Kelembagaan DAS

I M. Wisnu W, dkk.

KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI LAHAN KERING

(Kasus Ketahanan pangan Desa-Desa Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur)

I M. Wisnu W., Yohanes G. Bulu, dan Ketut Puspadi, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Tujuan utama petani berusahatani adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga petani dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor agroekosistem dan iklim, perubahan orientasi dan manajemen usahatani. Penyediaan pangan melalui lumbung oleh masyarakat NTB khususnya di pulau Lombok tidak lagi difungsikan akibatnya ketahanan pangan keluarga menjadi lemah. Lembaga lain yang berfungsi mendukung ketahanan pangan di lahan kering belum ada. Perubahan perilaku masyarakat petani disebabkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat. Hal tersebut mendorong petani melakukan perubahan orientasi dan tujuan pada pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial tanpa melalui perencanaan yang baik terhadap stabilitas dan keberlanjutan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam posisi sulit petani cenderung mengatasi kekurangan pangan rumah tangga melalui sistem ijon. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 di beberapa desa lahan kering di dua wilayah agroekosistem yaitu wilayah lahan kering dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui pemahaman dinamika petani lahan kering. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan focus group discussion (FGD). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering baik di wilayah lahan kering dataran rendah maupun dataran tinggi relatif lemah. Lembaga ketahanan pangan pedesaan lahan kering yang mendukung ketahanan pangan rumah tangga petani belum ada menyebabkan sistem ijon pada kantong-kantong kemiskinan wilayah lahan kering. Untuk memperkuat ketahanan pangan masyarakat tani di wilayah lahan kering maka perlu menumbuhkan kelembagaan ketahanan pangan untuk mengatasi kekurangan pangan pada musim-musim tertentu serta strategi perencanaan usahatani di lahan kering.

Kata kunci: Kelembagaan, penyediaan pangan, rumah tangga, dan lahan kering.

PENDAHULUAN

Bertani bukan lagi sekedar untuk hidup, tetapi sebagai usaha untuk memperoleh pendapatan yang baik dengan menggunakan seluruh kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan. Untuk dapat bertahan, lahan pertanian harus dikelola secara efisien. Rumah tangga yang merupakan lembaga terkecil di pedesaan memilki kemampuan yang terbatas untuk merencanakan usahatani dan ketahanan pangan rumah tangga.

Lembaga (institusi) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas (Koentjaraningrat, 1990). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan interaksi satu dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Menurut Roucek dan Warren (1962), lembaga adalah pola aktivitas yang terbentuk untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup manusia. Asal mulanya adalah kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh, kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan selanjutnya terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota masyarakat petani.
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan mempengaruhi sub sistem lain. Johnson (1985) dalam Pakpahan (1989), mengemukakan bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian.

Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang digolongkan kedalam kategori miskin. Hal ini terbukti dari banyaknya desa-desa di kabupaten ini yang mendapat bantuan dari proyek Poor Farmer. Sebagian besar desa tersebut tersebar pada agroekosistem lahan kering. Lahan kering menurut Soil Survey Staffs (1998), adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Utomo (2002) dalam Suwardji, dkk., (2003) mendifinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Dari pengertian tersebut, jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: sawah tadah hujan, tegalan, ladang, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan basah mencakup sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, pemukiman/perkampungan, perikanan, danau, rawa dan waduk/embung.

Ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering relatif menyebabkan kemiskinan. Sayogyo (1983) dalam Pudjiwati Sayogyo (1995), membuat suatu standar kemiskinan, yaitu setara 480 kg beras/kapita/tahun untuk penduduk pedesaan dengan sebutan “nyaris miskin”, maka pendapatan di atas standar itu digolongkan “kecukupan”. Bappenas (1994) mendifinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana masyarakat tersebut ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah, lemah kemauan untuk maju, rendah sumber daya manusia, lemah nilai tukar hasil produksi, rendah produktivitas, modal usaha yang rendah, rendah pendapatan, terbatas kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Sayogyo (1996) memberikan batasan pendapatan perkapita untuk menggolongkan masyarakat ke dalam kategori miskin.

