Kelembagaan DAS

Yanto Rochmayanto, dkk.

ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN PADA HUTAN KEMASYARAKATAN KOTO PANJANG, RIAU.

(Analysis of Institutional System in Community Forestry of Koto Panjang-Riau)

Oleh : Yanto Rochmayanto, Edi Nurrohman, dan Dodi Frianto; Loka Litbang HHBK Kuok

SUMMARY

Institutional aspect is an important condition to increase technical and managerial ability in community forestry management. Result of analysis at Koto Panjang, Riau, showed that CF organization formed line, with area organization was formed compartement (departementation based district). Span of control classified were wide and very wide, showed by average of organizational relation numbers were 571,92 (in farm-group of Tanjung Alai) and 1.447,5 (in farm-group of Tanjung).

The other institute are vailable in community, either formal or informal, probably used as tools to bridge between CF understanding and application, such as cooperation body, group of business collaboration (KUB), and “Tigo Tungku Sejarangan” system. The numbers of institutional were stagnant and cripple, require strengthening method of organization management ability.

Key words : institutional, community forestry (CF), organization, management.

RINGKASAN

Aspek kelembagaan merupakan prasyarat penting untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial masyarakat dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Hasil analisis pada hutan kemasyarakatan Koto Panjang, Riau, menunjukkan organisasi HKm berbentuk lini (garis) dengan pengorganisasian kawasan dalam bentuk petak (departementasi berdasarkan wilayah). Rentang pengendaliannya masih tergolong lebar dan sangat lebar, ditunjukkan dengan rata-rata jumlah hubungan organisatoris sebesar 571,92 (di kelompok tani Tanjung Alai) dan 1447,5 (di kelompok tani Tanjung).

Kelembagaan lain yang tersedia di masyarakat, baik formal maupun informal, dapat digunakan sebagai wahana untuk menjembatani pemahaman dan aplikasi hutan kemasyarakatan, antara lain koperasi, KUB dan Sistem Tigo Tungku Sejarangan. Banyaknya lembaga yang stagnan dan lumpuh menuntut adanya metode penguatan kemampuan manajemen organisasi.

Kata kunci : kelembagaan, hutan kemasyarakatan, organisasi, manajemen.

I. PENDAHULUAN

Dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) terdapat 3 gatra penting yang harus berjalan seiring, yakni aspek teknis, aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspek kelembagaan. Pengkajian terhadap 3 gatra tersebut perlu secara hati-hati dan seksama sehingga mampu memberikan masukan dalam peningkatan produktivitas hutan kemasyarakatan.

Aspek kelembagaan yang mantap merupakan salah satu prasarat penting untuk keberhasilan pembangunan HKm. Kesiapan kelembagaan ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan teknis bagi masyarakat untuk mengusahakan HKm secara lestari (Harisetijono dan Kurniadi, 2002).

Kelembagaan adalah seluruh peraturan, prosedur, organisasi dan instrumen untuk pengelolaan sumber daya, memberikan penekanan pada aspek-aspek organisasi, kepemimpinan, profesionalisme dan pengembangan organisasi, mamajemen konflik dan macam kegiatan (Simon, 2000).

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan pasal 12 menguraikan bahwa kesiapan kelembagaan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan ditandai dengan terbentuknya kelompok yang memiliki :

  1. Aturan-aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi.
  2. Aturan-aturan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
  3. Pengakuan dari masyarakat melalui kepala desa/lurah.
  4. Rencana lokasi dan luas areal kerja serta jangka waktu pengelolaan.

Dalam konteks pengembangan kemasyarakatan seringkali parameter-parameter fisik bukan faktor yang ideal untuk mengukur seberapa besar keberhasilan penerapan program. Ada indikator lain yang lebih relevan dijadikan acuan, antara lain kelembagaan. Sebab kelembagaan adalah simbol kemandirian secara personal dan komunal terhadap implementasi rangkaian tugas dan fungsi.

Pelaksanaan HKm di Koto Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, telah berjalan dengan mekanisme kelembagaan kelompok tani kelas pemula (Dewi, 2002). Bentuk dan kinerja kelembagaan memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
produktivitas HKm.

