Kelembagaan DAS

Hariadi Kartodihardjo

SALAH TEORI ATAU SALAH KERANGKA PEMIKIRAN ???

Oleh: Hariadi Kartodihardjo

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/rimbawan-interaktif/

Pengantar

Ada dua aliran pemikiran mengenai kebijakan kehutanan, the forest first dan the forest second. Yang berkembang di Indonesia saat ini adalah kerangka pikir yang pertama (the forest first). Jika ada yang menyalahkan TPTI karena tidak jalan, juga dilandasi oleh aliran pemikiran yang pertama itu. Kelemahan aliran pemikiran pertama adalah tidak pernah memperhatikan perilaku pelakunya, semua dianggap bisa dikomando dan dikontrol. Juga dengan kerangka pemikiran pertama, yang disalahkan adalah lemahnya pengawasan. Dalam kerangka pikir kedua, justru dipertanyakan mengapa harus diawasi ?

Lebih jauh dari itu, TPTI jika hanya dilihat dari pedoman pelaksanaan TPTI, belum dianggap sebagai kebijakan. Pedoman adalah teknologi. Aspek ekonomi dan institusinya belum ada dalam pedoman tsb. Berikut penjelasan singkat kedua aliran pemikiran tersebut, dari potongan bahan kuliah ‘teori kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan’.

1. Kerangka Pemikiran Saat Ini : Hutan sebagai Faktor Utama (the FOREST FIRST)

Kebijaksanaan pengusahaan hutan alam produksi di Indonesia tidak terlepas dari rangkaian konsep dan asumsi yang digunakan sebagai landasannya. Berdasarkan isi peraturan perundangan yang telah diberlakukan, kerangka pemikiran yang digunakan untuk menetapkan kebijaksanaan pelestarian hutan adalah meletakkan hutan (natural capital) sebagai faktor utama. Dalam hal ini hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami dan tergantung dari tipe ekologis dan karakteristik hubungan makluk hidup yang ada di dalamnya. Pelestarian hutan tergantung dari keseimbangan sistem alami di dalam hutan itu sendiri. Kebijaksanaan (policy space) pelestarian hutan berada dalam lingkungan internal hutan yang dianalisis. Dengan demikian, pemanfaatan dan pelestarain hutan memerlukan banyak jenis peraturan kerja (biasanya berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis) akibat adanya perbedaan-perbedaan tipe ekosistem hutan dan banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pengelola hutan.

Dengan demikian, keberhasilan pelestarian hutan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk menghasilkan peraturan kerja yang tepat dan kemampuan para pengelola hutan untuk dapat mengerti dan melaksanakannya. Dalam pendekatan ini perdebatan mengenai upaya pelestarian hutan selalu diseputar peraturan kerja yang tidak benar akibat dari permasalahan penerapan keilmuan atau keabsahan data yang digunakan. Pembangunan kehutanan dilaksanakan secara monolitik, yang mana setiap aspek lain dari pembangunan yang berpengaruh terhadap kinerja pengusahaan hutan dianggap sebagai faktor eksogen.

Kerangka pemikiran di atas mendorong upaya untuk menjadikan pemerintah sebagai agen pembangunan yang kuat, dengan peralatan yang lengkap, sumber-daya manusia (human capital) yang terdidik dan terlatih, dan siap untuk menjalankan tugas agar seluruh peraturan kerja dapat dilaksanakan. Dalam negara-negara berkembang, yang menggunakan kerangka pemikiran ini, bahkan kegiatan pengamanan hutan dilaksanakan oleh pemerintah yang berfungsi seperti militer. (Sharma, 1993). Dalam hal ini negara dikatakan sebagai “grand regulators” yang mana pemanfaatan dan konservasi hutan dilaksanakan melalui pengorganisasian mekanisme internal di dalam tubuh organisasi pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang banyak jumlahnya. Sedangkan mekanisme pasar, harga, dan insentif dianggap sebagai faktor eksogen. (Sfeir, 1991).

Peraturan dan perundangan pengusahaan hutan mereduksi kebijaksanaan pengelolaan hutan menjadi pengaturan manajemen pengusahaan hutan. Adanya karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, pemerintah, sampai saat ini belum teratasi.

