Kelembagaan DAS

Workshop CFBM

KELEMBAGAAN CFBM

Workshop hari Ketiga: PEKAN RAYA HUTAN DAN MASYARAKAT 2006, Kamis 21 September 2006

Moderator : Nur Amalia

Pembicara :

  1. Hariadi Kartodihardjo (akademisi IPB)
  2. Sutaryo ( Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional III Departemen Kehutanan RI)
  3. Suhendro Basori (Dis Hut Prop Sultra)
  4. Lutfi Amin (Pem Kab Wonosobo)
  5. Yani Sagaroa (LOH Sumbawa NTB)

Panitia

Selamat Pagi, Ass Wr Wb
Pagi ini kita akan mengadakan Workshop dengan Teman Kelembagaan CBFM, dan pada siang hari nanti setelah makan siang kita akan menghadiri penyerahan sertifikat hutan rakyat dari Leli kepada kelompok tani di Gunung Kidul , yang akan dihadiri oleh Bapak Gubernur DIY Sri Sultan HB X. Jadi dari makan siang nanti kita semua akan ke lapangan dulu Dan setelah itu langsung kembali lagi ke ruangan ini.

Kemudian untuk acara ini nanti akan dipandu oleh mbak Nur Amalia dari yayasan Kemala. Dan untuk mempersingkat waktu , kami persilakan kepada mbak Amalia dan keempat pembicara kami persilakan ke depan.. Demikian bapak dan ibu sekalian, tempat dan waktu kami serahkan

Moderator

Terima kasih. Baik, selamat pagi. Assallamualaikum Wr. Wb.
Pagi ini kita akan melihat inisiatif kerja multipihak dalam kelembagaan CBFM.
Telah hadir di tengah – tengah kita para narasumber.

Kami persilahkan untuk maju ke depan kepada Pak Hariadi, Pak Sutaryo, Pak Bashori, Bapak Lutfi Amin, dan kita menunggu rekan Yanny Sagaroa.
Untuk yang pertama ini kita akan mendengarkan paparan dari Pak Hariadi, beliau adalah dosen pasca sarjana IPB. Jadi sebelum Pak Hariadi memulai paparannya, jadi saya juga akan sedikit menjelaskan, bahwa workshop ini mempunyai 4 tujuan, yakni :

  1. memberikan pengertian konprehensif dari beragam perspektif atas berbagai permasalahan dan isu mengenai kelembagaan CBFM di Indonesia.
  2. mendorong pemahaman bersama untuk mendorong inisiatif kelembagaan CBFM dan operasional di lapangan
  3. mendorong wadah komunikasi antar sektolda, antar pihak-pihak berkepentingan sebagai ruang dialog dalam inisiatif CBFM di berbagai pijakan
  4. memformulasi inisiatif sebagai wadah komunikasi antar sektolda dalam pengelolaan hutan, dalam konteks kelembagaan dan program.

Jadi pada sesi pertama kita akan mendengarkan pemaparan dari para pakar tentang CBFM, kemudian kita akan membuka ruang untuk sesi tanya jawab, dan nanti setelah makan siang kita akan lanjutkan dengan diskusi kelompok untuk mencapai tujuan dari workshop kita hari ini. Baik, untuk mempersingkat waktu, kami persilahkan kepada Pak Hariadi untuk menyampaikan paparannya.

Hariadi Kartodihardjo (akademisi IPB)

Terima kasih. Untuk pertama ini saya ingin menyampaikan mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan suatu upaya melakukan kegiatan-kegiatan lembaga pengembangan CBFM. Sejak panel pertama kemaren, kalau ini dilakukan dengan projek jangka pendek ternyata cenderung menemukan kegagalan. Sehingga bagaimana dilakukan untuk jangka panjang, sehingga bisa disinkronkan dengan kegiatan lembaga-lembaga.

Yang pertama saya akan mencoba utarakan tentang pengertian dan cakupan kelembagaan ini.
Mengenai kelembagaan CBFM,
Pengertian kelembagaan ada beberapa hal :

  • Pendekatan normative : nilai baik-buruk, sebagai sttandar perilaku yang diatur oleh kelembagaan.
    Tentu saja, kelembagaan ini kuat sekali, kita bisa mengartikan kelembagaan ini sebagai suatu suatu aturan main di tingkat masyarakat lokal yang dasarnya bukan hanya peraturan baik buruk, tetapi juga nilai baik-buruk.
  • Pendekatan pilihan rasional, bagaimana pengaturann sebagai batas-batasnya.
    Pengaturan-pengaturan di sana pasti ada nilai-nilai rasionality, siapa yang melanggar pasti ada hukumannya
  • Pendekatan histories, policy narative, discourse
    Pada saat nantii kita ingin mendapatkan kelembagaan yang memungkinkan Pemda, lsm, PT bisa konsolidasi pengembangan CBFM di lapangan, pertanyaannya semua lembaga ini sudah mempunyai pemikiran, blue print, policy yang dipatok di sana yang perlu diubah
  • Pendekatan empiris : Pengaruh kelembagaan thd efektifitas implementasi kebijakan.
    Pada prinsipnya, kalau ini berjalan bisa mempengaruhi kita semua dalam pelaksanaan CBFM.
    Kalau tidak ada dukungan yang sinkron antar lembaga, bagaimana sebetulnya bagaimana cara kelembagaan CBFM dalam sinkronisasi lembaga-lembaga tersebut.

Mengelola Keterkaitan antar lembaga :

  • TUJUAN: kelompok masyarakat tertentu (CBFM) mendapat hak, akses dan layanan yang sesuai (jenis layanan dan waktu)
    Yang sesuai di sini maksudnya adalah jenis layanannya apa, dan kapan waktunya. Seperti presentasi bapak-bapak petani dari Wonogiri dan lainnya kemarin, tidak cuma aksesnya tetapi juga bagaimana pemasarannya, layanan kualitas produknya. Pertanyaannya adalah jenis layanannya apa, dan kapan waktunya.
  • PENDEKATAN PROGRAM DI TINGKAT KELOMPOK MASYARAKAT
    Pendekatan program di sini harus melihat program apa yang sinkron di tingkat masyarakat  program, produksi, pemasaran.
  • LEMBAGA-LEMBAGA MELAKUKAN CO-CONSTRUCTION SEHINGGA DICAPAI SINERGI ANTAR KEGIATAN
    Artinya lembaga-lembaga mengkonstruksi kembali, memperbaiki program apa yang diperlukan oleh masyarakat.

Berikutnya saya akan mencoba meperlihatkan matrik

0g1

Matrik di sini pernah digunakan untuk menilai dan mengembangkan bagaimana kerjasama antar lembaga itu yang bisa digunakan untuk mengembangkan kasus tertentu di suatu tempat.

Matrik ini kira-kira bunyinya adalah, matrik yang tegak di sebelah kiri adalah apa yang bisa dilakukan, ke kanannya adalah tingkat tindakan di lapangan / manajemen operasional. kandungan program yang operasional ini tentunya berbeda-beda. dan yang paling bawah adalah dukungan fasilitasi. Setiap lembaga tentunya dalam kegiatan harus memiliki 12 sel itu, dan 12 sel ini tentunya saling berkaitan.Singkat kata ingin saya katakan, inilah ruang kerjasama yangbisa disinkronkan antar lembaga. Bagaimana lembaga saling mengisi 12 sel ini. Karena saat ini yang sering terjadi, bagaimana lembaga mengisi sel tertentu, dan sel lain ternyata tidak terisi oleh lembaga.

Berikut ini saya akan mencoba memperlihatkan kasus contoh kasus di Barito selatan, yang coba memfasilitasi desa-desa di sana. Kebetulan desa ini berada di area hutan produksi, hutan hph. Proses-proses itu adalah :

0g2

Gambaran ini memperlihatkan kita sendiri tidak bisa mendampingi semuanya secara utuh, karena pemdanya juga ambil peran, organisasi masuk, PT masuk bagaimana meletakkan diri setiap lembaga masuk ke sana untuk kemudian bisa saling sinkron.
Berikut ini saya akan coba menggambarkan evaluasi kasus mitra kehati,

0g3

Keterangan :

1. konservasi dan pemanfaatan anekaragaman umbi-umbian di DIY
2. pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati taman nasional menu betiri
3. penyadaran dan pemberdayaan masyarakat adat terhadap otoritas pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati pada kawasan Deponsero Utara
4. pengembangan model pelestarian dan pemanfaatan SDA Pulau-pulau kecil di Padaido, Kec. Padaido dan Biak Numfor, Prop. Papua
5. program pengembangan sistem pengobatan tradisional berbasis masyarakat di desa guluk-guluk kec. Guluk-guluk, kab. Sumenep Madura Jatim.
6. pengembangan model pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berbasis masyarakat di dua desa (desa Jangga Mangu dan desa Nagga) kawasan taman nasional Laiwangi Wanggameti Kab. Sumba Timur
7. program ekowisata di 5 desa di Bali
8. advokasi kebijakan di tingkat nasional
9. pengembangan jaringan dengan berbagai lembaga
10. program penguatan manajemen bagi mitra kerja

Titik-titik di atas menggambarkan bagaimana merumuskan kerja-kerja kolektif yang mungkin proses-proses melibatkan 1 pihak saja selesai, tapi mungkin ada proses-proses yang harus melibatkan pihak pemda dan lainnya. Bagaimana merumuskan kerja-kerja tersebut, tentunya juga tergantung dengan kondisi setempat tentunya.

Pelajaran dari kasus ini adalah bagaimana membangun sebuah kelembagaan untuk penguatan CBFM. Gambar ini menunjukkan Bukankah kelembagaan ini tujuannya untuk meningkatkan komitmen, dan pada taraff tertentu harus dipertahankan jangan sampai turun.

0g4

Bagian akhir dari ini adalah, kalau begitu siapa yang akan mensinkronkan kegiatan ini, karena kelemahan kita dalam kelembagaan CBFM adalah tidak ada yang mensikronkan ini. Bagaimana mensinkronkan proses untuk menuju ke kebijakan, sehingga masing-masing pihak bisa berperan.

0g6

Di situ perlu kebijakan di tingkat propinsi, kabupaten, dan mungkin juga keputusan Menhut, yang melegalitas kegiatan-kegiatan tersebut. Yang pentiing adallah membuat kebijakan dan regulator serta mengawal apa-apa yang sudah dilakukan. Sehingga inilah tatanan kelembagaan, di mana masing-masing saling bisa berperan dan mengiisi.

Baik, saya kira demikian, pokok-pokok yang saya sampaikan. Sekian. Terima kasih. Wassallam Wr. Wb

Moderator

Terima kasih. Jadi ada bebera hal yang penting yang ternyata harus dihadapi,

  1. bahwa program dan pengembangan kelembagaan CBFM itu sangat tergantung kondisi setempat.
  2. yang diperlukan adalah sisi legalitas, namun sisi ini tidak bisa ditempatkan di awal, dia harus dilihat dari sisi kemanfaatannya, kehadirannya, baru kemudian sisi legalitasnya.
  3. siapa yang mensinkronkan 12 sel ini, karena ada fungsi-fungsi yang harus diambil oleh para pihak dan yang paling penting pemerintah di sini sebagai pihak yang aktif, harus bisa membantu mensinkronkan.

Baik, kita akan lanjutkan ke narasumber kita yang kedua yaitu Bapak Sutaryo.

Sutaryo. (Departemen Kehutanan)

Terima kasih. Assallammualaikum Wr Wb
Ibu dan bapak sekalian, saya diberi tugas untuk mengutarakan tentang kebijakan kelembagaan CBFM tingkat nasional dan pengalaman mengelola kerja-kerja multi pihak. Paparan ini saya buat secara singkat, tetapi semoga bisa bermanfaat.

0t1

Pertama, bagaimana teman – teman mengetahui dinamika kebijakan CBFM di tingkat nasional, kedua bagaimana membangun komunikasi, bagaimana teman-teman itu didorong untuk bisa memberikan masukan bagi Dephut, dan ketiga CBFM di Indonesia adalah sesuatu yang masih perlu diperjuangkan.
Mengenai dinamika kebijakan CBFM ini saya tidak ingin mengutarakan teori, tapi kira-kira dalam CBFM bagaimana para pihak, pemerintah, swasta, dan rakyat saling berinteraksi.

Definisi umum CBFM adalah patnership di antara pemangku kepentingan di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Definisi ini sederhana, tetapi kita mencoba melihat UU No. 41 Tahun 1999 mengisaratkan CBFM skala luas dengan memfasilitasikan posisi masyarakat dalam proses perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, dan pengawasan

Bagaimana itu? Kita liat mengelola kehutanan bersama masyarakat itu sudah ada di dalam bidang perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kehutanan.

Permasalahannya adalah bagaimana kita membuka peluang-peluang itu. Mari kita bicara tentang dinamika kebijakan CBFM di tingkat nasional.

Di samping kebijakan-kebijakan itu juga dikembangkan kebijakan-kebijakan lain.
Yang di bawah ini adalah pendekatan kemasyarakatan yang lebih banyak dikembangakan di daerah hutan produksi.