Secara umum produktivitas HKm pada tahun ketiga (tahun 2000) dapat digambarkan sebagai berikut :

  • Pembangunan HKm telah mengubah secara nyata penutupan lahan yang semula sebagian besar rawang dan belukar menjadi kawasan dengan pengusahaan secara penuh jenis-jenis tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan penghasil kayu dan bukan kayu.
  • Prosentase tumbuh tanaman HKm rata-rata sebesar 63,11% dan dapat digolongkan sebagai tingkat pertumbuhan kurang (Anonim, 2002).
  • Terjadi pergeseran pola tanam dari sistem campuran ke monokultur karet, tekhnik pemeliharaan dari teknik jalur ke teknik tebas total, dan sistem pertanian menetap belum dilaksanakan secara nyata di lapangan.

Berangkat dari uraian di atas dapat kita ambil suatu hipotesis bahwa persoalan produktivitas ini dapat disebabkan oleh kinerja kelembagaan yang tidak efektif. Sebab penanganan biofisik telah optimal dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan, termasuk lembaga pendamping pemerintah dan non pemerintah, serta tidak ditemukan kendala tapak dan habitat pada lokasi penanaman HKm.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa kinerja kelembagaan HKm melalui 3 pandangan, yaitu :

  1. Bentuk organisasi pengelolaan HKm.
  2. Kelembagaan internal masyarakat yang tersedia.
  3. Masalah, peluang dan tantangan pengembangan kelembagaan HKm.

Hasil penelitian diharapkan berguna sebagai (1) sumbangan penelitian bagi para praktisi mengenai kebijakan hutan kemasyarakatan, khususnya berkenaan dengan aplikasi kelembagaan, (2) bukti empiris bagi para praktisi kehutanan berkenaan dengan perilaku kelembagaan yang berkembang di masyarakat pada pengelolaan hutan kemasyarakatan.

II. METODE

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kualitatif analisis, yaitu mendeskripsikan hasil yang diperoleh atas pokok masalah berupa sistem kelembagaan HKm. Selanjutnya penelitian dilaksanakan dengan pendekatan survey pada program HKm dengan mengambil 2 desa sebagai pilot proyek pembangunan HKm atas dana bantuan OECF tahun 2000. Desa tersebut yaitu Desa Tanjung dan Desa Tanjung Alai yang terletak di Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau.

Responden yang terpilih dalam penelitian ini sebanyak 67 orang dari kedua desa yang ditetapkan secara acak sederhana. Instrumen yang digunakan adalah daftar pertanyaan, wawancara terhadap informan serta focus group discussion (FGD) untuk menjaring data dan informasi yang menyangkut masalah kelembagaan. Untuk melihat kenyataan pelaksanaan program diadakan observasi secara langsung di areal HKm dan studi dokumentasi.

Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut:

  1. Analisis struktural (Bungin, 2003) digunakan sebagai alat untuk menganalisis
    berbagai fenomena sistem kelembagaan yang ada di masyarakat dalam perspektif
    sosiologi, antropologi dan perilaku organisasi.
    Prosedur analisis struktural mengikuti langkah-langkah berikut :
    a. Mengkonstruksi hasil wawancara dan observasi dalam sebuah catatan-catatan atau laporan yang rinci berdasarkan urut waktu dan peristiwa ke dalam suatu bangunan narasi.
    b. Memahami keseluruhan bangun narasi sehingga diperoleh pengetahuan dan kesan tentang cerita, tokoh-tokoh, berbagai tindakan yang dilakukan, serta berbagai peristiwa yang dialami.
    c. Pencermatan terhadap beberapa kalimat tertentu pada setiap episode narasi yang mengandung deskripsi tentang tindakan atau peristiwa (mytheme dan ceriteme) yang dialami oleh para tokoh.
    d. Ceriteme-ceriteme disusun secara diakronis dan sinkronis atau menguikuti sumbu sintagmatis dan paradigmatis.
    e. Menarik hubungan/relasi antar elemen di dalam narasi secara keseluruhan untuk membangun sebuah makna secara internal.
    f. Menarik kesimpulan-kesimpulan akhir dengan memadukan makna internal di atas dengan kesimpulan referensial dan kontekstual.
  2. Analisis kuantitatif dilakukan melalui perhitungan jumlah hubungan organisatoris
    dalam span of control (rentang kendali) dengan pendekatan rumus menurut Supardi
    dan Anwar (2002) :