Kemiskinan adalah suatu konsep yang relatif, sehingga kemiskinan sangat kontekstual. Untuk memecahkan masalah kemiskinan, pertama-tama haruslah menemukan di mana akar permasalahan itu terletak, disamping akar permasalahan itu sendiri (Verhagen, 1996). Mendapatkan akar permasalahan memerlukan kedisiplinan berpikir sistem. Permasalahan-permasalahan sistem aktivitas manusia tidak berstruktur, sehingga kondisi ini menuntut pendekatan yang lain untuk memahaminya (Checkland, 1998). Intervensi simtomatik bersifat jangka pendek dan memecahkan akar permasalahan berdampak jangka panjang (Senge, 1996). Ketahanan pangan rumah tangga yang lemah telah menyebabkan kemiskinan di Lombok Timur. Lemahnya ketahanan pangan, salah satunya, disebabkan oleh tidak tersedianya suatu lembaga ketahanan pangan di pedesaan.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan kelembagaan pedesaan terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Lombok Timur dari bulan Januari – Desember 2005. Lokasi kajian di kabupaten Lombok Timur ditetapkan dengan metode purposive cluster sampling. Kecamatan dan desa lokasi kajian diklasifikasikan berdasarkan tiga wilayah agroekosistem yaitu; agroekosistem lahan kering dataran rendah, lahan kering dataran tinggi, dan lahan tadah hujan. Pengumpulan data mengikuti teknik PRA yakni dengan partisipasi petani untuk memberikan informasi dan dengan bantuan fasilitator.

Pengumpulan data mengacu pada prinsip-prinsip Participatory Ruaral Appraisal (PRA). Pengumpulan data menggunakan pendekatan focus group discussion (FGD), yaitu pengembilan data dengan mengumpulkan sejumlah orang yang dijadikan sebagai informan dan dilakukan wawancara mendalam secara individu pada responden dan informan.

Untuk mendapatkan pemahaman tentang dinamika petani miskin di lahan kering/marginal, maka kegiatan ini mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan bentuk kuantitatif menunjang kualitatif (Brannen, 1997).

Data dan informasi kualitatif dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari, 1998). Unit analisis dalam kegiatan penelitian adalah individu, rumah tangga dan sistem.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Lahan Kering

Sistem usahatani lahan kering umumnya cukup komplek. Berbagai usaha dilakukan petani mulai dari on farm, of farm dan non farm. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan petani guna memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun dan memanfaatkan waktu luang yang tersisa setelah musim tanam selesai. Kegiatan on farm yaitu usaha budidaya tanaman dilakukan petani pada musim hujan, sedangkan pemeliharaan ternak dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan of farm yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh tani di lahan kering pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau menjadi buruh tani di lahan sawah. Kegiatan non farm yang umum dilakukan petani adalah sebagai tukang, buruh bangunan dan menjadi TKI ke luar negeri. Allokasi waktu yang digunakan petani untuk kegiatan on farm lebih sedikit dibandingkan kegiatan of farm dan non farm.

Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari. Jenis tanaman yang ditumpangsarikan umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen karena ketidak pastian curah hujan.

Keterbatasan jenis komoditas tanaman pangan yang dapat diusahakan karena faktor pembatas curah hujan yang tidak menentu menyebabkan petani tidak banyak mengusahakan tanaman yang banyak memerlukan air. Akhirnya pilihan komoditas yang ditanam bukan pada padi untuk mendukung ketahanan pangan tetapi pada komoditas-komoditas yang relatif hemat air seperti misalnya dari sektor tanaman pangan yaitu bawang merah, kentang, kubis, tomat, dan cabe sedangkan dari sektor perkebunan yaitu tembakau, jambu mete, cengkeh, vanili, kopi dan coklat.

