Kelembagaan DAS

Syahyuti

STRATEGI DAN TANTANGAN DALAM PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI  (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PEDESAAN

Oleh :  Syahyuti – Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl A. Yani 70 Bogor

Abstract

Institutional development is one of the fundamental component in all device of Agriculture, Fishery, and Forestry Revitalization Year 2005-2025. Actually, during the time institutional approach have come to fundamental component in agriculture and rural development programs. Farmer institutions tend to only positioned as a means of for the implementation of mere project, not as effort for more empowerment base. Forwards, to be can personate partisipative rural society community asset, hence development of institutions must designed as effort to enhance capacity of society itself so that become self-supportingly. Development of farmer group aliance to be formed each per village, also have to use bases of social local capital with local independence principle, reached throught autonomous principle and empowerment.

Keyword: social institution, farmer group aliance, agriculture revitalization, local autonomy, empowerment, local independence.

Abstrak

Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005-2025. Sesungguhnya, selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Ke depan, agar dapat berperan sebagai aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan mestilah dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri. Pembentukan dan pengembangan Gapoktan yang akan dibentuk di setiap desa, juga harus menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.

Kata kunci: kelembagaan, gabungan kelompok tani, revitalisasi pertanian, otonomi daerah, pemberdayaan, kemandirian lokal.

Pendahuluan

Dari sisi iklim makro, sesungguhnya dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada babak yang baru dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki perspektif mendasar dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-20025 tanggal 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat; serta telah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun 1980-an. Lahirnya UU ini dapat pula dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian tersebut, dimana pertanian dalam konteks ini dipandang secara luas yang meliputi pertanian, perikanan dan kehutanan.

Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang akan merumuskan secara terperinci tentang metoda penyuluhan, strategi penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan.

Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru yang diinisiasikan oleh Departemen Pertanian, meskipun semenjak awal 1990-an Gapoktan sesungguhnya telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk untuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani.

Tulisan ini menjadi penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi pembentukan dan pengembangan Gapoktan tersebut masih dimatangkan rumusannya di tingkat Deptan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini berupaya memberikan peringatan dan arahan kepada semua pihak berkenaan dengan pengembangan kelembagaan petani di pedesaan umumnya dan secara khusus untuk pengembangan Gapoktan.

Point utama yang ingin disampaikan adalah perlunya dihindari pengembangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan usaha kecil di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah gagalnya pengembangan kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. Tulisan ini ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk pengembangan Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tantangan yang nantinya akan di hadapi.

Strategi Pengembangan Kelembagaan dalam Rancangan RPPK

Pengembangan kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena ia merupakan komponen utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan. Salah satu ciri RPPK adalah pelibatan banyak pihak sekaligus. RPPK melibatkan hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses implementasinya. Karena itulah, koordinasi dan sikronisasi berbagai pihak yang terkait akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik dalam perumusan RPPK maupun dalam mewujudkannya. Secara teoritis, “koordinasi” dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan.

Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Pada tingkat lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan pengembangan infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa pemberdayaan penyuluh pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian.

Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat terciptanya suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada tidak efisiennya sistem pertanian, dan rendahnya keuntungan yang diterima petani.

Dari sisi kelembagaan, akan dijumpai kendala yang bersifat fungsional, karena pendekatan strategi revitalisasi pertanian yang terkesan sektoral. Apabila tujuan utama (ends) dari revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, maka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan haruslah dilihat sebagai instrumen saja (means).

Dalam tabel ”Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian” (Badan Litbang Pertanian, 2005), disebutkan ada 11 kebijakan yang dicakup dalam RPPK sektor pertanian. Dalam tabel tersebut terlihat pembedaan antara ”Kebijakan Pengembangan Kelembagaan” (point nomor 5) dengan ”Kebijakan Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani” (point nomor 7). Tampaknya pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan banyak kalangan, bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam dokumen RPPK, berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan pengembangan kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu produk-produk. Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani” terdapat kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi petani di pedesaan.

Pembedaan seperti ini tampaknya mengikuti pembedaan, bahwa “kelembagaan” adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level petani. Pembedaan ini tampaknya mengikuti pembedaan yang dianut di kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005), yang berpendapat bahwa “institutions determine social organization”. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.

Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pusat, level lokal di pemerintahan daerah, dan level lokal di tingkat petani atau komunitas. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi begitu besar.

Kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar departemen, lembaga, atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian.

Pada tataran pusat ini, salah satu permasalahan lama adalah banyaknya kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan pengembangan ketahanan pangan.

Implementasi kelembagaan dalam revitalisasi pembangunan pertanian diharapkan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan dalam pengembangan kelembagaan yang sudah lalu. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang “analisis kelembagaan”. Dalam World Bank (2005a), institutional analysis adalah “… helps to identify the constraints within an organization that can undermine policy implementation. These constraints may exist at the level of internal processes, concern relationships among organizations (e.g., between ministries), or be a product of the way that the system is organized (reporting hierarchies) or operates (the financial year is not followed in practice and accounts are not closed)”. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan pada berbagai tingkatan.

Revitalisasi Kelembagaan Ekonomi Petani

Sesungguhnya saat ini, meskipun dengan kondisi yang variatif, di tingkat desa telah ada berbagai kelembagaan ekonomi petani, yaitu kelompok tani dan koperasi. Dalam konteks peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, Deptan akan melakukan penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani pada 436 kabupaten/kota di 32 propinsi, mengaktifkan forum pertemuan penyuluh swakarsa, pertemuan kontak tani, serta pendataan dan penumbuhan kelompok tani dan kelembagaan ekonomi petani.

Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi (kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.

Khusus untuk kegiatan ekonomi, ada banyak lembaga pedesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi, dan Kelompok Usaha Agribsinis. Secara konseptual, masing-masing lembaga dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi misalnya, dapat menjalankan seluruh aktifitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir. Namun, tampaknya ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam aktifitas ekonomi secara langsung.

Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan lemahnya aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi, namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan. Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan dapat menggantikan peranan mereka.

Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat untuk teknologi pertanian ataupun informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan penyuluhan. Penataan kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi sampai ke desa, yaitu berupa bantuan sewa/kontrak bagi 1698 BPP, pengembangan 88 BPP Model di 6 Propinsi RPPK, serta penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani (Badan SDM Pertanian, 2006). Selain itu, akan dilakukan pengangkatan 3.000 tenaga penyuluh pertanian honorer, revisi SK Menkowasbangpan No. 19/1999 tentang jabatan fungsional penyuluh pertanian dan angka kreditnya. Selain itu juga ada penyediaan Biaya Operasional Penyuluh (BOP) bagi 26.820 orang penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan penyusunan buku kerja bagi penyuluh pertanian.

Pengembangan kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas. Keberhasilan Program Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur yaitu didukung oleh political will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan subsidi, delivery system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi penyuluhan, serta prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen untuk berbagai fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan saprotan dan modal usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan pendekatan individu, namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya.

Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 Kabupaten/Kota atau 86 persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh Pertanian. Sedangkan 61 Kabupaten/Kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187 Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).

Konsep dan Strategi yang Dianut Deptan dalam Pengembangan Gapoktan

Sampai dengan tahun 2006, setidaknya sudah terbentuk 3000 unit Gapoktan. Khusus untuk tahun 2007, Deptan menargetkan pembentukan 22 ribu unit Gapoktan. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Disini terlihat bahwa, pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu sebagai “kendaraan” untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari luar desa. Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga yang mewakili kebutuhan petani sebagai representattive institution, namun awal terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat.

Pada tahun 2006 telah dilakukan upaya untuk mengidentifikasi kelompok tani dan gapoktan yang ada, dan mempersiapkan jika belum ada. Target akhir adalah aktifnya 66.000 Gapoktan hingga tahun 2009. Ini artinya, seluruh desa di Indonesia akan memiliki sebuah Gapoktan.

Kegiatan di tahun 2006 adalah mengumpulkan data profil kelembagaan usaha petani di tingkat desa di masing-masing wilayah. Berdasarkan data tersebut, serta sesuai dengan masalah yang dihadapi kelembagaan usaha petani tingkat desa, maka pada tahun 2007 lembaga usaha petani/peternak di tingkat desa tersebut akan dibimbing, dilatih dan didampingi guna memperoleh akses terhadap informasi pasar, teknologi dan permodalan. Dengan demikian, pada tahun-tahun mendatang fasilitasi dan pengukuran pembangunan pertanian oleh Dinas dan Instansi di Daerah maupun oleh propinsi dan pemerintah harus dilakukan melalui Gapoktan yang ada di masing-masing desa yang beranggotakan seluruh petani, peternak, dan nelayan di desa tersebut.

