Kelembagaan DAS

Hunggul Yudono SHN dan Iwanuddin

KELEMBAGAAN DAN NILAI AIR DAS Mulai Dari Yang Kecil, Mulai dari Diri Sendiri dan Mulai Saat Ini (Pengalaman Dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja)

Oleh : Hunggul Yudono SHN dan Iwanuddin, Peneliti pada BP2TPDAS IBT, Makassar

PENDAHULUAN

Sumberdaya alam yang secara spasial terbagi habis ke dalam DAS/Sub DAS.dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, termasuk didalamnya penggunaan sumberdaya hutan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Demikian kalimat sakral yang tertuang dalam Undang-undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Makna yang tersurat dan tersirat adalah adanya kewajiban kepada kita semua untuk mengatur, mengelola dan memelihara sumberdaya hutan yang ada agar mampu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Akhir-akhir ini ketika bencana banjir, dan longsor terjadi dimana-mana seiring dengan datangnya curah hujan, kondisi DAS kembali mendapat perhatian. Ketika korban manusia berjatuhan, sarana-prasarana rusak, lahan pertanian hancur, DAS menjadi istilah yang paling sering muncul baik dalam diskusi-diskusi ilmiah maupun dalam berita-berita di koran. Buruknya pengelolaan das menjadi satu-satunya tertuduh.

Pengelolaan DAS menjadi isu yang semakin menarik dibicarakan sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan. Hal ini disebabkan karena pengertian DAS dalam kajian institusí adalah sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property). Kecenderungan pengelolaan DAS saat ini adalah terfragmentasinya pelaksanaan pengelolaannya oleh masing-masing daerah maupun sektor padahal didalamnya sarat dengan permasalahan yang membutuhkan penyelesaian yang dapat mengakomodir kepentingan berbagai pihak.

Dari sisi manfaat, yang seringkali digembar-gemborkan dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana DAS perlu dikelola dengan baik untuk mencegah bencana banjir dan kekeringan, mencegah tidak berfungsinya waduk, PLTA, dan banjir perkotaan. Perhatian pada pengelolaan DAS seringkali dimulai ketika investasi yang ditanamkan dalam pembangunan infrastruktur, – yang memberikan keuntungan kepada masyarakat di daerah hilir/perkotaan – terancam. Ancaman mungkin berasal dari aktivitas manusia maupun faktor alam, tetapi respon seringkali lebih ditujukan kepada pengendalian penggundulan hutan, aliran permukaan, dan erosi tanah melalui pendekatan biofisik atau melalui pendekatan hukum.

Kerusakan hutan yang terjadi sampai dengan saat ini seringkali menjadi ”tertuduh utama” dari terjadinya berbagai gangguan dalam sistem DAS seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Demikian pula dengan krisis energi saat ini, terutama energi listrik yang terjadi di sebagian wilayah Jawa, Bali, Sumatera maupun Sulawesi, hulu DAS kembali menjadi tumpuan kesalahan sekaligus harapan untuk menjamin kontinuitas suplai air bagi PLTA. Krisis listrik yang diperkirakan masih akan berlangsung lama, salah satu penyebab utamanya disebutkan sebagai akibat tidak berfungsinya secara optimal PLTA di berbagai daerah akibat pendangkalan waduk (sedimentasi) dan krisis suplai air dari hulu sebagai sumber tenaga.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi hutan di berbagai daerah yang berada di hulu DAS dari ke hari semakin merosot baik dalam luas maupun kualitasnya. Berbagai masalah gangguan hutan seperti perambahan hutan, dan penebangan liar nampak terlihat di berbagai kawasan hutan.

Salah satu penyebab utama yang ditengarai sebagai pemicu terjadinya tekanan masyarakat terhadap hulu DAS adalah kemiskinan dan minimnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian fungsi hutan. Kemiskinan merupakan potret umum masyarakat di bagian hulu di sekitar hutan. Aksesibilitas yang rendah, akses ke sumber-sumber perekonomian yang terbatas, dan pendidikan serta modal finansial yang pas-pasan merupakan karakteristik yang tergambar jelas. Dengan kondisi seperti, masyarakat terlihat sukar untuk menghindarkan diri dari ketergantungan sumber pendapatannya dari hutan dan lahan. Akibat kerusakan hutan dan pola hidup masyarakat hulu yang cenderung ”bertentangan” dengan kaidah pelestarian fungsi hulu dalam sistem DAS, hutan di hulu DAS dan masyarakat disekitarnya menjadi tertuduh yang seringkali tidak punya alibi. Kerusakan hutan dan pola masyarakat yang subsisten dalam mengelola lahan menjadi dakwaan yang sukar di bantah.

Sampai dengan saat ini kegiatan pengelolaan DAS baik pada tataran perencanaan, implementasi, maupun monitoring dan evaluasi, lebih sering hanya sampai pada tingkat DAS dan Sub DAS. Hal ini mungkin berkaitan dengan data yang tersedia, skala peta, maupun biaya,tenaga dan alokasi waktu. Nilai manfaat yang selalu dikembangkan adalah nilai manfaat yang penikmatnya adalah masyarakat di bagian tengah maupun hilir DAS. Nilai hasil air selalu dikaitkan dengan nilai untung rugi yang sampai ke hilir : PLTA, irigasi, PDAM, maupun banjir perkotaan. Perhatian ke nilai manfaat hasil air untuk masyarakat hulu sendiri jarang/tidak pernah menjadi perhatian. Hubungan antara hulu DAS (hutan) dengan masyarakat di sekitarnya/ di dalamnya yang muncul adalah hanya hubungan timbal balik negatif, – perambahan, pencurian, kebakaran, pemiskinan, dan lainnya. Tidak heran apabila pada level bawah (masyarakat), hampir tidak pernah ada hubungan antara hulu dan hilir. Bahkan dalam pikiran masyarakat hulu yang muncul adalah pikiran untuk apa saya menjaga hutan kalau hanya untuk menghasilkan manfaat yang hanya dirasakan masyarakat di hilir ?.