  • Pengelolaan hutan negara di Jawa oleh Perum PERHUTANI.
  • Pengelolaan kawasan hutan konservasi.
  • Pengelolaan usaha konsesi hutan.

Begitu cepatnya pergerakan CBFM, membuat banyak pihak yang berkomentar tidak konsisten, tidak mampu, dll

0g7

Tetapi kalau saya melihat dari sisi lain, teman-teman di pemerintah berusaha memahami secara cepat, tempat belajar bagi mereka.

Mereka belajar mengenai dan memfasilitasi dinamika masyarakat dengan segala keterbatasan, dengan pembatasan hukum, waktu, serta terbatasnya kapasitas di tingkat unit pengelolaan. Pada situasi demikian bagaimana kita bisa menfasilitasi dan mengelola dinamika masyarakat, dengan situasi seperti ini janganlah diprotes, tetapi juga fasilitasi , dampingi, kawal para pelaksana/pemerintah,.

Bagaimana membangun MFP Komunikasi?

Membangun MFP Komunikasi :

  • Mengelola proses konsultasi. Bagaimana mengelola konflik bermanfaat untuk kepentingan pada semua pihak. Bagaimana mengelola konflik
  • Komitmen dan kepastian , belajar membangun komitmen dan kepastian
  • Ada perubahan sikap dan perilaku  di tahap-tahap terakhir ada perubahan pemerintah dalam mengelola dinamika masyarakat.
  • Menangkap suara dari akar rumpur dari banyak tempat.
  • Mendorong respon dari pemerintah
  • Adanya kebijakan
  • Bertahan pada kerja multipihak

Begini MFP membangun komunikasinya, dari banyak tempat , diangkat ke atas.

CBFM di Indonesia masih merupakan perjuangan yang panjang. Bagaimana pemerintah mau memfasilitasi, jika masih ada keterbatasan. Oleh karena itu ,

  • Perlu penguatan kelembagaan pengelolaan hutan sehingga sektor kehutanan mampu melakukan tugas pelayanan kepada masyarakat secara optimal
  • Perlu pemberdayaan masyarakat sehingga dapat berfungsi secara optimal dalam sistem CBFM

Dari hal itu kemudian terbit Permenhut No. P. 27/menhut-II/2006.  RPJP Kehutanan 2006 – 2025

Reformasi srtuktur kelembagaan pengelola pembangunan kehutanan melalui a.l.:

  • Pengembangan kelembagaan pembangunan kehutanan yang sesuai dengan dinamika lingkungan strategis
  • Restrukturisasi kelembagaan kehutanan di lingkup organisasi pemerintahan.
  • Pemberdayaan kelembagaan kehutanan di lingkup organisasi kelola dan ekonomi masyarakat.

Mewujudkan kemandirian masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui kepastian hak kelola hutan, penguatan kelembagaan, partisipasi dan peran aktif pemangku kepentingan dengan langkah a.l.:

  • Mendorong upaya pemberian hak mengelola kawasan hutan kepada masyarakat di dalam kawasan hutan.
  • Mendorong penguatan kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui fasilitasi pemerintah kabupaten/kota, desa, dan kelompok masyarakat dalam pengelolaan hutan.
  • Menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dan fasilitasi peran aktif pemangku kepentingan dalam mewujudkan kemandirian masyarakat.
  • Mengembangkan kelembagaan ekonomi desa untuk mendukung terwujudnya kemandirian masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Ini merupakan suatu peluang tersendiri atas program dokument kehutanan. Sehingga saya anjurkan teman-teman untuk menangkap peluang ini. Karena di situ ada slot bagi teman-teman, karena ada program reformasi struktur kembagaan, di samping tentunya mengawalnya. Dan saya kira mungkin memerlukan MFP-MFP lainnya. Ini adalah peluang, karena ini Permenhut, janji pemerintah.
Baik itu saja dari saya, sekian, terima kasih. Wassallam wr wb.

Moderator

Baik, terima kasih Pak Taryo, jadi tadi kita baru saja mendengarkan pemamaran pak Taryo sebagai wakil Dephut.Dari pemamaparan pak Hariadi tadii dipaparkan ada 12 sel yang perlu disinkronkan, sementara dari Pak Taryo mengutarakan perlunya fasilitator yang bisa memfasilitasi pemerintah. Dan yang paling pnting dari pak Taryo adalah bagaimana membangun komunikasi, serta tidak bisa selamanya konfrontasi. Jadi bagaimana fasilitasi versus konfrontasi ini ini disampaikan pada satu pihak dalam CBFM. Sebelum kita mendengarkan teman-teman dari Sulawesi, Wonosobo, kita buka dulu ruang diskusi, karena sepertinya tadi lebih melihat pada skala nasional, di mana lembaga-lembaga itu harus saling disinkronkan dan dibagi peran masing-masing dari 12 sel itu. Saya buka ke teman-teman, mungkin tanggapan, pertanyaan, atau juga masukan, saya persilakan. Sebelumnya saya persilakan untuk tiga penanya dulu.
Silakan.

Agung /JFF

Terima kasih. Pada pembicara pertama sangat menarik paparannya, di saat semua pihak sudah menyadari bagaimana pentinya CBFM. Kita tahu bahwa proses kelembagaan tidak terjadi jika kelembagaan ini belum kita tentukan. Dan justru institusi CBFM yang belum dimunculkan. Bagaimana menstitusionalisasikan CBFM pada setiap lembaga, dan juga setiap kehidupan manusia, sehingga saling bisa mensikronkan. Karena kalau setiap lembaga diharapkan kerjasama, tapi kalau tidak ada sepemahaman CBFM sangat sulit.
Ini yang saya belum melihat dari mana proses kelembagaan.
Saya kira demikian. Terima kasih.

Peserta

Persoalannya CBFM sebagai sebuah konsep, sehingga bagaimana dephut mendorong untuk pelaksanaannya. Kalau tidak, ini akan tetap menjadi sebuah wacana.

Susetyanto

Tadi seperti apa yang yang diutarakan Pak Taryo, nampaknya CBFM masih sangat panjang, masih seberapa panjang gitu pak? Karena nyatanya kok sangat sulit didorong berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, padaha seperti yang disampaikan tadi kayaknya sudah ada aturan, dengan kata-kata yang cukup mulia. Apa tanggungjawab dephut dalam menginternalisasikan, dan mentransformasikan kebijakan yang sudah ada itu seperti apa, karena kalau dilihat organisasinya kok kayaknya agak sulit melaksanakannya. Sejauh mana Dephut ini komitmen dalam bidang kelembagaan termasuk dalam bidang organisasi itu bisa menyempurnakan organisasi yang dilaksanakan. Ini baru satu sektor saja, padahal perlu kerjasama antar sektor. Bagaimana menginternalisasikan dan mentransformasikan, karena ini sangat ditunggu. Terima kasih.

Moderator

Baik , terima kasih atas pertanyaan-pertanyaannya, saya kira pak Taryo dulu yang menjawab.

Sutaryo

Sebenarnya inilah persoalan kunci sekarang, bagaimana setiap pihak peduli untuk mengembangkan CBFM. Mengelola itu butuh perjuangan, bagaimana meyakinkan kawan-kawan pengusahaan hutan menerima itu.
Terus sampai kapan? Sampai semua pihak menerima prinsip itu.Terus terang saya mengajak, janganlah kita melihat dari sisi kesulitan, tapi bersatu bagaimana mendorong pemerintah melakukan / melaksanankan CBFM, maka akan sangat cepat. Saya pikir, jika Dephut diminta untuk tetap mendorong harus punya satu yang didorong-dorong. Saya yakin bagaimanapun juga Dephut harus menginternalisasikan, hanya bagaimana merumuskan itu, harus punya standar prosedur . Saya kira secara singkat demikian.

Moderator,

Tadi masih ada satu pertanyaan, untuk pertanjawaban di tingkat nasional siapa?

Sutaryo

Saya kira tetap dephut. Tapi dephut tetap membenahi dirinya, bagaimana mengelola CBFM dan itu proses.

Moderator

Terima kasih pak Taryo. Pak Hariadi silakan.

Hariadi

Menyambung pak Taryo tadi. Kalau posisinya sebenarnya sudah dapat tempat yang baik. Pertama, satu program prioritas yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan sekitar hutan, tapi itu belum jelas juga; kedua saya sepakat dengan mas Agus tadi, bahwa proses-proses ini sebenarnya di dalam dephut, jika centernya begitu mesti ada proses-proses internalisasi. Kalau begitu saya melihat dalam hal memperbaiki struktur, bisa diangkat ke tingkat lebih tinggi, bisa juga tidak, karena program-program serupa juga dilaksanakan oleh departemen yang lain. Pertanyaannya adalah direktorat tidak pernah mengeluarkan simbol/ajang nasional, bahwa CBFM adalah simbol nasional, tetapi tidak pernah digunakan untuk suatu ajang, proses meningkatkan direktorat ini. Dan saya kira harus membangun program nasional dengan lembaga lain.Saya tidak sepakat jika dephut paham CBFM, kalau pak Taryo paham iya, tetapi bagaimana dengan dephut yang lain. Sehingga bagaimana memasukkan ini untuk masuk ke Dephut itu yang penting sekali. Untuk itu ada semacam pendekatan program yang bisa dilaksakan di tingkat dephut. Matrik yang saya paparkan tadi di depan bisa digunakan oleh biro perencanaan Dephut. Selanjutnya bagaimana saling mengisi rsps dan sebagainya. Itu yang bisa dilaksanakan di tingkat operasionalnya.

Dengan demikian, Bapak-bapak dan ibu-Ibu, saya kira perubahan di tingkat departemen itu menjadi syarat penting, karena menurut saya semua harus jalan, perubahan-perubahan di lapangan, fakta-fakta, itu juga pemicu perubahan di dephut. Dephut bisa menjadi pemicu perubahan, tetapi yang di lapangan juga bisa mendorong perubahan. Saya kira saling mengisi. Demikian komentar saya.

Moderator

Baik kita masih punya waktu

Sutaryo

Apa yang dijelaskan Pak Hariadi barusan, prinsipnya adalah janganlah jauhi dephut. Tetapi bagaimana berkolaborasi mendorong mereka-mereka itu menjalankan programnya, memfasilitasinya.

Dengan adanya dinamika di daerah , dephut kemudian membangun kebijakan, Memfasilitasi inilah, bagaimana mengajak dephut melihat dinamika daerah, dan menyampaikan dinamika daerah ke Dephut. Itulah yang saya maksud ke depan, bagi teman-teman yang bergerak di CBFM melakukan itu.

Moderator

Baik kalau masih ada pertanyaan, silakan.

Yuyuk

Terima kasih. Mungkin ini himbauan saja. Seperti yang dipaparkan tadi, maka kita bisa lihat dinamika CBFM. Mungkin departemen juga belum tahu persis bagaimana menginternalisasikan hal tersebut termasuk di bawahnya. Saya kira ke Pak Taryo, bagaimana yang baik-baik itu tadi perlu kita gali, terus disampaikan ke bawah-bawah, di tingkat kabupaten, propinsi, dan masyarakat. Dan yang lebih terinci yang termuat di renstra itu perlu target yang jelas,sehingga jelas bagaimana mengawal pelaksanaan itu. Kalau kekurangan, saya kira tidak hanya di departemen ini saja. Jadi pertama-tama komunikasikan itu ke bawah, dan kita kawal. Rakyat dicerdaskan, departemen dicerdaskan sampai suatu titik yang mungkin kita akan bahagia bersama.

Ibu Wahyu

Saya ingin menanyakan ke Pak Taryo, kadang-kadang seseroang itu menjadi personal dephut, di MFP, dan kadang di lainnya. Ketika seseorang pernah di beberapa tempat, ini saya kira sebagai modal untuk memacu lebih dalam apapun yang dilakukan oleh depatemen membuat kebijakan di dephut. Sehingga saya kira kebijakan yang ada, juga dari bawah. Saya justru melihat problemnya selalu legalitas. Mengenai perijinan CBFM di gubernur, phbm, bagaimana dengan teman-teman yang perijinannya di kabupaten.
Terus mengenai permenhut, apakah permenhut sekarang mengobati sebelumnya, atau gimana? Apakah ini preventif atau kuratif, kalau kuratif, berarti tidak sembuh-sembuh. Sejauh mana Bapak punya kekuatan untuk menghadapi maslah legal formal ini
Terima kasih.

Jumansyah

Pengalaman di daerah ketika komplain ke departemen, kemana kita harus komplain. Ketika kita usaha ijin di lps, batas di baplan , terus melaksanakan CBFM, mendapat komplain, sebetulnya apa payung hukum ketika melaksanakan CBFM?
Tadi Pak Hariadi mengatakan soal legalitas bukan hal yang dikedepankan yang pertama. Tetapi jika PP 34 tidak mengakomodir yang di daerah, saya kira perlu di legalitas.Untuk revisi PP 34, tetap berjalan, terus muncul banyak perda, dan jika revisi, maka bisa batal demi hukum. Bagaimana dengan ini. Apa yang menjadi payung hukum untk pelaksanaan CBFM.

