Kelembagaan DAS

Fitri Nurfatriani dan I. Adi Nugroho

MANFAAT HIDROLOGIS HUTAN DI HULU DAS CITARUM SEBAGAI JASA LINGKUNGAN BERNILAI EKONOMIS

Oleh :Fitri Nurfatriani 1) dan I. Adi Nugroho 2)

1) Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 2) Alumni Pasca Sarjana IPB

Info SOSIAL EKONOMI Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 175 – 194

ABSTRAK

Hutan memberikan manfaat yang nyata baik berupa manfaat tangible maupun intangible. Akan tetapi saat ini manfaat hutan hanya diukur dari nilai manfaat tangible saja, sehingga menyebabkan terjadi eksploitasi hutan yang melebihi batas ambang kelestarian hutan. Peran intangible hutan belum dipahami secara menyeluruh. Berbagai gangguan terhadap kualitas dan kuantitas sumberdaya air saat ini diduga diakibatkan oleh gangguan terhadap fungsi hutan di huluDAS sebagai salah satu unsur penunjang dalam siklus hidrologis. Peran hutan sebagai pengatur tata air merupakan jasa lingkungan yang perlu dinilai secara kuantitatif untuk memberikan gambaran terhadap berbagai kebijakan yang telah diambil saat ini berkaitan dengan pengelolaan hutan di hulu DAS. Untuk itu dalam tulisan ini bertujuan untuk menghitung nilai ekonomi manfaat hidrologis hutan lindung yang memiliki nilai pasar (komersial) sebagai dasar perhitungan nilai distribusi biaya dan manfaat di antara para penerima dan penyedia manfaat. Metode analisis untuk menghitung nilai jasa hutan lindung dilakukan berdasarkan pendekatan harga pasar untuk menghitung biaya penuh (full cost) dari pengadaan air, tarif normal biaya jasa pengelolaan sumberdaya air, dan manfaat ekonomis dari berbagai pemanfaatan sumberdaya air. Dari hasil penelitian diperoleh besar biaya penuh (full cost ) pengadaan air yang telah memasukkan nilai lingkungan di Sub DAS Citarum Hulu sebesar Rp25,33 milyar/tahun. Dari nilai tersebut diperoleh nilai tarif normal Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air untuk pemanfaatan PDAM dan industri sebesar Rp273,38/m3 dan Rp297,18/m3 dengan nilai lingkungan sebesar Rp15,87 milyar/tahun dan Rp5,265 milyar/tahun.

Kata kunci: Nilai ekonomi, hutan lindung, kebijakan hutan, ekonomi lingkungan

I. PENDAHULUAN

Peran hutan sebagai pengatur tata air telah dirasakan oleh berbagai pihak. Secara teoritis, peran ekologis hutan berperan penting dalam menjaga kestabilan ekosistem. Hutan yang didominasi oleh pohon-pohon dan komponen biotis dan abiotis lainnya membentuk ekosistem yang berpengaruh nyata terhadap siklus hidrologis. Hutan mengintersepsi hujan, mengurangi limpasan permukaan, meningkatkan kelembaban nisbi tanah, meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, mengurangi laju erosi tanah, dan mempertahankan debit air sungai. Manan (1976) menyebutkan tiga pengaruh penting hutan terhadap karakteristik hidrologis, yaitu hutan menahan tanah di tempatnya, tanah hutan menahan air lebih banyak, dan hutan meningkatkan kapasitas infiltrasi. Dengan demikian, ketersediaan air baik kuantitas maupun kualitasnya sangat berkaitan dengan kualitas hutan.

Akan tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk tekanan terhadap hutan semakin meningkat. Ditandai dengan semakin meningkatnya Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis menunjukkan bahwa hutan sebagai komponen penting dalam suatuDAS telah mengalami gangguan yang serius. Terjadinya kekeringan dimusim kemarau dan banjir di musim penghujan menjadi bukti bahwa fungsi resapan lahan dengan adanya vegetasi hutan di atasnya telah terkikis. Berbagai faktor diduga sebagai penyebab kerusakan hutan seperti adanya konversi hutan, penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan. Kondisi di atas menggambarkan adanya pemahaman yang kurang atas manfaat hutan tersebut sehingga manfaat hutan hanya dihitung dari manfaat tangible saja. Peran intangible hutan tidak dinilai dan dipahami secara penuh sehingga terjadi eksploitasi hutan yang berlebih yang mengancam kelestarian. Untuk itu diperlukan upaya untuk menentukan nilai ekonomi terhadap manfaat hidrologis hutan khususnya di bagian hulu DAS. Dengan mengetahui manfaat ekonomis dari manfaat hidrologis hutan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka. Di samping itu dengan dimasukkannya nilai manfaat hutan dalam struktur ekonomi akan menjadikan pengelolaan dan pemanfaatan hutan semakin efisien karena dapat menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan hutan dan diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat hutan.

Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk menghitung nilai ekonomi manfaat hidrologis hutan lindung yang memiliki nilai pasar (komersial) sebagai dasar perhitungan nilai distribusi biaya dan manfaat di antara para penerima dan penyedia manfaat. Pada penelitian ini dibatasi pada penentuan nilai pemanfaatan air secara komersial untuk kebutuhanPDAM, pembangkit tenaga listrik dan industri di bawah pengelolaan Perum Jasa Tirta II wilayah Divisi V (Citarum Hulu dan waduk Jatiluhur). Nilai ekonomi dihitung melalui penghitungan beban biaya penuh (full cost ) yang harus ditanggung oleh penerima manfaat secara proporsional sebagai dasar penentuan nilai (tarif) air yang bernilai guna dan lestari.

II. METODEPENELITIAN

A. Kerangka Analisis

Penelitian ini diawali dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis manfaat hidrologis hutan lindung yang keberadaannya diasumsikan sebagai fungsi dari adanya hutan lindung. Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian atas berbagai pemanfaatan sumberdaya air yang bersumber dari hutan di huluDAS. Proses penilaian dilakukan dengan mengkuantifikasi setiap indikator nilai berupa jasa fungsi ekosistem hutan sebagai pengatur tata air. Atas dasar kuantifikasi indikator nilai tersebut dilakukan penilaian ekonomi manfaat hutan, berdasarkan metode penilaian tertentu pada setiap klasifikasi nilai. Kemudian dilakukan kuantifikasi atas berbagai manfaat yang dihasilkan dengan berdasarkan harga pasar.

Selanjutnya dihitung biaya penuh ( full cost) dari pengadaan air yang telah memperhitungkan nilai lingkungan di dalamnya yang akan dibebankan kepada para penerima manfaat secara proporsional (beneficiaries pay principle ). Besarnya biaya yang perlu ditanggung masing-masing pemanfaat menjadi dasar perhitungan nilai (tarif normal) air yang bernilai guna dan lestari. Selengkapnya, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dijelaskan pada gambar 1.

B. Waktu dan LokasiPenelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sub DAS Citarum Hulu-Jawa Barat di wilayahKPHBandung Selatan,BKPHPengalengan,RPHWayangWindu. Untuk menghitung nilai ekonomi air komersial dilakukan di wilayah Divisi V Perum Jasa Tirta II (Citarum Hulu dan waduk Jatiluhur) Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember 2006.

0g1

Gambar 1.Kerangka Pemikiran Penelitian

C. Jenis Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada responden dan pengukuran/pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder merupakan data-data penunjang penelitian yang diperoleh melalui penelusuran pustaka maupun penelusuran situs-situs internet terhadap berbagai sumber, yaitu dari berbagai instansi terkait.

0t1

D. Pengolahan dan Analisis Data

Penentuan nilai ekonomi manfaat hidrologis hutan lindung untuk berbagai jenis pemanfaatan, dilakukan dengan menggunakan Metode Harga Pasar. Nilai air  untuk pemanfaatan komersial menggunakan metode harga pasar, yaitu dengan mengalikan volume air yang dimanfaatkan dengan harga air di pasaran dan tarif normal. Harga air sesungguhnya didekati dari biaya penuh pengadaan air yang telah mencakup perhitungan eksternalitas seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.

0g2

Gambar 2. Prinsipumumuntuk biaya air (Rogers et al 1996)

Definisi yang digunakan untuk menentukan nilai dari masing-masing komponen biaya dipaparkan padaTabel 2.

0t2

a. BiayaYang Ditanggung Penerima Manfaat

Besar biaya pengadaan air yang perlu ditanggung oleh setiap penerima manfaat air diperoleh dari proporsi manfaat yang dihasilkan setiap penerima manfaat dikalikan dengan biaya penuh, dengan formula sebagai berikut:

BMi= a% X BP                                                               (6)

dimana: B i =Beban biaya untuk penerima manfaat ke-i a% =Proporsi manfaat yang dihasilkan setiap penerima manfaat BP =Biaya penuh pengadaan air

b. Tarif Normal

Tarif normal untuk setiap pemanfaatan air diperoleh dari beban biaya masing-masing penerima manfaat dibagi dengan produksi manfaat yang dihasilkan:

TN = BMi/Pr-i                                                            (7)

dimana: TN = Tarif normal Pr-i = Produksi air/listrik

c. Nilai Lingkungan

Selisih antara tarif pemanfaatan air yang berlaku dan tarif normal merupakan komponen nilai lingkungan, dengan formula sebagai berikut:

NL = (TN TB) X Pr-i                                                             (8)

dimana: NL = Nilai lingkungan TB = Tarif yang berlaku

Formula yang digunakan untuk masing-masing nilai air pada berbagai pemanfaatan dapat dilihat pada uraian berikut.

d. Nilai Air Industri

Nilai air untuk industri yang dihitung adalah nilai pemanfaatan air untuk kebutuhan industri dalam hal ini adalah air yang diambil dari waduk atau tampungan air yang disalurkan untuk kebutuhan industri. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan harga pasar, yaitu:

NAI= VAI  x  HAI                                                             (11)

dimana, NAI=Nilai air untuk industri (Rp/tahun) VAI =Volume air yang dibutuhkan untuk kebutuhan industri (m3 ) HAI=Harga air untuk industri-tarif normal dan tarif yang berlaku (Rp/m3 )

e. Nilai Air Pembangkit Tenaga Listrik

Nilai air untuk pembangkit tenaga listrik yang dihitung adalah nilai pemanfaatan air dari waduk atau tampungan air yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan harga pasar, yaitu:

NAPL = PL xHAPL                                                 (12)

dimana, NAPL=Nilai air untuk pembangkit tenaga listrik (Rp/tahun) PL =Produksi listrik (KWh) HAPL=Tarif air untuk kebutuhan PLN – tarif normal dan tarif yang berlaku (Rp/ KWh)

f. Nilai Air BakuPDAM

Nilai air baku untuk PDAM yang dihitung adalah nilai pemanfaatan air dari waduk atau tampungan air yang digunakan untuk air baku bagi PDAM. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan harga pasar, yaitu:

NAB = VABxHAB                                                  (13)

dimana, NAB = Nilai air baku untukPDAM(Rp/tahun) VAB = Volume air yang digunakan sebagai air baku untukPDAM(m3 ) HAB = Tarif air untuk air bakuPDAM-tarif normal dan tarif yang berlaku (Rp/m3 )

III. HASILDANPEMBAHASAN

A. Pengelolaan Hutan Lindung di SubDAS CitarumHulu

Kawasan hutan yang berada di bagian hulu DAS Citarum masuk ke dalam wilayah Bandung Selatan yang berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung selatan, BagianKesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan, dan Resort Pemangkuan Hutan (RPH)Wayang Windu. KPHBandung Selatan merupakan salah satu pendukung kawasan cekungan Bandung, sumber air bagi Sungai Citarum yang merupakan sumber pembangkit listrik untuk PLTA Saguling, Jatiluhur dan Cirata untuk memenuhi kebutuhan Pulau Jawa dan Bali. Di samping itu kawasan hutan tersebut juga sekaligus menjadi sumber air bagi daerah pertanian di sekitarnya serta sumber air minumbagi kota Jakarta.

Berdasarkan pembagian luas wilayah kerja di KPH Bandung Selatan, 79% luas wilayah kerja adalah hutan lindung, sedangkan hutan produksi dan alur hanya memiliki kontribusi luas sebesar 21% dan 1% (Tabel 3). Sehingga wilayah KPH Bandung Selatan yang didominasi oleh hutan lindung perlu dikelola dengan mengintegrasikan aspek-aspek ekologi, sosial dan ekonomi.

0t3

KPH Bandung Selatan selain memiliki potensi hasil hutan kayu dan juga non kayu seperti getah pinus dan adanya beberapa mata air di sekitar kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil inventarisasi mata air (1999) terdapat 41 titik mata air dengan debit 0,5 lt/detik sampai dengan 300 lt/detik. Pemanfaatan air dari mata air ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, perkebunan, wisata dan PLTA (di RPH Pangalengan/BKPH Pangalengan). Sedangkan potensi wisata alam pada hutan lindungKPHBandung Selatan terdiri atas obyek wisata dengan karakteristk alam yang khas seperti Kawah Putih, Ranca Upas, Pemandian air panas Cimanggu, dan lainnya. Pengelolaan kawasan hutan lindung ini perlu difokuskan bukan hanya pada hasil hutan kayu saja tetapi hasil hutan non kayu berupa pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non kayu yang dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan. Namun demikian, kawasan lindung di KPH Bandung Selatan ini telah mengalami gangguan berupa perambahan hutan seluas 15,397.49 Ha yang melibatkan 34,740 KK dan dipicu oleh krisis moneter pada tahun 1998, saat ini telah direhabilitasi (2000-2004) seluas 7.139,87 ha.

Menurut Wangsaatmaja (n.d.) pengamatan yang dilakukan secara time series terhadap tutupan lahan di DAS Citarum Hulu menggunakan citra Landsat TM tahun 1983, 1993 dan 2002, membuktikan telah terjadi penurunan luas lahan bervegetasi seperti hutan sebesar -54% dan berkurangnya lahan resapan air, serta terjadinya peningkatan lahan terbangun seperti perkotaan sebesar +223% sepanjang tahun 1983 2002. Banyaknya jumlah desa yang terdapat disekitar DAS Citarum Hulu dengan karakteristik berkepadatan penduduk tinggi dan rendahnya kepemilikan lahan, kehidupan masyarakatnya yang sangat tergantung pada hutan dengan budaya bercocok tanam dan sistem ekonomi yang berbasis lahan dan kurang berkembang serta tidak adanya alternatif profesi lain selain sebagai petani, merupakan faktor-faktor pendorong terjadinya tekanan yang besar terhadap lahan-lahan bervegetasi di DAS Citarum Hulu. Tekanan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah lahan kosong dimana lahan hutan diubah oleh masyarakat menjadi lahan untuk pertanian.

Langkah yang ditempuh oleh KPH Bandung Selatan dalam mengatasi perambahan tersebut menggunakan program 3A, yaitu Alih Profesi, Alih Lokasi dan Alih Komoditas. Program tersebut merupakan program terpadu yang melibatkan berbagai pihak, antara lain dinas/instansi terkait, LSM dan tokoh masyarakat. Untuk program Alih Profesi dikembangkan di luar kawasan hutan dengan fokus pada bidang peternakan dan industri rumahan dan dilaksanakan oleh instansi terkait. Untuk program Alih Komoditas dilaksanakan dalam kawasan hutan oleh Perum Perhutani dengan mengenalkan sistem PHBM, yaitu melakukan penanaman tanaman buah- buahan (MPTS/ Multi Purpose Trees Species) dan Agroforestry. Sedangkan untuk Alih Lokasi dilakukan transmigrasi baik lokal maupun luar jawa yang akan dilaksanakan oleh Pemda atau instansi terkait.

