Kelembagaan DAS

C. Yudilastiantoro dan Tony Widianto

KELEMBAGAAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG BATU APUNG DI LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT

Oleh : C. Yudilastiantoro 1) & Tony Widianto 2)

1) Peneliti Balai PenelitianKehutanan Mataram 2) Peneliti Balai PenelitianKehutanan Makasar

Info SOSIAL EKONOMI Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 1 – 15

ABSTRAK

Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan reklamasi lahan bekas tambang adalah melalui upaya bersama antara instansi dan kelompok tani, sehingga para petani dapat mencegah kerusakan lahan sekaligus memperbaikinya, serta dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ijobalit, Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, antara bulan Mei sampai Desember 2005. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei dan PRA (Participatory Rural Appraisal). Responden ditentukan secara purposive sampling dengan jumlah 80 responden yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok yang menerapkan sistem plot dari BP2TPDAS IBT dan kelompok yang mereklamasi lahannya menggunakan pola mereka sendiri. Data sosial ekonomi dianalisis menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, sedangkan peran dan rekomendasi instansi dianalisis menggunakanAHP(Analytical Hierarchi Process).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa instansi yang berkaitan dengan reklamasi lahan bekas tambang batu apung seperti Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan dan Ternak, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas PU Pengairan dan Bagian Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup kurang bertanggung jawab terhadap reklamasi lahan. Berdasarkan SK Gubernur No.62/1998, pemilik atau pengelola tambang adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap reklamasi lahan bekas tambang.

Berdasarkan hasil AHP, pola Social Forestry merupakan rekomendasi utama dari instansi terkait, untuk diterapkan pada reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Kelompok tani berperan penting dalam pengelolaan reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Kelompok hamparan merupakan pilihan yang baik untuk diterapkan pada reklamasi lahan menggunakan sistem plot dari BP2TPDAS IBT.

KataKunci : reklamasi lahan, Social forestry,AHP.

I. PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan di daerah bekas tambang batu apung adalah reklamasi lahan bekas tambang yang belum dilaksanakan baik oleh perorangan maupun lembaga/instansi. Salah satu alasannya adalah masih terdapat bahan galian batu apung di bagian bawahnya dan tidak ada kesepakatan tentang penanggungjawab reklamasi lahan bekas tambang batu apung antara pengusaha dan pemilik lahan. Batu apung atau pumice merupakan salah satu bahan galian golongan C, yang cukup mempunyai peran dalam sektor industri, sebagai bahan baku utama maupun sebagai bahan baku penolong dan dapat diperjualbelikan (Arifin, 1997). Menurut Ghee dan Gomes (1993) pada masa sekarang ini terdapat masalah-masalah yang dihadapi oleh sebagian masyarakat antara lain kemiskinan budaya dan sosial serta disintegrasi sebagai akibat dari tuntutan-tuntutan dunia luar akan energi, mineral, lahan pertanian serta sumber daya alam yang lain. Cahyono (2004) menyatakan bahwa untuk terlaksananya pengelolaan yang komprehensif perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Tony dkk (2003) mengatakan bahwa kelembagaan dapat berkembang baik jika ada infrastruktur, penataan dan mekanisme kelembagaan.Kelembagaan dapat dianalisis dari dua sudut , yaitu dari sudut organisasi dan aturan mainnya. Purwanto dkk (2004) mengatakan bahwa kemampuan kelembagaan masyarakat merupakan hal yang perlu diperkuat oleh berbagai sektor, antara lain dengan menumbuhkan kemampuan lembaga masyarakat sebagai produsen dan mitra pemerintah. Untuk itu diperlukan suatu bentuk kelembagaan masyarakat yang komprehensif.

Maksud penelitian ini adalah menggambarkan hubungan kelembagaan dengan keberhasilan reklamasi untuk memperoleh kelembagaan yang efektif dalam melaksanakan reklamasi bekas tambang batu apung. Metode penelitian menggunakan analisis Power versus Interest Grids untuk minat dan hubungan antar lembaga formal (Dinas-dinas kabupaten), dan AHP (Analytic Hierarchi Process) untuk lembaga formal dalam menentukan pilihan kelembagaan yang paling efektif dalam mereklamasi lahan bekas tambang batu apung.