Moderator.

Dari pertanyaann tadi intinya adalah bagaiamana dengan legalitas.
Saya kira tadi bagaimana Pak Hariyadi tadi mengatakan, bahwa legalitas itu penting, tetapi bukan yang pertama.Pak Hariyadi bisa menjelaskan, silakan.

Hariadi

Pada saat sesuatu yang sudah dinyatakan ini menjadi legalitas tertentu, dan kekeuh ini menjadi pedoman, maka akan susah. Karena proses-proses itu akan terusberjalan , yang dilakukan oleh teman-teman di lapangan. Proses-proses inilah yang kemudian menjadi legalitas.

Prinsipnya, disepakati, legalitas di dephut hanya prinsip-prinsipnya saja, sehingga tidak ada problem jika dilaksanakn di kalimantan, jawa, dll.

Kedua, permasalahannya, dephut tidak cepat nih? Pertanyaan kemudian, kita tidak bisa berhenti dari ini. Dephut akan cepat, jika kawan –kawan di lapangan juga cepat. Ketakutan saya ini akan menjadi kekalutan bagi teman-teman dalam melaksanakan CBFM. Termasuk tadi revisi pp 34. tapi lagi-lagi ini jangan menjadi trufh, kalau tidak seperti ini tidak. Jadi yang penting sekarang adalah bagaimana proses-proses di lapangan jalan dan nanti menjadi legalitas.

Bukan saya mengatakan legalitas itu nda penting. Saya khawatir ini menjadi hambatan pelaksanaan CBFM, tetapi bagaimana memposisikan legalitas.
Saya kira ini tetap didorong untuk proses-proses itu.

Sutaryo

Prinsipnya saya setuju dengan Pak Hariadi.
Orang-orang yang sudah memiliki pengalaman dan bergaul di lapangan, ketika dia kembali ke dephut pasti akan menjadi triger/mendorong pada proses kebijakan yang lebih baik. Dan itulah proses belajar yang sangat baik, yang berangkat dari lapangan. Apa yang dianjurkan Ibu wahyu itu sudah berjalan, memang ada pembatas-pembatas, legal, waktu.

Terus sampai kapan? Sangat sulit mengatakan itu. Saya kira sampai departemen selesai mengurusi kawasan, mengetahui di mana, seperti apa.
Sekarang ada program kph(kesatuan pengelolaan hutan) barangkali kalau itu sudah terwujud, CBFM bisa jalan, tetapi jangan sampai ini hanya model-model yang hanya tipe projek, tapi doronglah dephut untuk membangun model-model itu.

Moderator

Terima kasih. Ada catatan penting mengenai kelembagaan,internalisasi dalam kelembagaan dan bagaimana strategi kelembagaan dalam multipihak. Catatan dari pak Hariadi, ketika membuat yuridis formal harus berlaku di semua tempat.
Setelah kita mendengarkan di tingkat nasional, sekarang akan didengar tentang pengelolan CBFMdi daerah, di tingkat propinsi dan Kabupaten. Untuk itu saya persilahkan kepada Pak Basori.

Suhendro Basori (Dis Hut PropSultra)

Assallamualaikum wb wr. Setelah tadi ada paparan akademis, ilmiah dan kebijakan, saya akan mengutarakan pada apa yang ada di lapangan saja. Namun demikian cerita ini dibangun dari beberapa kejadian, peristiwa yang memang sebetulnya sangat panjang. Tapi saya akan mencoba untuk merangkumnya.
Bahwa CBFM di sultra itu sudah dilakukan sejak lama, sejak yakni dengan HKN, namun ketik projeknya berhenti HKN-nya juga berhenti.
Site PSDHBM/Hkm/Sosfor di Sulawesi Tenggara :
• Kota Kendari : Tahura Murhum/LEPMIL
• Kabupaten Konsel : Sosfor / JAUH Sultra
• Kabupaten Konawe : Sosfor/YPPM Konawe
• Kabupaten Kolaka : Sosfor /Swakarsa Kolaka
• Kabupaten Buton : PUMSHP/LSAI Lambusango ( Walaccea)

Ada apa di Konawe Selatan (karena di sana projeknya lebih lama)

0g8

Pada masa reformasi (1998), ternyata merupakan merupakan masa-masa konflik multi dimensi. Pada masa konflik ini terjadi (1) penebangan liar (illegal logging) tinggal 30% dari hutan jati yang sebelumnya ada; (2) pemutihan kayu jati (lelang)  kayu jati dianggap sebagai kayu temuan; (3) perambahan kawasan; (4) pengelolaan tidak jelas; (5) hutan rusak terus bertambah tidak ada pengelola yang jelas; (6) penyalahgunaan IPKTM/Ijin Pemanfaatan Hak Tanah Milik; (7) hukum tidak ditegakkan karena semua bermain; dan (8) industri tanpa daya dukung bahan baku

Dengan pengalaman yang menyakitkan itu, hutan jati yang tadinya bagus sekali kemudian tinggal 30%nya, maka kemarin itu kami sampaikan, yang lainnya/social forest , ternyata akan dihitung oleh DepHut. Dengan proses seperti itu ada peran para pihak.

Peran para pihak :

  1. Dephut : Program Social Forestry , Training Faslitator, Biaya Perencanaan lewat BP Das Samapra ( 2002 – 2003).  seperti yang dikatakan Pak Taryo tadi Departemen ternyata tidak konsisten, saya merasakan betul itu. Dari segi nama saja sudah tidak konsisten, program sosial, ada DKN, ada social foresty. Yang kerepotan, kami yang di daerah.
  2. LSM / JAUH(jaringan untuk hutan) Sultra Perencanaan Partisipatif (2003). Dapat sumber dana dari DFID. Biasanya pemberi dana yang bertanggung jawab. Kalau ada masalah pendana ini yang paling bertanggung jawab.
  3. Dishut Prov. Sultra : Usulan Pengelolaan Bersama Masyarakat/Partisipatif ( 2000). Ini dari sebuah pemikiran, HPH saja dengan mendapat ijin 1 lembar kertas datang ke suatu daerah, kemudian dia menebang, dia tidak melihat wilayahnya/”tidak terencana”
  4. Pemkab/Dishut Kab : Dorongan Moril ( Kebijakan ). Ini kembali kepada person/oknum yang sangat mendukung.
  5. MFP – DFID : Dukungan Kepada Inisiatif LP3AEUI, JAUH Sultra. Ini membuktikan semua terlibat di sana.
  6. LP3AEUI : Fasilitasi Training Fasilitator dan RTSF
  7. TFT – Teak (Buyer) : Program Sertifikasi Produk Kayu Jati (Ekolabeling ). Ini adalah sebuah lembaga sertifikasi.
  8. Kel. Masyarakat : Partisipasi dalam Training dan Pengamanan Hutan dan Membentuk KHJL dan LKAK. Dalam hal ini kelompok masyarakat juga ikut berpasrtisipasi, semangat sekali waktu itu, kemudian dibentuk koperasi Manunggal Lestari dan LKAK atau Lembaga Komunikasi Antar Kelompok. Tapi belakangan LKAK menjadi Lembaga Komunikasi saja, karena tidak bisa berbadan hukum dan lembaga ekonomi Yang menjadi masalah, semua kekuatan masyarakat, dianggap mumpuni. Ngumpul di LKAK. Sehingga hari-harinya bentrok antara koperasi dan LKAK. Kenapa? Karena kalau ijin keluar, tidak bisa LKAK, tapi koperasi. Akhirnya setelah 2-3 tahun kemudian koperasi sebagai pengurus dalam pergerakan bidang ekonomi dan Lembaga Komunikasi-nya sebagai pengawas atau pengontrol.
  9. BPDAS Sampara : Fasilitasi Bibit dan HHNK
  10. JICA : Pemetaan Partisipatif

Ini adalah bentuk peran para pihak. Bapak-bapak ibu-ibu, bahwa masyarakat yang selama ini tidak tahu menahu, bisa belajar gps, bisa bikin peta, dll. Hampir tidak bisa dipertcaya, karena rata-rata jaringan di sana justru sarjana sosial, agama, dll.

Lanjut, ini proses yang sudah terjadi.

Proses yang sudah berlangsung Konawe selatan

  1. Sosialisasi Program Social Forestry 5 – 6 Mei 2003 ( Dishut Prov. Sultra )
  2. Pelatihan Fasilitator Social Forestry 29 Sept – 3 Okt. 2003 (P3AEUI / DEPHUT)
  3. Pelatihan Praktek Pembuatan/Penyusunan RTSF 19 – 21 Okt. 2003 (3AEUI/DEPHUT)
  4. Pembentukan Koperasi Hutan Jaya Lestari dan LKAK
  5. Surat Bupati Konawe Selatan (Usul Penunjukan Unit Pengelolaan Sosfor) Maret 2004
  6. Rekomendasi Gubernur Sulawesi Tenggara (Penunjukan Usulan Unit Pengelolaan Sosfor) Mei 2004
  7. AKSF (Surat Menhut) Oktober 2004
  8. Surat Bupati Konawe Selatan Usul KHJL sebagai pengelola AKSF
  9. Penyusunan Study Kelembagaan
  10. Penyusunan Rencana Pengelolaan/ Master Plan
  11. Fasilitasi LKAK dan Koperasi
  12. Pelatihan Kelembagaan bagi Masyarakat ( APBD Sultra + PUSLUH Dephut

Untuk no. 9 sampai dengan 11 didanai dari APBN/DR/MFP
Alhamdulilah ini semua terpadu, karena kita punya perencanaan HKM/sosial foresty tingkat propinsi. Yang akan diterangkan di belakang
Lanjut, ini adalah perencanaan 2006

Perencanaan 2006 :

  • Rekomendasi Pengelola (Koperasi KHJL) dan Rencana Pengelolaan SF oleh Gubernur Ke Menhut untuk memperoleh IZIN PENGELOLAAN SF
  • AMDAL SOSFOR
  • Capacity Building (Koperasi dan LKAK)
  • Pendampingan (JUAH SULTRA)
  • Pengembangan ekonomi alternatif
  • Doa bersama :  (mudah-mudahan Pak Gubernur dan semuanya mendukung)

Kemudian peran KOMDA SF/HKm Sultra

  1. Lembaga yang mengkoordinasikan/koordinasi para pihak untuk SF/HKm.
  2. Mediasi + fasilitasi dialog kebijakan dan Program untuk SF/HKm
  3. Forum Belajar Bersama untuk SF/HKm

Lanjut, kegiatan KOMDA SF/HKm Sultra

  1. Persiapan/Pembekalan Tim
  2. Workshop Awal
  3. Kunjungan Silang
  4. Dialog Kebijakan (Berkala) Tingkat Provinsi
  5. Penyusunan Draft Kebijakan Panduan Pelaksanaan PSDHBM/HKm/Sosfor
  6. Konsultasi Publik
  7. Perbaikan Draft dan Pengusulan Legalitas
  8. Penggandaan dan Distribusi laporan

Saya kira demikian paparan dari saya. Matur nuwun, terima kasih.

Moderator,

Terima kasih mas Bashori. Kalau di awal kita dibawa ke tingkat teori dan kebijakan, mas Bashori tadi membawa kita untuk melihat bagaimana kerja –kerja multi pihak di tingkat propinsi. Bagaimana kita dibawa ketingkat yang ada di lapangan. Ini mungkin yang menjadi catatan bgi kita, bagaimana sih model pelaksanaan CBFM ke depan, baik di tingkat nasional ataupun daerah, termasuk bagaimana memfasilitasi atas konflik-konflik yang ada. Baik setelah kita mendengar pemaparan di prop sultra, saya undang Pak Lutfi Amin dari Wonosobo tentang bagaimana kerja CBFM di tingkat kabupaten.

Lutfi Amin / Pem Kab Wonosobo.

Assalamualaikum wr. Wb. Terima kasih kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu.
Sebelumnya mohon maaf kepada, karena harusnya yang menyampaikan ini adalah Bapak Kholiq Arief (Bupati Wonosobo) secara langsung, tetapi karena lain hal, mewakilkan saya untuk menyampaikan ini. Saya Lutfi Amin, kalau Pak Arief adala Bupati Wonosobo, maka saya staffnya.
Saya mulai, materinya adalah inisiatif kerja multi pihak dalam kelembagaan CBFM di tingkat kabupaten. Sesuai dengan yang tertera disana, banyak model varian CBFM, antara lain :

  • HKM di Yogyakarta (DIY),
  • Konsep PSDHPLT di Kabupaten Wonosobo,
  • Kolaborasi Multipihak Pengelolaan Kawasan Tambora,
  • Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Taman Nasional Gunung Rinjani),
  • Pengelolaan hutan melibatkan masyarakat (Provinsi Bali)
  • dll

Pada prinsipnya yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana pemberdayaan masyarakat, peran masyarakat, multipihak, kearifan lokal, pengelolan sumber daya hutan.
Program CBFM diharapkan dapat berimplikasi pada :

  • Penurunan gangguan keamanan hutan;
  • Peningkatan/optimalisasi pemanfaatan lahan dan ruang hutan;
  • Peningkatan nilai ekonomi kawasan hutan melalui pengelolaan seluruh aspek potensi hutan;
  • Memperluas peluang usaha dan penciptaan lapangan kerja;
  • Peningkatan pendapatan masyarakat dan keuntungan perhutani serta pembangunan wilayah/lingkungan diluar hutan;
  • Menumbuhkan dinamika sosial masyarakat desa hutan dan mekanisme pembangunan desa secara terpadu

Kami di wonosobo masyarakat yang yang miskin itu masih 40% lebih . Di wonosobo juga merupakan pemasok TKW nomer 2 di Jateng. Karena banyak TKW, banyak problem, maka itu yang kemudian di Wonosobo ada program pemberdayaan perempuan.