H = (1 + P) ½ x P
Dengan H = jumlah hubungan, dan
P = jumlah anggota yang dipimpin.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KELEMBAGAAN HKM

1. Bentuk Organisasi

Organisasi adalah frame work dari setiap bentuk kerja sama manusia untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini organisasi dapat dipandang sebagai suatu wadah, sebagai proses, dan sebagai sistem (Supardi dan Anwar, 2002).

Sebagai wadah, organisasi merupakan tempat kegiatan manajemen dilaksanakan. Tinjauan organisasi sebagai proses adalah memperhatikan dan menyoroti interaksi antar orang-orang yang menjadi anggota organisasi itu yang merupakan kelompok orang-orang yang berfikir dan bertindak secara tertentu. Sebagai suatu proses organisasi jauh lebih dinamis dari pada sebagai wadah. Sedangkan organisasi sebagai sistem sebenarnya merupakan kombinasi dari sistem sosial, sistem fungsional dan sistem komunikasi. Pengorganisasian hutan kemasyarakatan meliputi pengorganisasian kawasan dan personil (orang).

a. Pengorganisasian kawasan ; areal HKm dibagi menurut kaidah kompartementasi (compartement, petak). Dalam hal ini petak dipandang sebagai unit organisasi tekecil kawasan hutan sebagai suatu kesatuan tujuan atau orientasi, administrasi, perlakuan silvikultur, dengan batas permanen dari ciri-ciri alami maupun buatan (Davis, 1966).
b. Pengorganisasian personil ; Kegiatan HKm Koto Panjang telah membentuk dan membangun organisasi baru di masyarakat yang terpisah dengan kegiatan lainnya. Secara formal terdapat 2 organisasi pada 2 desa lokasi HKm, yang dirancang dalam bentuk kelompok tani. Setiap kelompok mempunyai sejumlah anggota, dan beberapa ketua kelompok dipimpin oleh koordinator.

Mencermati bentuknya organisasi HKm tergolong bentuk tunggal. Pimpinan organisasi berada di tangan seorang pemimpin sebagai sumber tugas dan wewenang. Tanggung jawab keseluruhan dengan melalui tingkat-tingkat jenjang organisasi ada pada pimpinan tunggal. Kebaikan bentuk ini segala urusan dapat diputuskan dengan cepat, dengan syarat ia cukup memiliki kegiatan jasmaniah dan rohaniah yang kuat, cakap dan luas pengetahuan. Tetapi jika pimpinan tidak pandai, kurang tangkas dan tidak memiliki daya juang akan menjadi faktor pembatas dari organisasi bentuk tunggal. Ini adalah tinjauan dari segi jumlah orang yang memegang pimpinan.

Berdasarkan tinjauan hubungan kerja serta lalu lintas wewenang dan tanggung jawab dari pimpinan sampai kepada satuan organisasi terbawah, pengorganisasian personil HKm mengikuti kaidah bentuk lini (garis/lurus).

Bentuk tata hubungannya relatif sederhana, praktis dan mudah. Masing-masing kepala satuan organisasi (koordinator dan ketua kelompok) memegang wewenang bulat dan memikul tanggung jawab penuh mengenai segala hal yang termasuk bidang kerja dari satuannya. Semua anggota kelompok tani HKm menerima perintah dan petunjuk langsung dari ketua kelompok dan koordinator, yang masing-masing memberi pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada atasannya itu.

Organisasi HKm disebut bentuk lini karena memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :

a. Tujuan organisasi relative sederhana
b. Organisasi kecil
c. Jumlah karyawan sedikit
d. Pimpinan dan anggotanya saling mengenal dan dapat berhubungan pada setiap hari kerja.
e. Tingkat spesialisasi dan alat yang digunakan tidak tinggi dan tidak beraneka ragam.

