-saker. Akhirnya begitu kayu keluar, dari unit-unit manajemen, yang ramai justru diperkotaan, polisi dan sebagainya. Rakyat tidak mendapatkan apa-apa. Saya melihat, istilah hutan negara dan hutan rakyat itu sudah menjadi kebutuhan. Kenyataannya hutan Negara banyak yang tidak berhasil.sementara hutan rakyat banyak yang berhasil. Dalam konteks ini Pemda yang memiliki otoritas harus memberikan perhatian tentang hal itu. Jadi tinggal dicocokan. Jangan sampai kalau ada petani yang keras, pejabat malah marah. Jadi yang perlu dipikirkan harus holistic. Saya kira itu, terima kasih.

Suryo : Ada penegasan dari pak Ismatulhakim. Kalau bicara mengenai hutan rakyat itu sudah menjadi kebudayaan. Sama seperti disampaikan pak San Afri Awang tadi. Jadi ketika kawan-kawan masuk ke masyarakat mereka tidak memahami inisiatif yang ada. Sehingga dia tidak bisa menyakinkan dirinya bahwa hal itu sebenarnya sudah menjadi bagian dari system. Masih ada lagi yang ingin berkomentar mengenai unit manajemen dan SKAU. Cukup.

San Afri Awang : Kalau kita ngomong hutan rakyat, jangan menggebiri rakyat. Maksudnya, kalau kita ikut ngatur, itu karena ada kepentingan jasa untuk public secara umum dan kepentingan jasa untuk diri sendiri. Mengatur itu tidak ada konsekuensi dengan kebebasan. Kalau kondisinya seperti itu, sama halnya kita dzalim. Masalah hutan rakyat, istilah itu muncul dalam UU 55 tahun 1997. ini yang pernah saya persoalkan dengan tuan-tuan di DPR. Tapi karena kita kalah dengan mereka, akhirnya bentuk UUnya menjadi seperti itu. Kasus yang terjadi di Sulsel tadi merupakan satu contoh. Bulukumba dan Maros memiliki landscape yang berbeda. Di Jambi saya baru saja mendapatkan informasi yang menarik. Di sana ada perebutan lahan, kebetulan di dekat lahan itu ada dua danau, yang isinya ada beberapa ikan langka. Rakyat karena lelah bertarung, akhirnya mereka menetapkan lahan itu sebagai hutan lindung karena mereka turut menangkapi ikan di sana. Di sini, yang perlu saya tegaskan, hutan rakyat jangan dicontoh kalau tidak familiar di tempat anda sekalian. Misalnya disebutkan dengan istilah Wono atau yang lain. Terminology wono itu sendiri kalau ditarik secara nasional akhirnya menjadi hutan rakyat. Saya kira itu.

Suryo : Ada tambahan. Kalau tidak ada, mas Ronald akan membacakan draft rekomendasi kita.

Ronald membacakan draft rekomendasi melalui layer LCD

Draft Rekomendasi

1. Pembangunan hutan rakyat berfungsi dalam upaya penyelamatan DAS dan pendukung ekonomi kerakyatan.
2. Pengelolaan hutan rakyat harus terintegrasi dengan pengelolaan DAS.
3. Perlu ada payung hukum yg menjamin agar hutan rakyat tetap lestari, aturan2 yg ada harus konsisten.
4. Prinsip2 menuju pengelolaan hutan rakyat yg lestari: pengaturan kelestarian (UMHRL), kolaborasi, pemahaman, inventarisasi partisipatif, dan sertifikasi.
5. Penyusunan RTRW harus memperhatikan kelestarian hutan rakyat.
6. Penerbitan SKAU harus diposisikan sebagai alat kontrol administratif untuk menjaga kelestarian hutan rakyat (mekanisme lacak balak???)
7. Dalam rangka menyempurnakan PerMenHut 51 pasal 4 (b); Dinas Kehutanan Kabupaten melakukan inventarisasi jenis, potensi, dan lokasi penyebarannya; untuk diusulkan ke Dinas Kehutanan Propinsi.
8. Fasilitasi, bimbingan, dan pembinaan terhadap petani hutan rakyat harus dilakukan secara pertisipatif dan bebas dari kepentingan.
9. Masyarakat terbukti bisa mengelola hutan rakyat secara lestari, perlu ada rekognisi dan insentif yang jelas bagi masyarakat yang telah mengusahakan hutan rakyat secara lestari.

Draft rekomendasinya seperti itu. Kalau ada yang kurang bisa ditambahkan. Dan draft ini nanti pada hari Jum’at akan dibawa pada diskusi panel.

San Afri Awang : Kenapa SKAU itu hanya satu butir. Padahal pak Tino tadi mengatakan bahwa draft SKAU itu merupakan masukan dari berbagai dinas propinsi. Kalau seperti itu caranya propinsi DIY tidak mengusulkan kayu jati dong. Karena itu saya menagusulkan agar masing-masing propinsi diminta mengusulkan jenis-jenis tanaman hutan rakyat yang potensial agar masuk dalam SKAU.

Bambang Aji : Forum ini kan merupakan forum nasional. Karena itu rekomendasinya jangan njlimet. Sebab kalau seperti itu nanti tidak akan diperhatikan. Menurut saya point ke empat itu sama dengan point delapan. Kalau prinsip-prinsip hutan rakyat itu dilaksanakan, SKAU itu sudah pasti dilaksanakan. Maksudnya tidak perlu terlalu bertele-tele. Cekak aos saja.