Melihat keberagaman karakteristik hutan dan budaya masyarakat yang hidup disekitarnya, memang sudah seharusnyalah CBFM mempunyai flexibilitas atau kelenturan yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang ada. Dalam banyak hal terjadinya konflik, karena itu merasa ditinggalkan oleh masyrakat. Masyarakat lokal merasa tersisih dan diberlakukan tidak adil dalam sistem pengelolaan hutan dalam skala yang besar. Di Jawa isu yang menonjol dan dominan sebagai munculnya konflik adalah hilangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan .

Di banyak tempat, pasca orde baru dan dengan adanya eforia reformasi konflik – konflik seperti ini seperti mempunyai akses untuk muncul dipermukaan, dan menyebabkan pihak – pihak yang dulu merasa dipinggirkan menjadi lebih berani untuk menuntut hak – hak mereka.
Bahkan dibeberapa tempat muncul gerakan – gerakan yang cenderung bersifat anarki sebagai ungkapan balas dendam atas ketidakadilan yang diterima selama ini.

Kemudian, beberapa kendala implementasi CBFM

  • Dari sisi pengelola sumberdaya hutan masih ada kendala internal yang berupa lemahnya pemahaman dan kerelaan untuk berbagi sumberdaya hutan,
  • sedangkan dari sisi masyarakat masih lemahnya pemahaman akan pentingnya kelestarian fungsi dan manfaat hutan, disamping adanya stigma dimasyarakat yang cenderung mendiskreditkan pengelola sumber daya hutan sebagai institusi yang mencari keuntungan saja.

Untuk itu perlu dibangun kesepahaman diantara semua pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya hutan sehingga tujuan dari CBFM dapat tercapai. CBFM yang sudah berjalan baik merupakan salah satu bukti desentralisasi sektor kehutanan .

Mengenai kondisi umum di wonosobo,

  • Secara ekologis memiliki posisi yang sangat strategis bagi Pulau Jawa. Wonosobo adalah daerah penting bagi Jawa Tengah Bagian Selatan, mengingat Wonosobo adalah hulu 3 DAS besar yaitu: Serayu, Luk Ulo dan Bogowonto. Daerah aliran sungai ini yang mengaliri setidaknya 6 wilayah kabupaten (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen dan Purworejo).
  • Fungsi ekologis diatas sangat bergantung pada kondisi hutan Kabupaten Wonosobo. Hutan negara di Wonosobo berada dipangkuan KPH Kedu Selatan dan KPH Kedu Utara.
  • Secara umum kondisi hutan negara cukup memprihatinkan. Kawasan hutan yang memiliki topografi curam, seperti kawasan Dieng, Sindoro dan Sumbing dengan fungsinya sebagai hutan lindung saat ini kondisinya cukup parah.
  • Tekanan masyarakat sekitar hutan yang besar menyebabkan program rehabilitasi kawasan ini sering menemui kendala. Diwilayah ini masyarakat banyak yang menanami sayuran dan kentang yang dianggap memiliki nilai jual tinggi. Sementara itu, ancaman terhadap terjadinya bahaya longsor dan hilangnya air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dibagian bawah menjadi semakin besar. Disisi lain, lahan – lahan yang ada dikawasaan yang memiliki topografi relatif datar sampai bergelombang yang berupa kawasan produksi sebagian masih berupa tanah kosong. Sebagian lain sudah ada yang ditanami masyarkat secara swadaya, tapi masih memerlukan dukungan kepastian kebijaka

Menginjak ke permasalahan, permasalahan 3 hal yakni lingkungan , ekonomi, sosial. Permasalahan lingkungan /ekologi :

  • Luas lahan kosong di hutan negara berdasarkan hasil audit sumberdaya hutan akhir tahun 2005 adalah 4.484,6 Ha, dikurangi dengan rencana tanaman tahun 2006 seluas 1.592 Ha, sisa 2.3892,6 Ha atau sekitar 16,30%, meliputi tanah kosong di KPH Kedu Selatan 1.862 Ha dan KPH Kedu Utara 1.030,6 Ha.
  • Prmasalahan lingkungan bentuknya, Erosi dan Sedimentasi, tingkat erosi DAS Serayu mencapai angka 4,17 ton/th, dua kali lipat ambang batas (2 tong/th). Kondisi ini juga menyebabkan pendangkalan Waduk Jendral Soedirman. Tahun 2004 sedimentasi di waduk ini mencapai 64,20 juta m3, padahal batas maksimal yang diharapkan 30,60 juta m3.
  • Adanya penurunan muka air tanah yang disebabkan karena luasnya lahan kosong didaerah tangkapan air (water catchment area). Selain itu adanya potensi pencemaran air akibat penggunaan pestisida dan bahan – bahan kimia dalam budidaya kentang, tembakau dan sayuran.

Kemudian permasalahan ekonomi, yaitu berupa :

  • Penurunan Potensi Sumberdaya Hutan akibat penjarahan dan illegal logging menyebabkan potensi sumberdaya hutan baik berupa kayu dan non kayu mengalami penurunan yang cukup drastis. Rendahnya tingkat kesejahteran Masyarakat Sekitar Hutan.
  • Desa hutan sebanyak 154 desa (60% dari jumlah desa di Kabupaten Wonosobo) ditempati oleh 70% dari jumlah penduduk Wonosobo.).
  • Keterbatasan Faktor Produksi Kepemilikan lahan rata – rata per rumah tanga 0,39 Ha, kepemilikan lahan sawah rata – rata per petani 0,12 Ha dan kepemilikan lahan hutan rakyat/kebun rata – rata per kepala rumah tangga 0,56 Ha.

Kemudian permasalahan ketiga/sosial, adalah :

  • Rendahnya Tingkat Pendidikan
    Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan pemahaman terhadap kelestarian lingkungan kurang.
  • Hilangnya Lapangan Pekerjaan
    Akibat berkurangnya potensi sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya, menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan lapangan pekerjaan

• Konflik Sosial

 Sinergitas antar stakeholder pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Wonosobo, antara Pemda, Perhutani dan masyarakat masih belum ada kesamaan pandang. Konflik Horisontal antar masyarakat yang mempunyai cara pandang berbeda dalam hal pengelolaan hutan (PHBM dan PSDHBM).

 Potensi konflik karena belum ada ketentuan yang mengatur pemanfaatan lahan kosong pada areal hutan produksi akibat penjarahan masa lalu, sedangkan di lapangan sudah banyak tanah kosong yang ditanami masyarakat dengan jenis tanaman FGS (Fast Growing Species) seperti sengon dan tanaman-tanaman semusim.

 Potensi konflik karena belum ada ketentuan yang mengatur pemanfaatan lahan kosong pada areal hutan produksi akibat penjarahan masa lalu pada areal hutan lindung akibat penjarahan masa lalu, sedangkan prakteknya banyak ditanami masyarakat dengan tanaman semusim seperti kentang, tembakau, dan sayur-sayuran

Dari permasalahan di atas, maka upaya pemecahan permasalahannya,

 Melihat kondisi di atas, perlu adanya solusi untuk pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Wonosobo melalui pengelolaan hutan secara sinergi sesuai dengan karakteristik wilayah.

 Untuk itu atas insisiasi multipihak telah dilaksanakan serangkaian pembicaraan dan pertemuan untuk menghasilan sinergitas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sinergi merupakan kesamaan pandang, kesamaan persepsi dan kesamaan langkah yang memadukan berbagai keinginan dari berbagai pihak yang berkepentingan (stake holders) terhadap pengelolaan hutan yang meliputi antara lain pemerintah kabupaten, Perum Perhutani, DPRD, Lembaga Non Pemerintah, pengusaha dan pengrajin kayu serta masyarakat sekitar hutan, yang dituangkan dalam suatu konsep yang terintegrasi dan dirancang serta dilaksanakan secara konsisten.

 Inisiasi dari multi pihak ini penting untuk menghilangkan stigma-stigma yang sudah terbangun selama ini. Sehingga model Pengelolaan sumberdaya hutan dapat dilaksanakan secara seimbang dan proporsional serta secara jelas memperlihatkan keberpihakan kepada kelestarian hutan, peningkatan perekonomian masyarakat dan keberpihakan kepada proses – proses sosial yang ada dimasyarakat.

Kemudian yang penting, adalah :

  • Saat ini tengah disusun konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Wonosobo Lestari Terintegrasi (PSDHLT).
  • Yang masukan berbagai pihak (stakeholder) pengelolaan hutan di Wonosobo yaitu: pemerintahan daerah, masyarakat sekitar hutan, LSM dan Perhutani.

Secara formal konsep ini akan di-MoU-kan antara pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan Perum Perhutani dengan fasilitasi pihak Provinsi Jawa Tengah
Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Wonosobo Lestari Terintegrasi (PSDHLT) sebenarnya merupakan suatu model pengelolaan kawasan hutan dengan melihat kepada karakteristik dan permasalahan yang dihadapi.

Kemudian, yang penting, Wonosobo dibagi dua bagian yang secara signifikan berbeda karakteristiknya, yakni kawasan atas dan kawasan bawah. Kawasan atas seperti apa dan kawasan bawah seperti apa, itu menyebabkan di dalam pengelolaan hutan pun agak berbeda, yang terpenting adalah ada manfaat bagi perhutani, masyarakat, ekologi, dll.

Perbedaaan Karakteristik kedua kawasan :

0t2

Untuk ke depan Multi pihak akan dibentuk dalam wadah suatu forum yang disebut dengan Forum Hutan Wonosobo (FHW).
Forum Hutan Wonosobo adalah kelompok kerja lintas sektoral di tingkat kabupaten dengan misi menempatkan sektor kehutanan sebagai core pembangunan dalam rangka menyelamatkan lingkungan, pengembangan ekonomi, dan kehidupan sosial Masyarakat Desa Hutan (MDH).

Beberapa tugas FHW antara lain :

  • Pengembangan konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari Secara Partisipatif dan Terintegrasi di Kabupaten Wonosobo.
  • Komunikasi dan koordinasi yang mendorong sinergis antar sektor dan antar stakeholder.
  • Monitoring dan evaluasi.
  • Arbitrase permasalahan-permasalahan kehutanan.

Fungsi FHW adalah

  • Membantu menyusun rencana-rencana strategis.
  • Melaporkan pelaksanaan tugas dan saran kepada bupati untuk pertimbangan dan penetapan kebijakan

Ada mUnsur FHW terdiri dari :

  • Pemda (Dinas Kehutanan, BAPEDA, Tata Pemerintahan, Bagian Hukum, Dinas Pertanian, Disperindag, Kantor LH, Dinas Pariwisata, unsur TNI/Polri, unsur Kajari).
  • Perhutani (KPH Kedu Utara, KPH Kedu Selatan, SPH I Pekalongan dan SPH II Jogjakarta)
  • DPRD
  • Tokoh masyarakat, Tokoh agama
  • Lembaga Swadaya Masyarakat

Itulah beberapa hal yang penting, dan sebagai penutup, semua ini membutuhkan komitmen bersama bahwa pengelolaan hutan dapat mewujudkan suatu hutan yang lestari, mensejahterakan masyarakat sekitar hutan dan tidak menimbulkan konflik dapat diwujudkan, kemudian perjalanan ke arah implementasi konsep tersebut masih cukup panjang tetapi tetap memang harus tetap diupayakan dan diperjuangkan.

Saat ini kami sudah mengadakan MOU antara pemda dan perhutani dalam pengelolaan hutan, sehingga sudah dalam tataran teknis, tinggal perlu dimantapkan antara berbagai pihak, yang mungkin nantinya akan diwujudkan dalam suatu perda.
Demikian. Wasssallam wr wb

Moderator

Terima kasih pak Lutfi. Jadi hampir sama dengan teman-teman di tingkat propinsi, bagaimana permasalahan konflik juga ada di kab wonosobo, dan juga peran penting dalam mengatasi kelemahan-kelemahan implementasi CBFM, baik di tingkat internal pemerintah dan juga di tingkat internal masyarakat.

