Kelembagaan DAS

Sumarsono

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

Oleh: Dr. S. Sumarsono, MDM

Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, anggota Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Pusat.

Newaletter SMERU No. 21: Jan-Mar/2007

Akhir-akhir ini muncul perdebatan di kalangan legislatif maupun eksekutif akibat data BPS yang melaporkan adanya kenaikan angka kemiskinan sebesar 3,9 juta orang. Padahal di Indonesia sudah ada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), lembaga yang secara khusus menangani kemiskinan di tingkat nasional. Di daerah juga sudah terbentuk TKPK daerah. Maka timbul pertanyaan, seberapa efektifkah kelembagaan penanggulangan kemiskinan tersebut? Tulisan ini mencoba membahasnya, terutama terkait dengan TKPK di daerah.

Kemiskinan di Indonesia

Sejak diterapkannya kebijakan percepatan pelaksanaan otonomi daerah sesuai Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah penduduk miskin di Indonesia sangat fluktuatif, yaitu: 48 juta (1999), kemudian menurun dalam dua tahun berikutnya menjadi 38,7 juta (2000), 37,8 jiwa (2001), namun selanjutnya naik kembali menjadi 38,4 juta (2002). Angka ini terus menurun pada dua tahun berikutnya menjadi 37,3 juta (2003), 36,1 juta (2004), dan 35 juta (2005) dan secara mengejutkan naik lagi secara drastis menjadi 39,1 juta (2006) (BPS 2006).

Pemerintah menargetkan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) bahwa dalam sisa tiga tahun ke depan (2009), jumlah penduduk miskin akan berkurang menjadi 17,7 juta atau 8,2% dari total penduduk (BPS, 2006). Tidak hanya di Pusat, di daerah pun diarahkan untuk mengedepankan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama. Jumlah anggaran pun secara drastis dinaikkan sebagai refleksi dari keseriusan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan tersebar di berbagai program departemen/sektor.

Berdasarkan data yang dihimpun TKPK tingkat nasional yang berada di bawah koordinasi Kantor Menko Kesra (2006), total anggaran yang secara khusus ditangani berbagai sektor terkait pada tahun 2005 kurang lebih Rp47 triliun dan kemudian melonjak naik pada tahun 2006 menjadi Rp51 triliun. Kenaikan anggaran ini tidak serta-merta diikuti dengan menurunnya kemiskinan dan bahkan secara ironis malah terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin. Ada tiga kemungkinan penyebabnya: pertama, efek kenaikan harga BBM; kedua, efek kenaikan harga beras; dan ketiga, tidak efektifnya koordinasi program penanggulangan kemiskinan yang tersebar di berbagai sektor dan daerah.

Berbagai program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan sesungguhnya relatif cukup baik, namun—sekali lagi—soal koordinasinya yang masih terasa kurang kuat. Oleh karena itu, dibentuk dan dikembangkanlah kelembagaan dalam bentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang kedudukannya lebih dikuatkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2005. TKPK memiliki empat kelompok kerja, yaitu Pokja Perencanaan (diketuai Bappenas), Pokja Kelembagaan (diketuai Ditjen PMD Depdagri), Pokja Pendataan (diketuai BPS), dan Pokja Anggaran (diketuai Depkeu). Lantas, bagaimana jaringan koordinasi kelembagaannya di daerah dan di mana peranan pemerintah daerah?

Peranan Pemerintah Daerah

Peranan pemerintah daerah dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan menjadi sangat penting, terutama dalam era otonomi daerah. Secara umum, keberadaan pemerintah daerah adalah untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat, mendorong proses demokratisasi dan pendidikan politik tingkat lokal, menjamin efektivitas dan efisiensi pelayanan sipil dan pelayanan publik, menggugah dan meningkatkan partisipasi masyarakat, serta memberdayakan potensi dan keanekaragaman daerah. Secara praktis, hasil akhir fungsi-fungsi di atas pada dasarnya hanya dua, yaitu menyediakan jasa pelayanan umum seperti sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur, serta pengaturan-pengaturan melalui peraturan daerah, peraturan kepala daerah atau lainnya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tugas-tugas utama di atas dilakukan melalui saling keterkaitan kewenangan antartingkat pemerintahan yang di Indonesia dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Asas desentralisasi (devolusi) diterapkan sebagai legitimasi Pusat kepada daerah untuk melaksanakan sejumlah urusan sebagai kewenangannya.