Dalam penetapan besaran jatah tebangan tahunan, cukup didasarkan pada ukuran fisik yang tetap (fixed) yaitu asumsi riap kayu di hutan, luas dan rotasi tebang, serta faktor eksploitasi dan faktor keamanan. Nilai opportunity cost dari modal yang digunakan tidak diperhitungkan, sehingga perilaku pengusaha  dalam pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor moneter tidak diakomodasikan dalam pendekatan ini. Dengan demikian, kerangka pemikiran ini tidak memperhatikan cara perumusan rotasi tebang optimal seperti yang ditetapkan dalam teori Faustmann-Pressler-Ohlin maupun konsekuensi untuk memenuhi asumsinya (Johansson dan Löfgren, 1985).

Banyaknya jumlah peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan administrasi pelaksanaan pekerjaan dapat diartikan bahwa peraturan perundangan pengusahaan hutan adalah penjabaran implementasi teknologi daripada implementasi institusi.

Permasalahan penggunaan kerangka pemikiran ini sebagai dasar pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan kehutanan adalah kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah untuk mendukung akurasi peraturan kerja. Di samping itu pemerintah harus melaksanakan pengawasan agar pemegang HPH mematuhi peraturan seperti ditunjukkan di atas. Kegiatan pengusahaan hutan, khususnya perlindungan hutan, menjadi sangat tergantung pada kemampuan pengawasan yang dilakukan pemerintah, dan kenyataannya kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pengawasan sangat terbatas. Hal ini ditunjukkan oleh kinerja pengusahaan hutan yang rendah dan banyaknya peringatan pemerintah bagi HPH. Rendahnya kemampuan pengawasan pemerintah secara intensif terhadap pencurian kayu di negara-negara berkembang tidak dapat digantikan dengan cara memperberat hukuman bagi pencurian kayu. Instrumen kebijaksanaan perlindungan hutan pada prinsipnya sangat tergantung dari pelaksanaan pengawasan pencurian kayu yang efisien dan sistem hukum yang baik.

Pengertian efisien berarti dapat mendeteksi pencuri kayu baik inisiatornya maupun pelaksananya. Sebagai salah satu syarat, hukum harus dapat dijalankan secara konsisten yang disertai oleh kontrol sosial untuk mencegah terjadinya korupsi dan kolusi. Jika hukum tidak dapat dilaksanakan secara konsisten, berat-nya hukuman justru akan menggantikan pencuri-pencuri kecil dengan pencuri-pencuri besar yang terorganisir yang disebabkan oleh peningkatan skala ekonomis pencurian kayu. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijaksanaan pelaksanaan pengelolaan hutan alam produksi memerlukan bentuk institusi yang dapat memecahkan permasalahan hubungan antar berbagai pihak dalam pelaksanaan pengelolaan hutan. Hal ini belum pernah dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan alam oleh banyak negara (Sharma, 1993).

2. Pembaharuan Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Kehutanan (the FOREST SECOND)

Kerangka pemikiran ini dilandasi oleh suatu kenyataan bahwa hutan bukan hanya sebagai sumberdaya alam yang menunjang pembangunan ekonomi, tetapi juga sebagai sumberdaya alam yang menunjang pelestaraian sosial budaya dan lingkungan hidup. Dengan demikian, hutan menjadi sumberdaya alam milik publik (public property resources).

Pemerintah c.q. Departemen Kehutanan merupakan lembaga publik (public institution) yang berfungsi mengatur alokasi sumberdaya hutan agar dapat dimanfaatkan secara efisien dan adil. Dengan demikian, sumberdaya manusia (human capital) harus dipandang sebagai subyek, sedangkan hutan (natural capital) sebagai obyek, karena pusat perhatian pemerintah adalah mengendalikan perilaku masyarakat dan bukan sebagai pelaksana pengusahaan hutan. Faktor yang dianggap eksogen dalam kerangka pemikiran pertama (the forest first), seperti sistem sosial, ekonomi dan politik, harus dipertimbangkan dalam setiap perumusan kebijaksanaan.