Tujuan penelitian adalah mendapatkan kelembagaan reklamasi lahan tambang batu apung yang mantap. Agar reklamasi lahan dan konservasi tanah dapat berhasil dengan baik maka diperlukan kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap reklamasi lahan bekas tambang.

II. METODEPENELITIAN

A.Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di kelurahan Ijobalit, kecamatan labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Mei s/d Desember tahun 2005. Lokasi ini diambil karena areal bekas tambang termasuk dalam DAS Dodokan yang merupakanDAS prioritas I menurut SK Menhut No. 284/Kpts- II/99 tanggal 7 Mei 1999.

B. MetodePengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan rancangan Metode Survei, menggunakan kuesioner atau daftar pertanyaan terstruktur dengan pendekatan PRA (Partisipatory Rural Apraisal) untuk mengeksplorasi data dan informasi secara partisipatif yang bertumpu pada metode ilmiah. Responden ditentukkan secara Purposive sampling.

Jumlah responden 80 orang yang terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok I yang mengadakan reklamasi lahan bekas tambang batu apung dengan usaha sendiri sebanyak 40 orang dan Kelompok II merupakan kelompok reklamasi lahan di sekitar plot uji perlakuan dari BPPTPDAS IBT sebanyak 40 orang. Sedangkan responden untuk kelembagaan formal atau Dinas dinas terkait sebanyak 6 (enam ) instansi.

C. Analisis Data

Analisis data dengan menggunakan Analisis kualitatif dan Kuantitatif, yaitu menyusun hasil kompilasi data primer dan skunder, kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi.

Menurut Bryson (2003 keberhasilan dari penanganan suatu masalah yang kompleks dan terkait dengan banyak pihak, tergantung pada pemahaman yang jelas pada minat dan hubungan antar stakeholder (Pihak terkait). Pada penelitian ini digunakaan analisis Power versus Interest Grids. Sedangkan untuk menentukan pilihan kelembagaan yang paling efektif dalam mereklamasi lahan bekas tambang batu apung digunakan AHP.

1. Metode Power versus Interest Grids

Analisis ini dimulai dengan menyusun pada matriks dua kali dua menurut interest (minat) stakeholders terhadap suatu masalah dan Power (kewenangan) stakeholders  dalam mempengaruhi masalah tersebut. Interest/minat adalah : minat atau kepentingan stakeholders terhadap reklamasi lahan bekas tambang. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi. Sedangkan yang dimaksud dengan power/kewenangan adalah : kekuasaan stakeholders untuk mempengaruhi atau membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan reklamasi lahan bekas tambang.

Penjelasan dari penempatan stakeholders pada matriks adalah (Bryson, 2003) : Subject adalah instansi/kelembagaan yang mempunyai minat besar namun wewenangnya kecil. Players adalah mereka yang mempunyai minat besar dan wewenang yang besar. Contest Setter adalah mereka yang mempunyai minat kecil dan wewenang yang besar. Crowd adalah mereka yang mempunyai minat kecil dan wewenang yang kecil.

2. Metode Analitical Hierarchy (AHP)

a. Penyusunan Hirarki

Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki. Diagram berikut mempresentasikan keputusan untuk memilih kelompok atau lembaga informal yang lebih baik dalam pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Adapun goal untuk membuat keputusan tersebut adalah Kelembagaan Ideal Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Apung, hierarki persoalan ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

0g1

Gambar 1. Struktur Hirarki dalam proses Pengambilan Keputusan oleh Masyarakat

0g2

Gambar 2. Struktur Hirarki dalam proses pengambilan Keputusan oleh Lembaga formal / instansi

b. Penilaian Kriteria dan Alternatif

0t1

Kriteria dan Alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualifatif dari skala perbandingan dapat dilihat padaTabel 1 berikut.

c. Penentuan Prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) . Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.

d. Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

III. HASILDANPEMBAHASAN

A. Kelembagaan informal

Kelembagaan Informal pada reklamasi lahan bekas tambang adalahKelompok Tani, yang dibedakan menjadi dua (2) yaitu :

  1. Kelompok A, yang mereklamasi lahan dengan usaha sendiri dan Kelompok pola tanam sesuai dengan pola plot uji cobaBPPTPDASIBT.
  2. Kelompok B, yang mereklamasi lahan dengan usaha sendiri dan menerapkan pola tanam sesuai dengan pola tanamnya sendiri.