Yang juga terungkap dari makalah ini adalah adanya catatan kritis mengenai sentralisasi dan upaya hegemoni CBFM di tingkat nasional dan adanya satu upaya teman-teman di daerah tentang bagaimana upaya pendelegasian di tingkat daerah. Tetapi kemudian seperti yang dikatakan oleh teman dari Sultra tadi, apakah pendelegasiannya di tingkat propinsi atau kabupaten.

Disamping itu ada permasalahan-permasalah dalam implementasi CBFM , baik itu lingkungan, sosial. Untuk mengatasi konflik akhirnya dengan mou antara perhutani dan pemda, untuk mencapai tujuan hutan lestari, masyarakat sejahtera dan tidak ada konflik. Baik , seekarang rekan Yani dari sumbawa, beliau akan mengkritisi tentang implementasi kebijakan di tingkat nasional dan juga akan bercerita, bagaimana sih kerja-kerja multi pihak yang dilakukan di Sumbawa. Silakan.

Yani Sagaroa/LOH Sumbawa NTB

Terima kasih kepada moderator.
Sebagai pembicara terakhir kalau mengupas banyak tentang kebijakan sebenarnya sudah diborong oleh pembicara sebelumnya. Tapi saya juga mempunyai kepentingan untuk berbicara tentang kebijakan, namun saya ingin mencoba melihat secara historis tentang kebijakan kehutanan. Menrut saya, jauh sebelum ada Undang-Undang Pokok Kehutanan, masyarakat lokal kita sudah punya kesadaran, cara pandang tentang bagaimana memperlakukan sumber daya alam, khususnya pengelolaan hutan. Tapi begitu ada UU Pokok Kehutanan ini diperlakukan, maka secara represih UU ini seolah mencaplok lahan yang dikelola oleh masyarakat setempat, baik itu yang ada di daerah Sumbawa, NTT, di Jawa, bahkan juga di Sumatra. Maka seketika itulah seringkali ada konflik antara negara dan masyarakat hutan/adat sekitarnya. Lahirnya UU Pokok Kehutanan ini sangat erat kaitannya dengan situasi krisis bangsa waktu itu. Sehingga UU ini hajat besarnya adalah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan didukung oleh berbagai ketentuan perundang-undangan yang lain, misalnya dengan UU Penamanan Modal Asing dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. UU PMA ini adalah sebagai peluang dan ruang bagi sistem pengelolaan secara ekonomi bagi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Sehingga saat itu ruang investasi sangat lebar dibuka. Sehingga kita melihat kebutuhan dari perundang-undangan ini adalah kapitalisasi dan revitalisasi sumber daya hutan yang ada di Indonesia.

Saya coba melihat berbagai macam konflik yang muncul dengan diperlakukannya uu yang sangat sentralistik tersebut. Pertama kaitannya dengan luasnya kapitalisme, modal dan kedua kuatnya pemerintah dalam pengelolaan hutan di Indonesia, serta ketiga lemahnya peran masyarakat dalam pengelolaan hutan, sehingga terjadi peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat dikebiri, sehingga memunculkan suatu upaya besar beberapa tahun perkembangannya kemudian muncul upaya-upaya kebijakan yang mencoba melibatkan masyarakat/pengelolaan hutan oleh masyarakat. Walaupun saya melihat kebijakan ini hanya ruang semu atau istilahnya tidak mempunyai bobot komitmen yang jelas bagi penguatan ekonomi masyarakat yang ada di sekitar hutan. Kebijakan ini, juga tidak memperlihatkan di tingkat departemen ini memberikan ruang keterlibatan bagi masyarakat dalam upaya-upaya pengelolaan hutan secara tegas, karena kebijakan ini masih sangat kental nuansa sentralistknya, sehingga saya secara pribadi kalau memperhatikan UU Pokok Kehutanan. Kemudian, di samping UU ini, di tahun 2004 juga lahir perpu no1 tentang perubahan UU ini, maka ada 2 kepentingan besar di sana di mana harus berpihak, (1) kekuatan modal/investasi yang sangat besar pengarhnya di dalam pengelolaan kehutanan. Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 dengan ditetapkannya perpu berkaitan dengan pengelolaan dan konservasi hutan lindung untuk area pertambangan. Tadi sebenarnya ada satu pertanyaan dari peserta, sebenarnya landasan hukum mana yang akan dipakai untuk memperkuat keberadaan CBFM ini. Apakah akan memakai kebijakan-kebijakan di tingkat departemen atau walaupun Pak Taryo tadi menyebut peluang di UU NO. 41 TAHUN 1999 ini ada, namun saya menilai bahwa peluang yang ada itu etap tidak ada, namun di sebutkan bahwa pengembangan CBFM ini bisa digagalkan dengan UU No. 41 Tahun 1999. Salah satu contoh, adalah bagaimana dengan nasib tragis perda PSHBM di Wonosobo, dan mungkin juga di Sumbawa karena dianggap bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999.

Sehingga secara khusus saya ingin menawarkan bahwa UU No. 41 Tahun 1999 harus diamandemen/revisi, bagaimana payung hukum pengelolaan hutan ini harus tegas dan jelas. Bagaimana komitmen negara dalam mendorong kawasan konservasi yang berbasis masyarakat. Bagaimana kuatnya investasi mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan tentang Perpu no 1 tahun 2004 tentang kawasan hutan lindung unuk pertambangan. Bagaimana mengupayakan UU No. 41 Tahun 1999 ini tentang pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat secara tegas dan jelas, sehingga memiliki payung hukum yang lebih kuat.
Tentang kebijakan hal ini yang ingin saya sampaikan. Hal lain, saya harus berbicara tentang membangun kolaborasi di Sumbawa.

Pulau Sumbawa ini merupakan suatu kawasan hutan transisi yang ada di kawasan Asia, yang mempunya kultur flora fauna antara Australia dan Asia. Di Sumbawa, tigkat kerusakan hutannya juga sangat tinggi, dari luas hutan sekitar 5 00 ribu ha, dan yang masih ada 38,06% , serta yang kritis ada sekitar 41,04%. Tiap tahunnya hutan di Sumbawa menyusut 1100 ha, dengan kondisi yang sangat parah. Sumbawa juga ada berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, ada HPH, HTI, dsb. Dengan permasalahan dan tingkat kritis hutan yang seperti ini, maka kami bersama kawan-kawan mengambil inisiatif 2001 kerjasama para pihak baik antara ornop dalam upaya untuk penyelamantan hutan, dan juga upaya-upaya untuk pendekatan ke pemerintah, sehingga ada sekitar 5 instansi yang terlibat. Selain itu, kami juga melakukan pendekatan-pendekatan ke komunitas masyarakat yang ada di sekitar hutan yang ada di Kab. Sumbawa. Kemudian ada kesepakatan dalam tim untuk melakukan kegiatan tersebut, yang secara formal kita mulai tahun 2002. Namun di sumbawa sebenarnya ada 2 inisiatif, yang sebenarnya telah berjalan, (1) inisiatif yang dilakukan oleh kawan-kawan yang ada di Sumbawa Centre, (2) inisiati dari kawan – kawan dari Jakarta, yang mendorong lahirnya suatu kebijakan kebijakan daerah  Perda no 25 Tahun 2002 tentang PHBM. Inisiatif lainnya adalah yang dilaksanakan oleh tim kehutanan multi pihak, yang mempunyai program, yang ada 3 bidang utama, yakni (1) peningkatan kapasitas para pihak, (2) upaya-pihak sinkronisisasi kebijakan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, (3) kegiatan-kegiatan konkrit yang berkaitan dengan pengembangan PHBM terutama untuk kegiatan-kegitan sosial di 3 lokasi bersama serta, karena waktu itu ada kekuatiran akan pelaksanaan dari perda no 25 tahun 2002, maka kami mengembangkan model lain yang ditangani oleh multi pihak. Pada akhir dari kegitan penilaian dampak yang telah kita lakukan ini, , ternyat ada banyak sekali kekuatiran di masyarkat akan amanat dari perda. Sedangkan di 3 lokasi ini ternyata mempunyai satu kegiatan konkrit yang luar biasa yang mengembangkan minat-minat kelompoknya, dan berhasil sekitar 200 ha hutan yang ditanami masyarakat, beda dengan lainnya yang hanya sedikit.

Itulah kira-kira apa yang sudah dilakukan di Sumbawa. Karena keterbatasan waktu, saya cukupkan, dan saya kembalikan ke moderator. Terima kasih. Wassallamualaikum wr wb

Moderator.

Baik, tadi rekan Yanni sedikit mengkritisi tentang kebijakan yang sentralistik, serta menceritakan bagaimana upaya kolaborasi untuk mengembangkan CBFM terus adanya inisiatif di sumbawa untuk mengawal perda no 25 tahun 2002, serta inisiatif untuk melakukan kegiatan di 3 lokasi.
Baik, untuk mempersingkat waktu, sebenarnya kita sudah telat sekarang , tapi kalau ada pertanyaan saya persilahkan, tapi untuk 1 termin saja. Baik Pak Yuyuk, silahkan.

Yuyuk

Ada beberapa hal yang menggelitik saya, mengenai kebijakan sentralistik itu tidak salah, tapi perlu kepastian hukum. Terus tadi Pak Taryo bercerita tentang bagaimana mengawal CBFM pada perencaan social forestry , memang tadi belum diceritakan bagaimana awal perencanaan social foretry itu bisa tercapai. itu sangat menarik. Terus bagaimana dengan perjalanannya nanti. Terus siapa lembaganya, ternyata belum ada, ini bagaimana, siapa yang memfasilitasinya? Itu akan berjalan terus. Saya kira itu sebagai sebuah pembelajaran, dan waktu akan menjawabnya apakah akan tercapai. Terus mengenai UU No. 41 Tahun 1999, apakah perlu direvsii lagi, saya kira janganlah dulu berpikiran bahwa UU No. 41 Tahun 1999 direvisi. Ini hanyalah masalah Permen saja, social forestry yang unuk CBFM saja sampai sekarang terkatung-katung terus. Ataukah ini birokrasinya. Saya kurang tahu, apa itu karena di UU No. 41 Tahun 1999 nya tidak terakomodir atau permasalahan kekuatan hukumnya saja. Saya kira bukan UU No. 41 Tahun 1999nya yang salah, tetapi proses ini kan belum selesai.
Jadi itu saja dari saya, terima kasih.

Moderator

Baik. Ada pengumuman dari panitia, bahwa cofee break itu berakhir jam 11. Jadi ini saya tawarkan, apakah kita ambil minum, bawa ke sini sambil kita lanjutkan, atau kita break 15 menit, terus kita lanjutkan jam 11.15. Ok, karena ada usulan break 15 menit, kita break dulu 15 menit, 11.45 WIB kita lanjutkan.

Break (11.00 -11.145 wib)

Moderator.

Baik kita lanjutkan, masih ada waktu untuk diskusi, sebelum kita masuk ke diskusi kelompok.
Baik silakan.

Ida / mahasiswa UGM

Kebetulan saya dari Sumbawa. Pertama, tadi dikatakan Bapak Yamin bahwa kerusakan hutan di sana untuk pertambangan, bagaimana implementasi reon untuk pertambangan, karena permasalahan di sana sangat komplek, ada yang setuju dengan pertambangan, tapi ada yang justru melihat bahwa pertambangan itu salah satu pengrusakan sumber daya alam dan aset sumber penghidupan mereka. Apakah penting di sini untuk melibatkan pihak perusahaan pertimbangan, dalam hal ini PT Newmont Nusa Tenggara, karena kerusakan ini sudah berlangsung sejak lama, dan menurut bapak PT tersebut sudah mengambil posisi aktif dalam mendorong CBFM di daerah sekitar pertambangan. Kedua, bagamaima implementasi kegiatan di DAS, yaitu di sini dikatakan DAS Raya, karena setahu saya di sini ada DAS-DAS berbeda. Bagaimana output workshop anda di DAS Raya ini, mereka disatukan padahal kondisi fisik , ekologis, maupun sosial ekonominya sudah berbeda. Demikian pak, terima kasih.

Moderator

Baik, ada lagi pertanyaan?