Oleh karena itu, dalam asas ini dikenal adanya pemisahan kewenangan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) yang tegas. Asas kedua, dekonsentrasi diterapkan untuk menjamin pelaksanaan misi negara di daerah melalui pemerintah provinsi sebagai wakil pusat di daerah. Sementara itu, asas pembantuan dilaksanakan untuk membantu pelaksanaan urusan tertentu di daerah yang pelaksanaannya secara berjenjang, mulai dari Pusat hingga ke desa sebagai dukungan terhadap ketidakmampuan pemerintahan lokal dalam penyediaan pelayanan tertentu kepada masyarakatnya. Di samping itu, asas ini sekaligus sebagai bentuk pengayoman  tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Efektivitas Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Presiden telah mengeluarkan Perpres No. 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan sebagai forum koordinasi lintas sektor/lintas pelaku dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk operasionalisasinya telah ditetapkan Keputusan Menko Kesra selaku Ketua TKPK No. 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja TKPK.

Sebagai operasionalisasi Perpres No. 54 Tahun 2005 dan upaya mendukung koordinasi penanggulangan kemiskinan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Panduan Operasional TKPK daerah melalui Surat No. 412.6/2179/SJ.

Dengan ditetapkannya beberapa kebijakan di atas, daerah diharapkan segera menindaklanjuti dengan membentuk TKPK daerah (provinsi dan kabupaten/kota). TKPK daerah inilah yang nantinya menjadi payung berbagai upaya penanggulangan kemiskinan daerah, yang melakukan proses penyerasian berbagai tim ad hoc di daerah agar terjadi satu gerakan menuju efektivitas penanggulangan kemiskinan. Hingga saat ini, dari 33 provinsi di Indonesia yang sudah membentuk TKPK daerah baru tujuh provinsi. Untuk kabupaten/kota, dari 440 kabupaten/kota (minus pemekaran), 24 kabupaten/kota sudah
resmi melaporkan pembentukan TKPK daerah dan sebanyak 102 kabupaten/kota sudah menyusun dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD).

Setelah pembentukan TKPK daerah, daerah harus menyusun SPKD. Proses penyusunannya pun harus mengacu pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Mekanisme prosesnya pun menuntut keterlibatan forum lintas pelaku (stakeholders). Data pemerintah daerah menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi (11 provinsi) telah menyusun strategi penangulangan kemiskinannya sebelum terbentuknya kelembagaan TKPK di daerahnya. Demikian juga untuk kabupaten/ kota, sebagian besar (78) telah menyusun SPKD-nya sebelum kelembagaannya (TKPK daerah tingkat kabupaten/kota).

Ada dua kemungkinan mengapa hal di atas terjadi. Pertama, sebelum TKPK daerah terbentuk, di daerah sudah ada Komite Penanggulangan Kemiskinan daerah (KPK) yang kemudian diubah menjadi TKPK daerah agar tidak menyerupai nama KPK lainnya (Komite Pemberantasan Korupsi). KPK daerah inilah yang menyusun SPKD yang memang pernah diinstruksikan dalam berbagai acara sosialisasi SNPK dua tahun yang lalu. Kedua, SPKD disusun melalui koordinasi struktural kelembagaan yang ada di daerah di bawah koordinasi instansi tertentu, seperti Bappeda. Sekarang, dengan kehadiran TKPK daerah, kegiatannya harus lebih mengarah pada langkah-langkah nyata dan relevan dengan penanggulangan kemiskinan di daerah, yaitu:

  1. melakukan pemetaan situasi kemiskinan daerah berdasarkan data BPS yang telah dikonfirmasi, dianalisis, dan diinterpretasi secara sektoral dan spatial;
  2. menggagas dan memfasilitasi pelaksanaan perencanaan partisipatoris secara demokratis mulai dari aras desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi;
  3. menyusun SPKD berdasarkan hasil pemetaan kemiskinan daerah dengan memperhatikan SNPK;
  4. menjabarkan SPKD dalam dokumen perencanaan dan anggaran daerah dalam program/kegiatan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang telah diserasikan dengan RPJMD;
  5. pemantauan dan evaluasi program/kegiatan yang dilakukan setiap tahun untuk mengetahui relevansi, efektivitas, efisiensi, dan dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah;
  6. mengembangkan forum manajemen interaksi (Formasi) penanggulangan kemiskinan daerah, melalui pengembangan komitmen dan saling percaya antarpelaku, kelompok mediasi, dan masyarakat.

Struktur TKPK daerah menempatkan gubernur dan bupati/ walikota sebagai penanggung jawab di daerahnya masing-masing untuk menjalankan roda kelembagaannya. Mengingat beban kerja seorang gubernur dan bupati/walikota yang sedemikian berat dan tak memungkinkan untuk secara aktif menangani kegiatan TKPK daerah, maka sebagai Ketua TKPK daerah untuk provinsi ditunjuk wakil gubernur dan wakil bupati atau wakil walikota yang mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatan TKPK daerah kepada gubernur atau bupati/walikota. Mengingat pula rutinitas dan intensitas kegiatan TKPK daerah, maka sehari-hari tugas ketua ini dilaksanakan oleh seorang ketua pelaksana yang dijabat oleh kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dengan sekretariat di kantor BPM yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat.