Kegiatan petani pada musim hujan dilahan kering teralokasi dalam satu waktu tertentu sehingga sering terjadi kekurangan tenaga kerja. Kegiatan harus dilakukan dengan cepat dan waktu yang tepat untuk mengatisipasi keterbatasan curah hujan akibatnya petani sering melakukan satu dua pekerjaan dalam wkatu yang bersamaan. Kegiatan penyiangan biasanya langsung diikuti dengan kegiatan pemupukan. Keterlambatan dalam melakukan pemupukan berakibat pada kemungkinan menghadapi resiko tidak mendapatkan air dalam jangka waktu yang cukup lama karena hujan yang tidak kunjung turun maka akibat yang ditimbulkan lebih lanjut adalah pemupukan menjadi tidak efektif dan gulma yang segera tumbuh menjadi saingan tanaman pokok dalam memanfaatkan pupuk yang diberikan. Lebih lanjut hal ini menyebabkan posisi tawar tenaga kerja menjadi tinggi pada saat-saat tertentu sehingga biaya produksi di lahan kering menjadi relatif tinggi.

Sistem kelembagaan pertanian di lahan kering belum berkembang dan memperlihatkan dinamika kerja yang dikehendaki, petani umumnya belum tergabung dalam kelompoktani yang aktif. Lembaga finansial, lembaga alsintan, lembaga sarana produksi, lembaga pasca panen dan lembaga pengolahan hasil umumnya belum terbentuk di lahan kering. Kelembagaan penyuluhan dalam menangani lahan kering tidak sebaik yang dilakukan dalam menangani lahan sawah irigasi sehingga informasi terknologi yang diperoleh petani lahan kering relatif sangat terbatas.

Perilaku Ketahanan Pangan

Beberapa desa lahan kering di wilayah Lombok Timur bagian selatan mempunyai pola ketahanan pangan rumah tangga lebih baik dibandingkan dengan masyarakat desa yang terletak di bagian utara kabupaten. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan agroekosistem antara kedua wilayah tersebut. Lombok Timur bagian selatan didominasi oleh agroekosistem sawah tadah hujan sedangkan bagian utara agroekosistemnya berupa lahan kering dataran tinggi. Perbedaan tersebut membawa konsekwensi pada jenis komoditas yang diusahakan. Komoditas yang diusahakan pada sawah tadah hujan yang terletak di bagian selatan kabupaten pada umumnya padi dan tembakau dengan pola tanam padi-tembakau-bera, sedangkan dibagian utara komoditas dominan yang diusahakan yaitu dari sektor tanaman pangan antara lain bawang merah, kentang, kubis, tomat, dan cabe sedangkan dari sub sektor tanaman perkebunan terdiri dari: jambu mete, vanili, coklat, kopi dan cengkeh. Masih diusahakannya padi di sawah tadah hujan dengan dukungan air embung yang berasal dari hujan di bagian selatan kabupaten merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketahanan pangan diwilayah ini lebih baik dibandingkan dengan ketahanan pangan wilayah bagian utara kabupaten.

Introduksi tanaman tembakau yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjanjikan keuntungan yang tinggi pula berkembang pesat di wilayah bagian selatan sehingga menghilangkan kesempatan petani menanam padi pada MK I maupun pada MK II, akibatnya stock pangan petani menjadi berkurang. Hasil padi yang ditanam pada musim hujan hanya sebagian kecil disimpan petani untuk cadangan pangannya dan sebagian besar hasil produksi dijual guna mendapatkan modal untuk persiapan penanaman tembakau. Sama halnya dengan dibagian utara kabupaten, komoditas dominan yang diusahakan pada musim hujan sebagian besar terdiri dari tanaman sayuran yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjanjikan keuntungan tinggi sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk mengusahakannya dan akibatnya padi sebagai makanan pokok dalam rangka ketahanan pangan dikesampingkan petani di kedua bagian kabupaten tersebut.