Demikian juga dengan kelembagaan. Berbagai lembaga yang terkait dengan pengelolaan DAS telah banyak dirintis, baik yang dibentuk oleh institusi pemerintah maupun non pemerintah/NGO namun harus diakui belum berjalan sebagaimana harapannya. Berbagai lembaga pengelolaan DAS yang ada saat ini dan umumnya dibentuk pada tataran DAS/Sub DAS belum menampakan hasil yang signifikan. Putusan-putusan yang dijadikan kebijakan bersama sebagai hasil kesepakatan dapat dikatakan hanya sampai pada level keputusan saja, tidak ada implementasi dan aksi nyata dilpangan yang nampak, kecuali rutinitas diskusi-diskusi formal diatas meja saja yang menunjukan exisnya lembaga tersebut dan menarik simpatik dan partisipasi untuk sebuah legitimasi atas keberadaannya. Kenyataan ditingkat operasional bahkan hampir tidak terlihat.

Salah satu Dai Kondang dari Bandung, AA Gymnastiar, dalam ceramahnya seringkali mengulang-ulang satu slogan yang pada dasarnya bisa digunakan oleh siapapun dan pada kegiatan apapun yang disebut sebagai 3 M ”Mulai dari diri sendiri, Mulai saat ini, Mulai dari yang kecil”. Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS, dengan semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan yang terjadi, slogan ini nampaknya menjadi sangat relevan untuk di gunakan. Dengan menggunakan pendekatan yang kecil-kecil, heterogenitas permasalahan dapat diakomodasi. Modal biaya, tenaga, dan waktu bisa menjadi lebih efisien.

Pada tulisan ini, disampaikan pengalaman mengelola DAS dalam skala mikro dengan mencipakan hubungan timbal balik positif antara hutan dan masyarakat yg didukung oleh kelembagaan mikro sesuai yang diminta oleh masyarakat, diterima masyarakat dan bermanfaat bagi masyarakat. Kelembagaan tersebut adalah kelembagaan yang tumbuh dari yang kecil, tumbuh dari keinginan diri sendiri, dan bagaimana dimulai pada saat ini.

Dalam tulisan ini, hulu DAS dan masyarakat di sekitarnya ditempatkan dalam posisi terhormat sebagai salah satu penentu baik tidaknya kondisi DAS, khususnya pelestarian daerah hulu dan fungsinya.

MUDHARAT DAN MANFAAT

Tuntunan Tuhan Maha Pencipta kepada mahluknya untuk senantiasa berbuat baik dan bijaksana dalam berhubungan dengan lingkungan dianjurkan pada semua ajaran agama dimuka bumi ini, peringatan tuhan akan tuntutan itu pun selalu datang tanpa disadari dan tidak hanya kepada mereka yang berbuat kemudharatan/kerusakan saja. Tetapi manusia tidak juga pernah sadar untuk lebih bijaksana bersahabat dengan alamnya karena bencana yang kecil-kecil itu dianggap biasa dan wajar terjadi dan yang lebih memprihatinkan bila manusia justru mengkambinghitmkan ”Tuhan” karena telah menciptaan bencana bagi mereka. Padahal apa yang dihadapi itu (bencana) adalah kesetiaan dan sebuah penghormatan alam kepada manusia terhadap undangan yang telah kita berikan berupa kerusakan hutan.

Setiap agama besar di dunia telah mengajarkan kepada kita bagaimana lingkungan hidup ini harus di kelola.

Manusia dan alam semesta diciptakan dimuka bumi ini oleh Allah, dimana manusia bertugas membangun dan memelihara alam semesta ini agar dapat hidup sejahtera dan lestari berdampingan. Penjelasan ini ditegaskan secara tersurat melalui firmaNya dalam Al_Quran surah Hud; 61, Dia (allah) yang telah menciptakan kamu sekalian dari tanah (Bumi) dan menjadikan kalian sebagai pemakmurnya.

Keserakahan manusia telah meninggalkan bekas berupa tanah kosong, tanah gundul, padang alang-alang, bahkan padang pasir sekalipun sebagai akaibat pemanfaatan yang salah, pada akhirnya akan mewariskan sumberdaya alam yang telah rusak pada generasi yang akan datang yang nantinya juga akan semakin sengsara hidup tanpa dukungan sumberdaya alam.

Dalam peradaban manusia saat ini, jauh sebelumnya tuhan telah mengingatkan manusia dalam berbagai firmannya misalnya dalam Ar-Rum, 41 ”telah tampak kerusakan dimuka bumi (di darat dan di laut) karena ulah dan perbuatan tangan manusia. Artinya sesungguhnya bencana alam yang datang silih berganti bukanlah kiriman tuhan semesta alam, tetapi itu merupakan buah dari perlakuan manusia terhadap alam yang tidak bijaksana .

Tuhan itu adalah sebaik-baik pencipta, semua yang telah diciptakan dan diaturnya tidak ada yang sia-sia dan memiliki arti yang besar bagi umatnya. dengan logika sederhana, tuhan telah mengatur semuanya, misalnya, Tuhan menganjurkan kita, bila menebang pohon, maka tebanglah pada tempat yang Allah telah sediakan, tempatnya tidak sulit untuk dijangkau, artinya, tempat itu lerengnya masih landai tidak lebih dari 15 derajat, tetapi ketika Allah menempatkan pohon itu pada tempat yang sangat sulit kita jangkau misalnya di lereng gunung yang kemiringannya terjal dan curam (30 derajat keatas), seharusnya kita paham bahwa itu memang bukan untuk kita rusak, ada manfaat lain yang lebih besar yang bisa kita peroleh dari pada harus susah payah memperolehnya dengan menebang.