Kebaikan dan keburukan bentuk lini disajikan dalam Tabel 1.

0t1

Mengingat kekurangan dan kelebihan yang ada, bentuk organisasi lini (garis) cukup baik diterapkan pada pengelolaan HKm karena areal kerja yang luas, jumlah anggota yang banyak, tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah dan jenis dan volume pekerjaan sederhana serta tidak memerlukan teknologi tinggi. Struktur organisasi bentuk lini memiliki karakter yang sederhana dan praktis, sehingga relatif mudah dijalankan oleh masyarakat tanpa banyak memerlukan pengetahuan manajemen.

2. Departementasi dan Span of Control

Departementasi adalah aktivitas untuk menyusun satuan-satuan organisasi yang akan diserahi bidang kerja tertentu atau fungsi tertentu. Tujuannya adalah agar pekerjaan berjalan dengan lancar dan efisien melalui pengelompokan menurut jenis dan hubungan. Organisasi HKm bila dicermati dari lampiran 1 tergolong tipe departementasi  berdasarkan wilayah. Pembentukan satuan-satuan organisasi yang masing-masing diserahi untuk mengurus satuan daerah tertentu.

Asas rentang kendali (span of control) mensyaratkan berapa orang setepattepatnya harus berada di bawah kekuasaan pimpinan sehingga mampu dilakukan pengawasan. Hal ini penting karena menyangkut efektivitas pengendalian anggota kelompok tani. Di dalamnya tergambar juga banyaknya hubungan yang terdapat dalam organisasi dalam rangak menunjang efisien tidaknya sistem perintah. Hubungan dalam rentang kendali digambarkan sebagai berikut.

0g1

Gambar 1. Hubungan organisatoris dalam rentan kendali seorang atasan dengan tiga orang bawahan. (Figure 1. Organizational relation in span of control a chairman with three members)

0t2

Dari Tabel 2 tampak bahwa setiap penambahan anggota akan menambah jumlah hubungan organisatoris, yang tambahannya lebih cepat banyak dibandingkan dengan jumlah anggota yang ditambahkan. Variasi jumlah anggota kelompok tani tidak seimbang terutama di Tanjung, sehingga selisih jumlah terkecil dengan jumlah terbesar adalah 74 orang.

Keadaan lain yang perlu dicermati adalah jika anggota kelompok lebih dari 45 orang, maka hubungan organisatoris yang terjadi adalah di atas 1000 jalur hubungan timbal balik. Kondisi ini tidak efektif karena terlalu banyak masalah pengendalian, persepsi dan konfliks horizontal atau vertikal yang harus diatur oleh tangan satu orang ketua kelompok.

Untuk menganalisa sudah tepat atau belumnya kisaran rentangan kontrol di atas, dapat dilihat melalui faktor-faktor penentunya menurut The Liang Gie (1978).

0t3

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa organisasi HKm di Koto Panjang belum memenuhi kaidah rentang kendali yang efektif. Dari ketujuh faktor penentu, 5 diantaranya menunjukkan bahwa rentang kendali pada organisasi HKm perlu lebih sempit. Setiap kelompok akan lebih efektif dengan anggota sebanyak 10-15 orang, sehingga hubungan organisatoris yang timbul berkisar 55-120 jalur.

B. POTENSI KELEMBAGAAN SOSIAL LAINNYA

1. Organisasi Formal dan Informal

Hutan kemasyarakatan adalah sarana dan proses pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kegiatan pemberdayaan merupakan upaya yang mendorong, memotivasi, dan mengembangkan kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok (Awang, 2003).

Kerangka fikir seperti itu jika diterapkan pada konsepsi hutan kemasyarakatan, maka masyarakat harus dianggap sebagai subyek yang mampu mengorganisasikan diri, dengan penekanan pada jiwa bukan pada bentuk organisasinya. Oleh karena itu potensi kelembagaan masyarakat perlu dikaji untuk wadah pengelolaan HKm, diluar organisasi HKm yang ada.