Kegagalan dalam berusahatani karena kelebihan maupun kekurangan curah hujan sudah menjadi hal yang lumrah di kedua bagian kabupaten ini. Hujan yang turun lebih awal dari biasanya dibagian selatan kabupaten terutama pada saat menjelang panen tembakau akan merusak kualitas daun tembakau oven, akibatnya, harga yang diterima rendah sehingga petani mengalami kerugian dalam jumlah yang cukup besar. Demikian pula halnya dengan tanaman yang diusahakan dibagian utara kabupaten, yaitu: bawang merah, tomat, cabe, kentang dan kol sangat riskan pada resiko kegagalan yang disebabkan oleh kelebihan maupun kekurangan hujan karena ketergantungan pada curah hujan sehingga mengakibatkan kerugian pada petani dalam jumlah cukup besar.

Kerugian yang dialami petani biasanya cukup besar karena biaya yang dipergunakan dalam proses produksi cukup besar. Kondisi menjadi lebih memprihatinkan karena sebagian biaya produksi tersebut diperoleh melalui modal pinjaman baik dari pengelola untuk petani yang mengusahakan tembakau dibagian selatan kebupaten maupun dari pinjaman tetangga untuk petani sayuran dibagian selatan kabupaten. Dalam kondisi terbelit hutang maka berbagai upaya dilakukan petani untuk menjaga ketahanan pangan rumah tangganya.

Salah satu upaya pemecahan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dalam kondisi seperti tersebut di atas adalah menjual ternak untuk membeli beras. Ternak yang dipandang sebagai usaha sampingan dan dipelihara secara tidak intensif menjadi sangat penting artinya disamping sebagai ternak kerja maka dalam kondisi rawan pangan rumah tangga menjadi tabungan hidup. Ternak besar dijual untuk memenuhi kebutuhan uang yang cukup besar sedangkan ternak kecil dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk membeli beras. Ternak yang umum dipelihara petani antara lain sapi, kambing dan ayam.

Upaya lain yang dilakukan petani adalah beralih melakukan kegiatan off farm yaitu bekerja sebagai buruhtani menjadi sangat penting artinya dalam rangka ketahanan pangan keluarga. Kegiatan berburuhtani tidak saja dilakukan antar agroekosistem dalam satu desa yaitu petani yang berasal dari daerah lahan kering menjadi buruhtani di daerah lahan sawah irigasi, tetapi sampai keluar desa, kecamatan dan kabupaten dalam satu pulau dan luar pulau bahkan keluar propinsi. Pekerjaan yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh panen padi dengan imbalan upah dalam bentuk hasil panen padi. Padi yang diterima dari bekerja sebagai buruhtani disimpan untuk menjaga ketahanan pangan keluarga.

Kegiatan lain dalam menjaga ketahanan pangan keluarga yaitu melakukan pekerjaan di luar pertanian (non farm) sebagai buruh bangunan/tukang, tukang ojek, kusir cidomo, kerajinan, bakulan hasil pertanian membuat batu bata dan TKI. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian disamping karena kegagalan panen juga secara umum disebabkan oleh faktor ekonomi rumah tangga sebagai akibat dari keterbatasan lahan pertanian dan kurangnya lapangan pekerjaan serta peluang untuk mengembangkan usaha dengan kekuatan modal sendiri yang sangat terbatas. Disamping itu tidak dapat dipungkiri tingkat upah yang tinggi di luar negeri menjadi daya tarik tersendiri bagi petani dengan harapan nantinya cepat membayar hutang yang ditinggalkan sebagai akibat kegagalan panen di daerah asal.