Pada peringatan Hari Waisak tahun 2006 di dalam pesawat Lion jurusan Makasar-Jakarta, di dalam kantung kursi pesawat, penulis membaca sebuah buku yang di tulis oleh salah satu pendeta Budha di Indonesia. Dalam buku itu tertulis : Apabila makan sudah menjadi kebutuhan, maka enak atau tidak enak tidak menjadi persoalan. Esensi dari pernyataan ini apabila di terapkan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam adalah : pendekatan kebutuhanlah yang harus kita gunakan dalam pengelolaan lingkungan, bukan keinginan.

Dalam tulisan mengenai Pemansan Global dan Perubahan Iklim yang dipersiapkan oleh Kelompok Kerja Pemanasan Global dari Para Promotor KPKC, Roma (Maret, 2002) ditulis bahwa dalam Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul ”Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen harus menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian essensial dari iman mereka. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke hormat dan takzim (St. Bonaventura : Sakramentalis Ciptaan).

Adakah untungnya dari menebang pohon dalam bentuk uang? Dalam hubungan ini adalah adanya arus pendapatan dan biaya atau yang lazim disebut laba-rugi. Contoh kecil, Sub DAS Mararin di kab Tana Toraja, Sulawesi Selatan memiliki potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang umumnya bergantung pada hasil hutan dan pertanian. Dahulu wilayah yang ada disana dipenuhi dengan tegakan pinus, lalu sebuah perusahaan kayu masuk dan membeli kayu-kayu milik masyarakat. dengan tawaran harga yang deberikan, 30 ribu rupiah untuk satu pohon pinus yang besar. Masyarakatpun tergiur dan menebang pohon-pohon tersebut. harga tersebut hanya dapat memenuhi ongkos transportasi satu orang masyarakat dari dan ke jalan poros utama kota Tana Toraja dan Makassar, untuk kebutuhan transportasi selanjutnya dan kebutuhan lainnya, masyarakat harus menjual lebih banyak dari tegakan-tegakan yang ada itu. Masyarakat yang akan membangun rumahpun kesulitan memperoleh ramuan rumah dari lingkungan sekitarnya, sehingga harus membelinya dengan Harga Rp.400.000,- s/d Rp.700.000,- perkubiknya. Padahal kayu yang telah mereka tebang dan jual mampu menghasilkan satu kubik bahkan lebih dari setiap pohonnya. Untung uangkah demikian?.

Contoh sederhana diatas seharusnya bisa memberikan kesadaran dan pemahaman yang lebih baik terhadap kita semua bahwa hutan itu adalah faktor ekonomi, sekalipun belum diambil isinya yang berupa kayu dia telah memiliki nilai bagi kesejahteraan manusia. Maka hutan yang tidak ditebangpun tetap memiliki nilai ekonomi, karena hutan yang masih utuh akan mampu menyeimbangkan lingkungan yang berdampak pada terselenggaranya kegiatan sektor perekonomian, usaha manusia berjalan lancar karena terbebas dari bencana banjir, energi listrik dapat terus dinikmati karena turbin dapat berputar oleh tekanan air yang stabil dan biaya-biaya eksternalitas dapat dinikmati.

Hikmah dari berbagai bencana yang datang berkaitan dengan keberadaan hutan semakin menguatkan pendapat bahwa hutan telah terbukti sebagai salah satu pilar pembangunan no forest no future” no forest no life. Kita dapat melihat kerusakan yang timbul akibat bencana alam seperti banjir, tanah longsor dsb, telah merusak sarana dan parasarana kehidupan, sumber-sumber ekonomi masyarakat hilang, kehidupan sosial masyarakatpun otomatis ikut terganggu. Untuk memperbaiki semua itu, tersedianya biaya yang amat besar menuntut untuk dapat terpenuhi sehingga mampu mendukung upaya itu, padahal pengeluaran biaya-biaya tersebut seharusnya dapat dinikmati bila kita mampu bertindak bijak dalam bersahabat dengan alam. Hutan memang memiliki fungsi yang sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan.

DARI BESAR KE KECIL, DARI HILIR KE HULU

Air sungai secara alami mengalir dari atas menuju bawah sesuai dengan kemiringan. Seluruh alam semesta terikat dengan hukum-hukum alam. Ketika bayi dilahirkan, laki-laki dan perempuan yang menghasilkan keturunan berubah menjadi bapak dan ibu. Pada saat itu rasa tanggungjawab langsung melekat ke dalam diri mereka. Anak seketika itu juga memperoleh cinta dan perhatian dari orangtua. Anak-anak eblum berdaya dan tidak mampu menolong dirinya sendiri, dan tanggungjawab itu diambil oleh orangtua. Hal tersebut secara alami terjadi, tanpa membutuhkan usaha khusus hanya berdasarkan cinta dan kasih sayang.

Apakah air membutuhkan upaya untuk mengalir dari atas menuju bawah sesuai dengan kemiringannya ? Pasti jawabannya adalah tidak. Tetapi sebaliknya, upaya keras akan sangat diperlukan ketika kita akan mengelirkan air dari hilir menuju hulu, dari bawah menuju atas. Mulai dari laut menuju gunung itu sangat sulit, demikian juga mengembalikan kemurnian air dari tercemar menjadi murni kembali merupakan hal yang sangat sulit.