B. Peran Hutan Lindung di HuluDAS Citarumsebagai Sumber Mata Air

Hutan lindung Perum Perhutani RPH Wayang Windu memiliki peran yang sangat strategis sebagai penyedia jasa air bagi kawasan desa Tarumajaya. Hal ini karena kawasan hutan lindung tersebut merupakan hulu dari sungai Citarum dimana air dari sungai Citarum dimanfaatkan juga oleh warga kota Bandung dan sekitarnya. Untuk menampung air yang berasal dari sungai Citarum, pemerintah membangun tiga buah waduk utama yang berfungsi memasok kebutuhan listrik untuk Pulau Jawa dan Bali, yaituWaduk Saguling,Waduk Cirata danWaduk Jatiluhur.

Air yang berasal dari hulu sungai Citarum tersebut pertama kali akan ditampung dalam sebuah danau/situ kecil yang disebut situ Cisanti. Air yang berasal dari situ ini kemudian dipecah-pecah menjadi tiga bagian, yaitu dua bagian pertama digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian dan satu bagian terakhir dialirkan ke sungai Citarum.

0g3

Gambar 3. Hulu Sungai Citarum dan Saluran Air dari Situ Cisanti ke Rumah Tangga Petani

Situ Cisanti sebagai pemasok utama kebutuhan air bagi kawasan Desa Tarumajaya dikelilingi oleh arboretum seluas 40 Ha. Selain berfungsi untuk memperindah kawasan, arboretum tersebut juga berguna untuk mempertahankan keberadaan air di situ Cisanti. Situ Cisanti juga digunakan sebagai salah satu tujuan rekreasi tetapi belum terkelola dengan baik. Untuk itu Perhutani perlu meningkatkan perhatian bagi situ Cisanti mengingat pentingnya kawasan tersebut sebagai pemasok kebutuhan air dan penjamin tersedianya air dari kawasan lindung. Pada saat penelitian, terlihat bahwa hulu sungai citarum mengalami polusi air permukaan yang disebabkan oleh kotoran ternak. Kondisi ini dapat meningkatkan biaya pengolahan air pemerintah sehingga harga air dapat meningkat. Selain itu dapat memicu semakin langkanya air permukaan di hulu karena tidak dapat lagi digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

C. Pemanfaatan AirKomersial di SubDAS CitarumHulu

Perum Jasa Tirta II merupakan BUMN yang diserahi tugas untuk melakukan pengusahaan sumber daya air di wilayah Jawa Barat, khusus untuk wilayah DAS Citarum bagian hulu berada di bawah wilayah Divisi V Perum Jasa Tirta II (Citarum Hulu dan waduk Jatiluhur). Divisi V diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pengusahaan sumber daya air dan pembangunan prasarana sumber daya air sekaligus sebagai penghubung antara Perusahaan dengan Pemprov Jawa Barat, Swasta maupun masyarakat.

Dalam kegiatan operasionalnya, wilayah DivisiVmenghadapi berbagai kendala seperti adanya penurunan fungsi resapan pada kawasan lindung. Hal tersebut menyebabkan pada musim hujan terjadi run off yang sangat besar sehingga menimbulkan banjir, sebaliknya di musim kemarau base-flow sangat kecil sehingga menimbulkan kekeringan. Kondisi tersebut disebabkan selain karena fenomena alam juga karena ulah manusia, al: masyarakat yang memanfaatkan kawasan lindung sebagai lahan budidaya, yang menimbulkan erosi yang berlebihan dan terganggunya kestabilan lereng. Untuk upaya penanggulangannya diperlukan usaha preventif maupun represif, baik secara struktural (Reboisasi, Penghijauan, Cekdam, Rivertraining) maupun non struktural (Informasi,Rekomendasi, Penyuluhan dan Bimbingan).

D. NilaiPotensi Manfaat AirPerumPJT II

0g4

Gambar 4. Sediment a s i dan Pendangkalan Sungai Cikapundung. Sumber: PJT II (2005)

Sesuai dengan visinya Perusahaan Jasa Tirta II (PJT II) hendak mewujudkan diri sebagai perusahaan yang terkemuka dalam pengelolaan air dan sumberdaya air untuk memberikan pelayanan terbesar dalam penyediaan air untuk berbagai kebutuhan dan sumbangan terhadap ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan visi tersebut, PJT II membangun kemitraan dengan PDAM Kota Bandung dan industri dalam menyediakan kebutuhan air. PJT II berperan dalam mengelola pemanfaatan air permukaan oleh 151 buah industri yang mengambil air permukaan meliputi industri tekstil, penyamakan kulit, air bersih, hotel, karet dan marmer.