Gapoktan tersebut akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi lembaga usaha yang mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas. Lembaga pendamping yang utama adalah Dinas Pertanian setempat, dimana para penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan. Penguatan dari sisi lain adalah melalui implementasi berbagai kegiatan pemerintah yang didistribusikan ke desa, dimana Gapoktan selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang memungkinkan.

Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di pedesaan melalui pertanian, di antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjend Deptan, 2006). Unit-unit usaha dalam Gapoktan dapat menjadi penggerak perekonomian di pedesaan. Untuk mendukung rencana tersebut, tiap propinsi mulai tahun 2007 diwajibkan untuk membuat cetak biru (master plan) pengembangan agribisnis di Kabupaten/Kota sesuai komoditas unggulan.

Pembangunan pertanian telah mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1980 an, komoditas-komoditas yang sebelumnya belum dikenal seperti kakao mulai diolah dan bernilai tinggi. Akan tetapi sejalan perkembangan pembangunan pertanian, harus diakui kebijakan makro belum sejalan dengan pengembangan sektor riil pertanian. Faktor faktor tersebut antara lain, masih tingginya suku bunga bank sehingga menyulitkan permodalan petani, infrastruktur yang belum memadai, sistim alih teknologi yang belum lancar, fluktuasi harga dan lemahnya posisi tawar petani. Gapoktan dibangun dalam upaya untuk memperkuat posisi daya tawar petani berhadapan dengan pihak luar (external institutions).

Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjalankan fungsi representatif bagi seluruh petani dan kelembagaan-kelembagaan lain yang levelnya lebih rendah. Ia diharapkan menjadi gerbang tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga pemenuhan modal, kebutuhan pasar, dan informasi.

Konsep Peran Gapoktan dalam Pengembangan Kelembagaan Pedesaan

Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan, “kelompok tani-nelayan” adalah kumpulan petani-nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani nelayan dan kesejahteraan anggotanya. Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa. Kelompok tani juga dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan gender.

Sedangkan, “Gabungan Kelompok Tani” adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani-nelayan (WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani-nelayan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Dalam Kepmen tersebut, dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan. Dalam batasan ini, asosiasi adalah kumpulan petani-ne!ayan yang sudah mengusabakan satu atau kombinasi beberapa komoditas petanian secara komersial.

Untuk meningkatkan skala usaha dan peningkatan usaha kearah komersial, kelompok tani-nelayan dapat dikembangkan melalui kerjasama antar kelompok dengan membentuk Gapoktan. Pada prinsipnya, baik Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani-nelayan (WKAK) ataupun Asosiasi Kelompok tani-nelayan, apabila sudah memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu mengelola usaha tani secara komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum untuk mengembangkan usahanya; maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan berbadan hukum, sesuai dengan kesepakatan para pelani-nelayan anggotanya.

Disini terlihat, bahwa pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani. Dengan kata lain, adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah yang secara nyata kelompok-kelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini sesuai dengan pola pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan diposisikan sebagai institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di bawahnya, yaitu para kelompok tani.

Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan. Untuk dapat berkembangnya sistem dan usaha agribisnis diperlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha dan pemerintah agar dapat berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kelembagaan pertanian tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP), kelompok tani, Gapoktan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, dan lain-lain.

Dari berbagai literatur terbaca, setidaknya ada 3 peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh Gapoktan. Pertama, Gapoktan difungsikan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Demikian pula dalam pencairan anggaran subsidi benih dengan menerima voucher dari Dinas Pertanian setempat. Gapoktan merupakan lembaga strategis yang akan merangkum seluruh aktifitas kelembagaan petani di wilayah tersebut. Gapoktan dijadikan sebagai basis usaha petani peternak di setiap pedesaan.

Kedua, Gapoktan juga dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di tingkat lokal. Mulai tahun 2006 melalui Badan Ketahanan Pangan telah dilaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dalam rangka mengatasi kerawanan dan kemiskinan di pedesaan. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Untuk tahun 2006 kegiatan ini bejalan di 244 desa di 122 kabupaten rawan pangan, sedangkan dalam rencana 2007 akan diperluas menjadi 180 kabupaten rawan pangan yang menjangkau sekitar 604 desa rawan pangan.