Esensi dari narasi di atas adalah aliran kasih sayang dan rasa cinta dari orang tua ke anak adalah alami. Yang sangat sulit adalah mengalirkan cinta dan kasih sayang dari anak ke orangtua. Orang-orang yang memahami bahwa apapun kondisi mereka saat ini adalah buah dari pengorbanan orangtua mereka adalah orang-orang yang berbudi luhur. Intiplah/tengoklah ke dalam hati orangtua, dan disana masih tersimpan hartakarun dari segala berkat yang ribuan kali lebih berharga dari segala kekayaan duniawi (www.sanskar.net)

Analogi dengan hubungan antara hulu dan hilir. Air yang dialirkan dari hulu ke hilir oleh sebagian orang di hilir dianggap sebagai hal yg sudah semestinya terjadi, hal yang sudah alami terjadi. Sehingga perhatian dari hilir ke hulu seringkali hanya sampai pada tataran kebijakan dan kegiatan yang sifatnya formal. Begitu sulitnya menyadarkan masyarakat hilir untuk ”mencintai” hulu. Manfaat yang dinikmati hilir adalah natural/alami, demikian juga dengan ”kewajiban” hulu untuk menghasilkan manfaat adalah alami.

Tidak mengherankan bahwa hingga sampai dengan saat ini pengelolaan DAS dalam konteks hubungan antara hulu dan hilir baik menyangkut manfaat maupun kelembagaan hampir selalu hanya berakhir pada tataran konsep.

Nilai Air : Dari Hilir ke Hulu

Ketika demikian sulitnya upaya merealisasikan konsep kompensasi hilir hulu, seperti sama sulitnya menyuruh orang hulu menjaga hutan demi kepentingan orang hilir, maka paradigma manfaat yang harus dikembangkan dalam pengelolaan DAS adalah : Kelola hutan untuk manfaatmu sendiri (hulu), apabila ada manfaatnya untuk orang lain (hilir) itu adalah pahala tambahan dari Tuhan YME. Ini bisa dilakukan apabila kita bekerja pada level micro.

Dalam konsep ini kecil-kecil tapi banyak akan menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan besar tetapi sedikit.

Salah satu yang diharapkan menjadi ”kunci” dari konsep di atas adalah apabila hutan mampu memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Manfaat yang dihasilkan adalah manfaat yang harus bisa dirasakan langsung oleh masyarakat (masyarakat hulu) itu sendiri.

Pada umumnya manfaat utama yang mudah diterima dan dimengerti masyarakat dan secara langsung dapat dinikmati adalah kayu. Tetapi seringkali pengambilan kayu oleh masyarakat tanpa  dibarengi dengan pemahaman yang baik mengenai pentingnya kelestarian, sehingga justru menimbulkan dampak negatif yang mengancam kelestarian fungsi hutan. Pengembangan pemahaman mengenai manfaat alternatif lain di luar kayu kepada masyarakat pada saat ini menjadi kebutuhan yang strategis. Manfaat yang tidak hanya didengar, atau dilihat tetapi juga langsung bisa dirasakan.

0g1

Gambar 1. Unit Microhydro electrik di DAS Mararin

Pada tahun 2004, BP2TPDAS IBT (Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bgian Timur) membangun model pengelolaan hutan bersama masyarakat (Community Based Forest Management/ CBFM ) di lokasi Sub DAS Mararin, bagian hulu dari DAS Saddang Hulu dengan kegiatan awal sebagai pemicu yaitu pembangunan mikrohydro electric yang difungsikan sebagai perekat masyarakat dan hutan.

Sampai dengan pertengahan tahun 2006, konsep yang dikembangkan bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kontinuitas turbin, aktivitas kelompok, perubahan persepsi dan pemahaman masyarakat mengenai hutan dan fungsinya menunjukkan perkembangan yang baik. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam membgun DAS mikro Mararin adalah melalui PAR (Participatory Action Research). Dalam pendekatan ini masyarakat diajak untuk memahami diri sendiri dan potensi yg dimilikinya untuk bersama-sama merancang, melaksanakan, mengevaluasi, dan merencanakan kembali kegiatan yang mereka butuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Proses ini dilaksanakan secara simultan dalam siklus yang terus menerus dengan penbinaan dan pendampingan peneliti-peneliti BP2TPDAS IBT.

Ide awal dari pelaksanan kegiatan adalah dari hasil pengamatan kondidi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di DAS Mararin. Hutan di DAS Mararin sebagian besar adalah hutan produksi dan hutan lindung. Hutan produksi yang ada merupakan tegakan pinus hasil inpres reboisasi dan penghijauan antara akhir tahun 70’an sampai dengan awal 80’an. Hutan produksi ini dikelola oleh PT Inhutani. Diluar kawasan hutan terdapat hak milik yang dikelola oleh masyarakat dalam bentuk hutan rakyat. Dari hasil pengamatan, pola pengusahaan hutan rakyat di Tana Toraja belum sesuai dengan konsep pengelolaan hutan rakyat yang benar yang mencerminkan keseimbangan antara aspek lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat.

0g2

Gambar 2. Areal Penebangan Pinus di DAS Mararin

Kondisi riil di lapangan menunjukkan sebagian besar kayu pinus dijual masyarakat kepada perusahaan pengolah kayu. Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal. Perusahaan membeli kayu dalam bentuk potongan kayu di lokasi penebangan. Segala biaya yang timbul dari mulai penebangan sampai dengan pengangkutan dihitung per volume kayu. Dengan demikian target hasil sebanyak-banyaknya per hari menjadi cara utama masyarakat maupun pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akibat yang timbul adalah kerusakan tanaman muda dan tanah dibawah tegakan akibat praktek penebangan dan penyaradan yang seenaknya. Demikian juga dengan alasan efisiensi transportasi, perusahaan membangun jalan-jalan akses ke lokasi penebangan tanpa memikirkan potensi dampak yang mungkin timbul terutama pada saat penghujan.