Setyawan (Perhutani Jateng)

Pertanyaan saya sampaikan untuk 3 pembicara. Ke pak Yani mengenai sentralistik dan desentralistik seolah-olah diperuncing/dikotomi, sehingga persoalan-persoalan dasar yang sebenarnya adalah paradoks untuk dipadukan. Sehingga konflik-konflik ini dimunculkan sehingg seakan-akan ada open acces, dimana hukum tidak jalan, masalah penguasaan tanah, dan disatu sisi masih terjadinya benturan-benturan kebijakan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya. Jadi kami hanya menanggapi. Nampaknya laju deforestasi hutan ini bergerak lineer sejalan dengan dinamika konflik yang muncul yang sengaja dimunculkan oleh kelompok yang mendikotomikan antara persoalan sentralistik dan desentralistik. Dan saya sendiri sebulan yang lalu mengadakan operasi, ternyata Akindo di yogya ini banyak menggunakan kayu dari Atambua, yang saya dengar sering terjadi longsor di sana, dan sebagainya. Lebih fokus lagi mengenai pengelolaan hutan di pulau Jawa, kita kenal ada varian program dari CBFM ini, yang kemudian kita kenal dengan PHBM/Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, ini keragamannya banyak, membuka ruang aspirasi publik sangat luas, ada rencana strategis yang dibentuk bersama masyarakat hutan dan dibentuk tahunan dengan pelibatan masyarakat. Dan ini adalah bukti bentuk kewenangan dan desentralisasi dalam pengelolaan hutan, bukan berarti harus program UU No. 41 Tahun 1999 kontra dengan semangat kearifan lokal, tetapi bagaimana mengembangkan kolaborasi dengan semua pihak. Kemudian, satu hal yang ingin saya sampaikan khususnya kepada Bapak-bapak dari luar pulau Jawa, langakah-langkah pemerintah, privat, foundation dalam cbfm, atau langkah-langkah kehati-hatian apa yang dilakukan dalam menata kembali hutan di wilayah Sulawesi maupun Sumbawa.
Kurang lebih demikibn. Terima kasih.

Moderator

Baik, saya persilahan pak Yani.

Yani Sagaroa

Saya ingin menanggapi mengenai pertambangan di sumbawa. Secara umum konsesi pertambangan di Sumbawa ada sekitar 700 ribu ha, itu kontrak karya pertambangan yang ada di ESDM. Itu jauh lebih besar dari luas hutan di Sumbawa hanya sekitar 500 ribu ha, itu pun masih dengan kab. Sumbawa Barat. Yang baru sekali kontrak karya ada PT Sami, dan di Sumbawa Barat ada PT Indotan. Bahkan di Sumbawa jika ini dilaksanakan, kemungkinan darata P Sumbawa akan habis. Berakaitan dengan Newmont, Newmont adalah pihak yang ikut dari awal dalam prakolaborasi ini, tapi seketika dia menarik diri dari kolaborasi ini, maka komitmen dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini menurut kami sangat tidak jelas. Tentang DAS, pendekatan Das di sumbawa yang dilaksanakan oleh pihak kehutanan di kab. Sumbawa hanya ada 5 das besar yang diambil, tapi tidak semua Das, termasuk anak sungai. Karen di Sumbawa Barat dengan DAS Reanya, mengalami hambatan politik saat itu, tidak meneruskan upaya-upaya CBFM ini, karena sudah terpisah yakni pemekaran wilayah. Sehingga program-program untuk hal ini sekarang hanya tinggal yang ada di Kab. Sumbawa Besar. Kedua, tetang dikotomi antara sentralistik dan desentralisasi, satu hal yang perlu dikaji berkaitan dengan hak dasar yang berkaitan dengan publik/masyarakat, akses informasi, akses partisipasi, dan keadilan. Nuansa-nuansa yang bersifat sentralistik apakah memungkinkan masyarakat terlibat dalam menentukan perencanaan kebijakan dan pengambilan keputusan (terutama dalam skala makro), apakah bisa mendorong aspirasi dan keadilan terutama masyarakat lokal yang saat ini sedag gencar-gencarnya dalam pengelolaan hutan.
Itu saja, terima kasih.

Suhendro Bashori

Terima kasih telah Pak Yuyuk ingatkan bahwa proses yang terjadi dalam social forestry adalah sangat panjang. Bahkan di sana diawali dengan duduk bersama, mengambil tempat di balai desa, di sana ada dari Dephut Jakarta, Kabupaten, bahkan Bupatinya, dan juga masyarakat. Jadi mungkin berawal dari situ kita belajar. Dan semuanya duduk di posisinya masing-masing, tidak ada yang dijadikan guru, murid. Sebagai contoh, wadah koperasi, komisi daerah itu juga sebagai proses belajar, kita perlu wadah.

Ada hal yang menarik, adalah proses sertikasi yang menyangkut hutan rakyat, yang dikelola oleh koperasi. Bahwa koperasi belum bisa masuk dalam kawasan hutan, tersangkut aspek legal, dia mencoba dengan lembaga yang lebih kuat, dan beberapa pihak yang berwenang, mereka memeperoleh sertifikat.
Kemudian, dari Pak setyawan tentang kerusakan hutan sangat susah dicegah, bagaimana pemahaman hubungan hutan dengan manusia, sehingga nanti di tataran kebijakan akan ada pemahaman hal tersebut.

Memang ini menjadi suatu hal yang dilematis, terutama terkait dengan PP 62 tahun 1998, tentang pemberian wewenang sebagian kepada propinsi, kabupaten dalam pengelolaan hutan . dalam PP tersebut kewenangan pengelolaan hutan rakyat diserahkan ke Kabupaten, yang jadi masalah, di Sulawesi Tenggara, ada beberapa wilayah yang sama antara menjadi hutan rakyat dan negara. Inilah yang kemudian kesulitan dalam memisahkannya, dia sama atau tidak. Apalagi kalau ada ketentuan pembatasan dengan kayu, bagaimana kalau pembatas itu dijebol dari awal hingga akhir, yang terjadi adalah kejahatan berjamaah. Terus mengenai pihak lain, antara lain dengan adanya foundation, kita sepakat, dengan adanya socia forestry,siapapun bisa terlibat, tetapi harus dalam satu koridor. Di wadah komisi itulah diadakan kesepakatan. Seperti yang dikatakan pak Taryo tadi, maka harus saling mendekat, koordinasi, komunikasi. Jadi itu saja.
Terima kasih.

Lutfi Amin /Pemda wonosobo

Terima kasih, ada hal-hal yang mungkin saya jelaskan. Dari pak Yuyuk tentang PSHBM, kenapa tidak diteruskan, ya karena ada multi tafsir, ada uu No 22, UU No. 41 Tahun 1999 memang banyak tafsir. Yang kemudian muncul, siapa yang punya power.

Di pemerintah pun tidak mulus satu pemahaman.Ini sekali lagi dikarenakan tafsir yang beda.kalau dirujuk panjang. Tetapi kami di daerah, marilah kita jadikan ini sebagai proses belajar.

Mudah-mudahan dikotomi CBFM dan PSHBM tidak muncul, semua proses dari bawah. Tinggal bagaimana action di lapangan. Mudah-mudahan konsep ini bisa segera diimplementasikan.

Kenapa kami bisa menyampaikan. Kita ketemu banyak pihak, konsepnya semuanya bener, tapi kok tidak ada buktinya. Kenapa? Mudaha-mudahanan ini merupakan propses pembelajaran, sehingga Wonosobo menjadi lebih baik dari kualitas lingkungan. Kemudian catatan dari moderator sampaikan tadi, tentang kehati-hatian, ini tugas kita semua.Tentang pengelolaan hutan karena hutan semakin hancur, ini tentunya tugas kita semua, ini termasuk efek dari degradasi turunnya kualitas lahan. Kami berharap, yang diawali dari komitmen kuat, Pak Bupatii antara lain adalah penananaman sejuta pohon, dan kami harap bisa didukung oleh banyak pihak termasuk Perhutani, kami berharap ada kepentingan yang besar di situ, walaupun di situ bukan di ranah hutan, tapi bagaimana nanti ada kepedulian dengan hutan.. Walaupun teman-teman perhutani di hutan, tapi kalau menmukan kawasan-kawasan kosong di luar untuk peduli dihijaukan, di lahan kosong kami harap juga peduli. Bagaimana itu bisa menjadi sebuah sistem, lewat lewat kultur menghargai nilai-nilai untuk menghargai lingkungan. Dan itu sudah dimulai oleh anak-anak sekolah. Saya rasa itu, dan saya kira wonosobo sudah memulai, dengan penanaman sejuat pohon serta penanganan aliran sungai serayu yang penting dari waduk Merica.

Untuk sentralistik atau desentralisasi, bagi kami bagaimana di daerah adalah kebijakan di daerah, pak Bupati. Kalau kami kerjasama dengan pihak lain mungkin perlu ada rembug untuk mengambil kesepakatan. Rembug ini dikiranya bisa diperpendek, sehingga jelas dalam pengambilan keputusan.
Saya kira demikian. Terima kasih.

Moderator.

Baik terima kasih, kepada bung Hendro, Pak Lutif, Pak Yani yang sudah
Sharing dengan kita, tentang bagaimana implementasi di tingkat propinsi, kabupaten. Terima kasih kepada pembicara, dan yach.. Pak Taryo silakan.

Sutaryo

Terima kasih. Saya kira dalam kasus CBFM ini tidak ada yang sentralistik dalam perundang-undangan, yang ada adalah proses membangun. Mengenai revisi UU No. 41 Tahun 1999 saya kira ditiadakan, UU sudah memberi banyak slot. Persoalannya adalah proses membangun itu menjabarkan slot-slotnya itu. Untuk itu Permenhut dan peraturan pemerintah yang perlu kita kawal. Kedua munculnya PP 34 yang memfasilitas iCBFM ke depan, yang tetap perlu kita kawal. Kemudian tentang permasalahan yang ad di tingkat kabupaten, mungkin di sini perlu ada perbandingan dari Kuningan yang mungkin pendekatannya berbeda.

Untuk konawe yang pengurusannya begitu susah, dalam pengkaitan dengan Konawe, dalam pengurusan CBFM jangan ditempatkan di luar, tetapi masukkanlah di dalam forum, justru itu yang harus diurus. Mengenai ketidaksinkronan di sana justru itulah yang harus diurus CBFM Nasional.

Moderator.

Terima kasih Pak Taryo. Saya kira banyak catatan tentang kelembagaan CBFM dan program ke depan, yaitu :

  1. masalah kendala internal ( akan kita diskusikan nanti, bagaimana kita mengatasi kendala internal, baik itu di tingkat internal departemen kehutanan ke bawah, perhutani ke bawah, di tingkat pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, dan pihak-pihak kepentingan lainnya, termasuk masyarakat)
  2. tujuan dari CBFM dan program-program CBFM ini adalah untuk supaya ada hutan lestari, masyarakat sejahtera.

Itu saja dari saya, sebelum kita masuk ke dalam diskusi kelompok. Kita akan lebih mengoperasionalkan nanti apa yang sudah kita diskusikan dari pagi, dalam sesi diskusi kelompok nanti. Nah dari pemamaparn tadi kita lebih bisa mengerucut, bagaimana menginstusionalisasikan CBFM ini agar bisa implementatif, baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten. Mengenai legalitasi, kebijakan seperti apa sih yang perlu dilakukan di tingkat nasioanal, propinsi, kabupaten, untuk mengawal CBFM ini, dan kelembagaannya seperti apa.

Berkaitan dengan program apa saja yang bisa dikempangkan, mengacu dengan RPGP yang telah dimiliki oleh Dep Hut. dan bagaimana ada sinkronisasinya. Mungkin itu saja, beberapa pertanyaan kunci untuk diskusi. Karena di sini pesertanya dari multi pihak, teman-teman yang dari tingkat nasional, program dan kelembagaan implementatif seperti apa yang harus dilakukan, begitu pula dengan teman-teman dari tingkat propinsi, dan juga kabupaten. Termasuk rencana jangka pendek dan panjang. Usulan saya demikian, bagaimana?

Jadi akan ada 3 kelompok atau dibagi 2 kelompok, yang kelembagaan dan program, tetapi konsekuensinya ketika berbicara kelembagaan, maka dikaitankan, nasionalnya sepert apa, propinsi seperti apa, kabupaten /lokal seperti apa.
Silakan mas Agus.

Agus.

Kalau diskusi kelompok saya kira kurang efektif, karena waktunya mepet. Jadi di pleno saja.

Moderator

Baik. Ada usulan yang lain. Bagaimana ini dengan usulan Pak Agus? Usulannya adalah tidak usah dibagi kelompok, tetapi langsung dipleno saja.

Panitia

Ini juga mohon maaf sekali kepada peserta.
Memang tadinya jam 12 stop, makan sampai jam ½ 1. dan teman2 nanti langsung ke tempat pembukaan untuk penyerahan sertifikat.Tetapi karena ada hal teknis, jadi saya kira langsung dipleno saja, karena kalau sekarang diskusi kelompok tidak cukup, karena paling cepat kemungkinan kita akan masuk ke ruang ini jam 2. karena tadi ada beberapa persoalan dan rumusan yang perlu didiskusikan dengan Bapak Menteri, jadi saya kita langsung diplenokan saja setelah acara dengan Sultan nanti..

Moderator

Bagaimana, ada usulan lain. Ini kita istirahat, kemudian nanti italangsung ikut liat penyerahan sertifikat dari Bapak Gubernur. Selesai sana,langsung ke sini.
Baik, terima kasih, selamat siang, selamat istirahat.

Keputusan: dibreak.

DISKUSI PLENO

Fasilitator : Nur Amalia
14.00 – 15.00

Panitia

Baik bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, saya dan mbak Nur akan menyelesaikan secara lebih cepat, maka kita mulai.