Dalam hal ini, masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tani dibimbing agar mampu menemukenali permasalahan yang dihadapi dan potensi yang mereka miliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk meningkatkan pendapatannya melalui usahatani dan usaha agribisnis berbasis pedesaan. Tahapan selanjutnya adalah, bahwa beberapa kelompok tani dalam satu desa yang telah dibina kemudian difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Dengan cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan kelompok dan gabungan kelompok yang merupakan wahana untuk memperjuangkan nasib para anggotanya sesuai dengan aspirasi, kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat. Masyarakat, melalui gapoktan juga diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama.

Ketiga, mulai tahun 2007, Gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal (DPM), yaitu dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen raya, sehingga harga tidak terlalu jatuh. Kegiatan DPM-LUEP telah dimulai semenjak tahun 2003, namun baru mulai tahun 2007 Gapoktan dapat sebagai penerima. Dalam konteks ini, Gapoktan bertindak sebagai “pedagang gabah”, dimana ia akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut berbagai fungsi pemasaran lainnya.

Dengan memperhatikan banyaknya fungsi yang akan dijalankan, maka khusus dari kalangan Deptan, tiap Gapoktan akan didukung dari program penyuluhan dan penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian, penguatan akses teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan infrastruktur pertanian dari Ditjen. Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan pembinaan usaha pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, serta dukungan permodalan dari program KKP dan atau Dana Penjaminan. Selain dari Deptan, Gapoktan juga akan berinteraksi dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam Negeri. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata pelibatan setiap Gapoktan berada di Dinas Pertanian setempat bekerjasama dengan penyuluh lapangan di wilayah Gapoktan tersebut berada.

Berbagai kesalahan dalam Pengembangan Kelembagaan Selama Ini

Dalam program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat pedesaan selama ini, hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan baru ke pedesaan. Kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk menjalankan program tersebut. Namun demikian, penggunaan strategi pengembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan. Berikut diuraikan berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan, khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution), agar dapat dihindari (Syahyuti, 2003):

(1) Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka dapat meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang-orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.

(2) Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim, setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok yang sudah ada.

(3) Menerapkan pola generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi teknis di Pantura Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang.

Pembentukan kelembagaan kurang memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas, norma, kebutuhan, dan lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al., 2003).

(4) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach.

(5) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.

(6) Pengembangan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material cukup. Sebagai contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan) dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain-lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik.

Berbagai Prinsip yang Harus Diperhatikan dalam Pengembangan Kelembagaan Pedesaan termasuk Gapoktan

Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengembangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang semakin menguat, dan jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat proyek”. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu konteks otonomi daerah, pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai salah satu komponen kelembagaan pedesaan, saling terkait secara fungsional dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal.

A. Pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah

RPPK jangan sampai terjebak kembali pada kekeliruan masa lalu, yang berpedoman pada perencanaan yang bersifat umum dan diterapkan secara menyeluruh (grand scenario) di seluruh wilayah. Mensosialisasikan rancangan atau skenario yang bersifat umum akan sulit dilaksanakan dan lebih banyak bersifat mekanistik dan lepas dari kespesifikan kondisi lokal, akan mematikan inisiatif masyarakat setempat sehingga menjadi kontraproduktif. Skenario yang bersifat umum itu, yang pada umumnya disusun dan dipikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat, merupakan pendekatan blue print yang banyak mengandung kelemahan (Uphoff, 1986).

Pedesaan di Indonesia, di samping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula. Hal ini perlu dicermati dalam memilih prinsip dasar pengembangan dan pembangunan pedesaan di Indonesia secara integral. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai aktor dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Pembangunan masyarakat pedesaan untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas ekonomi, serta aktivitas sosial budaya dan politik haruslah berbasis pada beberapa prinsip dasar yang dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah, dan kemajemukan etnis, sosial, budaya, dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya di setiap desa. Elemen-elemen tatanan, baik yang berupa “elemen lunak” (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa “elemen keras” (hard element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan entitas yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang.

Dalam bagian “Menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005). Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu.

Satu konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah “local government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), Local Government Administration (LGA) adalah: “…. the government’s ability to have an independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Jadi, disini ditekankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi “governance”, dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make and carry through collective choices for a geographically defined group of people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur-unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komunitas (Chapman, 1999).

Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance, cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya, terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assitance, pemerintah menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada cooperation, peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif. Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: untuk memaksimumkan nilai, sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah, dan sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi efisiensi dapat dicapai. Karena beragamnya persoalan antar wilayah maka tak ada pendekatan yang “one solution fits all” dalam pengembangan kelembagaan. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances antara pemerintah dengan warganya.

B.Pengembangan kelembagaan sebagai bentuk pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata dasar “empower” bermakna sebagai “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “… taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing self-reliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individual, kelompok sosial, maupun terhadap komunitas.

Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne (1997), disebutkan bahwa pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan mengupayakan bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah tercapainya “kemandirian”.

Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional (World Bank, 2005b).

Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia.

Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal.

Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.

Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang lama.

C.Pengembangan kelembagaan dalam upaya mewujudkan kemandirian lokal

Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), inisiatif lokal sangat diperlukan dalam pembangunan pedesaan, baik dari sisi pemerintah maupun komunitas setempat. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan apabila pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.

Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara tendesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan yang ada, dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.

Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia, atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma pembangunan Indonesia.

Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa. Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.

Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat.

Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa oraganisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

Sikap yang Harus Dibangun untuk Pengembangan Gapoktan

Kegagalan pengembangan kelembagaan petani selama ini dilatarbelakangi oleh sikap yang keliru. Para perencana menganggap bahwa kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai, karena itu harus diganti. Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi yang dipeluk pemimpin-pemimpin negara berkembang pada umumnya. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional adalah dimana aktivitas ekonomi melekat (embeded) pada kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggung jawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan namun banyak fungsi (Saptana et al., 2003). Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit.

Untuk pengembangan Gapoktan, maka strategi yang diterapkan semestinya tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan masa sebelumnya. Berbagai strategi yang semestinya ditempuh adalah: Pertama, kelembagaan adalah sebuah opsi, bukan keharusan. Apapun kelembagaan yang akan diintroduksikan di pedesaan, mestilah terlebih dahulu merumuskan apa kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah yang dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktifitasnya, lalu tentukan wadahnya.

Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktifitas pertanian pedesaan tidak akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan obat-obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, kelembagaan yang diintroduksikan saat ini sesungguhnya telah tumpang tindih. Untuk satu fungsi tersedia banyak kelembagaan, sedangkan satu kelembagaan juga dapat menjalankan berbagai fungsi. Tumpang tindih tersebut dipaparkan pada tabel matrik berikut.

0t1

Dari tabel tersebut terlihat, bahwa sebuah kelompok tani yang berjalan baik misalnya, bahkan dapat menjalankan seluruh fungsi agribisnis tersebut tanpa bantuan kelembagaan lain. Di sisi lain, dari tabel matrik tersebut juga terlihat bahwa untuk pemenuhan saprotan dan permodalan dapat menggunakan jasa kelompok tani, koperasi, dan juga apoktan. Sementara untuk pemenuhan informasi teknologi dapat menggunakan wadah kelompok tani, Gapoktan, Pos Penyuluhan Desa, Klinik Agribisnis, dan Kelompok Pencapir (Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan).

Dengan konfigurasi seperti itu, maka setiap pilihan apa kelembagaan yang akan digunakan sangat tergantung kepada berbagai hal, di antaranya adalah skala kegiatan, luas objek sasaran, metode yang digunakan, efektifitas dan efisiensi. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah lembaga apa yang paling siap untuk diajak bekerjasama. Namun pertanyaan yang terus menggelitik adalah: apakah kita memnag membutuhkan seluruh kelembagaan tersebut di satu desa?

Kedua, sediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan kelembagaan. Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani yang akan dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada superstrukturnya, padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada pada pelaksana. Satu hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering diingatkan adalah, agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun tidak akan cukup untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.

Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang desa sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja dalam satu unit desa, namun perlu dibangun jejaring sosial (social network) dengan Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhis-administratif, namun lebih ke fungsional-ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan lembaga formal. Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung menerapkan suasana non-formal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling menguntungkan dan keadilan.

Keempat, Gapoktan lebih banyak berperan di luar aktifitas produksi atau usahatani, karena kegiatan tersebut merupakan telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani serta petani secara individual. Untuk terlibat dalam mekanisme pasar, maka Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan beberapa karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efisien, kalkulatif, dan menciptakan relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha.

Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen dalam pengembangan kelembagaan masyarakat pedesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak di bidang pertanian. Dengan demikian, pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka pembentukan dan pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam konteks semangat otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan kemandirian lokal.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Sebagaimana pendekatan pembangunan pedesaan dan pertanian pada umumnya, pendekatan kelembagaan masih menjadi salah satu strategi penting dalam RPPK 2005-20025. Permasalahan kelembagaan dalam RPPK relatif lebih kompleks, karena melibatkan banyak instansi, lembaga, dan stakeholders mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Karena itulah, kemampuan mengenali permasalahan kelembagaan, dan selanjutnya mampu menyusun strategi kelembagaan yang sesuai, merupakan satu permasalahan yang esensial dalam RPPK tersebut. Artinya, seluruh pihak yang terlibat dalam RPPK, terutama di sektor pertanian, perlu menyadari permasalahan ini, sehingga faktor kelembagaan tidak menjadi salah satu kendala dalam implementasi program nantinya.

Dari berbagai level permasalahan kelembagaan yang dapat dijumpai, maka pengembangan kelembagaan di tingkat lokal atau di tingkat komunitas perlu mendapat perhatian yang lebih. Hal ini bertolak dari kecenderungan pemikiran akhir-akhir ini yang meniscayakan perlunya perhatian kepada penguatan untuk kemandirian komunitas lokal. Untuk itu, pengembangan kelembagaan dalam RPPK mesti dijiwai oleh setidaknya tiga prinsip yang satu sama lain saling tekait erat, yaitu pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah, pemberdayaan, dan penguatan kemandirian lokal.

Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada dua prinsip dasar pendekatan. Yang pertama, bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat, serta meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat.

Upaya pemberdayaan desa seyogyanya tidak dilakukan dengan berbasis pada suatu “grand scenario”, karena hal yang seperti itu tidak pernah mampu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Yang diperlukan pada saat ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa adalah membangun prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai sebuah acuan dalam perumusan kebijaksanaan pemberdayaan desa, yang disusun sendiri secara otonom oleh masing-masing derah. Dua prinsip dasar yang disebutkan sebelumnya (penciptaan peluang dan peningkatan kemandirian memanfaatkan peluang tersebut) masih perlu dilengkapi dengan prinsp-prinsip lainnya, yang diharapkan mucul dari forum ini.

Pembentukan dan penumbuh Gapoktan mestilah ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural Development). Gapoktan hanyalah alat, dan merupakan salah satu opsi kelembagaan yang dapat dipilih; bukan tujuan dan juga bukan keharusan. Penggunaan kelembagaan yang semata-mata hanya untuk mensukseskan kegiatan lain, dan bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri, sebagaimana selama ini; hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu, yang tidak akan pernah eksis secara riel.

Daftar Pustaka

Agustian, A; Supena F; Syahyuti; dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun 2006.

Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan SDM Pertanian,

Deptan. Jakarta.Deptan. 2006. Bahan Rapat Kerja Deptan dengan DPD-RI, tanggal 19 Juni 2006.

Deptan, Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.

Basri, Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya, Malang. (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang tantangan. pdf., 22 Maret 2005).

Boyne, George A. 1996. Competition and Local Government: A Public Choice Perspective. Urban Studies 33, 4-5: 703-721.Chapman, J.I. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of California. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper (http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).

Kirlin, John J. 1996. The Big Questions of Public Administration in a Democracy. Public Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320.North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/ laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.

Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press Ltd., London. Hal. 266.Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/ bromley.htm, 25 Oktober 2005

.Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor

.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian. 2006. Sambutan dalam acara Apresiasi Wartawan di Balai Pendidikan dan Latihan Hortikultura, Lembang, Bandung, Jawa Barat.

Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.

Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful Analytic Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27.World Bank. 2005a. Institutional Analysis. Dalam: http://lnweb18.worldbank.org/ESSD/ sdvext.nsf/81ByDocName/ToolsandMethodsInstitutionalanalysis, 12 September 2005.

World Bank. 2005b. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development. (http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView. asp?PID=936&EI D=482, 11 Mei 2005).

Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. *****

1 Comment »

  1. Thanks for good info 🙂

    Comment by Kris Clouser — May 16, 2012 @ 5:14 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.