0g3

Gambar 3. Penggunaan air yang tidak efisien mengakibatkan longsor

Dari pengamatan di DAS Mararin selain masalah kerusakan hutan, terjadi banyak inefisiensi penggunaan air. Air yang tersedia sepanjang tahun tidak dimanfaatkan dengan baik. Saluran air tidak dipelihara dengan baik, sehingga air mengalir ke lahan dibawahnya.

Akibat lanjutannya adalah banyak lahan yang longsor akibat beban tanah di atas lapisan kedap. Longsoran ini disamping menghilangkan fungsi lahan juga menghasilkan sedimentasi dibagian hilir setiap tahunnya. Pada usahatani sawah juga terjadi inefisiensi air. Sawah selalu digenangi air sehingga produksi padi sangat kecil akibat kondisi tanah yang asam dan lapisan lumpur yang tebal .

Pemanfaatan air sungai yang berasal dari hutan untuk menghasilkan sumber tenaga listrik alternatif bagi masyarakat yang ada disekitar hutan merupakan salah satu kegiatan yang dapat menjawab permasalahan hubungan antara hutan dan masyarakat. Debit air sungai, yang merupakan pasokan air bagi penggerak turbin, tergantung dari kondisi hutan, bila kondisi hutan rusak, luasannya menurun dan penyebarannya tidak merata maka pasokan air tidak akan tersedia sepanjang tahun, pada musim penghujan berlebih tetapi pada musim kemarau berkurang sehingga turbin tidak dapat berputar. Dengan adanya manfaat yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung ini, diharapkan masyarakat akan berupaya menjaga keberadaan hutan demi kontinuitas hasil air sebagai sumber utama energi listrik mereka.

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

  1. Manfaat bagi pembangunan kehutanan
    • kelestarian hutan dapat dijaga
    • kekurangan biaya dan tenaga pengamanan hutan dapat diatasi
    • persepsi positif masyarakat mengenai hutan dan kehutanan akan meningkat
  2. Manfaat bagi masyarakat
    • listrik murah dapat diperoleh
    • akses informasi meningkat
    • waktu produktif untuk belajar dan mengembangkan usaha meningkat
    • kesejahteraan masyarakat meningkat
  3. Manfaat bagi pembangunan secara umum
    • efisiensi pemanfaatan sumberdaya air dapat ditingkatkan
    • frekuensi banjir dan kekeringan dapat diturunkan
    • sebagian krisis listrik dapat diatasi

Dalam pembangunan mikrohydro elektrik, dasar pemikiran yang digunakan adalah :

  1. dengan membangun unit-unit pembangkit listrik tenaga air skala kecil kesejahteraan masyarakat di bagian hulu dapat ditingkatkan
  2. dengan masyarakat melihat dan merasakan langsung hubungan antara hutan, hasil air, dan peningkatan kesejahteraan melalui listrik yang dihasilkan, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menjaga hutan
  3. dengan peran serta masyarakat, upaya pelestarian fungsi hutan akan lebih mudah, dan manfaatnya dapat dirasakan baik oleh masyarakat hulu maupun hilir, saat ini sampai akan datang

Untuk meningkatkan nilai ekonomi air, dalam pembangunan microhydro electric juga dilakukan pembuatan kolam-kolam ikan di dalam saluran terbuka antara inlet sampai dengan bak penenang sepanjg 2 km. Saluran sepanjang 2 kilometer di bagi-bagi menjadi 20 bagian masing-masing sepanjang ± 100 meter. Pada batas antara setiap bagian di pasang sekat dari kawat rang. Dengan adanya kawat rang ini air dapat tetap lewat dengan lancar, tetapi ikan yang di tanam di setiap bagian dapat tetap berada pada tempatnya. Pada tahap awal di setiap bagian kolam di tanam 200 bibit ikan nila. Pemeliharaan saluran diserahkan kepada pemilik lahan di kiri dan kanan setiap bagian kolam. Pemilik lahan di kiri dan kanan ini sekaligus juga sebagai pemilik dari ikan yang berada pada bagian saluran yang menjadi tanggung-jawabnya.

Dengan pola ini, diharapkan saluran air yang berfungsi sebagai saluran irigasi sekaligus saluran suplai air tenaga microhydro dapat terpelihara dengan baik. Dampak lainnya adalah potensi penggenangan dan longsor seperti yang sering terjadi sebelumnya tidak terjadi lagi. Kegiatan pemeliharaan saluran ini menjadi lebih menarik karena masyarakat/kelompok akan mendapatkan ”bayarannya” melalui manfaat langsung yaitu ikan, disamping lancarnya air irigasi dan suplai tenaga air untuk turbin. Kesejahteraan masyarakat ditingkatkan tidak hanya melalui listrik dan manfaatnya tetapi juga dengan pengkayan gizi masyarakat melalui hasil perikanan yang dikembangkan.

0g4

Gambar 4. Pembersihan dan pelebaran saluran Gambar

0g5

5. Pemasangan kawat rang sebgai batas/sekat antar kolam

0g6

Gambar 6. Kolam ikan di saluran air yang sudah siap di tanam ikan

Kelembagaan : Dari besar ke kecil

Salah satu semangat yang dikembangkan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam (SDA) adalah ”Think Globally, Act Locally” yang kira-kira bermakna dalam tataran perencanaan kita menggunakan pendekatan global (satuan DAS, dalam konteks pengelolan DAS terpadu), dan dalam tataran implementasi kita menggunan pendekatan lokal spesifik. Tidak saja dalam tataran pemikiran, dalam jangka waktu yang di buat dan data serta informasi yang dikumpulkan untuk bahan perencanaan, pada tingkat implementasi jangka waktunya lebih singkat (tahunan) dan data yang dikumpulkan lebih detail (ie. skala peta). Ketika berbicara masalah kelembagaan, semangat tersebut di atas sangat relevan untuk di pedomani.