Fasilitator :

Baik bapak-bapak dan ibu-ibu sebagaimana kesepakatan kita, akan membahas tentang operasional kelembagaan CBFM dalam pertemuan pleno ini. Untuk mempermudah, tadi sebelum istirahat, ada beberapa pertanyaan kunci. Ini sebagai tindak lanjut dari pemamaparan para narasumber tadi pagi sampai siang tadi.

Jadi kalau berbicara tentang kelembagaan dan program untuk CBFM, ada beberapa pertanyaan kunci :

  1. tentang bagaimana kelembagaan CBFM ini implementatif baik di tingkat nasional, propinsi, maupun juga kabupaten.
  2. Apa yang harus dirumuskan dan diperlakukan, baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten untuk mendukung kelembagaan CBFM.
  3. Prioritas kelembagaan dan kebijakan dalam jangka pangjang dan juga jangka pendek sehingga bisa operasional., dan diimplementasikan. Ini penting karena jangan hanya membuatnya secara ideal saja
  4. Program-program apa saja yang perlu dikembangkan untuk CBFM di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten.
    Baik kita mau diskusi yang mana dulu?

Agus

Terima kasih. Kalau berbicara tentang kelembagaan, kita harus memahami dulu tentang CBFM. Saya sendiri sebenarnya kurang sreg dengan istilahCBFM dalam bahasa Inggris, kalau untuk institusi di kita kok kurang pas. Untuk tingkat nasional saya kira mungkin lebih pas disebut pokja atau forum atau apalah untuk pemberdayaan masyarakat, misalnya pokja pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, daripada pokja CBFM. Itu pun tidak hanya di tingkat nasional tapi juga kabupaten maupun juga propinsi. Saya pikir langkah jangka pendek yang bisa lakukan untuk jangka pendek, karena kalau bicara jangka panjang itu masih sulit. Karena sepengetahuan saya juga ada usulan membentuk Ditjen sumber daya masyarakat sekita hutan. Ini hanya sekedar usulan, untuk mendorong sesuatu yang sudah ada, bergulir, dan kita tidak perlu memulai dari awal.
Mungkin itu saran saya, terima kasih.

Fasilitator

Ada tanggapan lain. Usulannya konrit, ada 1 pokja pemberdayaan di tingkat masyarakat di tingkat kabupaten, propinsi, dan nasional.

Usep

Saya usulanya juga pemberdayaan, tapi takutnya adalah, kalau di daerah nanti bentrok lagi dengan badan pemberdayaan masyarakat, tidak mengenal di luar hutan maupun di dalam hutan. Ini hanya ingin mengajak mereka kerja bersama.
Kami di Kuningan punya 2 lembaga yang merupakan kolaborasi, ada yang namanya forum dan ada yang mirip dengan pokja, yang tidak terikat dengan jabatan. Karena kalau di daerah sudah bicara jabatan, itu yang agak repot. Wadahnya para pejabat ada di atasnya. Ini yang saya harap di atas pun sama. Di daerah seperti itu, mungkin di prop juga tidak begitu jauh berbeda, tapi kalau mereka mungkin lebih pokja, karena akan lebih mefasilitasi orang-orang di Kabupaten nantinya. Kalau di Jakartanya saya bermimpi bagaimana antar departemennya solid, itu sudah bagus, apalagi kalau mengajak institusi yang lain. Terserah nama programnya apa, tetapi tolong diseragamkan di tiap daerah.
Itu saja, terima kasih.

Fasilitator

Catatan Kang Usep tadi hampir sama dengan i yang dikatakan pak Hariyadi tadi pagi, bahwa CBFM di tiap daerah itu berbeda-beda, tetapi bagaimana kita mensiasatinya. Tetapi usulannya mas Agus tadi lebih konkrit bagaimana dibentuknya pokja di pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Ada tanggapan lain berkaitan dengan kelembagaan.

Yayan/mahasiswa

Menyangkut kelembagaan, bahwa harus menjadikan masyarakat sebagai subyek juga, sebenarnya seperti pertemuan beberapa waktu lalu dengan perum Perhutani tentang PHBM nya, siapa yang representatif untuk mengatakan bahwa lembaga yang dibentuk oleh banyak orang itu adalah orang-orang yang berhak untuk menerima hasil hutan itu. Jangan-jangan masyarakat hanya ikut, ketika kelebagaan itu ditetapkan. Apakah pelibatan itu dari awal perencanaan atau setelah program itu ditetapkan? Jangan sampai kelembagaan yang dibentuk sebenarnya bukan masyarakat yang membutuhkan tapi ternyata elit-elit lokal saja.
Itu saja, terima kasih.

Fasilitator

Ini ada catatan/direfleksikan dari teman-teman yang sudah turun di lapangan tentang CBFM di berbagai tempat. Nah kira-kira usulan tentang kelembagaan ini bagaimana, baik di tingkat nasional , isinya siapa saja. Saya usul agar semua terlibat dan partisipatif, maka (diedarkan metaplan), saya kira dari tingkat nasional dulu. Ok ada usulan, di tingkat nasional namanya apa, unsur-unsurnyanya siapa saja, dan pada saat kita menuliskan agak realitis dengan kondisi yang ada, faktual yang terjadi. Siapa yang terlibat dari kehutanan dan para pihak lainnya.
Saya mendapat sedikit catatan, bagaimana jika ini di-linkkan dengan kelembagaan yang baru saja terbentuk, hasil KKI

(metaplan di kumpulkan/ditempel dan dibacakan)

Ternyata sampai saat ini ada 3 penamaan, kelompok kerja, forum, badan. Nah ini nanti dikaitkan dengan internal kehutanan, ini bagaimana? Bagaimana mencangkokkannya.

Peserta

Jangan mencangkokkan

Fasilitator

Bagaimana, ini ada yang bilang jangan mencangkokan, jadi badan ini otonom..

Peserta

Saya kira ini jangan mencangkokkan, tapi ini adalah suatu kolaborasi, sisi huta itu utuh dengan lingkungan sekitar. Kita upayakan setiap departemen satu fokus itu. Karena kalau mencangkokkan, maka kehutanan sendiri yang besar perannya, sementara kita juga harus melihat dalam permasalahan hutan juga ada masalah pendidikan, dsb.

Fasilitator

Terima kasih atas masukannya. Tetapi kita juga harus realitis, Jangankan antar departemen, inter departemen saja, antar pihak yang didalam departemen itu , bagaimana menginternalisasikan di dalam departemen kehutanan ini sendiri secara kelembagaan sulit. Jadi kita harus agak sedikit realitis melihanya, karena ini kita berbicara janga pendek, panjang, karena yang sudah pasti itu di Dephut, di UU Kehutanannya jelas, seperti yang dikatakan Pak Taryo tadi, di dalam jangka panjangnya juga jelas, sehingga ada suatu framework yang jelas dan pasti di sana. Kita akan melihat nanti, itu yang mencadi catatannya.

Peserta

Memang benar. Tapi ditingkat pelaksanaan memang itu baru saja terbentuk, tapi di beberapa tempat itu sudah dilaksanakan, bagaimana misalnya dengan Dinas Pendidikan, Dinas Pertambangan, karena saya melihat dari perjalanan saya dari NTT sampai Sumatera.
Terima kasih.

Fasilitator

Baik. Ini jadi catatan tersendiri.

Perwakilan HPH Pati

Mungkin dari sekian ita bisa menjelaskan bedanya apa itu pokja, forum, badan, sebelum kita memutuskan.
Tadi saya menuliskan forum. Kenapa?
Ini adalah suatu wadah yang biasanya mewadahi lembaga-lembaga dan indpenden, yang tugasnya sebagai dinamisator, fasilitator, katalisator /mempercepat, motivator. Karena forum ini memang bukan eksekutor. Tetapi bagaimana kita mengawal itu, kebetulan saya dari HPH Pati, di sana sudah jalan, di sana ada Forum Muria Hijau. Di sana kita sangat multi pihak, terutama dari yang pengusahanya. Kenapa mereka, karena air yang diperlukan mereka. Yang jelas anggotanya adalah, yang konsen tentang bagaimana Muria itu hijau.

Fasilitator

Baik, siapa yang mengusulkan forum, pokja?

Agus

Baik, terima kasih. Saya melihatnya jangka pendek, sehingga mengusulkan pokja dulu bukan forum. Karena itu yang akan menyiapkan segala sesuatunya, ntah itu AD/ART, aturan-aturan yang mengikat. Karena kalau langsung forum ada beberapa kendala yang menghambat dalam pelaksanaannya. Karena dalam suatu pikiran saya suatu institusi perlu semacam anggaran yang dibutuhkan. Kalau di DepHut kebetulan ada usulan dibentuk Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Hutan, maka pemikiran saya, numpang Ditjen dulu, dan akan lebih mudah kalau nanti akan membentuk forum. Sehingga dibentuk pokja dulu baru forum. Terima kasih

Usep

Saya ingin cerita pengalaman. Kedua-duanya punya kelebihan dan kekurangannya. Pokja tanpa diimbang forum juga akan bahaya. Karena kalau pengambil keputusan itu jarang yang mau di Pokja. Namun Pokja ini kan seperti second line-nya, minimal kalau dibina di daerah, bisalah. Tapi kalau yang untuk yang eksekutor di Departemen itu yang Ditjen, tetapi kalau yang daerah kan langsung ke Pak Bupatinya. Maksud saya kalau emang di jangka pendek,1 tahun mungkin pokja, kemudian untuk menyangkut ke kewenangan yang lebih tinggi mungkin bisa dibawa ke Ditjen. Jadi kedua-duanya ketemu, baik forum maupun pokja. Forum saya kira juga kadang hanya berlangsung 1-2 tahun saja. Jadinya dua-duanya harus ada. Kalau forum adalah yang mewakili kepala dinasnya, tetapi secara konkrit di pokja. Terima kasih.

Fasilitator

Yang badan, siapa?

Sudrajat

Assalamualaikum Wb Wr.  Kalau kita bicara pengentasan masyarakat miskin di sekitar hutan ini rumit. Saya melihatnada SKB 6 menteri untuk mengatasi ini, saya kurang tahu, nasibnya bagaimana, itu sekitar 1 tahun lalu.

Tadi juga mengevaluasi di level departrmen, yang paling gencar ngurusi CBFM itu RLPS. Terus departemen menyadari, ditandai dengan Menhut minta beberapa orang untuk membentuk suatu institusi yang cocok untuk CBFM, seperti yang dikatakan Kang Agus tadi ada Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Jadi ada wadah yang terkoordinasi. Sekarang yang menangani CBFM konteks pemberdayaan masyarakat ada di BPK, RLPS, Planologi, dsb.

Artinya ada suatu pekerjaan besar, kelompok-kelompok yang bermain CBFM itu ada 10 ribu kelompok masyarakat, tapi itupun 1% belum ada yang jadi milioner, beda dengan HPH.Tapi yang jelas ini berarti ada pekerjaan besar di tingkat ditjen. Saya setuju, tadi dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat sekitar hutan juga tidak cuman tugas Departemen Kehutanan. Jadi tugas kita di sini, bagaimana beberapa orang mewakili untuk memberikan mandat, yang memberikan nilai politis, tidak hanya sekedar rekomendasi. Boleh juga forum atau kelompok kerja. Itu saja sedikit informasi dari saya. Terima kasih.

Fasilitator

Baik, silakan bagi yang mengusulkan badan. Ada pertanyaan apa bedanya : kelompok kerja, forum, badan dan lembaga
Lembaga di bawah CBFM ini juga perlu kita pertanyakan, apa maksudnya. Silakan.

Sutaryo

Sebelumnya saya ingin tanya dulu, kita ini tujuannya apa. Apa yang kita harapkan, dan menempatkan di mana kita punya posisi, sehingga kita bisa memilih apakah pokja, forum , badan, atau lembaga. Apakah kita ingin mengawal dinamika CBFM sepanjang masa, atau apa, atau memberikan masukan-masukan ke perintah.

Untuk tujuan seperti itu saya kira forum lebih bagus. Kalau pokja itu sesuatu yang dihasilkan dorongan forum. Kalau badan itu sebagai tandingan departemen. Itu saran saya.

Fasilitator

Jadi sarannya pak Taryo hampir sama dengan pak Usep. Yakni bentuk forum dulu, jika dibutuhkan sesuatu yang lebih operasional adalah pokja. Jadi pemangku kewenangannya di forum. Bagaimana?

Erna
Saya kira forum lebih tepat, dan jangan eklusif, inklusif, siapa saja bisa masuk. Dan forum itu bisa menjadi hasil pemikiran bersama, kita bisa berkumpul di sana, juga berita baik dan buruk juga. Kita mencoba mengangkat sesuatu yang baik untuk disebarluaskan. Karena KKI sudah melahirkan Dewan Kehutanan Nasional dan cukup kuat, bagaimana kalau forum ini dikelola DKN.
Terima kasih.

Fasilitator

Ini tadi usulan mbak Erna. Bgaimana forum kemudian ini langsung dikelola oleh DKN yang sudah ada, yang sudah ada kamar-kamarnya. Kalau setuju forum, apakah ini setuju untuk dijadikan satu ke DKN nantinya, atau bagaimana, karena lebih sinergis. Kemudian tentang masalah keanggotaan yang inklusif.