Pada tahun 1994, air baku yang dimanfaatkan oleh sektor dunia usaha baru mencapai 350 juta m /tahun dan diharapkan pada tahun 1998 akan meningkat menjadi 700 juta m3/tahun. Sedangkan untuk industri-industri yang tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa Barat, PJT II mampu menyediakan air rata-rata sejumlah 250 juta m3 /tahun pada tahun 1996 yang kebutuhannya terus meningkat sepanjang tahun. Akan tetapi iuran yang baru diterima oleh PJT II selama ini baru sebesar Rp23/m3 . Rendahnya kontribusi industri kepada PJT II dalam pembelian air menyebabkan PJT II kesulitan dalam mengelola air yang ada untuk industri. Karena selama ini PJT II menerapkan aturan subsidi silang dimana 60% pendapatan PJT II diperoleh dari distribusi energi listrik. Jika kondisi ini tidak diperbaiki, besar kemungkinan PJT II tidak mampu lagi untuk mendistribusikan air bagi industri. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya lapangan kerja bagi jutaan karyawan sehingga produktifitas nasional akan menurun. Oleh sebab itu, perbaikan prasarana pengolahan, transmisi dan distribusinya dari sumber ke konsumen harus ditingkatkan.

Seperti telah dikemukaan diatas bahwa konsumen utama PJT II adalah PAM DKI Jaya, PDAM Kota Bandung, industri dan PDAM di kota/kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, sebagian daerah Indramayu, sebagian Sumedang, Bandung dan sebagian Bogor yang meliputi wilayah seluas 12.000 km . Dengan demikian manfaat ekonomis yang diterima secara teoritis adalah berasal dari penerimaan iuran pemanfaatan air (Biaya Jasa Pengelolaan Sumberdaya Air BJP Sumberdaya Air) dari para pemanfaat. Nilai potensi manfaat air ini bukan merupakan nilai real yang diterima PJT II, akan tetapi merupakan penerimaan potensial yang dapat diperoleh PJT II bila pembayaran BJP Sumberdaya air terpenuhi. Dalam penghitungan nilai potensi manfaat PJT II ini hanya akan dibatasi untuk penyediaan air baku bagi PDAMKota Bandung dan industri disekitarnya (daerah Citarum Hulu) saja mulai tahun 2002 2005 yang disajikan padaTabel 4.

0t4

E. Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis Hutan Lindung di Sub DAS  Citarum Hulu Menggunakan Full Cost Method

a. Biaya Operasional danPemeliharaanPerumPJT II

Nilai manfaat hidrologis PJT II dihitung menggunakan metode Full Cost. Metode ini mengikut sertakan berbagai komponen seperti biaya operasional dan pemeliharaan PJT II, komponen modal PJT II, biaya oportunitas, eksternalitas ekonomi dan eksternalitas lingkungan.

Sebagai lembaga yang bertugas mengelola sumberdaya air di Provinsi Jawa Barat, PJT II memiliki tugas yang berat. Adanya sedimentasi yang berlebihan di sepanjang aliran sungai akibat gundulnya kawasan hutan di hulu, terjadinya eutrofikasi air permukaan akibat penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dan limbah rumah tangga serta ternak yang dibuang ke sungai, membuat beban dan tanggungjawab PJT II semakin berat. Selain bertugas menjamin pasokan air bagi industri dan perumahan (melalui PDAM), PJT II juga harus bertanggungjawab membersihkan endapan lumpur yang menggenangi aliran air yang masuk ke kawasan perkotaan. Hal ini berakibat jumlah air kotor yang diterima oleh masyarakat di hilir semakin tinggi sehingga biaya untuk menghasilkan air layak guna (air baku) akan semakin besar yang berdampak pada semakin besarnya biaya operasional PJT II sebagai pemasok kebutuhan air. Biaya O&P PJT II divisi Citarum Hulu diketahui sebesar Rp1,5 milyar/tahun (tabel 6). Biaya operasional yang harus ditanggung oleh PJT II tersebut berupa beban usaha langsung yang terdiri atas:

  1. Beban P&P Aktiva Tetap berupa beban P&P bangunan umum yaitu berupa bangunan tempat kerja dan bangunan bersejarah; beban P&P alat besar/bantu/angkut yaitu berupa alat angkut darat seperti traktor, dump truk, back hoe,  dan lain sebagainya; sedangkan P&P perabot dan peralatan adalah berupa peralatan kantor, rumah tangga kantor dan komputer sebesar Rp234,4 juta.

    0t6

  2. Beban Perjalanan Dinas, adalah beban-beban biaya yang harus ditanggung oleh PJT II dalam menyediakan anggaran perjalanan dinas dalam negeri seperti pemeriksaan dan pengambilan data yang diperlukan oleh PJT II seperti data kualitas dan kuantitas air sebesar Rp40,8 juta.
  3. Beban Kantor, adalah beban-beban biaya yang harus ditanggung oleh PJT II dalam mengadakan peralatan dan atau barang untuk keperluan kantor seperti perlengkapan kantor, foto copy dan cetakan, surat kabar dan majalah, biaya pos, telepon dan teleks, rapat dan pertemuan, listrik, air dan gas, rumah tangga kantor, perlengkapan kerja, meterai, perlengkapan komputer, dan bahan bakar kendaraan operasional. Besar biaya untuk beban kantor ini adalah Rp545,4 juta/tahun.
  4. Beban Umum, yaitu biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh PJT II untuk kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut: kesejahteraan sosial, pengawasan,  promosi dan reklame, sewa gedung, sewa kendaraan, administrasi bank, jasa pelayanan dan pengamanan. Besar beban umum adalah sebesar Rp527,7 juta/tahun.
  5. Beban Ekologi Lingkungan, adalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh PJT II untuk kegiatan pembelian tanaman, pemeliharaan tanaman dan pelestarian lingkungan yaitu sebesar Rp136,5 juta/tahun.
  6. Beban Survai Riset dan Pengembangan merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh PJT II untuk kegiatan perencanaan dan penelitian sebesar Rp10 juta/tahun.