Pentingnya kelembagaan dalam pengelolaan DAS sudah menjadi pengetahuan yang tidak lagi asing bagi para pengambil kuputusan maupun masyarakat akar rumput. Di berbagai tempat dibentuk lembaga maupun organisasi baik formal maupun informal yang jumlahnya bahkan sudah melebihi perbandingan dengan jumlah masyarakat.

Memahami suatu kelembagaan yang dapat dibentuk haruslah dipahami terlebih dahulu proses suatu lembaga dapat tumbuh, yang tidak lepas dari sifat dasar manusia sebagai mahluk sosial yang tidak terpisahkan dengan manusia maupun mahluk lainnya.

Lembaga merupakan fenomena yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya karena fungsinya menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat, melainkan juga berkaitan erat dengan pelbagai kebutuhan manusia. Konsep pertumbuhan sebuah lembaga tidak lepas dari sifat dasar manusia sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa memerlukan mahluk lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Ada beberapa pertimbangan yang akan dipakai untuk merumuskan pemilihan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan DAS, pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada pada setiap bentuk kelembagaan tersebut (kartodihadrjo, 2004).

a. Bentuk kelembagaan Polycentric adalah sistem yang menganggap individu sebagai dasar dari unit analisis, otoritas pokok yang dimiliki seseorang itulah yang di artikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi otoritas, otoritas tergantung dari bagaimana mempertemukan kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak (Kartodihardja, 2004). Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu; masing-masing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara, salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem Polycentric adalah; belum adanya saling percaya baik secara hierarki, maupun scara horizontal., lemahnya azas timbal balik, kurangnya arahan sentral dan permaslahan yang terlalu kompleks.

b. Bentuk kelembagaan Monocentric sistem ini otoritas terpusat di satu titik, hubungan antar anggota tidak setara, tetapi dibawah komando oleh pusat. Beberapa kelebihan sistem ini, sistem pengelolaan DAS adalah one river, one plan and multi management. Oleh karena itu perlu ada sentralisasi perencanaan. Ada arahan yang jelas dari pusat. Selain kelebihan,ada banyak kelemahan jika bentuk kelembagaan Monocentric yaitu; resentralisasi pengelolaan DAS hanya akan membentuk pengelolaan DAS sampai pada tataran formal, resentralisasi akan berakibat mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan adalah kerjasama dari mereka.

c. Bentuk kelembagaan Gabungan Polycentric dan Monocentric sistem ini merupakan kombinasi kedua bentuk lembaga Polycentric dan Monocentric artinya masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyususnan pola perencanaan dan pedoman monev.

Dalam tataran konsep (di atas kertas), bukan hal yang sulit untuk membangun sebuah lembaga. Baik formal maupun informal, serta lembaga besar maupun kecil. Sepanjang berpedoman pada metode yang umum, pembentukan lembaga tinggal persoalan waktu. Tetapi apabila berbicara mengenai efektifitas, berjalan atau tidak, lembaga nyata atau semu, statis atau dinamis, maka persoalan menjadi tidak sederhana.

Kembali ke persoalan besar dan kecil, dengan membangun lembaga DAS yang kecil dimana persolaan-persoalan yang ada sifatnya lebih homogen dan kecil, persolaan yang seringkali timbul dan menyebabkan pengelolaan DAS tidak berhasil dengan mulus dapat di selesaikan sebagian.

Terkait dengan itu, kelembagaan masyarakat di Sub DAS Mararin mungkin dapat menjadi inspirasi bagi para pengambil keputusan, pemerhati lingkungan, masyarakat luas dan berbagai pihak lainnya. Bagaimana sebuah lembaga yang kecil mampu eksis berada ditengah keterbatasan. Di Sub DAS Mararin dengan fasilitasi dari BPPTPDASIBT masyarakat membentuk sebuah kelompok tani hutan Rakyat, dengan susunan pengurus dan anggota dari mereka sendiri, sebelumnya lembaga sejenis juga pernah ada, bentukan dari penyuluh pertanian, tetapi tidak berjalan sebagimana harapannya. Lewat lembaga ini upaya merekatkan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang ada mampu terbangun. Masyarakat bersepakat untuk menjaga hutan yang ada, karena dengan hutan itulah masyarakat dapat menikmati hasil air berupa energi listrik dari sebuah pembangkit mikro hidro elektrik, produktivitas pertanian sawah yang meningkat karena irigasi yang optimal, keterpenuhan protein dari budidaya ikan (Agrosilfikultur) dan ternak yang dikandangakan dengan sumberpakan berupa rumput setaria yang diusahakan sebagi tanaman konservasi (Agrosilfovastura) serta pemenuhan vitamin dari dipersifikasi hasil pertanian melalui usaha agroforestry. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin bila nantinya akan melahirkan sebuah generasi baru dari sebuah perkawinan hutan dengan masyarakat, yang bernama ”HUTAN LESTARI MASYARAKAT SEJAHTERA”

Proses pembentukan kelembagaan dimulai dari kesadaran bersama akan pentingnya membangun kebersamaan. Embrio awal dari kelompok ini adalah kelompok masyarakat pengguna turbin. Karena menyadari bahwa turbin pembangkit listrik bisa kontinyu pemanfaatnnya apabila terpelihara, masyarakat sepakat untuk membentuk kelompok sebagai pengelola.