Kelompok-kelompok ini merupakan suatu lembaga/organisasi yang beranggotakan para petani sekitar 50 orang per kelompok dalam satuan wilayah kerja (SATWILKER) dalam satu hamparan dengan luas kurang lebih 10 hektar per hamparan. Kelompok ini sangat berpengaruh terhadap tingkah laku anggotanya, namun yang sulit adalah mempertahankan keberadaan atau eksistensinya terhadap kinerja anggotanya. Hasil penelitian kelembagaan lokal di NTB oleh San Afri Awang, dkk (2000), menunjukan bahwa sisi lemah dari kelembagaan lokal adalah tingkat profesionalitasnya. Lembaga lokal seperti kelompok adat dan kelompok tani tradisional seringkali dibatasi oleh nilai tradisi warisan nenek moyang yang biasanya cenderung tertutup terhadap inovasi dan perkembangan teknologi.

0t2

Selain itu, karakter masyarakat adat juga cenderung bersikap menerima apa adanya ( bhs Jawa) terhadap kondisi kehidupannya, sehingga segan untuk diajak maju dengan menerima teknologi baru. Nilai kekerabatan seringkali digunakan sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan daripada aspek profesionalitas untuk melaksanakan kegiatan. Lembaga lokal memang sangat dipatuhi oleh masyarakatnya, tetapi cenderung tidak kreatif, tidak merespon perubahan dan tidak profesional dalam menyelesaikan masalah. Hukum dan peraturan di “desa adat” sangat mengikat bagi anggota masyarakatnya, karena peraturan tersebut tidak bersifat universal. Struktur kepengurusannya dibuat ringkas berdasarkan kebutuhan. Aturan dasar organisasi hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Hal ini tidak jauh dari kelompok tani, yang dibutuhkan oleh warga di daerah pedesaan, walaupun dibentuk atas dasar inisiatif dari pemerintah. Keberadaannya dapat dipertahankan dan berfungsi sebagai sarana berkumpulnya petani untuk mengembangkan dan meningkatkan usahataninya yang terkait dengan usaha reklamasi lahan. Untuk lebih jelasnya kondisi kelompok tani di lokasi penelitian dapat diperiksa pada Tabel 2.

Keanggotaan kelompok tani dipilih secara demokratis, ketua dipilih secara langsung oleh anggota dengan calon ketua lebih dari satu orang. Kegiatan utama kelompok adalah pertemuan untuk musyawarah mufakat terhadap permasalahan bersama, terutama bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Pengembangan usahanya antara lain adalah arisan atau simpan pinjam sekadarnya. Modal kelompok berasal dari iuran anggota, hal ini sangat baik karena dilandasi oleh semangat merasa memiliki kelompok dan kegotongroyongan anggota.

B. Hasil Analysis Herarchy Process (AHP) Kelembagaan Informal

Kelompok A: Kelompok yang mereklamasi lahan dan menerapkan pola tanam sesuai dengan pola plot uji coba BPPTPDASIBT. Hasil AHP terhadap Kelompok A menunjukkan beberapa alternatif peringkat dalam reklamasi lahannya seperti padaTabel 3 :

Alternatif yang paling banyak dipilih petani adalah cara tambang sendiri batu apung, lebih baik bila mempunyai modal sendiri. Hal ini didukung oleh 30,00% responden. Sebanyak 15% dari responden memilih pola bila punya modal sendiri, demikian pula sebanyak 15% dari respoden akan mengkontrakkan lahannya bila tidak mempunyai modal sendiri. Dan 15% responden juga akan menambang sendiri lahannya karena lebih menguntungkan bila dibanding dikontrakkan. Alternatif kelembagaan yang merupakan pilihan responden, dapat dilihat padaTabel 4 di bawah ini.