Dengan suatu kerangka pemikiran bahwa tanpa memasukkan unsur sistem sosial, ekonomi dan politik dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, pelestaraian hutan tidak akan dapat dicapai. Prinsip yang digunakan adalah bahwa pelestarian hutan bukanlah hasil kreasi dari keseimbangan fisik di dalam hutan itu sendiri (berdasarkan kerangka pemikiran pertama) melainkan merupakan hasil keseimbangan antar seluruh jenis kapital yang digunakan baik hutan sebagai natural capital, infrastruktur (physical capital) seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dll., modal (financial capital), sumberdaya manusia (human capital) serta institusi (institutional capital) (Sfeir, 1991).

Berdasarkan kerangka pemikiran ini pengusahaan hutan harus berjalan dengan mempertahankan keberlanjutan fungsi dari kelima aspek di atas. Keempat aspek pertama merupakan syarat perlu (necessary condition) sedangkan aspek kelima merupakan syarat cukup (sufficient condition).

Permasalahan yang dihadapi adalah bahwa keempat bentuk modal sebagai syarat perlu di atas tidak dimiliki oleh satu institusi tertentu, misalnya pemegang HPH, melainkan di miliki oleh berbagai pihak. Dalam hal ini hutan dan infrastruk-tur milik negara, sarana dan prasarana pengusahaan hutan milik pemegang HPH, modal selain dimiliki oleh pemegang HPH juga dapat dimiliki pihak lain misalnya bank yang memberikan pinjaman, sedangkan sumberdaya manusia dimiliki oleh para pekerja yang setiap saat dapat masuk dan/atau keluar perusahaan.

Tanpa memperhatikan manfaat intangible, keempat bentuk modal di atas tidak mempunyai substitusi yang sempurna. Sehingga keuntungan (financial capital) dari pelaksanaan pengusahaan hutan tidak secara alami akan ditanamkan kembali menjadi hutan oleh pengelolanya karena dengan bentuk institusi pengusahaan hutan yang diterapkan sekarang, nilai keuntungan yang diperoleh mempunyai opportunity cost lebih tinggi jika disimpan di bank atau digunakan sebagai modal usaha yang lain daripada ditanamkan kembali sebagai tegakan hutan (natural capital).

Permasalahan-permasalahan di atas memberikan argumentasi kuat bahwa kelembagaan pengusahaan hutan menjadi syarat cukup yang harus dipenuhi . Fungsi institusi untuk memastikan kepemilikan keempat jenis modal yang digunakan dan menetapkan batas yurisdiksi masing-masing kelompok masyarakat terhadap pemanfaatan hutan, memberikan informasi mengenai resiko yang dihadapi dalam pelaksanaan pengusahaan hutan dan mendistribusikan tanggungan atas resiko tersebut, menetapkan pelaku pengelola hutan yang paling mungkin dapat menanggung resiko, serta melaksanakan manajemen pengendalian resiko tersebut.

Saat ini kompleksitas bentuk institusi yang mampu memecahkan permasalahan pelestarian hutan tidak cukup difahami atau tidak dianggap penting. Kerusakan hutan akibat over cutting oleh pemegang HPH dan ketidak-patuhan pemegang HPH terhadap peraturan pemerintah, serta pencurian kayu yang terjadi di Indonesia, masih dipecahkan berdasarkan kerangka pemikiran pertama.

Salah satu hambatan perubahan orientasi kebijaksanaan di atas adalah adanya kenyataan bahwa rimbawan telah mendapatkan ilmu dan pengetahuan seolah-olah mereka bekerja sebagai pemilik perusahaan atau sebagai pegawai di sebuah perusahaan swasta (private sector). Sehingga hampir seluruh bagian kegiatan pengelolaan hutan perlu diatur berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang telah diperolehnya. Sebaliknya ilmu dan pengetahuan yang mendukung analisis kebijaksanaan publik (public policy) kurang berkembang. Oleh karena itu diperlukan pergesaran arah pendidikan kehutanan sejak mereka duduk di perguruan tinggi ataupun berbagai jenis pendidikan lainnya.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.