Pembentukan kelompok dilakukan sebelum pembangunan microhydro electric dimulai. Untuk mengoperasikan microhydro electric dibentuk kelompok yang berfungsi sebagai pengelola dan pemelihara turbin yang diharapkan dapat menjamin pasokan listrik yang lestari. Selain untuk menjamin kontinuitas turbin, pembentukan kelompok ini juga dimaksudkan sebagai “entry point” upaya pengamanan hutan. Kelompok dibentuk sendiri oleh masyarakat dan bertugas sesuai dengan hasil rapat kelompok.

Maksud dan tujuan pembentukan kelompok ini adalah untuk :

  1. mengelola pemanfaatan pembangkit listrik secara bersama-sama sehingga kontinuitas pemanfaatannya dapat terjamin.
  2. membentuk kelompok kader pelestari hutan swakarsa.

Seperti pada umumnya sebuah lembaga, dalam kelompok ini juga dibuat struktur organisasi serta aturan main. Struktur organisasi maupun aturan main yang disepakati didiskusikan dan diputuskan bersama oleh anggota kelompok. Aturan main berupa kewajiban-kewajiban anggota kelompok, besarnya iuran kelompok yang akan dipergunakan untuk pemeliharaan alat dan gotong royong dalam pemeliharaan unit pembangkit listrik seperti pembersihan saluran air, pintu air, bak penampung, dan lainnya. Dalam aturan ini juga dimunculkan sangsi terhadap pengingkaran kesepakatan. Sangsi ini diperlukan untuk tetap menjaga semua anggota kelompok berada di dalam koridor aturan main yang disepakati sehingga kontinuitas pemanfaatan listrik dapat terjaga.

Kontinuitas pemanfaatan pembangkit listrik terutama tergantung pada dua hal utama yaitu unit alat, dan suplai tenaga (kontinuitas hasil air). Unit alat berkaitan dengan umur pakai masing-masing komponen seperti dinamo, kincir, bearing penyangga, dan pipa. Pemeliharaan alat ini bahannya bisa dibiayai dari iuran anggota, sedangkan pengerjaan serta pemeliharaan dikerjakan secara swadaya gotong royong anggota kelompok.

Sedangkan yang berkaitan dengan suplai tenaga (kontinuitas hasil air), maka yang diperlukan adalah upaya bersama seluruh anggota kelompok untuk bersama-sama ikut serta menjaga hutan sebagai ”penghasil air”. Upaya tersebut bisa dalam bentuk aktif maupun pasif.

Upaya aktif berupa antara lain patroli bersama dengan aparat pemerintah (polsus, aparat desa) untuk mencegah pencurian kayu maupun kebakaran serta bentuk gangguan hutan lainnya, sedangkan upaya pasif adalah dengan mengurangi konsumsi kayu dari hutan. Konsumsi kayu dari hutan ini bisa dikompensasi secara perlahan dengan menanam kayu-kayuan pada lahan milik.

Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kelompok secara swadaya. Peran pemerintah terutama hanya dalam pembinaan dan pendampingan, serta bantuan seperti bibit tanaman kayu-kayuan berumur pendek untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan dan bahan bakar masyarakat. Peran ini akan semakin dikurangi dengan berjalannya waktu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan kemampuan masyarakat.

II. DARI MENOLAK KE MEMINTA

Dalam konsep DAS, hubungan hulu dan hilir memiliki elemen yang sangat kompleks, karena wilayah ini dapat terdiri beberapa wilayah administrasi pemerintahan yang didalamnya terdapat sektor/kepentingan serta keterkaitan yang erat satu dengan lainnya terhadap hasil air DAS baik menyangkut kuantitas dan kontinuitas maupun kualitas air DAS.

Hubungan saling ketergantungan antara wilayah hilir sebagai penerima manfaat dan juga kerugian dengan wilyah hulu sebagai sumber air, tidaklah selalu dipandang sebagai hubungan alamiah, tetapi lebih dari itu, juga harus dipandang sebagai hubungan sosial ekonomi. Sebagai contoh, secara alamiah kelangsungan aliran air dari sumbernya berupa mata air yang ada di daerah hulu yang digunakan untuk berbagai kepentingan didaerah hilir akan tetap ada bila kawasan penyangga daerah sumber (hulu DAS) tetap lestari keberadaannya, tetapi pada sisi yang lain, masyarakat yang ada (masyarakat hulu) juga membutuhkan penghidupan yang layak, dimana sebagian besar dari mereka sangat tergantung pada lahan dan hasil hutan disekitarnya. Apakah konsep insentif dan desinsentif dapat menjadi solusi.? Pertanyaan ini dapat dijawab ya, atau tidak tergantung pada kondisi yang ada. Sepanjang masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari hutan, keyakinan akan keberhasilannya akan semakin mantap, tetapi bila itu adalah sebaliknya, maka konsep ini hanya akan tinggal konsep yang ideal saja, tetapi sayang tidak implementatif.

Dimasa mendatang, pengelolaaan DAS diharapkan dapat dilaksanakan secara swakarsa dan swadaya tanpa mengandalkan dana dari pemerintah saja, untuk itu upaya tersebut dapat digerakkan oleh sebuah mekanisme insentif-desinsentif agar dapat melibatkan pihak-pihak terkait secara aktif. Mengingat degradasi hutan dan lahan tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor/sektor kehutanan disatu sisi, dan besarnya manfaat yang akan mungkin diperoleh masyarakat dari hamparan hutan yang lestari. Permasalahannya adalah siapa yang akan mengakomodir mekanisme tersebut, tentunya diperlukan sebuah kelembagaan yang mampu merepsentatasikan berbagi kepentingan yang ada.