b. Biaya Modal

Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kepemilikan modal PJT II 100% berada ditangan pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.Komponen modal yang dimiliki oleh PJT II senantiasa berubah, yaitu ketika masih bernama PN Jatiluhur mulai tahun 1967 hingga tahun 1970 melalui PP No. 8 Tahun 1967 memiliki modal sekitar Rp257.287.382,00. Kemudian terjadi perubahan nama dari PN Jatiluhur menjadi Perum Otorita Jatiluhur melalui PP No 20 Tahun 1970 kepemilikan modal menjadi Rp55.895.229.169,27. Sedangkan melalui PP No. 35 Tahun 1980, kepemilikan modal Perum Otorita Jatiluhur meningkat menjadi Rp368,80 milyar yang terdiri atas aset milik sebesar Rp29,10 milyar, aset kelola sebesar Rp70.70 milyar, dan aset DK sebesar Rp169,00 milyar. Pada tahun 1990 sampai dengan tahun 1999 melalui PP No. 42 Tahun 1990 aset milik Otorita Jatiluhur meningkat menjadi Rp46,00 milyar. Melalui PP No. 94 Tahun 1999 terjadi perubahan nama dari Perum Otorita Jatiluhur menjadi Perum Jasa Tirta II dengan total aset milik sebesar 90,82 milyar.

Untuk memperoleh besarnya modal yang digunakan oleh PJT II selama setahun dalam penghitungan nilai air komersial yaitu menggunakan aset milik PJT II sebesar 90,82 milyar dibagi dengan umur proyek hingga saat ini yaitu selama 39 tahun sehingga diperoleh nilai modal sebesar Rp2,3 milyar. Nilai modal tersebut akan dijadikan patokan untuk penghitungan selanjutnya.

c. Biaya Oppurtunitas

Biaya oppurtunitas merupakan komponen nilai yang harus dihitung dalam penilaian ekonomi air menggunakan metode full cost, yaitu berupa komponen dimana masih adanya alternatif penggunaan lain dari PJT II. Dalam hal ini oppurtunitas PJT II dinilai nol karena tidak adanya alternatif penggunaan lain yang menghasilkan nilai terbaik dari PJT II selain air.

d. Eksternalitas Ekonomi

Penurunan fungsi hutan digambarkan sebagai biaya dampak (eksternalitas), yaitu besarnya kenaikan biaya yang harus dikeluarkan oleh PDAM Kota Bandung untuk melakukan perbaikan kualitas air sehingga air dapat dimanfaatkan oleh konsumen disebut sebagai eksternalitas ekonomi. Penghitungan eksternalitas ekonomi ini dilakukan untuk jangkawaktu rata-rata satu tahun. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa kenaikan biaya pengolahan air (2005 s/d 2006) adalah sebesar Rp72/m3 sehingga dengan tingkat produksi air sebesar 216.00 m3 /hari dibutuhkan kenaikan biaya pengolahan air sebesar Rp5,67 milyar/tahun

e. Eksternalitas Lingkungan

Adanya penurunan fungsi hutan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan sehingga untuk memulihkannya seperti sediakala diperlukan berbagai upaya reboisasi atau rehabilitasi hutan rusak. Biaya-biaya yang dikeluarkan olehKPHBandung Selatan untuk mereboisasi atau merehabilitasi wilayah hutan lindung BKPH Pengalengan seluas 8.232,45 Ha disebut sebagai eksternalitas lingkungan dengan besar biaya rehabilitasi rata-rata sebesar Rp1,9 juta/ha. Besar biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp15,85 milyar/tahun.

0g5

Gambar 5. Biaya pengadaan air penuh per tahun (full cost of water supply RpMilyar/tahun) PJT II Divisi Citarum Hulu. Sumber: Adaptasi dari Rogers et al 1996

Selanjutnya dihitung komponen biaya penuh dengan menggunakan metode
biaya penuh (full cost method ) yang mencoba menggambarkan komponen biaya untuk memproduksi air secara komprehensif tidak hanya berdasarkan biaya pengadaan saja tetapi juga telah memasukkan unsur lingkungan di dalamnya sehingga memiliki nilai guna yang lestari (hulu sampai ke hilir). Dari hasil perhitungan dan pendekatan-pendekatan yang digunakan diperoleh biaya air secara penuh, seperti pada Gambar 5 sebesar Rp25,33 milyar/tahun. Nilai tersebut menggambarkan biaya pengadaan manfaat air yang telah menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya sehingga mencerminkan nilai manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Selanjutnya biaya penuh ini dapat dijadikan dasar perhitungan tarif BJP Sumberdaya air PJT II Divisi CitarumHulu sehingga dapat diperoleh besar tarif normal yang ideal.