0t3

0t4

Kelompok Hamparan lebih baik diterapkan terhadap pola Tambang Sendiri, hal ini diketengahkan oleh 20% responden. Beberapa alternatif yang mendapat dukungan 15% responden yaitu : Kelompok Keluarga lebih baik diterapkan terhadap pola lahan yang dikontrakkan, lebih baik diterapkan terhadap pola Alley Cropping, lebih baik diterapkan terhadap pola tambang sendiri dan kelompok tani lebih baik diterapkan terhadap pola lahan yang dikontrakkan.

0t5

Kelompok B: kelompok yang mereklamasi lahannya dan usahataninya menerapkan dengan pola sendiri (agroforestry ) antara lain dengan komoditi tanaman kelapa, pisang dan jagung, memilih beberapa alternatif. Untuk lebih jelasnya dapat diperiksa padaTabel 5.

Responden sebanyak 50% memilih alternatif Reklamasi sendiri, dengan modal sendiri. Responden sebanyak masing-masing 10% memilih beberapa alternatif sebagai berikut : Tambang sendiri batu apung lebih baik/menguntungkan bila mempunyai modal sendiri, dengan menerapkan pola akan lebih baik diterapkan pada tanahnya sendiri, dan lahan dikontrakkan akan lebih baik bila tidak tersedia tenaga kerja. Beberapa alternatif tentang kelompok atau kelembagaan yang dipilih olehKelompokBdapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

0t6

Kelompok Keluarga lebih baik diterapkan terhadap pola Tambang Sendiri sebesar 35% responden. Alternatif Kelompok Keluarga lebih baik diterapkan terhadap pola lahan yang di Reklamsi Sendiri sebesar 30%. Responden sebanyak masing-masing 10% mempunyai beberapa alternatif sebagai berikut : Kelompok Hamparan lebih baik diterapkan terhadap pola lahan yang di Reklamasi Sendiri, juga baik diterapkan terhadap pola Tambang Sendiri, dan baik diterapkan terhadap pola Alley Cropping.

C. KelembagaanFormal/Institusi

Kelembagaan formal atau institusi merupakan lembaga yang berada di Pemerintahan, ter utama pemerintah daerah tingkat kabupaten, antara lain : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten, Dinas Pertambangan dan Industri Kabupaten, Dinas Pertanian Tanaman PanganKabupaten, Dinas Pendapatan Daerah  Kabupaten dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten seksi Pengairan ; memberikan respon yang beragam terhadap usaha reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Hal ini disebabkan karena TUPOKSI Instansi yang berbeda-beda; Namun dapat ditarik garis bahwa dinas-dinas tersebut ikut berpartisipasi terhadap usaha reklamasi dengan usaha sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat padaTabel 7.

0t7

Jenis kegiatan yang dilakukan satu lembaga seringkali dilakukan juga oleh lembaga lain sehingga terjadi duplikasi dalam pelaksanaannya. Sebaliknya ada juga instansi yang ikut melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menyangkut reklamasi lahan bekas tambang padahal tidak ada dalam tugasnya. Menurut Tejoyuwono (1999), hal-hal tersebut disebabkan antara lain : Terdapat kekaburan dalam tugas yang telah dirumuskan sehingga memungkinkan interpretasi yang berbeda sesuai dengan keadaan setempat dan ambisi lembaga yang bersangkutan. Akibat kebutuhan yang tinggi untuk suatu kegiatan (misalnya, reklamasi) sedang lembaga yang mempunyai tugas utama untuk bidang tersebut tidak dapat memenuhi jumlah tenaga yang diperlukan, sehingga menimbulkan peluang lembaga-lembaga lain untuk masuk dalam kegiatan tersebut. Kurangnya pengawasan mutu hasil kerja, menyebabkan hampir siapa saja boleh melakukan kegiatan yang sebenarnya bukan bidang keahliannya.

D. AnalisisPara pihak (stakeholder)

Analisis ini dimulai dengan menyusun pada matriks dua kali dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan Power (kewenangan) stakeholders  dalam mempengaruhi masalah tersebut.