Ibu Wahyu

Kalau saya pribadi kurang setuju kalau dikelola oleh DKN. Apapun nati namanya tadi tidak dikelola oleh DKN, terpisah, jadi lebih fokus.

Fasilitator

Jadi ini usulannya adalah terpisah, agar lebih fokus, yakni forum khusus pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Bagaimana

Peserta

Saya setuju dengan ibu tadi (wahyu). Karena DKN ini beda dengan CBFM, kalau kita berbicara tentang DKN maka lebih banyak berbicara tentang Kehutanan saja, tapi kalau berbicara tentang CBFM, sudah ikut terintegrasi dengan hutan itu. Karena kita juga ingin mengintegrasikan setiap departemen, maka kalau bisa saya usul, kita bentuk sebuah badan / balai yang disitu ada beberapa departemen ,yang diturunkan ke propinsi yang juga akan melibatkan semua pihak, terus di tingkat bawah pokja.

Jadi di tingkat atas ini ada balai yang di situ ada beberapa departemen, yang juga bisa berbicara di level kebijakan, tidak cuman di tingkat bawah, jadi setiap departemen punya persepsi yang sama soal hutan itu dan integrasinya.

Fasilitator

Yang lain…

Peserta

Terima kasih. Saya sepakat bahwa forum itu bordernya itu lebih tipis daripada pokja. Saya setuju dgn ibu tadi (wahyu) , belum apa-apa jangan kita ada stirnya di DKN, dibelakangnya DKN. CBFM di sini sebenarnya tujuannya mau kemana? Sehingga ketika kita bicara forum, pokja, dll, jangan-jangan kita hanya ingin inklusifisme. Sehingga satu hal, Dephut tidak mungkin bekerja sendiri dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ini, jadi bagaimana fungsi forum bisa menjadi mediator. Tetapi kalau forum, akan lebih sinergis, simultan menggandeng semuanya, dan akan membentuk masing-masing pokja. Artinya ke depan kita akan menemukan relnyna CBFM dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan.

Artinya CBFM di situ, F-nya justru jarang kita sentuh. Saya kira kalau forumnya bordernya semakin tipis, sehingga semua bisa masuk. Kalau sudah pokja, kendala di antara mereka interest-interest maka akan bubar.

Fasilitator

Jadi semakin mengerucut. Setelah dua ini kita langsung menyepakati.

Peserta

Kemaren ketua MPR sudah datang, pesannyajelas, bahwa pekan raya ini untuk masyarakat di sekitar hutan. Saya hanya menambah satu, tentang kondisi masyarakat sekitar hutan. Kalau kita lihat beberapa pihak di pemerintah punya program pengentasan kemiskinan, maka saya kira hanya bisa dengan CBFM.

Fasilitator

Terima kasih. Saya kira ini berkaitan strategi waktu. Tentang usulan komisi, ini juga berkaitan dengan anggaran, kondisi anggaran di masa sekarang, karena belum jelas. Sebenarnya tadi sudah sangat mengerucut , yakni forum pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Kalau itu dispakati, kita membicarakann seperti usul mbak Erna itu nantinya inklusf, siapa yang terlibat dalam forum itu.

Peserta

Saya hanya ingin bercerita sedikit. Di tempat saya bekerja, ada forum Jati, di situ ada multi pihak.
Ternyata di sana harus punya host, sharing cost. saya kira bagaimana kalau mengusulkan ini berawal dari RLPS, bagaimana kalau kembali ke RLPS. Yang penting bagi saya forum ini bisa menganulir hal-hal yang sangat ideologis, yang penting sampai ke comunitynya.

Fasilitator.

Gimana bisa kita sepakati, menjadi forum.

Erna

Saya kira ini forum bersama. Kalau dananya dari RLPS, ini menjadi forum RLPS. Tapi itu bisa saja, terserah. Saya menginformasikan tentang DKN, setahu saya DKN ini biayanya akan dimasukkan ke APBN, nah kita lihat saja apakah akan berjalan apa yang dicita-citakankan ini akan berhasil. Dan sepertinya di sana akan ada ruang untuk membentuk forum, baik ada atau tidak ada kita.

Fasilitator

Kalau ini forum bersama, kolaborasi maka pembiayaan, benefit juga harus ditanggung bersama. Yang penting adalah harus ada hostnya, seperti yang dikatakan Pak Hariadi tadi pagi, harus ada yang mensinkronkan. Karena selama prakteknya sudah dilakukanRLPS, maka bagaimana kalau hostnya RLPS?
Ada usulan lain?

Peserta

Leading sektornya menurut saya terserah, tapi ide seperti ini yang muncul dalam workshop kemaren itu ada berbagai pihak. Artinya sudah menghabiskan dana banyak. Tetapi kayaknya mereka jalannya sendiri-sendiri, padahal goalnya mungkin sama, untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Bagaimana ada koordinasi antara pihak. Sehingga pertemuan ini ada tujuan yang sama. Atau menjadi satu korektor. Disitulah fungsi forum, jadi satu mediator, korektor, dsb.
Mungkin nanti di satu pertemuan nanti disepkati,siapa anggotanya, mengerucut, tujuannya sama, masalah dana, saya kira masing-masing institusi ada alokasi untuk itu.
Jadi efektifitas waktu di sini, kita sepakat namanya apa, siapa yang akan menjadi teman sejawatnya, leading sektornya itu akan menjadi bahasan lebih lanjut.
Terima kasih.

Fasilitator

Jadi tadi ada usulan bahwa forum pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, tapi dilinkan ke DKN, supaya itu bukan merupakan pekerjaan terpisah, tapi ada yang berpendapat juga justru terpisah , agar lebih fokus.
Ada tanggapan? Silakan Pak.

Hariadi

Tanggapannya, mungkin perspektif kita dulu terhadap DKN, DKN itu sendiri secara formal kan belum ada.

Kemarin konggres Presidium Indonesia membentuk itu/DKN dan ada 5 orang usulan yang memenuhi kkompetensi tertentu, supaya semua ini betul-betul jalan. Tentu saja sesuai yang saya sampaikan tadi pagi, dalam pembangunan hutan nasional, pasti DKN punya peran tertentu. Bagaimana mekanismenya. Di dalam 13 anggota presidium, ada 5 kamar, yakni, pemerintah/pemda, bisnis/BUMN, pengambil kebijakan, perhutani, masyarakat( akademisi/peneliti, lsm pemerhati).

Tiga yang pertama (pemerintah, bisnis, perhutani) adalah aktor utama di sini tentunya. Maka 3 ini pilarnya. Tentunya yang diharapkan setiap kamar punya agenda, sehingga kemudian disatukan disitu menjadi prioritas DKN. Tetapi bagaimana kawan-kawan, Bapak dan Ibu ketahui, segmen DKN ini sangat cair, bisa atas permintaan tertentu, ataupun level daerah. Nah dalam proses perubahan ini, bagaimana untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan itu ada pokja atau forum tetap ada. Nah bagaimana kolaborasinya dengan DKN, saya kira harus tahu apa yang akan dibawa, kemudian kita bagi-bagi segmen, karena sebagaimana kita ketahui, DKN ada 3 tugas pokok, (1) bersama –sama pemerintah memastikan kebijakannya sejalan dengan 5 kamar; 92) menghubungkan beberapa pihak yang selama ini hubungannya memang sebetulnya harus bagus; (3) membangun informasi tentang progran kerja kehutanan. Dari proses ini, tergantung fokusnya, kalau kita fokusnya ke Jawa, yakni pemberdayaan masyarakat, apakah menyangkut legalitas, mereposisi perhutani, atau apa? Di sini juga ada tantangannyanya.

Apakah juga kepastian-kepastian hubungan antar lembaga. Jika kemudian dalam prosesnya nanti, pemberdayaan masyarakat sebagai agendanya besok, belum bisa dibicarakan saat ini, untuk memastikan poisi ini. Sesuai dengan itu, kalau ada mandat dari forum ini sebenarnya penting. Nah ini juga menjadi ajang kita semua bagaimana sebetulnya DKN itu mengambil keputusan. Secara taktisnya, sara kira kita semua sudah tahu, substasinya itu akan dibawa dalam agenda di DKN..

Fasilitator

Jadi forum ini bisa bekerjasama dengan DKN. Ini suatu forum yang independen, bisa bekerjasama dengan DKN. Kemudian tadi dikatakan Pak Hariadi, forum ini sendiri harus punya program, kemudian policy, hubungan antar lembaganya sendiri
Tadi ada usulan, dari forum ini salah satu programnya adalah untuk mengurangi deforestasi. Kalau forum ini inklusif, lalu seinklusif apa?
Lalu siapa yang masuk forum, bagaimana keanggotaannya. Ada usulan?

Ibu Wahyu
Apakah kita akan membicarakan keanggotaan inklusif secara detail atau prinsip-prinsipnya saja?

Fasilitator
Itu tadi pertanyaan dari Ibu Wahyu, Bagaimana? Apakah ini nanti akan kita bicarakan nanti saja. Setuju?

Peserta
Iya

Fasilitator
Tadi ada pertanyaan. Ok ini namanya forum, lalu bagaimana dengan legitimasi, apakah penting, jika penting maka harus mencantolkan ke satu program.
Bagaimana?

Peserta
Menurut saya forum ini sudah mengerucut untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, inklusif. Yang penting sekarang ini siapa yang akan mengawal prosesnya.

Fasilitator
Baik, dirasa cukup. Ada usulan.

Sutaryo.
Tujuan dari forum ini sebenarnya apa?

Agus
Ini kalau saya mengusulkan pokja itu adalah semacam tim kecil yang merumuskan tujuannya apa. Misalnya untuk mengurangi kemiskinan di sekitar hutan.

Yuyuk
Kalau tujuannya untuk deforestasi ini sangat luas. Mengurangi kemiskinan masyarakat hutan itu itu juga bagus, tapi bagaimana kalau mengerucut. Kalau tim kecil pokja, saya kira kurang setuju, saya kira dephutlah, agar tidak terkotak lagi.

Fasilitator
Tadi merujuk ke makalah pak Hariadi tadi pagi, bagaimana dengan RLPS, dan juga bagaimana keberadaan Ditjen. Mengenai deforestisasi itu ketika bicara CBFM, justru isu hutannya belum masuk ditarget ini.
Ada usulan lagi.

Peserta

Sebenarnya berbicara pemberdayaan masyarakat, bagaimana menekankan link komunitas di sekitarnya dengan hutan. Mengurangi kemiskinan masyarakat hutan, adalah bagaimana melinkkan ini. Jadi kembali lagi tentang tim kecil, adalah apa yang real bisa mewadahi itu. Bagaimana membuat jaringan.
Dilakukan kajian terhadap masyarakat hutan, yang hasil2nya disampaikan ke instansi yang terkait. Jadi saya kira jangan salah sasaran. Melalui forum ini berbicara CBFM bisa sinergi, match.

Fasilitator

Baik. Kalau sudah kita sepakati, siapa yang akan menjadi tim kecil untuk mendaklanjuti, dan memformulasikan hasil hari ini. Kalau mau inklusif, maka dari beberapa pihak masuk.

Agus.

Saya pikir bukan harus personnya, tetapi bisa saja elemen2nya perhutani, masyarakat, dephut, akademisi, lsm.

Panitia.

Jadi karena ini mau diajukan ke Menhut, harus konkrit, siapa personnya.

Fasilitator Perwakilan

Dep hut : Ibu Erna
Perhutani : Bapak Taufik
Akademisi : Ibu Wahyu
Lsm : NTB-hendri
Masyarakat sekitar hutan : Sukoco/wonosobo
Pengusaha : Servasius
Pemda : Adi –sumba dan Usep-kuningan

Agus

Saya kiraprogram CBFM ini dikaitkan dengan program nasional, pengentasan kemiskinan.

Erna

Bagaimana mempersiapkan forum, karena orangnya dimana-mana. Forum itu dibentuk kan seperti organisasi, yang perlu pertemuan-pertemuan?

Fasilitator

Jadi usulan pak Agus, forum ini disepakati, untuk itu dibentuk tim kecil yang merumuskan di sini.
Catatannya adalah forum itu juga harus ada yang mengawal. Nah ini mungkin bisa didiskusikan oleh tim kecil untuk merekomendasi.
Ada yang lain.

Peserta

Melihat lagi tujuan forum ini, sebagai fasilitator, mediator. Bisakah forum melakukan seperti ini. Saya kira yang bisa hanya koordinasi, yang melaksanakan perwakilan saja, atau mungkin juga RLPS.

Yuyuk

Bukan forum menciptakan itu, hanya menfasilitasi mendorong pengentasan kemiskinan. Jadi hanya substansinya saja.

Fasilitator

Baik, kalau tidak lagi, kita sudah menyepakati adanya tim kecil dalam workshop ini, semoga bisa bermanfaat. Terima kasih.

Nb : hasil tulisan metaplan terlampir dalam file lain

_____ ***____

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.