Untuk menghitung tarif normal dari manfaat air di PJT II ini dilakukan dengan
mengalokasikan kepada tiap kelompok pemanfaat air PJT II Divisi Citarum Hulu secara proporsional dengan nilai manfaat masing-masing atau metode alokasi biaya ini disebut Simplified Benefit Based Method dengan Cost Centre Approach. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai persentase kontribusi pengguna (user ), dalam hal ini PDAM, dan industri yang berasal dari nilai manfaat yang dihasilkan untuk masing-masing pengguna dari hasil produksi air, lalu dikalikan dengan tarif pasar. Persentase nilai manfaat dari PDAM Kota Bandung dan industri memberikan kontribusi sebesar 75.26% dan 24.74%. Selanjutnya beban biaya yang dibebankan untuk masing-masing pengguna diperoleh dari perkalian antara persentase nilai manfaat PDAM Kota Bandung dan industri terhadap komponen total biaya penuh sehingga diperoleh
beban biaya penuh untuk PDAM sebesar Rp19 milyar dan untuk industri sebesar Rp 6,33 milyar.

Dengan tingkat produksi air sebesar 69,5 juta m3 untuk PDAMdan 21,3 juta m3 untuk industri maka dapat diketahui tarif normal untuk iuran jasa air yang merupakan hasil dari pembagian antara beban biaya dengan produksi air total dari PDAM Kota Bandung dan industri dalam satuan Rp/m3. Fungsi dari tarif normal adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tarif air yang ada saat ini dimana ketika komponen-komponen biaya operasional dan pemeliharaan, modal, oppurtunitas, eksternalitas ekonomi dan eksternalitas lingkungan dimasukan dalam perhitungan nilai air, maka akan memberikan tarif air yang berbeda dari tarif yang berlaku saat ini. Jika tarif air yang berlaku saat ini masih jauh harganya dibawah tarif normal, hal tersebut menunjukan bahwa telah terjadi underestimasi dalam penghitungan nilai ekonomi air. Selengkapnya dapat dilihat padaTabel 7.

0t7

Untuk menghitung tarif normal dari manfaat air di PJT II ini dilakukan dengan mengalokasikan kepada tiap kelompok pemanfaat air PJT II Divisi Citarum Hulu secara proporsional dengan nilai manfaat masing-masing atau metode alokasi biaya ini disebut Simplified Benefit Based Method dengan Cost Centre Approach. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai persentase kontribusi pengguna (user ), dalam hal ini PDAM, dan industri yang berasal dari nilai manfaat yang dihasilkan untuk masing-masing pengguna dari hasil produksi air, lalu dikalikan dengan tarif pasar. Persentase nilai manfaat dari PDAM Kota Bandung dan industri memberikan kontribusi sebesar 75.26% dan 24.74%. Selanjutnya beban biaya yang dibebankan untuk masing-masing pengguna diperoleh dari perkalian antara persentase nilai manfaat PDAM Kota Bandung dan industri terhadap komponen total biaya penuh sehingga diperoleh beban biaya penuh untuk PDAM sebesar Rp19 milyar dan untuk industri sebesar Rp 6,33 milyar.

Tarif normal di atas merupakan tarif ideal untuk dapat memenuhi kebutuhan biaya pengelolaan secara penuh yaitu total biaya yang meliputi tidak hanya biaya O&P dan modal saja tetapi juga telah menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya. Sama seperti di wilayah DAS Brantas, tarif normal tersebut jauh lebih tinggi daripada tarif yang berlaku saat ini sehingga sebetulnya masih terdapat alokasi untuk memasukkan komponen biaya perbaikan lingkungan dalam tarif iuran jasa air. Nilai lingkungan menggambarkan nilai yang dapat dikembalikan untuk konservasi daerah hulu. Nilai tersebut diperoleh dari manfaat yang diperoleh dari selisih tarif normal dengan tarif iuran jasa air yang berlaku saat ini dikalikan dengan volume produksi untuk masing – masing pemanfaatan. Diperoleh besar nilai lingkungan untuk pemanfaatan PDAM sebesar Rp15,87 milyar/tahun dan untuk industri sebesar Rp5,265 milyar/tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah masih harus mengambil kebijakan yang mendukung pada pelestarian lingkungan baik berupa penambahan anggaran untuk perbaikan daerah hulu, konservasi sumber air, maupun berupa upaya rasionalisasi pungutan jasa iuran air yang diperuntukkan untuk perbaikan daerah hulu, bukan untuk net benefit perusahaan pengelola jasa air. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan untuk dilaksanakan secara gradual dan terencana dalam proses perencanaan pembangunan jangka panjang.

IV. KESIMPULAN

Kawasan hutan di bagian hulu DAS Citarum berperan penting dalam kelangsungan penyediaan sumber daya air dan pemeliharaan lingkungan. Dari hasil penelitian diperoleh besar biaya penuh ( full cost) pengadaan air yang telah memasukkan nilai lingkungan di SubDAS Citarum Hulu sebesar Rp25,33 milyar/tahun. Nilai biaya penuh ini merupakan nilai guna lestari karena telah mencakup biaya pengadaan air di hilir dan biaya pemeliharaan dan rehabilitasi lingkungan di hulu.