0g1

Yang dimaksud dengan minat adalah : Minat atau kepentingan stakeholders terhadap reklamasi lahan bekas tambang. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan adalah : Kekuasaan stakeholders untuk mempengaruhi atau membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan reklamasi lahan bekas tambang. Penjelasan dari penempatan stakeholders pada matriks di atas adalah sebagai berikut :

  1. Subject. Dinas yang berada di kolom subjects adalah : Dinas Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup serta masyarakat dan LSM yang peduli terhadap reklamasi lahan bekas tambang.
  2. Players. inas yang masuk di kolom players masih dikelompokkan menjadi dua menurut hubungannya dengan reklamasi lahan bekas tambang. Kelompok pertama yang hubungannya dengan reklamasi lahan bekas tambang sangat erat bila dilihat dari tupoksinya, yaitu Dinas Pertambangan dan Industri Kab. Kelompok kedua adalah instansi yang mempunyai keterkaitan dengan reklamasi lahan bekas tambang namun dalam uraian tupoksinya kurang berhubungan dengan reklamasi lahan bekas tambang yaitu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab, Dinas Pertanian dan PeternakanKab.
  3. Contest Setter. Dinas yang masuk di kolom adalah Badan Perencana Pembangunan Daerah.
  4. Crowd. Dinas yang berada di kolom adalah mereka yang tidak bersedia menjadi dalam suatu kegiatan, yaitu Dinas Pendapatan Daerah. Dalam kegiatan tambang batu apung, dinas ini berperan juga sebagai pengelola retribusi batu apung. Meskipunmemungut retribusi batu apung secara langsung, dinas ini sama sekali tidak melaksanakan kegiatan/program untuk kepentingan reklamasi lahan bekas tambang. Semua hasil pungutan retribusi merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang nantinya digunakan untuk pembangunan daerah di berbagai sektor.

E. Analisis AHP (Analysis Hierarchy Process)

Penggunaan AHP(Analysis Hierarchy Process ) dilakukan untuk membandingkan tingkat kepentingan masing-masing lembaga dalam pengelolaan reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel terkait secara relatif dan dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (reklamasi lahan bekas tambang batu apung).

0t8

Rekomendasi dari beberapa dinas terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang batu apung berdasarkan hasilAHPdapat dilihat padaTabel 8.

Secara kelembagaan, institusi-institusi tersebut tidak bertanggungjawab langsung terhadap reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Sebetulnya reklamasi lahan bekas tambang batu apung merupakan kewajiban pengusaha tambang yang bersangkutan. Sedangkan pemerintah hanya memantau / mengawasi pelaksanaanya, agar sesuai dengan rencana sehingga lahan dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya dan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi pemilik lahan dan keluarganya. Tata Hubungan Kerja antara instansi-instansi tersebut dengan kelompok tani, sebatas sebagai tidak sebagai atasan dan bawahan, ataupun obyek kegiatannya.

F. Hasil Analisa AHP Kelembagaan Formal

Hasil analisis menunjukan bahwa instansi yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang batu apung mempunyai alternatif peningkatan kegiatan perhutanan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan peran kelompok. Perhutanan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan peran kelompok.

0t9

Perhutanan sosial memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya karena pola tanam yang diterapkan adalah kombinasi antara tanaman pertanian (musiman), tanaman kehutanan, tanaman MPTS (buah-buahan) dan tanaman hijauan makanan ternak. Selain itu di lahan perhutanan sosial juga ditanam tanaman pengikat nitrogen (jenis leguminaceae) untuk mengembalikan kesuburan lahan bekas tambang. Hal ini lebih diutamakan dibanding meningkatkan peran kelompok yang selama ini sudah cukup baik. Kelompok masyarakat di lahan bekas tambang sudah cukup tertata, dengan adanya struktur organisasi yang jelas, aturan-aturan yang disepakati bersama serta bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan. Adapun lembaga formal yang terkait dengan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang batu apung dapat dilihat padaTabel 9.

Terdapat 5 (lima) dari 6 (enam) instansi dinas yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang batu apung menyatakan bahwa Perhutanan Sosial mempunyai peringkat tertinggi. Keuntungan yang didapat adalah tersedianya lapangan pekerjaan, tersedianya komoditi hasil hutan yang beragam, menyediakan bahan baku kayu bakar/bahan bangunan, dan terciptanya kawasan hutan yang berdampak terhadap kelestarian lingkungan.