Dari hasil survey dapat diidentifikasi beberapa kelembagaan formal dan informal yang dapat dijadikan sebagai instrumen sistem petunjuk, perintah, pengawasan, evaluasi, komunikasi, kerja sama, pembagian kerja, pengaturan hubungan dan manajemen proses pencapaian tujuan.

0t4

Organisasi formal diterapkan secara resmi dan diatur dalam tata kerja/prosedur kerja. Organisasi non formal dalam konteks sosial kemasyarakatan mempunyai peran :

  1. Sebagai suatu sarana untuk komunikasi.
  2. Untuk memelihara keutuhan dalam organisasi formal dengan jalan mengatur hasrat kerja sama dalam mengembangkan kegiatan dan kestabilan wewenang dalam organisasi yang bersangkutan.
  3. Untuk memelihara perasaan akan keutuhan pribadi, penghargaan diri sendiri dan kebebasan bertindak.

2. Sistem Sosial

Interaksi sosial berjalan secara harmonis, dengan sesekali terdapat konflik horizontal yang segera dapat diatasi. Pada masyarakat Tanjung dan Tanjung Alai terdapat suku-suku yang hidup berdampingan dan berinteraksi setiap hari. Motif interaksi tersebut antara lain didasari motif ekonomi dan motif hubungan sosial.

Kelembagaan yang memayungi segenap aspek kehidupan masyarakat tidak lepas dari konsep Tigo Tungku Sejarangan. Sistem ini merupakan anutan yang diakui terdiri dari lembaga pemerintah (kepala desa dan perangkatnya), agama (tokoh agama dan perangkatnya) dan adat (tokoh adat dan perangkatnya).

0t5

Secara keseluruhan budaya masyarakat merupakan culture periphery Minang yang menganut sistem matrilinial (Anonim, 2000 dan Sujianto, 2001). Dalam sistem ini terdapat kekerabatan adat yang masih kuat dipegang atau jadi panutan, dan ikatan emosinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan lembaga formal. Tokoh yang menjadi pimpinannya disebut dengan Ninik Mamak, Datuk dan Hulu Balang.

Tingkatan sosial antar anggota masyarakat jelas perbedaannya, seperti strata sosial anak kemenakan, datuk dan ninik mamak. Kedudukan datuk dan ninik mamak dalam kaum matrilineal sangat kuat dan menentukan dalam pengambilan kebijakan. Dalam struktur sosial, terdapat 3 dasar yang paling pokok mengenai bagaimana bekerjanya pemusatan orang banyak ke dalam kelompok-kelompok, yaitu : jenis kelamin, usia dan kekerabatan. Dalam matrinialisme (konsep kebudayaan politik masyarakat Melayu) orang tua ditempatkan pada kedudukan yang paling istimewa, apalagi dari pihak keluarga ibu.

C. MASALAH, PELUANG DAN TANTANGAN

Beberapa masalah yang ditemui di lapangan adalah :

  1. Kelompok-kelompok tani HKm yang telah terbentuk tidak lagi berjalan dengan baik atau tidak ada kegiatan pemberdayaan kelompok, terutama pada kegiatan pemeliharaan tanaman. Kelompok hanya menjadi kelompok tanpa kegiatan sama sekali, ketua kelompok dan anggotanya tidak terjalin kerja sama yang baik.
  2. Rentang kendali sebagian besar lebar dan sangat lebar, sehingga bila terjadi konfliks horizontal relatif sulit diantisipasi.
  3. Tanah ulayat yang masih belum dibagi-bagikan kepada anak kemenakan
    mengakibatkan rendahnya kadar tanggung jawab terhadap lahan. Karena pada tanah tersebut hanya ada hak penggarapan saja.
  4. Kelembagaan HKm yang dibangun masih menekankan pada bentuk organisasi bukan pada jiwa.