Dari nilai tersebut diperoleh nilai tarif normal Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air untuk pemanfaatan PLTA, dan PDAM di Sub DAS Citarum Hulu sebesar Rp273,38/m3 dan Rp297,18/m3 sehingga menghasilkan nilai lingkungan dari selisih tarif normal dengan tarif yang berlaku sebesar Rp15,87 milyar/tahun dan Rp5,265 milyar/tahun untuk masing-masing pemanfaatan. Perbedaan tarif normal dengan tarif yang berlaku di PJT menunjukkan adanya inefisiensi pemanfaatan sumberdaya air yang dihasilkan oleh hutan lindung.

Dengan diperolehnya nilai kompensasi terhadap hutan di hulu DAS yang tercermin dalam nilai lingkungan maka nilai tersebut menggambarkan nilai yang perlu dialokasikan kembali ke pengelola kawasan hutan di hulu DAS sebagai bentuk benefit cost sharing di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan lindung. Secara konkret kompensasi jasa lingkungan tersebut dapat berupa kenaikan tariff pemanfaatan sumberdaya air dimana peningkatan penerimaan dari kenaikan tariff tersebut harus dialokasikan kembali untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan di huluDAS melalui realokasi anggaran pemerintah. Apabila upaya peningkatan tariff tidak memungkinkan maka dapat dilakukan pembatasan penggunaan sumberdaya (kuota) di tingkat konsumen akhir. Upaya “menghargai” lingkungan ini merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih efisien guna menjaga kesinambungan hasil sumberdaya hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Bahruni. 1999. Diktat Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bappenas. 2005. Sistem Pembiayaan Berkelanjutan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai-StudiKasus:DAS Brantas. Tidak Diterbitkan.

Bishop JT. 1999. Valuing Forests: A Review of Methods and Applications in Developing Countries. London: International Institute for Environment and Development.

Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia-Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986-2002. Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Davis, L.S dan Johnson K.N. 1987. Forest Management 3 Edition. Mc Graw-Hill Book Company. NewYork.

Hufschmidt MM et al. 1987. Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Reksohadiprodjo S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Environmental, Natural Systems, and Development, An EconomicValuation Guide.

Idrus, Herman. 2003. Kajian Pemberlakuan Tarif Dalam Bidang Usaha di Perum Jasa Tirta II. PerusahaanUmumJasa Tirta II.

International Institute for Environment and Development. 2005. Action Reserach on Development Upstream-Downstream Transaction for Watersheet

Protection Services and Improved Livelihoods. LP3ES, YPP, Perum PJT I, IIED, Tidak Diterbitkan.

James, R.F. 1991. Wetland Valuation : Guidelines and Techniques. Asian Wetland Bureau-Indonesia. Bogor.

Kesatuan Pemangku Hutan Bandung Selatan. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bandung.

Kramer, R.A, Sharma, N, Munasinghe, M. 1995. Valuing Tropical Forests : Methodology and Case Study of Madagascar. World Bank Environment Paper Number 13. TheWorld Bank. WashingtonDC.

Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. TheWorld Bank. WashingtonDC.

Niskanen, A. 1997. Value of External Environmental Impacts of Reforestation in Thailand. Ecological Economics JournalNo.26 (1998) pp 287 -297.

Pearce, DW and Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. London: HarvesterWheatsheaf.

Pearce,D. 1992. Economic Valuation and The Natural world. World BankWorking Papers. TheWorld Bank. NewYork.

Pearce, D, Warford, J.J. 1993. World Without End : Economics, Environment, and Sustainable Development. Oxford University Press. NewYork.

Perum Jasa Tirta II. 2005. Perhitungan Tarif Jual Tenaga Listrik PLTA Ir. H. Djuanda. PerumJasa Tirta II. Tidak diterbitkan.

PerumJasa Tirta II. 2006. Profil DivisiV. PerumJasa Tirta II. Tidak Diterbitkan. Perusahaan Daerah Air Minum Kota Bandung. 2005. Profil Perusahaan Daerah Air MinumKota Bandung. Tidak Diterbitkan.

Ramdan H, Yusran, dan Darusman D. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah-Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint. Bandung.

Rogers P, Bhatia R dan Huber A. 1996. Water as a Sosial and Economic Good: How to put the Principle into Practice. Global Water Partnership-Technical Advisory Committee. Unpublished.

Suparmoko dan Suparmoko R.M. 2000. Ekonomika Lingkungan. BPFE. Yogyakarta.

Suparmoko. 2002. Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). BPFE. Yogyakarta.

Wangsaatmaja, Setiawan. (N.d.). Dampak Konservasi Lahan Terhadap Rezim Aliran Air Permukaan Serta Kesehatan Lingkungan Suatu Analisa Kasus DAS CitarumHulu.

Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Akademika Pressindo.

Zaini, L. A. 2005. Program Pengelolaan Perlindungan Sumber Air Baku PDAM Menang Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. A paper presented at National workshop on “Payments and Rewards of Environmental Services”, Jakarta, 14 – 15 February 2005.

James, R.F. 1991. Wetland Valuation : Guidelines and Techniques. Asian Wetland Bureau-Indonesia. Bogor.

0g6

1 Comment »

  1. terima kasih post nya.. jika berkenan data-data ini akan saya gunakan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang sedang saya buat..

    Comment by arrrrdiiii — April 26, 2010 @ 5:48 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.