Suryo : OK, jadi kalau point nomor 4 tadi itu bisa dilaksanakan secara otomatis nomor 6 tidak perlu.

San Afri Awang : Saya paham maksudnya pak Bambang. Kalau nomor 4 itu dijalankan, bisa jadi UU illegal loging tidak perlu ada. Yang menjadi masalah, kita perlu penegasan. SKAU itu kan belum dilaksanakan, kalau dilaksanakan itu bisa lebih berbahaya dari SKSAH.tempat prit-prit itu kan sangat banyak. Itu yang perlu untuk diawasi.

Ismatul Hakim : Munculnya SKAU itu kan berdasarkan usulan dari Dinas. Berdasarkan survey di Cirebon, antara tingkat I dan tingkat II terjadi konflik. Di sana penandatanganan SKSAH itu pejabat eselon III. Sehingga dengan adanya SKAU itu merupakan pelimpahan beban pejabat eselon III kepada Kepala Desa. Sekarang ini banyak kepala Dinas yang akan keluar masuk kantor Polisi. Dengan adanya SKAU itu seolah dinas kehutanan itu tidak tahu.

Bambang Aji : Saya tetap seperti semula. SKAU tadi jangan sampai mengorbankan asas kelestarian seperti yang ditulis dalam point 4. secara pribadi saya tidak setuju dengan SKAU. Sebab eksesnya nanti justru akan merugikan produk. Mengapa, sebab begitu banyaknya Kepala Desa, SKAU itu nanti justru menjadi sulit. Di kabupaten saja, ada sekitar 300 kepala desa. Bagaimana kalau mereka memalsukan dokumen. Kalau keinginannya saja ok. Tapi mari hal itu kita versuskan dengan semangat membangun hutan lestari.

Suryo : Tadi ada kesan kita tidak ingin menolak SKAU. Tadi ada yang merumuskan perlu ada monitoring di level desa. Jadi pelaksanaan itu diserahkan kepada lembaga yang ada di unit-unit manajemen.

San Afri Awang : Kalau ranahnya, secara pribadi saya tidak setuju dengan SKSAH maupun SKAU. Hanya maslahnya, SKAU itu kan sudah menjadi peraturan. Apakah kita semua mau menolak. Atau apakah kita mau mencari celah. Atau bagaimana sih caranya agar hutan tidak rusak. Tadi dikatakan perlu ada Etat. Setiap desa tadi ada Etat yang hanya boleh ditebang dalam kurun waktu dan jumlah tertentu. Dan itu diawasi oleh KKD. Kalau sudah melebihi aturan yang ada, ya tidak boleh. Misalnya di Wonogiri, jumlah yang diperbolehkan hanya 800 meter kubik. Kalau melebihi itu tidak boleh. Kalau menurut saya, SKAU itu urusannya dengan administrasi transportasi. Itu hanya legalitas saja. Kalau khawatir, saya juga khawatir. Sekali lagi SKAU itu tidak ada hubungannya dengan point 4.

Bambang Aji : Kalau nomor 6 tadi mau dicantumkan, hal itu bisa mengelimir ekses yang muncul. Bahasa dan istilahnya saya memang belum mendapatkan.

Suryo : OK, saya sepakat, normor 4 itu menyangkut soal hutan dan SKAU itu hanya menyangkut soal kayu agar bisa keluar. OK waktu kita tinggal satu menit.

ISmatulhakim : Menurut saya SKAU itu kan diterbitkan Kepala Desa, dan Kepala Desa itu blank tentang kayu. Seharusnya kalau mereka mau menerbitkan SKAU dia kan harus memahami asal usul kayu.

Suryo : Itu terkait dengan pasal 6. artinya dalam menerbitkan asal-usul kayu, lurah harus memiliki mandate grandel dan skelling. Itu menjadi mandate siapa. Apakah itu mau jadi urusan dinas, pemda atau siapa. Di sini belum selesai. Kalau kita tidak membuat rekomendasi maka PR PEmda menjadi lebih luas.

San Afri Awang : Kalau konteksnya seperti itu kita perlu memikirkan siapa yang bisa membantu KEpala Desa agar bisa melakukan tugasnya. BErdasarkan pengalaman di lapangan, Kepala Desa itu asal melakukan tanda tangan. Di atas motor, di jalan dan di mana saja. Itu kan bisa berbahaya. Dari cerita ini, kepala desa itu perlu ada. Di Gunung Kidul itu ada Komisi Kayu Desa (KKD). Bisa tidak kita merekomendasikan hal seperti itu. Tujuannya agar Kepala Desa tidak sewenang-wenang.

Sukamto : Untuk lembaga menurut saya bisa diberikan peran yang lebih luas terkait dengan hal itu.

Suryo : Saya kira yang perlu diperhatikan disini adalah semangat moral. Bukan isinya. Jadi tidak semua desa nanti ada KKD. Silakan mas Asikin.

Asikin : Saya bukan dalam konteks sepakat dan sepakat. Yang paling penting ini adalah usulan yang akan disampaikan kepada pleno. Mengenai benar salah kita tidak perlu ragu. Yang penting ada usulan untuk dibawa ke pleno.

Suryo : Artinya, masalah KKD ini perlu dimasukan, dan nanti pada pleno perlu ada penjelasan mengenai hal itu. Terakhir, siapa yang nanti akan dipercaya membawakan masalah ini di Pleno. Ada usulan pak Supri. Bagaimana. Setuju. Ok. Dengan begitu diskusi pada siang hari ini cukup. Kita berikan aplaus untuk kita semua. ( selesai)

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.