Beberapa peluang untuk perbaikan HKm dari sudut pandang kelembagaan antara lain :

  1. Tersedianya kelompok usaha bersama (KUB) dalam bentuk koperasi yang bisa diberdayakan. Lembaga ini pada dasarnya sangat membantu kelancaran program HKm. Sebagai simbol kekuatan ekonomi, koperasi dapat menjadi alat menjaring pola kemitraan, permodalan dan distribusi pemasaran.
  2. Sistem kekerabatan masyarakat yang mengenal pimpinan adat dan relatif dihormati, dapat menjadi modal kekuatan kelompok sebagai sendi pemberdayaan, serta memiliki manajemen konfliks yang ampuh di tingkat adat.
  3. Masyarakat di kedua desa baik di Tanjung Alai maupun di Tanjung masih dapat menerima pendamping meskipun telah mengalami stagnasi, sehingga proses pembelajaran tidak terkendala.

Adapun tantangan yang perlu dibangun adalah penguatan aspek manajemen. Manajemen diartikan sebagai seni dalam merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan serta mengevaluasi suatu proses produksi (Soekartawi, 1990). Karena proses produksi ini melibatkan orang, maka manajemen berarti juga seni mengelola orang-orang dalam tahapan proses produksi. Dalam praktek HKm, faktor manajemen ini dipengaruhi berbagai aspek yang perlu dibenahi, yaitu : tingkat pendidikan, tingkat keterampilan dan pengetahuan, skala usaha dan macam komoditas.

IV. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :

  1. Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan adalah sistem penting dalam mewadahi dan mendukung proses produksi, pemberdayaan dan partisipasi. Pengorganisasian kawasan dibentuk dalam manajemen petak, pengorganisasian masyarakatnya disusun dalam bentuk lini (garis), dan departementasi berdasarkan wilayah. Struktur tersebut sudah cukup sesuai diterapkan dalam manajemen organisasi hutan kemasyarakatan di Koto Panjang, Riau.
  2. Masalah yang mendasar pada kelembagaan tersebut antara lain adalah rentang kendali yang tidak efektif dan stagnasi kelompok.
  3. Rentang kendali pada organisasi HKm perlu dipersempit. Setiap kelompok akan lebih efektif dengan jumlah anggota 10-15 orang, sehingga hubungan organisatoris yang timbul berkisar 55-120 jalur.
  4. Potensi kelembagaan masyarakat setempat yang dapat diangkat untuk perbaikan pengelolaan HKm antara lain : Koperasi dan sistem kekerabatan atau sistem adat Tigo Tungku Sejarangan.
  5. Penguatan aspek manajemen sangat diperlukan untuk mengaktifkan sistem kelembagaan yang telah ada dan membangun sistem hubungan kerja yang lebih hidup.

V. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Laporan Rancangan Teknis Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Propinsi Riau. Kerja sama antara BRLKT Indragiri-Rokan, PPSE UNRI dan Fahutan Unilak.

Anonim. 2002. Laporan Akhir Pengembangan Kelembagaan (Pendampingan LSM, Penyuluhan, Bimbingan Teknis dan Forum Komunikasi) Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Propinsi Riau. BRLKT Indragiri Rokan Propinsi Riau bekerja sama dengan Riau Mandiri. Pekanbaru.

Awang, San Afri. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana bekerja sama dengan Center of Critical Social Studies. Yogyakarta.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Davis, Kenneth. 1996. Forest Management : Regulation and Valuation. Mc Graw Hill. New York. Second Edition.

Dewi, Ayu. 2002. Konsepsi Pemberdayaan Kelompok Tani. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi V. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Harisetijono dan Kurniadi. 2002. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Kemasyarakatan. Aisuli no. 17 tahun 2002. Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kenasyarakatan. Tanggal 12 Pebruari 2001. Jakarta.

Simon, Hasanu. 2000. Studi Kolaboratif FKKM : Kelembagaan Kehutanan Masyarakat, Belajar dari Pengalaman, Aditya Media, Yogyakarta.

Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sujianto. 2001. Teknik Kelembagaan Hutan Rakyat Tanah Bergambut Lubuk Sakat. Laporan Penelitian Laboratorium Administrasi Niaga Kerjasama Dengan Wanariset II Kuok.

Supardi dan Anwar. 2002. Dasar-Dasar Perilaku Organisasi. UII Press. Yogyakarta.

The Liang Gie. 1978. Administrasi Perkantoran Modern. Nur Cahaya. Yogyakarta.

0l1

0l2

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.