Dalam menjalankan tugas-tugas harian dari wagub/wabup/wawalikota, ketua pelaksana mengkonsultasikan dan mendapatkan arahan teknis pelaksanaan untuk aspek manajemen dari sekretaris daerah dan dari ketua Bappeda untuk aspek perencanaan regionalnya, selain dari para pakar yang tergabung dalam dewan pengarah. Untuk melengkapi struktur TKPK daerah ini dan melibatkan berbagai dinas/instansi terkait, dibentuklah beberapa kelompok kerja (Pokja) seperti di TKPK Pusat. Pengorganisasian TKPK daerah ini, strukturnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi-kondisi di daerah. Keberadaan TKPK daerah secara fungsional tidak menghapuskan fungsi perangkat daerah dan tim-tim proyek penanggulangan kemiskinan. TKPK daerah dibentuk sebagai forum koordinasi yang justru mendukung keberadaan lintas sektor/perangkat daerah/ pelaku lainnya.

Kesimpulan

Efektivitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah melalui TKPK daerah sampai saat ini belum bisa dinyatakan efektif karena masih dalam proses pembentukan dan bahkan beberapa daerah (sebagian besar) masih belum membentuk kelembagaan tersebut. Melihat keberadaan TKPK daerah, ada beberapa catatan yang menjadi titik kritis penentu efektivitasnya, yaitu:

  1. Hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah
    Mengingat ketua pelaksana TKPK daerah ini adalah wakil kepala daerah dan penanggungjawabnya adalah kepala daerah, maka hubungan keduanya yang serasi dengan kerja sama yang baik menjadi kunci efektivitas TKPK daerah. Bila ada konflik kepentingan akibat keanggotaan partai politik yang berbeda, maka hal ini akan berdampak pada efektivitas TKPK daerah, terlebih-lebih bila keduanya terlibat dalam pencalonan Pilkada.
  2. Keterkaitan SPKD dan perencanaan anggaran di daerah
    Di daerah, ada RPJMD sebagai operasionalisasi dari visi dan misi seorang calon kepala daerah sewaktu kampanye pencalonannya. Tiga bulan setelah terpilih, kepala daerah harus menyusun RPJMD. Dokumen ini sebagai acuan setiap satuan kerja di daerah dalam menyusun anggaran dan program tahunannya. Sementara itu, daerah harus mengacu pada SPKD dalam konteks kebijakan penanggulangan kemiskinan. Titik rawan efektivitasnya akan terletak pada seberapa jauh SPKD sinkron dengan RPJMD. Bila SPKD yang disusun tak sejalan dengan RPJMD, maka sebuah kaji ulang harus dilakukan.
  3. Kapasitas kemampuan kelembagaan BPM
    Kepala BPM sebagai ketua pelaksana (harian) TKPK daerah berdasarkan mandat ketua TKPK daerah, harus memiliki kemampuan yang memadai dan kepemimpinan yang kuat. Bila pemimpin di daerah dan DPRD-nya melihat fungsi BPM sebelah mata dan menyediakan anggaran yang tidak memadai, sulit bagi sekretariat TKPK daerah untuk dapat bergerak efektif.
  4. Komitmen lintas sektoral Pusat di daerah dan antardinas/ instansi daerah Komitmen ini menjadi penting karena saat ini ada kecenderungan berbagai kebijakan sektoral Pusat turun menurut garis ”lini”-nya dengan membuat forum-forum ad hoc dengan program/proyek dan timnya. Sementara itu, belum semua instruksi sektoral mengarahkan agar setiap program/proyek berkoordinasi dengan TKPK daerah.
  5. Pendampingan TKPK daerah
    Mempertimbangkan berbagai kondisi di atas, maka TKPK daerah membutuhkan pendampingan yang intensif dan penguatan kemampuan kelembagaannya. Berbagai instrumen penguatan dibutuhkan agar TKPK daerah dapat memainkan peranannya, terutama bagi pemberdayaan masyarakat di daerah. Peran LSM atau perguruan tinggi menjadi relevan dalam hal ini.

Akhirnya, TKPK daerah sebagai forum pemangku kepentingan memerlukan komitmen semua pihak. Untuk menghindari disharmoni sektoral, perlu kesamaan komitmen lintas pelaku dalam wadah TKPK daerah sebagai wadah koordinasi dan sinergisme program/kegiatan percepatan penanggulangan kemiskinan. n

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (2006) Data Rumah Tangga Miskin Nasional Tahun 2005. Jakarta: BPS

Perpres No. 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

SE Menteri Dalam Negeri No. 412.6/2179/SJ perihal Panduan Operasional TKPK Daerah

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.