IV. KESIMPULANDANSARAN

A. Kesimpulan

  1. Lembaga Formal yaitu dinas-dinas Pemerintah Kabupaten Lombok Timur antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertambangan, maupun Dinas Pertanian Tanaman Pangan tidak bertanggungjawab secara langsung terhadap reklamasi lahan bekas tambang batu apung. Penambang batu apung lah yang bertanggungjawab terhadap reklamasi lahan bekas tambang batu apung, sementara pemerintah daerah mengawasi pelaksanaannya. Hal ini sesuai Surat Keputusan GubernurNTBNo. 62 tahun 1998 tanggal 25 Juni 1998.
  2. Lembaga Informal yaitu Kelompok Tani setempat, sangat berperan terhadap keberhasilan usaha reklamasi lahan bekas tambang batu apung.
  3. Kelompok Hamparan merupakan lembaga atau kelompok yang dapat menerapkan reklamasi sendiri dengan lebih baik dengan menggunakan pola plot uji cobaBPPTPDAS IBT.
  4. Perhutanan Sosial merupakan peringkat pilihan utama, untuk digunakan sebagai suatu pola atau sistem reklamasi lahan bekas tambang batu apung.
  5. Pola agroforestry lebih baik daripada monokultur untuk mereklamasi lahan bekas tambang batu apung.
  6. Model Kelembagaan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Apung yang baik adalah Kelompok Tani, berdomisili di dusun, struktur organisasinya sederhana yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara dibantu dengan Seksi Umum. Dibina oleh Kepala Kelurahan setempat. Aturan dasar organisasi hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum. Aturan-aturan operasional bersifat temporer yang biasanya berupa aturan tak tertulis dan disepakati bersama.

B. Saran

Perlu dilakukan kegiatan pendampingan oleh penyuluh pertanian, kehutanan maupun dari instansi lain untuk lebih meningkatkan produktifitas lahan sekaligus melaksanakan usaha reklamasi lahan bekas tambang dengan teknik yang sesuai dengan keadaan lahan dan keinginan masyarakat setempat.

DAFTARPUSTAKA

Arifin.MdanKunrat, TS. 1997. Bahan Galian Industri-Batu Apung. Pusat Peneleitiandan PengembanganTeknologi Mineral. Bandung

Badan Pusat Statistik. 2003.Kabupaten Lombok Timur dalam Angka. Nusa Tenggara Barat. Lombok

Bryson, JM. 2003. A paper presented at the London School of Economics and Political Science. London

Departemen Kehutanan RI. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999, tentangKehutanan. Kopkar Hutan, Jakarta.

What to Do When Stake Holders Matter: A Guide to Stakeholder Identification and Analysis Techniques. Kelembagaan Reklamasi Lahan Bekas (C. Yudilastiantoro & Tony Widianto) Departemen Kehutanan RI. 1999. Prioritas Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Jakarta.

Dinas Pertambangan dan Industri Kabupaten Lombok Timur. 2004. Profil Batu Apung. Tidak dipublikasi. Selong.NTB.

Djogo Tony, dkk.. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry. ICRAF (World Agroforestry Centre) Bogor.

Marimin, Prof. 2004. Teknik Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Hal 79. Grasindo Gramedia Widya Sarana Indonesia. Jakarta.

Narendra. 2003. Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Apung di NTB. Buletin.\KonservasiTanah. Makassar.

Purwanto,S.Ekowati dan S.A.Cahyono. 2004. Lembaga Untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat Produksi Tinggi. Ekspose Terpadu Hasil-hasil Penelitian.Yogyakarta.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Pedoman Reklamasi BekasTambang DalamKawasan Hutan. Jakarta.

Tunru. N. A. 2001. Fungsi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian Ditinjau Dari Segi Penerapan Teknologi dan Kemandirian Lokal. Tesis S2.UNHAS. Makassar.

Saaty, T.L., 1983 Decision Making For Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decision an ComplexWorld.RWSPublication. Pitls burgh .

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.