TKI yang bekerja di luar negeri tidak semuanya berhasil beberapa orang justru membawa permasalahan seperti tidak bisa menutup hutang yang dipinjam untuk berangkat ke luar negeri. Sedangkan bagi yang berhasil sudah mampu mengirim uang untuk biaya hidup kelurga yang ditinggal atau untuk membangun rumah dan membeli tanah sawah. Kenyataan yang terjadi saat ini yaitu sebagian besar penghasilan TKI digunakan untuk membangun rumah dan kawin tetapi hanya sebagian kecil yang mengalokasikan pendapatannya untuk usaha-usaha yang bersifat produktif dibidang pertanian maupun usaha lainnya.

0g1

Gambar 1. Pemasukan dan pengeluaran rumah tangga petani miskin desa lahan kering di Lombok Timur

Harapan lain petani dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangganya adalah melakukan pinjaman pada tetangga, bahkan pinjaman dalam bentuk ijon-pun tidak segan-segan diterima petani dari para pelepas uang. Jaminan untuk menadapat pinjaman ijon biasanya tanaman vanili, coklat, kopi dalam kondisi sedang berbunga atau berbuah muda, akibatnya, sudah tentu maka harga yang diterima petani menjadi sangat rendah. Anak sapi yang masih berada dalam kandungan diijonkan petani di desa Sajang untuk memperoleh uang dalam rangka ketahanan pangan rumah tangga

Pengeluaran untuk pangan meliputi beras, lauk pauk, makanan kecil, minyak goreng, gula, kopi, teh dan lain-lain, sedangkan pengeluaran non pangan meliputi penerangan, sabun, odol, alat rumah tangga, pakaian, transportasi, pendidikan, rokok/tembakau, perbaikan rumah dan pajak bumi dan bangunan. Pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai lebih dari 50%, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering relatif rendah. Hasil kajian Sri Hastuti et al (2005) tentang pola pendapatan dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumah tangga di desa Sambelia yang merupakan desa lahan kering dataran rendah menjelaskan bahwa pengeluaran petani miskin untuk pangan mencapai 54,27 % artinya ketahanan pangan rumah tangga relatif rendah.

KESIMPULAN

  1. Komoditas yang diusahakan petani relatif terbatas karena faktor pembatas iklim dan curah hujan
  2. Ketahanan pangan petani di lahan kering dipenuhi melalui kegiatan on farm, of farm dan non farm
  3. Kesinambungan pendapatan dalam satu tahun dan antisipasi terhadap resiko kegagalan dilakukan dengan pola tumpangsari.
  4. Kegiatan petani dimusim hujan cukup padat, dilakukan dengan cepat dan pada waktu yang tepat sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja
  5. Sistem kelembagan pertanian dilahan kering belum memperlihatkan kinerja yang baik terutama lembaga keuangan dengan skim kredit khusus untu usaha pertanian

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta. Jakarta.

Roucek dan Warren, 1962. Sosiology Intriduction. Little Field Adams & Co, Paterson.

Pujiwati Sayogyo, 1995. Sumberdaya Manusia dan Kecukupan Pangan dan Gizi dalam Pudjiwati Sayogyo. Sosiologi Pembangunan, BKKBN. Jakarta

Brannen J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Nuktah Arfawi, Imam Safei, Noorhaidi penerjemah. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Terjemahan dari: Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research.

Checkland Peter. 1998. Systems Thinking, System Practice. John Wiley & Sons Chichester, New York, Brisbane, Toronto.

Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Verhagen Koenraad. 1996. Pengembangan Keswadayaan. Pengalaman LSM di Tiga Negara. Makmur Keliat, penerjemah; Tanudi penyunting. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Terjemahan dari: Self Helf Promotion (A Challenge to the NGO Community).

Senge Peter M. 1996. Disiplin Kelima. Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar Nunuk Adriani penerjemah, Lyndon Saputra editor. Binarupa Aksara, Jakarta. Terjemahan dari: Fith Discipline.

Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Pakpahan A., 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Jawa Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sri Hastuti Suhartini, Kukuh Wahyu W, dan Ketut Puspadi, 2005. Pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam Prosiding Seminar Naisonal Pemasyaraktan Inovasi Teknologi dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal. Pusat Analissi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.