Adalah benar,bahwa air dipermukaan bumi ini tidak pernah berkurang menurut teori hidrologi, akan tetapi pemahaman masyarakat akan potensi air yang selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, saat ini tidak lagi selalu betul, hal ini disebabkan karena potensi air juga dipengaruhi oleh kelestarian lingkungan yang ada sebagai penyangga tata air.

Masyarakat Sub DAS Mararin sejak dahulu telah hidup dalam satu ikatan kelembagaan, meskipun demikian kelembagaan ini hanya pada tataran pelaksanaan ritual adat, sebab telah ada dan lahir sejak peradaban mereka dimulai. Persoalan kelembagaan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alamnya belum banyak dikaji. Hubungan manusia/masyarakat dengan hutan masih terbatas pada larangan-larangan atas kesakralan keberadaan hutan ditempat-tempat tertentu belum sampai pada tataran logika ilmiah yang mampu menjelaskan secara gamblang hubungan ketergantungan dan sebab akibat antara keberadaan hutan dan manusia, bagaimana sumberdaya hutan tersebut sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia sebagai pengelolanya. Kelembagaan formal masa kini pernah menyentuh mereka, tetapi tidak sedikit dari mereka ikut hanya karena ikut-ikutan tanpa memahami dengan jelas substansi dari sebuah lembaga yang mereka anut. Selain itu juga ada yang membawa alasan asas manfaat sesaat, karena dengan adanya lembaga tersebut dan ikutnya mereka dalam bangunan lembaga ini akan mempermudah mendapatkan bantuan dan subsidi dari pemerintah. Tidak juga salah, tetapi tidak juga semua benar, sebab akan menumbuhkan pribadi-pribadi masyarakat yang manja dan tergantung pada subsidi pemerintah. Bahkan tidak sedikit pula yang justru menolak kehadiran lembaga-lembaga ini sebagai akibat pengalaman-pengalaman masa lalu. Semua ini terjadi karena lembaga yang ada, lahir bukan dari keinginan mereka, tetapi lebih kepada program formalitas lembaga-lembaga fungsional pemerintah. Penolakan seringkali timbul sebagai trauma masa lalu yang memunculkan pesimisme, skeptis, apriori terhadap kelembagaan yang dibangun dan difasilitasi pemerintah. Yang mereka pahami adalah kelembagaan yang dibangun selalu terkait dengan proyek, yang harus ada karena kepentingan proyek.

Lembaga yang ada saat ini benar-benar milik mereka bahkan tumbuh dari inisiatif mereka. Karena rekatan yang telah terbangun antara masyarakat dengan sumberdaya hutan akan tetap ada jika ada sebuah lembaga yang mengelolanya yang didalamnya adalah mereka senidri.

Apabila dahulu masyarakat ramai-ramai menolak untuk membangun sebuah kelembagaan apalagi yang diinisiasi oleh pemerintah, dengan pendekatan yang mengajarkan masyarakat untuk memahami diri sendiri dan potensinya sebagai dasar untuk merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan merencanakan kembali kegiatan yang menjadi kebutuhannya (prinsip PAR), masyarakat kini justru meminta untuk didampingi dan dibimbing sehingga kelompok mereka menjadi lebih dewasa.

Pada saat ini dengan mengetahui persis ”urat nadi” masyarakat, mengembangkan partisipasi masyarakat hulu untuk turut serta dalam membangun DAS bukan hal yang terlalu sulit, meskipun bukan berarti seperti membalik tangan. Untuk DAS Mararin urat nadi mereka adalah listrik dan kebutuhan protein. Untuk daerah lain ? …..

PENUTUP

Pada akhirnya, semua yang kita rencanakan, akan terlaksana bila ada semangat untuk itu, karena hanya dengan semangatlah kita akan memperoleh buah dari usaha kita. Untuk memperoleh semangat itu, maka perlu kesamaan persepsi dalam memandang semua bencana akibat kerusakan yang diperbuat kita sendiri dan menjadikannya motivasi bagi kita sebagai titik start dalam mencari sebuah solusi yang bijak bagi pengelolaan sumberdaya alam. Bukankah Allah telah memberikan semangat, setiap kali kita bangkit dari keterpurukan hidup, pertanda allah maha kuasa masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bersyukur kepadanya atas segala nikmatnya. (Al-baqarah, 56). Bagaimanakah kita mensyukuri segala nikmatnya.? Pelihara dan manfaatkanlah alam yang ada disekitarmu dengan sebaik-baiknya, mulailah dari hal yang kecil , mulailah dari diri sendiri dan jangan menunggu besok, tetapi mulailah pada saat ini juga. Dibelakang akan menyusul hal yang besar dan khlayak publik. Amien.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak. C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadja Mada University Press. Yogyakarta.

Ekawati. 2005. Kelembagaan Pengelolaan DAS (Studi Kasus di DAS Solo). Makalah Prosiding Ekspose Hasil Litbang Pengelolaan DAS Dalam Prespektif Otonomi Daerah. Surakarta.

Kartodihardjo, H. dkk. 2004. Institusi Pengelolaan DAS. Konsep dan Pengaturan Analisis Kebijakan. Fakultas kehutanan IPB. Bogor.

Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gajahmaa University Press. Yogyakarta.

Soemarwoto. O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi Revisi. Penerbit Jambatan. Jakarta.

http://www.sanskar.net. Culture, Moral, Peace of Mind, The Indian Way : Downsream-Upsream. Hindi Version

Yudono, H., Tjakrawarsa, G. 2004. Microhydro electric : Mensejahterakan masyarakat dan menjaga hutan dengan hasil air.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.